Mungkin siang tadi Mas Andri telah menyakitiku, namun sebagai wanita aku harus mencari cara untuk menyelamatkan hubungan kami. Setidaknya aku punya anak yang bisa membuat Mas andri berfikir ulang untuk meninggalkan kami.
Kutelpon ia dengan rencana mengajaknya menghabiskan waktu berdua saja. Semoga itu bisa memperbaiki hubungan kami.
"Iya, Sabrina," jawabnya
"Mas lagi di mana, aku berencana ke taman, apakah mas mau ikut?"
"Gak usah aku mau istirahat saja."
"Istirahat di mana?"
"Ya tentu saja, hotel. Sabrina," jawabnya santai.
"Padahal ada ruang tempat Mas bisa beristirahat dengan nyaman dan tidak perlu membayar."
Hatiku perih mendengar kalimatku sendiri yang terdengar tercekat di tenggorokan.
"Hmm, aku ... Maaf," gumamnya.
"Aku tahu, aku mengerti Mas." Kupotong ucapannya dan kututup telepon itu sambil menyesali kebodohanku, untuk apa aku meneleponnya dan menawarinya sebuah kesempatan untuk memperbaiki keadaan, toh semuanya sudah di ambang kehancuran.
*
"Kita akan kemana, Nyonya?"
"Ke taman hiburan."
Ia mengernyit dan aku menangkap roman mukanya itu dari balik kaca spionnya, seperti biasa.
"Iya, ke tempat di mana wahana bermain terbuka dan kita bebas menikmatinya sesuka hati."
"Nyonya sehat saja, kan?" Katanya.
Kusibak topi lebar yang kukenakan untuk menutupi wajah dari bias mentari sore.
"Memangnya wajahku kelihatan aneh, dan tidak sehat?"
"Enggak, sebaliknya Nyonya cantik sekali," balasnya tersenyum lebar.
**
Sesampainya di taman, kami membeli karcis masuk dan berjalan beriringan melihat wahana, taman dan stan penjual Anek macam barang.
"Sini, berjalan di dekatku," kataku sambil mengisyaratkan gerakan tangan.
"Tidak usah Nyonya, gaun nyonya yang lebar dan berbunga-bunga cantik sangat indah jika berkibar dan terlihat dari belakang."
"Apa?!" Kataku terkejut sambil melihat-lihat pakaianku.
"Ha ha ha, gaunnya tidak menerawang kok, tidak usah khawatir."
Aku hanya mencibir dan mencucu melihatnya tertawa.
"Kemarilah, anggap saja hari ini kita libur dan anggap aku mentraktirmu hari ini," kataku sambil menggamit lengannya.
"Ditraktir, traktir apa?"
"Naik wahana bianglala dan kora-kora," jawabku setengah mendekat ke telinganya karena suasana sangat ramai.
"Aku gak mau ditraktir yang itu ... Aku maunya ..." Ia menggantung kalimatnya namun aku mengerti, ketika kutatap senyumnya lantas kucubit pinggangnya hingga ia meringis pedih.
"Auw, ini sakit Nyonya."
"Rasain," jawabku sambil membulatkan mata.
"Anda cantik jika bersikap ramah dan centil seperti ini."
"Diam!"
"Cieee, wajahnya bersemu merah," godanya padaku padahal saat itu kami sedang mengantri di loket dan sebagian orang yang antri di sekitar kami melihat dengan senyum-senyum.
"Sudah, diam," bisikku kali ini dengan melotot.
Tiba-tiba seseorang menyerobot antrian membuat kami sedikit terdorong dan oleng ke kiri, untung saja Handy sigap menyambar pinggangku hingga aku tak jadi terjatuh.
"Duh, Maaf," kataku sedikit malu dan salah tingkah.
"Gak usah malu," bisiknya dan caranya itu membuat jantungku semakin bergetar tak karuan. Ah, sial dia mulai lagi.
Kubalikkan badan dengan segera sambil pura-pura sibuk merogoh saku tas mencari dompet untuk membayar tiket.
Tiba-tiba ia topangkan dagunya di bahuku dari belakang dan memeluk pinggangku dengan mesra. Aku merasa melayang ke udara atas sikapnya.
"Aku mencintaimu," bisiknya lalu mencium pipiku degan lembut.
Tentu saja aku terkejut, antara bahagia dan malu, dan orang-orang sekitar kami serentak mengatakan "ciee ..." Lalu tepuk tangan menggemuruh di udara.
Ya Allah, absubditas macam apa ini?
Tak ayal hal itu membuatku salah tingkah lagi, andai aku masih muda tentu kunikmati adegan ini dengan membalasnya pelukannya mesra, tapi umurku nyaris empat puluh,. Dan kenyataan itu membuatku minder dan memilih kabur saja.
"Nih, uangnya, belikan tiket, aku tunggu di tempat duduk," kataku kau berlari meninggalkannya.
Duh, malunya.
*
"Indah, kan pemandangan dari atas sini," katanya sambil menunjuk pemandangan kota dari atas wahana yang kami naiki.
Kelap-kelip lampu taman hiburan di tambah tebaran sinar lampu kota di kejauhan sana membuat suasana menjadi semarak di hatiku, apalagi di langit saat ini bulan bersinar dengan indahnya.
"Iya indah sekali."
"Aku ingin selalu melihatmu tersenyum seperti ini, Nyonya," katanya.
"Ah, kau ini," aku kembali tersipu oleh kata-kata dan tatapnya itu. Andai tak berada di wahana yang tinggi ingin sekali aku berlari untuk menyembunyikan semu merah wajahku.
Ia sedikit mendekat dan mengikis jaraknya hingga posisi kami duduk berdampingan. Diraihnya bahuku lalu di rangkulnya lembut.
"Anda, wanita yang kuat dan sangat bijak, Pak Andri sangat beruntung mendapatkan anda," katanya.
"Ah, Mas Andri ...." Desahku, ada perih yang mengiris ketika mengingat namanya.
"Aku tidak ingin membicarakannya."
"Baik," katanya sambil menepuk lembut punggungku lalu sedikit menjauh.
"Tapi ... Aku sungguh penasaran, apa yang membuatmu kini begitu tertarik padamu?" Tanyaku.
"Kau mempesona, dan kuat," jawabnya tetap dengan tatapan lembut itu.
"Darimana kau tahu aku kuat, aku juga kerap menangis tanpa sepengetahuan orang lain," imbuhku pelan sambil membuang pandangan.
"Ya, hanya wanita kuat yang mampu menyembunyikan penderitaannya dan tidak mengumbarnya ke ruang publik untuk mendapatkan simpati," terangnya pelan juga.
"Tapi ... Aku menderita," ratapku sambil menahan air mata.
"Kalo begitu mari berlari, tinggalkan tempat ini," katanya.
"Tidak semudah itu, aku istri seseorang yang punya nama besar dan cukup terkenal, skandal membuat segalanya hancur, dan yang lebih akan menyakitkan adalah reaksi anakku mengetahui semua ini," ratapku lagi sambil menutup wajah dengan kedua belah tangan.
"Maafkan aku nyonya," katanya sambil menyentuh ujung jemariku.
"Iya, tak mengapa."
Aku menyeka air mata dan hening seketika hadir di antara kami.
*
Baru saja turun dan berjalan beberapa langkah dari wahana, tiba-tiba kutangkap sosok yang cukup familiar sedang menaiki kereta dan tertawa bahagia, ia tidak sendiri, melainkan bersama asisten pribadinya, sekretarisnya.
Mereka duduk berdampingan dengan dekat, bahkan sangat dekat, suamiku bahkan merangkul bahu wanita itu dan ketika keretanya menukik di rel yang menurun wanitanya menyembunyikan wajah di dada suamiku dan suamiku membelai rambut panjang itu dengan penuh kasih.
Seketika napasku terasa berat, jantungku seperti ingin pecah dan tenggorokanku terasa kering bahkan untuk mengucap satu kata saja. Hanya mampu berdiri tertegun sambil berlinangan air mata.
"Ada apa Nyonya," kata Handy menyentakku dari belakang.
Sungguh saat ini, aku tak kuasa menjawab pertanyaannya, aku baru saja datang kemari untuk menghibur kesedihanku setelah mendengar Mas Andri ingin poligami. Namun kini kusaksikan pemandangan yang tidak kalah mengerikan seluruh hati dan sendi tubuhku.
"Itu... Pak Andri ... Ehm ... Sebaiknya ayo kita pergi," katanya sambil menarik pergelangan tanganku.
Sungguh aku tak tahan berada di tempat ini sedang kereta itu terus berputar di hadapanku. Kutinggalkan dengan setengah berlari tempat itu, tak peduli pada penglihatan orang atau panggilan supir tampanku itu.
Hingga sampai di lokasi parkir, entah bagaimana bisa tiba-tiba telapak kakiku terasa disetrum lalu perih dan pedih menjalari syaraf-syaraf ku. Ketika kuperiksa tapak sepatu flat milikku, ternyata pecahan beling menembus dan melukai kakiku hingga darahnya mengalir deras..
"Entah siapa yang telah membuang botol minuman dengan sembarangan sehingga menusuk kakiku," gumamku.
Aku yang memang memiliki ketakutan terhadap darah seketika menjerit dan merasa langsung berkunang-kunang melihat cairan kental berbau anyir tersebut dari kakiku.
Lamat-lamat pandanganku mengabur dan kepalaku pusing sehingga semuanya terasa berputar-putar, aku hendak terjatuh ketika kurasakan Handy menangkap tubuhku dan semuanya gelap.
*
"Nyonya," Handy, menepuk-nepuk pipiku.
"Iya,"jawabku lemah sambil mengerjap-erjapkan mata.
"Kita sudah sampai di rumah, mari saya bantu," katanya sambil mengulurkan tangannya.
"Kakiku ... Ah ," kataku meringis.
"Kaki anda sudah diobati dan aku telah membawanya pada klinik kesehatan yang tidak jauh dari taman hiburan.
"Oh, syukurlah terima kasih."
Ia meraih tubuhku degan lembut lalu membantuku berdiri. Lalu sedetik berikutnya ia menggendongku.
*
Di kamar,
"Makasih, Hand," kataku.
Ia menangkap senyum getir yang kugambarkan, perlahan ia maju dan membelai wajahku dengan lembut, lalu didekatnya air mata yang kini menganak sungai di kelopak mataku.
"Maaf, andai aku tak mengajak anda ke tempat hiburan itu, tentu, semuanya akan baik-baik saja," tangkapnya dengan nada sedih.
"Tidak, tidak apa, bukan salahmu," desahku lemah.
Ia turun dan berlutut mensejajarkan posisi dengan diriku yang duduk di ranjang. Perlahan ia menarik kepalaku dan membawanya ke dalam pelukannya.
"Sungguh, aku tak tega melihat Anda selalu tersakiti," bisiknya kali ini air matanya luruh dan itu terasa menetes di pipiku.
"Handy, jangan menangis gara-gara aku," kataku.
"Aku tak bisa melakukan apapun, untukmu," imbuhnya.
Kucium dia dengan lembut di pipinya, "Semua yang kamu lakukan itu sudah yang terbaik Handy," kataku menenangkan.
Ia terdiam sejenak lalu diangkatnya daguku dengan kedua belah tangan hingga membingkai wajahku.
"Aku mencintaimu," bisiknya. Lalu perlahan aliran napasnya semakin terasa mendekat dan menghangatkan wajahku, hingga wangi mint yang khas itu menempel di bibirku, kami saling berciuman, membagi rasa dan bertukar cinta dan kasih sayang.
Reaksi tubuhku seolah pasrah dengan semua perlakuannya, bagaimana ia menyentuhku, menyusuri tiap inchi bagian tubuh dengan belaian yang membangkitkan hasrat, dia menyingkap penutupnya dengan mesra bak pengantin baru, dan semuanya ... terjadi begitu saja, dengan indah.
Sejenak rasa sedih itu menguap, untuk sesaat aku tenggelam dalam romansa dan madu asmara bersama pria yang jarak umurnya jauh dariku.
Sedikitpun aku tak merasa ini hanya pelampiasan atau bentuk pelecehan belaka, mengingat siapa aku dan siapa dia, mungkin aku harus merasa bersalah. Tapi ketika mengingat bahwa masih banyak gadis belia yang kuyakin antri untuk menawarkan cinta pada Handy, sesaat rasa bangga hadir dalam diriku.
Meski kutahu itu semu.
Setelah yang terjadi semalam,Handy telah kembali ke kontrakannya setelah semalam di tempatku. Aku tidak bisa menafikan bahwa kehadiran sungguh menghibur, dia yang selalu menyemangati hidupku yang hambar ini.Seperti biasa, aku sendiri lagi, duduk di meja makan berukir relief bunga dan pualam putih, menikmati sarapan, dalam keheningan.Sedang asyik tenggelam dalam lamunan ketika tiba-tiba kudengar suara Mas Andri datang dan menyapaku."Hei, selamat pagi," sapanya sambil menyodorkan sebuket bunga mawar putih.Aku sedikit terperangah namun tak urung kuterima pemberiannya itu."Sedang sarapan?" Katanya sambil menggeser kursi yang berdekatan denganku lalu membalik piringnya."Mas...." Aku masih terkejut sekaligus juga bahagia karena tiba-tiba dia kembali ke rumah dan sarapan bersamaku."Kenapa menatapku begi
*Mobil meluncur kembali dengan kecepatan sedang menuju kota. Sepanjang perjalanan pulang aku hanya menikmati pemandangan yang membentang hijau di tepian jalan."Mas Jadi makan siang di Mang Ali Resto, anak kita pasti senang setelah sekian lama di asrama?" Tanyaku ingin memastikan rencana semula kami."Maaf gak jadi, tiba-tiba klienku menelepon dan minta bertemu untuk membahas proyek.""Tapi ...." Kugantung ucapanku sambil menatapnya dan Reza yang dudu di depan di samping Handy bergantian.Mas Andri mendesah pelan lalu melirik arloji di pergelangan kirinya."Maaf, hari ini aku gak cukup waktu, proyek dan kesempatan bisa hilang jika aku tidak segera menemui kolegaku.""Baiklah Mas, terserah Mas saja," jawabku dengan rasa kecewa tak terkira.*Sesampainya di rumah."Reza, gak ap
Sesampainya di restoran kami segera masuk dan bergabung ke sebuah meja yang ternyata di sana sudah ada Elina asisten suamiku dan Andhara serta suaminya, Mas Ilham."Hai selamat malam," sapa Mas Andri."Hai, mari, silakan." mereka semua berdiri untuk menyambut kami."Mas ... Kukira kita akan menikmati makan malam keluarga," desisku pelan membisikinya."Ya, anggap aja ini makan malam keluarga, toh mereka sudah cukup dekat dengan kita," bisiknya."Maksudku, hanya kita bertiga," balasku."Sudah diam, mereka bisa tersinggung," tegasnya sambil menajamkan pandangan mata padaku agar aku tak lagi memprotes."Oh Tuhan, bahkan hendak makan pun, kami harus bertengkar dulu," keluhku dalam hati.Suasana makan malam berlangsung gembira dan diselingi canda dan tawa, obrolan tentang bisnis, proyek terbaru, perhiasan yang sedang trend atau tantang masa depan anak bergulir begitu saja di antara kami. Sesekali mas Ilham melontarkan can
**Setelah puas menangis dan meratap, aku memutuskan untuk ke luar, turun ke halaman depan untuk menikmati udara dan membuang sesak dalam dadaku.Ketika melewati kamar putraku, aku terketuk untuk memastikan keadaannya. Maka kubuka pintu kamar dan kutemukan dia sudah tertidur dengan pulasnya di ranjang. Aku sedikit lega, setidaknya ia tidak mendengar pertengkaran kami.Kususuri tiap sudut rumah dan mencari keberadaaan suamiku tadi, biasanya, jika ia sedang kesal, dia akan memilih untuk duduk di ruang baca sambil menyetel musik. Namun tak kutemukan dia di sudut manapun rumah ini.Kubuka pintu utama, lalu menyusuri halaman samping dan mini bar pribadi miliknya, semuanya kosong tidak ada tanda Mas Andri ada di sana, hanya gelap gulita saja.Tiba-tiba suara sandi pintu gerbang berbunyi dan sesaat kemudian pintu baja tersebut terbuka dan sesosok pemuda tampan yang selalu membuat dadaku bergemuruh hadir dari luar sana
Aku terkesima dengan kata-kata itu, perlahan namun pasti ada perih yang menjalari, ada hampa yang tiba-tiba kembali menyeruak dan melubangi sudut hati yang sesungguhnya telah rapuh ini. Kini, dua hati terluka, hatiku dan hatinya Handy, sedangkan suamiku? Dimana perasaannya?"Maafkan aku, Handy," desahku lemah."Tidak perlu minta maaf, karena cinta tak pernah salah, Nyonya. Dari awal berjumpa, aku memang telah jatuh hati dan tertarik pada Nyonya, jika ada yang patut disalahkan, maka itu aku."Ia melangkah pergi meninggalkanku yang terduduk lesu di kursi berpayung dekat kolam.Detik berikutnya kusadari aku telah membuat sebuah hati berdarah. Adilkah, aku menerima perlakuan dan perhatian cintanya, lalu mencampakkannya begitu saja. Apakah dia sudah pantas menjadi korban dari kegalauan dan keegoisanku? Apakah karena dendam dengan Mas Andri, lantas ak
**Awal Pertemuan itu ....Tak kusangka hari di mana ia datang ke kantorku dan mengenalkan diri sebagai supir baru, merupakan awal dari segala dilema yang terjadi saat ini. Dengan jas hitam dan kemeja putih yang pas di badan, pemuda tampan yang memiliki wajah cerah dan tatapan teduh itu penampilannya nyaris mirip dengan idola-idola dalam drama korea. Roman wajah dan tatanan rambutnya sangat 'goog looking.."Selamat siang, Bu, saya Handy." Ia memperkenalkan diri setelah memasuki ruanganku dan kupersilakan ia duduk menghadapku."Ada apa ya?" tanyaku padanya dengan ramah."Begini Bu, saya dari PT. Anugrah Reza Winata, datang kemari atas rekomendasi dari atasan perusahaan tersebut untuk menjadi supir pribadi Ibu." Ia menjelaskan padaku dengan sopan dan senyum yang mengembang sempurna."Oh, baik, apakah Anda sudah berpengalaman?"tanyaku lagi."Belum, Bu, namun saya akan mendedikasikan kemampuan dan waktu saya yang
Hidangan sarapan ala Eropa mengepulkan uap hangat dan aroma yang menerbitkan selera, cangkir dan piring porselen khas Belanda tertata rapi di atas taplak linen dengan renda khas serta sebuket bunga lili yang menyemarakkan suasana meja.Pagi ini, asisten rumah tangga kami datang dan membereskan rumah lalu aku memintanya untuk menyiapkan sarapan.Kutuang teh hangat ke cangkir milikku lalu perlahan kusesap aroma melati menenangkan dari tiap tetes teh manis dengan gula Jawa ini. Sejurus kemudian putraku turun dari lantai dua dan bergabung denganku di meja makan."Ma, Mama kemana aja, kemarin, hingga sore ga pulang," tanyanya membuka percakapan sambil menuangkan segelas susu hangat dan mencicipinya."Uhm, Mama ...Mama hanya ...." Aku teringat kembali apa yang terjadi di mobil sambil terus mengaduk cangkir teh milikku.Tiba tiba bayang pemuda itu menari di pelupuk mataku,Bagaimana Handy menyentuh wajahku leherku, menyingkap rislet
Aku dan suamiku, lama mengeja keheningan dan berusaha menyelami perasaan, dari tatapanya, aku tahu, ia pun ingin mengungkapkan sesuatu yang selama ini tersembunyi di sudut rahasia hatinya."Mas,Bisakah kita memperbaiki semua ini?" ucapku memecah keheningan yang kian pekat di antara kami."Hmm ... entahlah, karena jujur, aku pun ingin kau tetap di sisiku." Ia membalas dengan menatap dalam ke mataku."Mas, beri aku kepastian, kepastian yang membuatku punya alasan untuk bersamamu," desakku."Seperti apa itu?" tanyanya."Cintai aku, sentuh dan beri aku perhatian seperti dulu, seperti ketika pertama kita saling jatuh cinta," jawabku."Aku tak ingat pernah jatuh cinta, Sabrina," desahnya lemah sambil menghela napasnya."
Setelah tiga bulan mengontrak di kost-kostan sederhana aku akhirnya memilih untuk membuka usaha kecil-kecilan dengan sisa tabungan dan perhiasanku. Kubuka butik mini dengan menyewa ruko di pinggir jalan utama kota yang berbeda dengan kotaku semula.Setelah resmi bercerai dari Mas Andri aku memutuskan untuk hidup sendiri dan memulai segalanya dari awal. Sedang handy, ia tetap bertahan menjalin hubungan denganku dan menunggu persetujuanku untuk menikah dengannya.Aku tak menyangka bahwa kadang kerinduan pada Reza sebegitu besarnya, sebentuk penyesalan kecil kerap menyergap sudut hati terdalamku, andai aku tak melakukan kesalahan itu, mungkin aku masih berbahagia dengan keluarg kecilku. Aku tak menyangka bahwa akhir dari pernikahan kami adalah seperti ini, akhir dari pernikahan yang diimpikan akan menjadi surga dunia dan akhirat kami."Hei lagi, apa? Melamun aja," ujar pemuda yang selalu mengisi hari-hariku membuyarkan lamunanku."Gak, gak lagi apa-apa, Handy.""Aku mau ngasih lihat i
Masih kuseret koper berukuran sedang yang berisi beberapa pakaian dan terpaku kemudian di tempat ini. Tadinya aku telah memesan taksi online, namun entah mengapa, kuputuskan untuk berhenti di jembatan besar yang membelah sungai selebar 100 meter tersebut. Kupandangi kendaraan yang berlalu lalang di jalanan, kelap-kelip lampu dari tali beton yang menyanggah konstruksi jembatan, bunyi uap perahu nelayan di bawah sana, semuanya ....Aku gamang dengan pemandangan itu, memikirkan rentetan kejadian tadi, membuatku seakan gila.Kuraih sisi jembatan, dan kucengkeram kuat-kuat dengan kedua tanganku. Kutatap nanar pemandangan di bawah sana, terlintas kemudian dalam pikiranku, mungkin dengan memutuskan terjun, aku akan mengakhiri semua luka dan rasa malu akibat dosa yang kuperbuat. Setidaknya, setelah ini aku akan berakhir dilupakan dan namaku akan tenggelam begitu saja seiring dengan aliran waktu yang kian melaju."Mas andri, Reza, maafkan aku," desahku lemah.Kulepas sepatuku kemudian perl
Biar kukatakan, mungkin begitu besar rasa sakit ketika orang yang kita cintai tak membalas perasaan kita, mengabaikan semua usaha dan mengacuhkan cinta yang kita curahkan untuknya. Namun akan lebih menyakitkan lagi ketika kita sendiri yang merusak semua hubungan hanya demi nafsu semata. Di saat semuanya tak bisa diperbaiki lagi, bahkan iblis yang ikut menggoda untuk melakukan perbuatan hina tersebut ikut menghilang dan meninggalkan kita dalam nestapa tiada akhir.Wanita peselingkuh, itu gelar baruku. Bahkan jika dunia gak tahu sekali pun, aku tetap malu untuk melangkah dengan wajah yang terangkat sempurna. Noda dan aib yang kucorengkan sendiri di wajahku membuatku menyesal dan jijik dengan diri sendiri tiap kali mengingatnya.Sungguh, hubungan terlarang itu memang indah, penuh keromantisan, penuh petualangan yang memacu adrenalin, tapi semua kesenangannya hanya kesenangan semu. Jatuh dalam dosa membuatku merasa buruk untuk selama-lamanya. Apa yang tersisa padaku saat ini, tak lain
Aku dan suamiku, lama mengeja keheningan dan berusaha menyelami perasaan, dari tatapanya, aku tahu, ia pun ingin mengungkapkan sesuatu yang selama ini tersembunyi di sudut rahasia hatinya."Mas,Bisakah kita memperbaiki semua ini?" ucapku memecah keheningan yang kian pekat di antara kami."Hmm ... entahlah, karena jujur, aku pun ingin kau tetap di sisiku." Ia membalas dengan menatap dalam ke mataku."Mas, beri aku kepastian, kepastian yang membuatku punya alasan untuk bersamamu," desakku."Seperti apa itu?" tanyanya."Cintai aku, sentuh dan beri aku perhatian seperti dulu, seperti ketika pertama kita saling jatuh cinta," jawabku."Aku tak ingat pernah jatuh cinta, Sabrina," desahnya lemah sambil menghela napasnya."
Hidangan sarapan ala Eropa mengepulkan uap hangat dan aroma yang menerbitkan selera, cangkir dan piring porselen khas Belanda tertata rapi di atas taplak linen dengan renda khas serta sebuket bunga lili yang menyemarakkan suasana meja.Pagi ini, asisten rumah tangga kami datang dan membereskan rumah lalu aku memintanya untuk menyiapkan sarapan.Kutuang teh hangat ke cangkir milikku lalu perlahan kusesap aroma melati menenangkan dari tiap tetes teh manis dengan gula Jawa ini. Sejurus kemudian putraku turun dari lantai dua dan bergabung denganku di meja makan."Ma, Mama kemana aja, kemarin, hingga sore ga pulang," tanyanya membuka percakapan sambil menuangkan segelas susu hangat dan mencicipinya."Uhm, Mama ...Mama hanya ...." Aku teringat kembali apa yang terjadi di mobil sambil terus mengaduk cangkir teh milikku.Tiba tiba bayang pemuda itu menari di pelupuk mataku,Bagaimana Handy menyentuh wajahku leherku, menyingkap rislet
**Awal Pertemuan itu ....Tak kusangka hari di mana ia datang ke kantorku dan mengenalkan diri sebagai supir baru, merupakan awal dari segala dilema yang terjadi saat ini. Dengan jas hitam dan kemeja putih yang pas di badan, pemuda tampan yang memiliki wajah cerah dan tatapan teduh itu penampilannya nyaris mirip dengan idola-idola dalam drama korea. Roman wajah dan tatanan rambutnya sangat 'goog looking.."Selamat siang, Bu, saya Handy." Ia memperkenalkan diri setelah memasuki ruanganku dan kupersilakan ia duduk menghadapku."Ada apa ya?" tanyaku padanya dengan ramah."Begini Bu, saya dari PT. Anugrah Reza Winata, datang kemari atas rekomendasi dari atasan perusahaan tersebut untuk menjadi supir pribadi Ibu." Ia menjelaskan padaku dengan sopan dan senyum yang mengembang sempurna."Oh, baik, apakah Anda sudah berpengalaman?"tanyaku lagi."Belum, Bu, namun saya akan mendedikasikan kemampuan dan waktu saya yang
Aku terkesima dengan kata-kata itu, perlahan namun pasti ada perih yang menjalari, ada hampa yang tiba-tiba kembali menyeruak dan melubangi sudut hati yang sesungguhnya telah rapuh ini. Kini, dua hati terluka, hatiku dan hatinya Handy, sedangkan suamiku? Dimana perasaannya?"Maafkan aku, Handy," desahku lemah."Tidak perlu minta maaf, karena cinta tak pernah salah, Nyonya. Dari awal berjumpa, aku memang telah jatuh hati dan tertarik pada Nyonya, jika ada yang patut disalahkan, maka itu aku."Ia melangkah pergi meninggalkanku yang terduduk lesu di kursi berpayung dekat kolam.Detik berikutnya kusadari aku telah membuat sebuah hati berdarah. Adilkah, aku menerima perlakuan dan perhatian cintanya, lalu mencampakkannya begitu saja. Apakah dia sudah pantas menjadi korban dari kegalauan dan keegoisanku? Apakah karena dendam dengan Mas Andri, lantas ak
**Setelah puas menangis dan meratap, aku memutuskan untuk ke luar, turun ke halaman depan untuk menikmati udara dan membuang sesak dalam dadaku.Ketika melewati kamar putraku, aku terketuk untuk memastikan keadaannya. Maka kubuka pintu kamar dan kutemukan dia sudah tertidur dengan pulasnya di ranjang. Aku sedikit lega, setidaknya ia tidak mendengar pertengkaran kami.Kususuri tiap sudut rumah dan mencari keberadaaan suamiku tadi, biasanya, jika ia sedang kesal, dia akan memilih untuk duduk di ruang baca sambil menyetel musik. Namun tak kutemukan dia di sudut manapun rumah ini.Kubuka pintu utama, lalu menyusuri halaman samping dan mini bar pribadi miliknya, semuanya kosong tidak ada tanda Mas Andri ada di sana, hanya gelap gulita saja.Tiba-tiba suara sandi pintu gerbang berbunyi dan sesaat kemudian pintu baja tersebut terbuka dan sesosok pemuda tampan yang selalu membuat dadaku bergemuruh hadir dari luar sana
Sesampainya di restoran kami segera masuk dan bergabung ke sebuah meja yang ternyata di sana sudah ada Elina asisten suamiku dan Andhara serta suaminya, Mas Ilham."Hai selamat malam," sapa Mas Andri."Hai, mari, silakan." mereka semua berdiri untuk menyambut kami."Mas ... Kukira kita akan menikmati makan malam keluarga," desisku pelan membisikinya."Ya, anggap aja ini makan malam keluarga, toh mereka sudah cukup dekat dengan kita," bisiknya."Maksudku, hanya kita bertiga," balasku."Sudah diam, mereka bisa tersinggung," tegasnya sambil menajamkan pandangan mata padaku agar aku tak lagi memprotes."Oh Tuhan, bahkan hendak makan pun, kami harus bertengkar dulu," keluhku dalam hati.Suasana makan malam berlangsung gembira dan diselingi canda dan tawa, obrolan tentang bisnis, proyek terbaru, perhiasan yang sedang trend atau tantang masa depan anak bergulir begitu saja di antara kami. Sesekali mas Ilham melontarkan can