**
Setelah puas menangis dan meratap, aku memutuskan untuk ke luar, turun ke halaman depan untuk menikmati udara dan membuang sesak dalam dadaku.
Ketika melewati kamar putraku, aku terketuk untuk memastikan keadaannya. Maka kubuka pintu kamar dan kutemukan dia sudah tertidur dengan pulasnya di ranjang. Aku sedikit lega, setidaknya ia tidak mendengar pertengkaran kami.
Kususuri tiap sudut rumah dan mencari keberadaaan suamiku tadi, biasanya, jika ia sedang kesal, dia akan memilih untuk duduk di ruang baca sambil menyetel musik. Namun tak kutemukan dia di sudut manapun rumah ini.
Kubuka pintu utama, lalu menyusuri halaman samping dan mini bar pribadi miliknya, semuanya kosong tidak ada tanda Mas Andri ada di sana, hanya gelap gulita saja.
Tiba-tiba suara sandi pintu gerbang berbunyi dan sesaat kemudian pintu baja tersebut terbuka dan sesosok pemuda tampan yang selalu membuat dadaku bergemuruh hadir dari luar sana. Aku cukup terkesiap dengan kehadirannya
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyaku.
"Saya disuruh Pak Andri untuk mengambil pakaiannya," jawabnya.
Mas Andri selalu seperti itu, tiap kali kami bertikai, aku semakin kecewa padanya.
Lantas aku tak menjawab ucapan Handy sedikitpun hanya memalingkan muka agar wajahku yang sembab tak terlihat olehnya. Lama aku berdiri dan membisu sehingga mungkin membuat pemuda itu merasa aneh.
"Nyonya ... Anda mendengar saya 'kan?"
Kuangkat wajahku dan kulihat ekspresi sopan dan senyumnya yang manis membuatku mau tak mau tertawa, laku kemudian menangis sedih."Lho, kenapa? Ada apa, Nyonya?" Tanyanya sambil mendekatiku dan meraihku ke dalam pelukannya.
Sedikit Kehangatan yang kudapatkan dari rengkuhan dan cara ia memperlakukanku membuatku sedikit merasa nyaman. Setelah aku puas menangis dan mulai mengatur napas dan tenang, dia mengangkat wajahku dan bertanya.
"Ada apa?"
"Aku hanya ... Ya, begitulah," jawabku sambil membenahi cardigan yang kukenakan.
"Maaf," katanya lirih.
"Ini buka salahmu," balasku.
"Maaf karena sudah bertanya dan membuat Anda sedih. Andai aku punya kuasa ingin kuajak anda selalu berbahagia saja," katanya dengan tatapan yang begitu dalam. Sekali lagi aku memeluknya dan ia membalas degan kecupan di pucuk kepala.
"Anda tidak seharusnya disakiti," bisiknya pelan di telingaku.
"Lalu, seharusnya?" sambungku bertanya.
"Dicintai," katanya dengan menyentuhkan bibirnya ke daun telingaku, sensasi geli dan hangat yang menjalari syaraf membuatku seketika lupa diri, namun kukendalikan segera gejolak yang sedang menggelora itu.
Kutarik tubuhku darinya dan segera menjauh beberapa langkah,"Kamu bisa naik ke kamar dan silakan ambil sendiri, baju-baju suamiku," kataku sambil berlalu menuju taman dan kolam renang di area belakang rumah.
"Tapi ...."
"Tak apa, toh kamu juga bukan pencuri," jawabku sambil meneruskan langkah.
"Bukan begitu, aku hanya merasa Anda sedang menjauhiku," ucapnya pelan.
"Lalu apa yang kamu harapkan dari hubungan ini?" Balasku sambil berlalu.
Tak ingin memperpanjang percakapan dengannya, karena semakin lama aku bersamanya semakin tumbuh subur rasa cinta dan ketertarikan gila ini.
*
Kuperhatikan pantulan diriku dari kilau permukaan kolam yang tertimpa cahaya keemasan lampu-lampu taman. Terlihat indah namun semu, sesaat aku tertawa miris lalu detik berikutnya penyesalan menguasai dinding hatiku.Penyesalan pada semua hal yang tidak seharusnya terjadi, bahkan penyesalan pada keputusanku yang akhirnya bersedia dipersunting Mas Andri. Tadinya, kupikir aku akan bahagia, bersuamikan pria mapan yang baik dan tampan, nyatanya, aku berakhir merana dan mensia-siakan hidup sendiri.
Dari luar, dari tampilan fisik aku terlihat seperti wanita paling bahagia dan elegan di dunia, namun kenyataan yang sebenarnya, aku seperti terbunuh dalam diam, tiap hari hanya dihunjam perih dan rundung dari sikap suamiku.Mengapa tak sedikitpun hatinya terketuk, untuk menerima dan menyayangiku?
Dan ya, apalagi hubungan yang telah ia jalin dengan Mbak Andhara?
Selagi aku tenggelam melamunkan semua itu, tiba-tiba Handy sudah berada di hadapanku.
"Nyonya, saya sudah mengambil pakaian Pak Andri," katanya sambil memperlihat totebag berisi pakaian Mas Andri.
"Ya baiklah,. Antarkan untuknya," jawabku lemah sambil menerawang jauh.
"Apa ... Anda akan baik-baik saja?" Tanya dengan nada sangat hati-hati.
Kutengadahkan wajah ke arahnya lalu kusunggingkan senyum, "iya tentu saja, aku akan jaga diriku."
"Tapi ...anda terlihat begitu sedih," katanya.
"Tidak," balasku sambil tertawa getir, menetralkan suasana
"Iya," sangkalnya menolak argumen barusan.
"Jangan sok tahu," tekanku.
"Saya memang tahu?"
"Apa yang kamu tahu?" Tanyaku dengan nada menantang.
Ia lepaskan tote bag di lantai lalu ia menghampiriku sehingga kami hampir tak berjarak.
"Apa ... Mau apa?"
"Mau memastikan," katanya dengan serius.
"Apanya?"
"Bahwa ini memang kamu, Nyonya."
Pandangan matanya yang menyiratkan perhatian dan cinta seakan-akan menembus relung hatiku dan membuatku tersesat dalam rimba halusinasi kebahagiaan. Andai aku bukan milik orang lain, pasti akan kuputuskan untuk berlari bersamanya dan memulai kehidupan baru. Tapi, sekali lagi, aku punya anak dan suami.
"Tolong lepaskan aku," kataku sambil menggeliat berusaha melepaskan diri dari rengkuhannya.
"Aku gak mau," jawabnya sambil mendekatkan wajahnya lebih lekat lagi hingga aku bisa merasakan napas itu lagi dan lagi.
"Ada anakku di rumah, dia bisa melihat kita," kataku sambil mendongak ke arah jendela kamar Reza dan berusaha melepaskan diri, tapi, semakin kuat aku berusaha semakin kuat pula rengkuhannya.
"Handy ...." Aku mengangkat wajah dan menatapnya tajam, berharap dengan begitu ia akan segan.
"Nyonya ...," balasnya lembut.
"Hentikan menggangguku, Handy. Aku tidak ingin terlibat begitu jauh," desisku yang mulai emosi.
"Aku terlanjur terlibat, aku sudah jatuh cinta, Sabrina," bisiknya sambil membingkai wajahku dengan kedua belah tangannya.
Kutolehkan mukaku ke arah yang berbeda agar aku tak meleleh dengan tatapan indah yang melelehkan itu, walau aku berusaha menolaknya namun di sudut hati yang lain aku juga merindukan sebentuk kasih sayang.
"Benarkah, kau tak menyukaiku sama sekali?" Tanyanya semakin mendekatkan wajahnya hingga kening kami saling bersentuhan.
"Tidak."
"Tatap mataku," pintanya.
Tentu saja, aku tak sanggup menatap matanya, karena aku akan semakin kalah dan cinta ini semakin membuncah untuknya.
"Ayo tatap mataku," desaknya lagi.
"Handy ... Tolong," kutatap matanya lekat.
Seketika saja ia menarik wajahku lalu memberiku kecupan terhangat. Aku terkejut dan secepat mungkin berusaha melepasnya, namun aku tak sanggup, ia begitu kuat, dan aroma napas yang serupa candu itu, membuatku ingin melepaskan diri tapi malah, semakin lekat, seolah olah tubuh ini telah terpasung dalam pelukannya.Ia melepasku sekilas lalu berkata, "benarkah, kau menolakku, Menolak cintaku?" katanya dengan nada memelas membuatku yang tadinya kukuh dengan pendirian menjadi goyah dan terenyuh. Aku semakin berada dalam dilema.
"Aku harus berani melakukan itu Handy, aku punya suami!"tegasku.
Sekali lagi ia mengecup bibirku lalu ke keningku, kemudian ia lepaskan rengkuhannya, dan mundur perlahan dengan langkah pelan, diraihnya tote bag tadi, dan melangkah pergi.
"Aku selalu mencintaimu, nyonya, bahkan jika Nyonya gak lagi melihatku, aku akan tetap setia ada di samping nyonya. Aku gak akan mengganggu lagi, tapi mohon ... Biarkan aku mencintai Nyonya walau hanya dari jauh dan dalam diam saja."
Astaga ....
Aku terkesima dengan kata-kata itu, perlahan namun pasti ada perih yang menjalari, ada hampa yang tiba-tiba kembali menyeruak dan melubangi sudut hati yang sesungguhnya telah rapuh ini. Kini, dua hati terluka, hatiku dan hatinya Handy, sedangkan suamiku? Dimana perasaannya?"Maafkan aku, Handy," desahku lemah."Tidak perlu minta maaf, karena cinta tak pernah salah, Nyonya. Dari awal berjumpa, aku memang telah jatuh hati dan tertarik pada Nyonya, jika ada yang patut disalahkan, maka itu aku."Ia melangkah pergi meninggalkanku yang terduduk lesu di kursi berpayung dekat kolam.Detik berikutnya kusadari aku telah membuat sebuah hati berdarah. Adilkah, aku menerima perlakuan dan perhatian cintanya, lalu mencampakkannya begitu saja. Apakah dia sudah pantas menjadi korban dari kegalauan dan keegoisanku? Apakah karena dendam dengan Mas Andri, lantas ak
**Awal Pertemuan itu ....Tak kusangka hari di mana ia datang ke kantorku dan mengenalkan diri sebagai supir baru, merupakan awal dari segala dilema yang terjadi saat ini. Dengan jas hitam dan kemeja putih yang pas di badan, pemuda tampan yang memiliki wajah cerah dan tatapan teduh itu penampilannya nyaris mirip dengan idola-idola dalam drama korea. Roman wajah dan tatanan rambutnya sangat 'goog looking.."Selamat siang, Bu, saya Handy." Ia memperkenalkan diri setelah memasuki ruanganku dan kupersilakan ia duduk menghadapku."Ada apa ya?" tanyaku padanya dengan ramah."Begini Bu, saya dari PT. Anugrah Reza Winata, datang kemari atas rekomendasi dari atasan perusahaan tersebut untuk menjadi supir pribadi Ibu." Ia menjelaskan padaku dengan sopan dan senyum yang mengembang sempurna."Oh, baik, apakah Anda sudah berpengalaman?"tanyaku lagi."Belum, Bu, namun saya akan mendedikasikan kemampuan dan waktu saya yang
Hidangan sarapan ala Eropa mengepulkan uap hangat dan aroma yang menerbitkan selera, cangkir dan piring porselen khas Belanda tertata rapi di atas taplak linen dengan renda khas serta sebuket bunga lili yang menyemarakkan suasana meja.Pagi ini, asisten rumah tangga kami datang dan membereskan rumah lalu aku memintanya untuk menyiapkan sarapan.Kutuang teh hangat ke cangkir milikku lalu perlahan kusesap aroma melati menenangkan dari tiap tetes teh manis dengan gula Jawa ini. Sejurus kemudian putraku turun dari lantai dua dan bergabung denganku di meja makan."Ma, Mama kemana aja, kemarin, hingga sore ga pulang," tanyanya membuka percakapan sambil menuangkan segelas susu hangat dan mencicipinya."Uhm, Mama ...Mama hanya ...." Aku teringat kembali apa yang terjadi di mobil sambil terus mengaduk cangkir teh milikku.Tiba tiba bayang pemuda itu menari di pelupuk mataku,Bagaimana Handy menyentuh wajahku leherku, menyingkap rislet
Aku dan suamiku, lama mengeja keheningan dan berusaha menyelami perasaan, dari tatapanya, aku tahu, ia pun ingin mengungkapkan sesuatu yang selama ini tersembunyi di sudut rahasia hatinya."Mas,Bisakah kita memperbaiki semua ini?" ucapku memecah keheningan yang kian pekat di antara kami."Hmm ... entahlah, karena jujur, aku pun ingin kau tetap di sisiku." Ia membalas dengan menatap dalam ke mataku."Mas, beri aku kepastian, kepastian yang membuatku punya alasan untuk bersamamu," desakku."Seperti apa itu?" tanyanya."Cintai aku, sentuh dan beri aku perhatian seperti dulu, seperti ketika pertama kita saling jatuh cinta," jawabku."Aku tak ingat pernah jatuh cinta, Sabrina," desahnya lemah sambil menghela napasnya."
Biar kukatakan, mungkin begitu besar rasa sakit ketika orang yang kita cintai tak membalas perasaan kita, mengabaikan semua usaha dan mengacuhkan cinta yang kita curahkan untuknya. Namun akan lebih menyakitkan lagi ketika kita sendiri yang merusak semua hubungan hanya demi nafsu semata. Di saat semuanya tak bisa diperbaiki lagi, bahkan iblis yang ikut menggoda untuk melakukan perbuatan hina tersebut ikut menghilang dan meninggalkan kita dalam nestapa tiada akhir.Wanita peselingkuh, itu gelar baruku. Bahkan jika dunia gak tahu sekali pun, aku tetap malu untuk melangkah dengan wajah yang terangkat sempurna. Noda dan aib yang kucorengkan sendiri di wajahku membuatku menyesal dan jijik dengan diri sendiri tiap kali mengingatnya.Sungguh, hubungan terlarang itu memang indah, penuh keromantisan, penuh petualangan yang memacu adrenalin, tapi semua kesenangannya hanya kesenangan semu. Jatuh dalam dosa membuatku merasa buruk untuk selama-lamanya. Apa yang tersisa padaku saat ini, tak lain
Masih kuseret koper berukuran sedang yang berisi beberapa pakaian dan terpaku kemudian di tempat ini. Tadinya aku telah memesan taksi online, namun entah mengapa, kuputuskan untuk berhenti di jembatan besar yang membelah sungai selebar 100 meter tersebut. Kupandangi kendaraan yang berlalu lalang di jalanan, kelap-kelip lampu dari tali beton yang menyanggah konstruksi jembatan, bunyi uap perahu nelayan di bawah sana, semuanya ....Aku gamang dengan pemandangan itu, memikirkan rentetan kejadian tadi, membuatku seakan gila.Kuraih sisi jembatan, dan kucengkeram kuat-kuat dengan kedua tanganku. Kutatap nanar pemandangan di bawah sana, terlintas kemudian dalam pikiranku, mungkin dengan memutuskan terjun, aku akan mengakhiri semua luka dan rasa malu akibat dosa yang kuperbuat. Setidaknya, setelah ini aku akan berakhir dilupakan dan namaku akan tenggelam begitu saja seiring dengan aliran waktu yang kian melaju."Mas andri, Reza, maafkan aku," desahku lemah.Kulepas sepatuku kemudian perl
Setelah tiga bulan mengontrak di kost-kostan sederhana aku akhirnya memilih untuk membuka usaha kecil-kecilan dengan sisa tabungan dan perhiasanku. Kubuka butik mini dengan menyewa ruko di pinggir jalan utama kota yang berbeda dengan kotaku semula.Setelah resmi bercerai dari Mas Andri aku memutuskan untuk hidup sendiri dan memulai segalanya dari awal. Sedang handy, ia tetap bertahan menjalin hubungan denganku dan menunggu persetujuanku untuk menikah dengannya.Aku tak menyangka bahwa kadang kerinduan pada Reza sebegitu besarnya, sebentuk penyesalan kecil kerap menyergap sudut hati terdalamku, andai aku tak melakukan kesalahan itu, mungkin aku masih berbahagia dengan keluarg kecilku. Aku tak menyangka bahwa akhir dari pernikahan kami adalah seperti ini, akhir dari pernikahan yang diimpikan akan menjadi surga dunia dan akhirat kami."Hei lagi, apa? Melamun aja," ujar pemuda yang selalu mengisi hari-hariku membuyarkan lamunanku."Gak, gak lagi apa-apa, Handy.""Aku mau ngasih lihat i
**Desir-desir angin sore menggoyangkan dahan dan dedaunan di sekitarku. Beberapa kali terpaannya mempermainkan anak rambut dan membelai wajah. Sedangkan aku termenung di bingkai jendela sambil menerawang jauh pada hamparan sawah dan bukit-bukit menghijau di bawah sana.Masih terpaku pada posisi yang sama dari satu jam yang lalu. Memikirkan apa yang beberapa saat lalu terjadi, kemudian memejamkan mata sambil menggigit bibirku pelan, menahan gejolak yang bergemuruh dalam dada. Menahan amarah pada kebodohanmu, memendam sesal pada dosa yang kuperbuat, dosa yang mungkin menjadi aib yang menyakitkan pada anak dan suamiku.Ingin kuhajar diriku sendiri.Ranjang dan selimut itu, masih pada posisi yang sama, tersibak dan berantakan meninggalkan jejak pergumulan panas yang hanya dimengerti oleh sebagian yang merasakan. Bantal-bantal juga handuk berserakan di lantai parquette hotel ini.Ketika melakukan itu, aku tak sadar a
Setelah tiga bulan mengontrak di kost-kostan sederhana aku akhirnya memilih untuk membuka usaha kecil-kecilan dengan sisa tabungan dan perhiasanku. Kubuka butik mini dengan menyewa ruko di pinggir jalan utama kota yang berbeda dengan kotaku semula.Setelah resmi bercerai dari Mas Andri aku memutuskan untuk hidup sendiri dan memulai segalanya dari awal. Sedang handy, ia tetap bertahan menjalin hubungan denganku dan menunggu persetujuanku untuk menikah dengannya.Aku tak menyangka bahwa kadang kerinduan pada Reza sebegitu besarnya, sebentuk penyesalan kecil kerap menyergap sudut hati terdalamku, andai aku tak melakukan kesalahan itu, mungkin aku masih berbahagia dengan keluarg kecilku. Aku tak menyangka bahwa akhir dari pernikahan kami adalah seperti ini, akhir dari pernikahan yang diimpikan akan menjadi surga dunia dan akhirat kami."Hei lagi, apa? Melamun aja," ujar pemuda yang selalu mengisi hari-hariku membuyarkan lamunanku."Gak, gak lagi apa-apa, Handy.""Aku mau ngasih lihat i
Masih kuseret koper berukuran sedang yang berisi beberapa pakaian dan terpaku kemudian di tempat ini. Tadinya aku telah memesan taksi online, namun entah mengapa, kuputuskan untuk berhenti di jembatan besar yang membelah sungai selebar 100 meter tersebut. Kupandangi kendaraan yang berlalu lalang di jalanan, kelap-kelip lampu dari tali beton yang menyanggah konstruksi jembatan, bunyi uap perahu nelayan di bawah sana, semuanya ....Aku gamang dengan pemandangan itu, memikirkan rentetan kejadian tadi, membuatku seakan gila.Kuraih sisi jembatan, dan kucengkeram kuat-kuat dengan kedua tanganku. Kutatap nanar pemandangan di bawah sana, terlintas kemudian dalam pikiranku, mungkin dengan memutuskan terjun, aku akan mengakhiri semua luka dan rasa malu akibat dosa yang kuperbuat. Setidaknya, setelah ini aku akan berakhir dilupakan dan namaku akan tenggelam begitu saja seiring dengan aliran waktu yang kian melaju."Mas andri, Reza, maafkan aku," desahku lemah.Kulepas sepatuku kemudian perl
Biar kukatakan, mungkin begitu besar rasa sakit ketika orang yang kita cintai tak membalas perasaan kita, mengabaikan semua usaha dan mengacuhkan cinta yang kita curahkan untuknya. Namun akan lebih menyakitkan lagi ketika kita sendiri yang merusak semua hubungan hanya demi nafsu semata. Di saat semuanya tak bisa diperbaiki lagi, bahkan iblis yang ikut menggoda untuk melakukan perbuatan hina tersebut ikut menghilang dan meninggalkan kita dalam nestapa tiada akhir.Wanita peselingkuh, itu gelar baruku. Bahkan jika dunia gak tahu sekali pun, aku tetap malu untuk melangkah dengan wajah yang terangkat sempurna. Noda dan aib yang kucorengkan sendiri di wajahku membuatku menyesal dan jijik dengan diri sendiri tiap kali mengingatnya.Sungguh, hubungan terlarang itu memang indah, penuh keromantisan, penuh petualangan yang memacu adrenalin, tapi semua kesenangannya hanya kesenangan semu. Jatuh dalam dosa membuatku merasa buruk untuk selama-lamanya. Apa yang tersisa padaku saat ini, tak lain
Aku dan suamiku, lama mengeja keheningan dan berusaha menyelami perasaan, dari tatapanya, aku tahu, ia pun ingin mengungkapkan sesuatu yang selama ini tersembunyi di sudut rahasia hatinya."Mas,Bisakah kita memperbaiki semua ini?" ucapku memecah keheningan yang kian pekat di antara kami."Hmm ... entahlah, karena jujur, aku pun ingin kau tetap di sisiku." Ia membalas dengan menatap dalam ke mataku."Mas, beri aku kepastian, kepastian yang membuatku punya alasan untuk bersamamu," desakku."Seperti apa itu?" tanyanya."Cintai aku, sentuh dan beri aku perhatian seperti dulu, seperti ketika pertama kita saling jatuh cinta," jawabku."Aku tak ingat pernah jatuh cinta, Sabrina," desahnya lemah sambil menghela napasnya."
Hidangan sarapan ala Eropa mengepulkan uap hangat dan aroma yang menerbitkan selera, cangkir dan piring porselen khas Belanda tertata rapi di atas taplak linen dengan renda khas serta sebuket bunga lili yang menyemarakkan suasana meja.Pagi ini, asisten rumah tangga kami datang dan membereskan rumah lalu aku memintanya untuk menyiapkan sarapan.Kutuang teh hangat ke cangkir milikku lalu perlahan kusesap aroma melati menenangkan dari tiap tetes teh manis dengan gula Jawa ini. Sejurus kemudian putraku turun dari lantai dua dan bergabung denganku di meja makan."Ma, Mama kemana aja, kemarin, hingga sore ga pulang," tanyanya membuka percakapan sambil menuangkan segelas susu hangat dan mencicipinya."Uhm, Mama ...Mama hanya ...." Aku teringat kembali apa yang terjadi di mobil sambil terus mengaduk cangkir teh milikku.Tiba tiba bayang pemuda itu menari di pelupuk mataku,Bagaimana Handy menyentuh wajahku leherku, menyingkap rislet
**Awal Pertemuan itu ....Tak kusangka hari di mana ia datang ke kantorku dan mengenalkan diri sebagai supir baru, merupakan awal dari segala dilema yang terjadi saat ini. Dengan jas hitam dan kemeja putih yang pas di badan, pemuda tampan yang memiliki wajah cerah dan tatapan teduh itu penampilannya nyaris mirip dengan idola-idola dalam drama korea. Roman wajah dan tatanan rambutnya sangat 'goog looking.."Selamat siang, Bu, saya Handy." Ia memperkenalkan diri setelah memasuki ruanganku dan kupersilakan ia duduk menghadapku."Ada apa ya?" tanyaku padanya dengan ramah."Begini Bu, saya dari PT. Anugrah Reza Winata, datang kemari atas rekomendasi dari atasan perusahaan tersebut untuk menjadi supir pribadi Ibu." Ia menjelaskan padaku dengan sopan dan senyum yang mengembang sempurna."Oh, baik, apakah Anda sudah berpengalaman?"tanyaku lagi."Belum, Bu, namun saya akan mendedikasikan kemampuan dan waktu saya yang
Aku terkesima dengan kata-kata itu, perlahan namun pasti ada perih yang menjalari, ada hampa yang tiba-tiba kembali menyeruak dan melubangi sudut hati yang sesungguhnya telah rapuh ini. Kini, dua hati terluka, hatiku dan hatinya Handy, sedangkan suamiku? Dimana perasaannya?"Maafkan aku, Handy," desahku lemah."Tidak perlu minta maaf, karena cinta tak pernah salah, Nyonya. Dari awal berjumpa, aku memang telah jatuh hati dan tertarik pada Nyonya, jika ada yang patut disalahkan, maka itu aku."Ia melangkah pergi meninggalkanku yang terduduk lesu di kursi berpayung dekat kolam.Detik berikutnya kusadari aku telah membuat sebuah hati berdarah. Adilkah, aku menerima perlakuan dan perhatian cintanya, lalu mencampakkannya begitu saja. Apakah dia sudah pantas menjadi korban dari kegalauan dan keegoisanku? Apakah karena dendam dengan Mas Andri, lantas ak
**Setelah puas menangis dan meratap, aku memutuskan untuk ke luar, turun ke halaman depan untuk menikmati udara dan membuang sesak dalam dadaku.Ketika melewati kamar putraku, aku terketuk untuk memastikan keadaannya. Maka kubuka pintu kamar dan kutemukan dia sudah tertidur dengan pulasnya di ranjang. Aku sedikit lega, setidaknya ia tidak mendengar pertengkaran kami.Kususuri tiap sudut rumah dan mencari keberadaaan suamiku tadi, biasanya, jika ia sedang kesal, dia akan memilih untuk duduk di ruang baca sambil menyetel musik. Namun tak kutemukan dia di sudut manapun rumah ini.Kubuka pintu utama, lalu menyusuri halaman samping dan mini bar pribadi miliknya, semuanya kosong tidak ada tanda Mas Andri ada di sana, hanya gelap gulita saja.Tiba-tiba suara sandi pintu gerbang berbunyi dan sesaat kemudian pintu baja tersebut terbuka dan sesosok pemuda tampan yang selalu membuat dadaku bergemuruh hadir dari luar sana
Sesampainya di restoran kami segera masuk dan bergabung ke sebuah meja yang ternyata di sana sudah ada Elina asisten suamiku dan Andhara serta suaminya, Mas Ilham."Hai selamat malam," sapa Mas Andri."Hai, mari, silakan." mereka semua berdiri untuk menyambut kami."Mas ... Kukira kita akan menikmati makan malam keluarga," desisku pelan membisikinya."Ya, anggap aja ini makan malam keluarga, toh mereka sudah cukup dekat dengan kita," bisiknya."Maksudku, hanya kita bertiga," balasku."Sudah diam, mereka bisa tersinggung," tegasnya sambil menajamkan pandangan mata padaku agar aku tak lagi memprotes."Oh Tuhan, bahkan hendak makan pun, kami harus bertengkar dulu," keluhku dalam hati.Suasana makan malam berlangsung gembira dan diselingi canda dan tawa, obrolan tentang bisnis, proyek terbaru, perhiasan yang sedang trend atau tantang masa depan anak bergulir begitu saja di antara kami. Sesekali mas Ilham melontarkan can