Sesampainya di restoran kami segera masuk dan bergabung ke sebuah meja yang ternyata di sana sudah ada Elina asisten suamiku dan Andhara serta suaminya, Mas Ilham.
"Hai selamat malam," sapa Mas Andri.
"Hai, mari, silakan." mereka semua berdiri untuk menyambut kami.
"Mas ... Kukira kita akan menikmati makan malam keluarga," desisku pelan membisikinya.
"Ya, anggap aja ini makan malam keluarga, toh mereka sudah cukup dekat dengan kita," bisiknya.
"Maksudku, hanya kita bertiga," balasku.
"Sudah diam, mereka bisa tersinggung," tegasnya sambil menajamkan pandangan mata padaku agar aku tak lagi memprotes.
"Oh Tuhan, bahkan hendak makan pun, kami harus bertengkar dulu," keluhku dalam hati.
Suasana makan malam berlangsung gembira dan diselingi canda dan tawa, obrolan tentang bisnis, proyek terbaru, perhiasan yang sedang trend atau tantang masa depan anak bergulir begitu saja di antara kami. Sesekali mas Ilham melontarkan candaan yang membuatku tersenyum malu atau godaan untuk suamiku yang membuatnya hanya mampu meneguk campagne untuk mengalihkan sikap menjaga imagenyaSejujurnya di tengah canda tawa itu, aku sama sekali tak bahagia. Hatiku hampa dan entah mengapa aku tak tahu apa yang sebenarnya membuatku tak nyaman. Sampai acara makan berakhir dan di lanjutkan dengan sesi melantai dalam gemulai gerakan dansa, pesta khas kaum Borjuis dan pebisnis.
Aku lebih memilih mengalihkan diri untuk menikmati udara malam dari lantai dua restoran ini, hiruk pikuk mobil yang lalu lalang, pendar cahaya layar besar dari gedung seberang yang menampilkan iklan produk, jejeran outlet branded, semua pemandangan itu membuatku gamang. Aku hampa, ya, aku hampa dan merana.
Sejurus kemudian aku memutuskan kembali ke dalam dan membaur bersama suamiku dan rekannya.
Kulangkahkan kaki menuju ke dalam ruangan yang kini semarak olah musik dan canda tawa pengunjung, baru saja berjalan lima langkah ketika kulihat Mas Andri di sudut sana sedang menikmati segelas campagne sambil mengobrol dengan Mbak Andhara, sesekali mas Andri membisiki sesuatu di telinganya dengan gestur mesra dan wanita itu hanya tersipu.
Lalu ketika tiba-tiba Mas Ilham datang dari arah yang berlawanan dengan mereka wanita itu membenahi posisi tubuhnya dengan sedikit menarik jarak dari suamiku. Merasa ada yang janggal, kuputuskan untuk menyamarkan diri diantara buket bunga bunga untuk mengawasi mereka. Ketika asyik bercengkerama tiba tiba tangan mas Andri menyentuh punggung Mbak Andhara dengan ujung jarinya.
Model gaunnya yang punggung terbuka meng-ekspose kulit indah dan bentuk tubuh mbak Andara dengan jelas, kemudian detik berikutnya jari itu turun dengan lembutnya ke bawah menuju tulang panggul lalu mas Andri menjauhkan jemarinya.
Aku terpana dan cukup heran melihat pemandangan yang mengejutkan itu, lebih lebih mengejutkan lagi,Wanita itu terlihat biasa-biasa saja dengan sentuhan mas Andri, seolah menikmatinya, atau seolah ia telah terbiasa diperlakukan demikian, sedangkan suaminya, Mas Ilham meski sedang berbicara di hadapan mereka tak menyadari jika suamiku tengah membelai punggung Mbak Andhara ia bahkan tidak mempermasalahkan jarak ketika mereka berbicara mbak Andhara malah lebih dekat dengan mas Andri daripada suaminya sendiri.
Ini sungguh aneh, mengapa? Jika itu wanita lain, dibelai dengan cara seperti itu pasti akan murka karena hal demikian adalah bentuk pelecehan, namun ... Jika mereka tidak menjalin sesuatu atau hal yang rahasia, apa lagi yang bisa kusimpulkan?
"Hei, Sabrina, ngapain berdiri mematung aja di situ, ayo sini?" panggil Mbak Andhara ketika tiba-tiba dia memutar badan dan pandangan kami bersitatap.
Aku sedikit gugup dan berdebar-debar ssketika, khawatir mereka tahu aku telah memergoki mereka,
"eh, iya Mbak, tadi, aku dari belakang," jawabku."Mari sini," ajaknya dengan sikap manis dan roman wajah yang biasa-biasa saja. Tanpa rasa malu atau bersalah.
"Iya, Mbak," aku membalas uluran nya dan bergabung dalam pembicaraan palsu membosankan tersebut.
Bisnis dan uang saja, hanya itu bahasan kaum elite.
*"Mas, aku mau bicara," kataku sambil melepas anting-anting di meja rias, kulihat suamiku dari pantulan kaca sedang melepas dasi dan kancing kemejanya.
"Hmm, ada apa?" Gumamnya.
"Mas, ada hubungan apa sama Mbak Andhara?" Tanyaku sepelan mungkin, dengan harapan tak memancing emosinya.
Ia menghentikan aktivitasnya dan menatap padaku dengan membulatkan mata,
"aku gak ngerti maksud kamu," ungkapnya lalu melanjutkan menggantinya celana panjangnya.
"Aku melihat ... Apa yang kamu lakukan tadi?"
"Apa yang aku lakukan," tanyanya dengan intonasi yang mulai meninggi.
"Kamu menyentuh punggung wanita itu, lalu membelainya," ujarku dengan nada bergetar, bergetar oleh menahan gejolak dalam dada.
"Kamu pasti salah lihat?" Ia berusaha mengelak.
"Gak mungkin, jelas-jelas aku di belakang kalian." Aku membantah argumennya.
Gubrak!
Lemari ditutup dengan keras hingga menimbulkan bunyi yang sangat memekakkan telinga. Aku terkesiap dan sedikit mundur dari hadapannya.
"Apa sih, keinginan kamu? Kenapa setiap kali aku pulang ke rumah kamu selalu mengajak aku berantem?" Katanya dengan mata membeliak.
"Aku gak ngajak berantem Mas, aku cuma tanya, aku ingin ...."
Dumprang!
Kaca lemari pecah dan jatuh berserakan oleh tinjuan tangan Mas Andri.
"Mas, kamu ... Gini ya, emosi kamu semakin ga terkendali ...."
"Diam!"
Aku tahu ia terdesak hingga tak punya cara lain agar ia bisa memenangkan perdebatan ini, bagaimana pun seorang pemimpin keluarga menurutnya adalah sosok yang harus dihormati dan selalu benar.
"Aku menyesal sudah pulang dan makan malam bersama kalian," ucapnya dengan geram.
"Uangmu, sudah membutakanmu Mas," desisku sedih.
Plak!
Sebuah tamparan melayang di pipiku dengan sangat keras hingga menimbulkan rasa berdenyut-denyut dan pedas di sekitar pelipis dan mataku. Air mataku lirih begitu saja menerima perlakuannya yang demikian bengisnya pada istri sendiri.
"Aku akan tidur di luar rumah," katanya sambil meraih jaketnya.
"Ada Reza di rumah Mas, anak kita, dia bisa curiga jika kita tidak tidur sekamar."
"Aku gak tahan denganmu!" Teriaknya.
"Bahkan aku pun tak tahan denganmu Mas," batinku namun apa daya.
Suamiku benar-benar sudah berubah. Ia sudah menjadi sosok yang asing bagiku, atau ... Mungkin juga aku yang salah, mungkin selama ini aku yang telah gagal mengenalnya, bahkan, mungkin aku tidak pernah mengenalnya.
Kenyataan ini, adalah kenyataan yang harus kutelan pahit. Aku tak bisa berlari dari kenyataan lalu memulai hidupku sendiri, aku telah terbiasa hidup dalam kenyamanan duduk manis sebagai boneka yang siap diatur dan dipajang sesukanya.
"Kamu memang tak pernah menganggapku, Mas." Aku meratap dengan linangan air mata yang tak mampu kubendung.
"Kamu ya ... Seandainya aku tidak menganggapmu, tentu aku akan melemparmu ke jalan," pungkasnya ketus.
"Mungkin Mas punya alasan kenapa Mas, hingga saat ini tidak melakukan itu," balasku.
"Ya. Aku memang bodoh."
"Jadi katakan apa hubunganmu dengan Mbak Andhara?"
"Bukan urusanmu!"
"Oh ya?" Balasku.
Ia menjauh lalu membanting pintu dengan kerasnya meninggalkanku yang masih tergugu sedih di lantai dekat tempat tidurku. Kuedarkan pandangan dengan hati yang semakin nyeri. Lampu gantung Swedia berpendar cantik di langit-langit gipsum berlukiskan karya seni nuansa Eropa, ranjang Garuda dan furnitur premium, tertata indah, lemari dengan ratusan set pakaian mahal, kaca rias dengan segala produk kecantikan dan perawatan terbaik.
Sedangkan aku teronggok menyedihkan bagai bangkai yang seharusnya disingkirkan.Ini sungguh kenyataan yang tidak ingin dihadapi oleh wanita manapun di dunia ini.
*
**Setelah puas menangis dan meratap, aku memutuskan untuk ke luar, turun ke halaman depan untuk menikmati udara dan membuang sesak dalam dadaku.Ketika melewati kamar putraku, aku terketuk untuk memastikan keadaannya. Maka kubuka pintu kamar dan kutemukan dia sudah tertidur dengan pulasnya di ranjang. Aku sedikit lega, setidaknya ia tidak mendengar pertengkaran kami.Kususuri tiap sudut rumah dan mencari keberadaaan suamiku tadi, biasanya, jika ia sedang kesal, dia akan memilih untuk duduk di ruang baca sambil menyetel musik. Namun tak kutemukan dia di sudut manapun rumah ini.Kubuka pintu utama, lalu menyusuri halaman samping dan mini bar pribadi miliknya, semuanya kosong tidak ada tanda Mas Andri ada di sana, hanya gelap gulita saja.Tiba-tiba suara sandi pintu gerbang berbunyi dan sesaat kemudian pintu baja tersebut terbuka dan sesosok pemuda tampan yang selalu membuat dadaku bergemuruh hadir dari luar sana
Aku terkesima dengan kata-kata itu, perlahan namun pasti ada perih yang menjalari, ada hampa yang tiba-tiba kembali menyeruak dan melubangi sudut hati yang sesungguhnya telah rapuh ini. Kini, dua hati terluka, hatiku dan hatinya Handy, sedangkan suamiku? Dimana perasaannya?"Maafkan aku, Handy," desahku lemah."Tidak perlu minta maaf, karena cinta tak pernah salah, Nyonya. Dari awal berjumpa, aku memang telah jatuh hati dan tertarik pada Nyonya, jika ada yang patut disalahkan, maka itu aku."Ia melangkah pergi meninggalkanku yang terduduk lesu di kursi berpayung dekat kolam.Detik berikutnya kusadari aku telah membuat sebuah hati berdarah. Adilkah, aku menerima perlakuan dan perhatian cintanya, lalu mencampakkannya begitu saja. Apakah dia sudah pantas menjadi korban dari kegalauan dan keegoisanku? Apakah karena dendam dengan Mas Andri, lantas ak
**Awal Pertemuan itu ....Tak kusangka hari di mana ia datang ke kantorku dan mengenalkan diri sebagai supir baru, merupakan awal dari segala dilema yang terjadi saat ini. Dengan jas hitam dan kemeja putih yang pas di badan, pemuda tampan yang memiliki wajah cerah dan tatapan teduh itu penampilannya nyaris mirip dengan idola-idola dalam drama korea. Roman wajah dan tatanan rambutnya sangat 'goog looking.."Selamat siang, Bu, saya Handy." Ia memperkenalkan diri setelah memasuki ruanganku dan kupersilakan ia duduk menghadapku."Ada apa ya?" tanyaku padanya dengan ramah."Begini Bu, saya dari PT. Anugrah Reza Winata, datang kemari atas rekomendasi dari atasan perusahaan tersebut untuk menjadi supir pribadi Ibu." Ia menjelaskan padaku dengan sopan dan senyum yang mengembang sempurna."Oh, baik, apakah Anda sudah berpengalaman?"tanyaku lagi."Belum, Bu, namun saya akan mendedikasikan kemampuan dan waktu saya yang
Hidangan sarapan ala Eropa mengepulkan uap hangat dan aroma yang menerbitkan selera, cangkir dan piring porselen khas Belanda tertata rapi di atas taplak linen dengan renda khas serta sebuket bunga lili yang menyemarakkan suasana meja.Pagi ini, asisten rumah tangga kami datang dan membereskan rumah lalu aku memintanya untuk menyiapkan sarapan.Kutuang teh hangat ke cangkir milikku lalu perlahan kusesap aroma melati menenangkan dari tiap tetes teh manis dengan gula Jawa ini. Sejurus kemudian putraku turun dari lantai dua dan bergabung denganku di meja makan."Ma, Mama kemana aja, kemarin, hingga sore ga pulang," tanyanya membuka percakapan sambil menuangkan segelas susu hangat dan mencicipinya."Uhm, Mama ...Mama hanya ...." Aku teringat kembali apa yang terjadi di mobil sambil terus mengaduk cangkir teh milikku.Tiba tiba bayang pemuda itu menari di pelupuk mataku,Bagaimana Handy menyentuh wajahku leherku, menyingkap rislet
Aku dan suamiku, lama mengeja keheningan dan berusaha menyelami perasaan, dari tatapanya, aku tahu, ia pun ingin mengungkapkan sesuatu yang selama ini tersembunyi di sudut rahasia hatinya."Mas,Bisakah kita memperbaiki semua ini?" ucapku memecah keheningan yang kian pekat di antara kami."Hmm ... entahlah, karena jujur, aku pun ingin kau tetap di sisiku." Ia membalas dengan menatap dalam ke mataku."Mas, beri aku kepastian, kepastian yang membuatku punya alasan untuk bersamamu," desakku."Seperti apa itu?" tanyanya."Cintai aku, sentuh dan beri aku perhatian seperti dulu, seperti ketika pertama kita saling jatuh cinta," jawabku."Aku tak ingat pernah jatuh cinta, Sabrina," desahnya lemah sambil menghela napasnya."
Biar kukatakan, mungkin begitu besar rasa sakit ketika orang yang kita cintai tak membalas perasaan kita, mengabaikan semua usaha dan mengacuhkan cinta yang kita curahkan untuknya. Namun akan lebih menyakitkan lagi ketika kita sendiri yang merusak semua hubungan hanya demi nafsu semata. Di saat semuanya tak bisa diperbaiki lagi, bahkan iblis yang ikut menggoda untuk melakukan perbuatan hina tersebut ikut menghilang dan meninggalkan kita dalam nestapa tiada akhir.Wanita peselingkuh, itu gelar baruku. Bahkan jika dunia gak tahu sekali pun, aku tetap malu untuk melangkah dengan wajah yang terangkat sempurna. Noda dan aib yang kucorengkan sendiri di wajahku membuatku menyesal dan jijik dengan diri sendiri tiap kali mengingatnya.Sungguh, hubungan terlarang itu memang indah, penuh keromantisan, penuh petualangan yang memacu adrenalin, tapi semua kesenangannya hanya kesenangan semu. Jatuh dalam dosa membuatku merasa buruk untuk selama-lamanya. Apa yang tersisa padaku saat ini, tak lain
Masih kuseret koper berukuran sedang yang berisi beberapa pakaian dan terpaku kemudian di tempat ini. Tadinya aku telah memesan taksi online, namun entah mengapa, kuputuskan untuk berhenti di jembatan besar yang membelah sungai selebar 100 meter tersebut. Kupandangi kendaraan yang berlalu lalang di jalanan, kelap-kelip lampu dari tali beton yang menyanggah konstruksi jembatan, bunyi uap perahu nelayan di bawah sana, semuanya ....Aku gamang dengan pemandangan itu, memikirkan rentetan kejadian tadi, membuatku seakan gila.Kuraih sisi jembatan, dan kucengkeram kuat-kuat dengan kedua tanganku. Kutatap nanar pemandangan di bawah sana, terlintas kemudian dalam pikiranku, mungkin dengan memutuskan terjun, aku akan mengakhiri semua luka dan rasa malu akibat dosa yang kuperbuat. Setidaknya, setelah ini aku akan berakhir dilupakan dan namaku akan tenggelam begitu saja seiring dengan aliran waktu yang kian melaju."Mas andri, Reza, maafkan aku," desahku lemah.Kulepas sepatuku kemudian perl
Setelah tiga bulan mengontrak di kost-kostan sederhana aku akhirnya memilih untuk membuka usaha kecil-kecilan dengan sisa tabungan dan perhiasanku. Kubuka butik mini dengan menyewa ruko di pinggir jalan utama kota yang berbeda dengan kotaku semula.Setelah resmi bercerai dari Mas Andri aku memutuskan untuk hidup sendiri dan memulai segalanya dari awal. Sedang handy, ia tetap bertahan menjalin hubungan denganku dan menunggu persetujuanku untuk menikah dengannya.Aku tak menyangka bahwa kadang kerinduan pada Reza sebegitu besarnya, sebentuk penyesalan kecil kerap menyergap sudut hati terdalamku, andai aku tak melakukan kesalahan itu, mungkin aku masih berbahagia dengan keluarg kecilku. Aku tak menyangka bahwa akhir dari pernikahan kami adalah seperti ini, akhir dari pernikahan yang diimpikan akan menjadi surga dunia dan akhirat kami."Hei lagi, apa? Melamun aja," ujar pemuda yang selalu mengisi hari-hariku membuyarkan lamunanku."Gak, gak lagi apa-apa, Handy.""Aku mau ngasih lihat i
Setelah tiga bulan mengontrak di kost-kostan sederhana aku akhirnya memilih untuk membuka usaha kecil-kecilan dengan sisa tabungan dan perhiasanku. Kubuka butik mini dengan menyewa ruko di pinggir jalan utama kota yang berbeda dengan kotaku semula.Setelah resmi bercerai dari Mas Andri aku memutuskan untuk hidup sendiri dan memulai segalanya dari awal. Sedang handy, ia tetap bertahan menjalin hubungan denganku dan menunggu persetujuanku untuk menikah dengannya.Aku tak menyangka bahwa kadang kerinduan pada Reza sebegitu besarnya, sebentuk penyesalan kecil kerap menyergap sudut hati terdalamku, andai aku tak melakukan kesalahan itu, mungkin aku masih berbahagia dengan keluarg kecilku. Aku tak menyangka bahwa akhir dari pernikahan kami adalah seperti ini, akhir dari pernikahan yang diimpikan akan menjadi surga dunia dan akhirat kami."Hei lagi, apa? Melamun aja," ujar pemuda yang selalu mengisi hari-hariku membuyarkan lamunanku."Gak, gak lagi apa-apa, Handy.""Aku mau ngasih lihat i
Masih kuseret koper berukuran sedang yang berisi beberapa pakaian dan terpaku kemudian di tempat ini. Tadinya aku telah memesan taksi online, namun entah mengapa, kuputuskan untuk berhenti di jembatan besar yang membelah sungai selebar 100 meter tersebut. Kupandangi kendaraan yang berlalu lalang di jalanan, kelap-kelip lampu dari tali beton yang menyanggah konstruksi jembatan, bunyi uap perahu nelayan di bawah sana, semuanya ....Aku gamang dengan pemandangan itu, memikirkan rentetan kejadian tadi, membuatku seakan gila.Kuraih sisi jembatan, dan kucengkeram kuat-kuat dengan kedua tanganku. Kutatap nanar pemandangan di bawah sana, terlintas kemudian dalam pikiranku, mungkin dengan memutuskan terjun, aku akan mengakhiri semua luka dan rasa malu akibat dosa yang kuperbuat. Setidaknya, setelah ini aku akan berakhir dilupakan dan namaku akan tenggelam begitu saja seiring dengan aliran waktu yang kian melaju."Mas andri, Reza, maafkan aku," desahku lemah.Kulepas sepatuku kemudian perl
Biar kukatakan, mungkin begitu besar rasa sakit ketika orang yang kita cintai tak membalas perasaan kita, mengabaikan semua usaha dan mengacuhkan cinta yang kita curahkan untuknya. Namun akan lebih menyakitkan lagi ketika kita sendiri yang merusak semua hubungan hanya demi nafsu semata. Di saat semuanya tak bisa diperbaiki lagi, bahkan iblis yang ikut menggoda untuk melakukan perbuatan hina tersebut ikut menghilang dan meninggalkan kita dalam nestapa tiada akhir.Wanita peselingkuh, itu gelar baruku. Bahkan jika dunia gak tahu sekali pun, aku tetap malu untuk melangkah dengan wajah yang terangkat sempurna. Noda dan aib yang kucorengkan sendiri di wajahku membuatku menyesal dan jijik dengan diri sendiri tiap kali mengingatnya.Sungguh, hubungan terlarang itu memang indah, penuh keromantisan, penuh petualangan yang memacu adrenalin, tapi semua kesenangannya hanya kesenangan semu. Jatuh dalam dosa membuatku merasa buruk untuk selama-lamanya. Apa yang tersisa padaku saat ini, tak lain
Aku dan suamiku, lama mengeja keheningan dan berusaha menyelami perasaan, dari tatapanya, aku tahu, ia pun ingin mengungkapkan sesuatu yang selama ini tersembunyi di sudut rahasia hatinya."Mas,Bisakah kita memperbaiki semua ini?" ucapku memecah keheningan yang kian pekat di antara kami."Hmm ... entahlah, karena jujur, aku pun ingin kau tetap di sisiku." Ia membalas dengan menatap dalam ke mataku."Mas, beri aku kepastian, kepastian yang membuatku punya alasan untuk bersamamu," desakku."Seperti apa itu?" tanyanya."Cintai aku, sentuh dan beri aku perhatian seperti dulu, seperti ketika pertama kita saling jatuh cinta," jawabku."Aku tak ingat pernah jatuh cinta, Sabrina," desahnya lemah sambil menghela napasnya."
Hidangan sarapan ala Eropa mengepulkan uap hangat dan aroma yang menerbitkan selera, cangkir dan piring porselen khas Belanda tertata rapi di atas taplak linen dengan renda khas serta sebuket bunga lili yang menyemarakkan suasana meja.Pagi ini, asisten rumah tangga kami datang dan membereskan rumah lalu aku memintanya untuk menyiapkan sarapan.Kutuang teh hangat ke cangkir milikku lalu perlahan kusesap aroma melati menenangkan dari tiap tetes teh manis dengan gula Jawa ini. Sejurus kemudian putraku turun dari lantai dua dan bergabung denganku di meja makan."Ma, Mama kemana aja, kemarin, hingga sore ga pulang," tanyanya membuka percakapan sambil menuangkan segelas susu hangat dan mencicipinya."Uhm, Mama ...Mama hanya ...." Aku teringat kembali apa yang terjadi di mobil sambil terus mengaduk cangkir teh milikku.Tiba tiba bayang pemuda itu menari di pelupuk mataku,Bagaimana Handy menyentuh wajahku leherku, menyingkap rislet
**Awal Pertemuan itu ....Tak kusangka hari di mana ia datang ke kantorku dan mengenalkan diri sebagai supir baru, merupakan awal dari segala dilema yang terjadi saat ini. Dengan jas hitam dan kemeja putih yang pas di badan, pemuda tampan yang memiliki wajah cerah dan tatapan teduh itu penampilannya nyaris mirip dengan idola-idola dalam drama korea. Roman wajah dan tatanan rambutnya sangat 'goog looking.."Selamat siang, Bu, saya Handy." Ia memperkenalkan diri setelah memasuki ruanganku dan kupersilakan ia duduk menghadapku."Ada apa ya?" tanyaku padanya dengan ramah."Begini Bu, saya dari PT. Anugrah Reza Winata, datang kemari atas rekomendasi dari atasan perusahaan tersebut untuk menjadi supir pribadi Ibu." Ia menjelaskan padaku dengan sopan dan senyum yang mengembang sempurna."Oh, baik, apakah Anda sudah berpengalaman?"tanyaku lagi."Belum, Bu, namun saya akan mendedikasikan kemampuan dan waktu saya yang
Aku terkesima dengan kata-kata itu, perlahan namun pasti ada perih yang menjalari, ada hampa yang tiba-tiba kembali menyeruak dan melubangi sudut hati yang sesungguhnya telah rapuh ini. Kini, dua hati terluka, hatiku dan hatinya Handy, sedangkan suamiku? Dimana perasaannya?"Maafkan aku, Handy," desahku lemah."Tidak perlu minta maaf, karena cinta tak pernah salah, Nyonya. Dari awal berjumpa, aku memang telah jatuh hati dan tertarik pada Nyonya, jika ada yang patut disalahkan, maka itu aku."Ia melangkah pergi meninggalkanku yang terduduk lesu di kursi berpayung dekat kolam.Detik berikutnya kusadari aku telah membuat sebuah hati berdarah. Adilkah, aku menerima perlakuan dan perhatian cintanya, lalu mencampakkannya begitu saja. Apakah dia sudah pantas menjadi korban dari kegalauan dan keegoisanku? Apakah karena dendam dengan Mas Andri, lantas ak
**Setelah puas menangis dan meratap, aku memutuskan untuk ke luar, turun ke halaman depan untuk menikmati udara dan membuang sesak dalam dadaku.Ketika melewati kamar putraku, aku terketuk untuk memastikan keadaannya. Maka kubuka pintu kamar dan kutemukan dia sudah tertidur dengan pulasnya di ranjang. Aku sedikit lega, setidaknya ia tidak mendengar pertengkaran kami.Kususuri tiap sudut rumah dan mencari keberadaaan suamiku tadi, biasanya, jika ia sedang kesal, dia akan memilih untuk duduk di ruang baca sambil menyetel musik. Namun tak kutemukan dia di sudut manapun rumah ini.Kubuka pintu utama, lalu menyusuri halaman samping dan mini bar pribadi miliknya, semuanya kosong tidak ada tanda Mas Andri ada di sana, hanya gelap gulita saja.Tiba-tiba suara sandi pintu gerbang berbunyi dan sesaat kemudian pintu baja tersebut terbuka dan sesosok pemuda tampan yang selalu membuat dadaku bergemuruh hadir dari luar sana
Sesampainya di restoran kami segera masuk dan bergabung ke sebuah meja yang ternyata di sana sudah ada Elina asisten suamiku dan Andhara serta suaminya, Mas Ilham."Hai selamat malam," sapa Mas Andri."Hai, mari, silakan." mereka semua berdiri untuk menyambut kami."Mas ... Kukira kita akan menikmati makan malam keluarga," desisku pelan membisikinya."Ya, anggap aja ini makan malam keluarga, toh mereka sudah cukup dekat dengan kita," bisiknya."Maksudku, hanya kita bertiga," balasku."Sudah diam, mereka bisa tersinggung," tegasnya sambil menajamkan pandangan mata padaku agar aku tak lagi memprotes."Oh Tuhan, bahkan hendak makan pun, kami harus bertengkar dulu," keluhku dalam hati.Suasana makan malam berlangsung gembira dan diselingi canda dan tawa, obrolan tentang bisnis, proyek terbaru, perhiasan yang sedang trend atau tantang masa depan anak bergulir begitu saja di antara kami. Sesekali mas Ilham melontarkan can