Range Rover hitam milik Aldebaran melaju di atas jalan bebas hambatan. Guratan tegas di wajahnya yang tampan sedang tidak baik-baik saja. Pikiran-pikiran meresahkan mulai tumbuh lebat di kepalanya. Semenjak pertemuan kembali dengan Monika setelah tiga tahun, Aldebaran tidak bisa mengontrol diri. Dia bahkan mengabaikan panggilan masuk dari Firman yang sejak tadi berharap cemas di tempat lain. Aldebaran melewatkan syuting hari ini. Pikirannya kalut, dia butuh tempat untuk menenangkan diri.
Setelah membela jalanan lenggang ibukota, mobil mewah Aldebaran memasuki pelataran sebuah tempat yang tentunya masih sepi pengunjung, lalu menepikan mobilnya.
Aldebaran segera masuk ke dalam, dia mengedarkan pandangannya, lalu menuju tempat yang biasa ia duduki, di sudut ruangan yang tenang dan nyaman.
Seseorang datang dengan nampan berisi sebotol minuman dan gelas kaca. Sudah menjadi hal lumrah jika Aldebaran sudah datang berkunjung, tanpa diminta pemilik tempat itu langsung membawakan minuman berkadar alkohol yang biasa ia minum.
“Apa harus di jam seperti ini kau datang kemari? Ini bahkan masih pagi, Al,” ujar Dion.
Dion sahabat Aldebaran sejak zaman sekolah dulu. Dia mengelola sebuah bar mini yang terletak di pusat kota.
“Kau tahu aku tidak menerima pelanggan yang datang minum di jam begini. Bukankah kau ada syuting hari ini?!” Dion mencerca dengan tatapan tegas.
“Aku butuh pengalihan! Hari ini aku tidak bisa syuting.” Aldebaran menuangkan setengah gelas minuman berkadar alkohol itu lalu meneguk dengan cepat.
Lagi, Aldebaran menuangkan ke dalam gelas. Dia meneguk tanpa memedulikan tatapan menusuk dari Dion yang mulai hilang kesabaran.
Dion bahkan tidak bisa mencegahnya. Sekali Aldebaran meneguk minuman, dia tidak akan berhenti hingga merasakan sensasi panas yang menerjang tubuhnya.
Wajah Monika kembali memenuhi isi kepalanya. Dia menggelengkan kuat, menepis bayangan sialan itu yang terus mengusiknya.
“Apa lagi masalahmu sekarang?” Dion menahan tangan Aldebaran yang hendak menuangkan lagi minuman ke dalam gelas.
“Wanita jalang itu kembali!” Aldebaran menggeser tangan Dion dan meminum dengan satu kali tegukan.
“Maksudmu Monika?” Alis Dion menekuk tajam.
“Jangan sebut nama wanita itu! Aku bahkan tidak sudi mendengarnya!” Aldebaran mengeraskan suaranya.
Beberapa pengunjung yang datang sekedar untuk bersantai, menoleh kaget ke arahnya.
Dion melempar senyum canggung, merasa tidak enak dengan pengunjung lain.
“Kau jangan membuat keributan, Al. Lebih baik kau pulang saja, saat ini suasana hatimu sedang tidak baik. Apa perlu aku menelepon Firman untuk menjemputmu? Kau bahkan tidak bisa menyetir sendiri.”
Wajah Aldebaran mulai memanas, garis-garis merah mengitari iris oranye kecokelatan miliknya. Dia tidak mampu mengontrol diri, tatapannya liar—mengarah ke sembarang arah. Dion memegang tulang hidungnya, mengembuskan napas panjang.
“Kau sangat merepotkan, Al. Apa yang harus kulakukan dengan sikap keras kepalamu?!” Dion berusaha menahan tubuh Aldebaran yang hampir terjatuh.
Getaran ponsel mengalihkan atensi Aldebaran, dia melihat nama yang terpampang di layar menjelma menjadi bentuk tidak beraturan. Senyumnya tersungging, berusaha menggeser tombol berwarna hijau.
Dion menggelengkan kepala, melihat tingkah Aldebaran yang bahkan menjawab panggilan saja dia tidak bisa. Dion menarik ponsel dari tangan Aldebaran—menjawab panggilan.
“Kau di mana, Pak?”
Dion kembali melihat nama yang tertera di layar, “Asisten baru”.
“Apa dia memperkerjakan orang baru?” Dion berkata sendiri. Dia kembali menempelkan ponsel pada telinganya.
“Ini dengan siapa, ya?” tanya Dion.
“Ini Rara, apa ini bukan Pak Al?”
“Bukan, aku Dion temannya Al. Al sedang tidak bisa menerima telepon. Bisakah kau mengirim seseorang untuk menjemputnya pulang?”
“Aku tidak tahu harus mengirim siapa? Aku disuruh Pak Firman untuk meneleponnya.”
“Kalau begitu kau saja yang kemari menjemputnya!”
Tidak ada jawaban, Rara terdiam sejenak. Dia tampak berpikir. Dion melihat lagi layar ponsel Aldebaran, panggilan masih terhubung.
“Halo! Nona Rara? Apa kau mendengar suaraku?” Dion mengernyitkan alis. Memastikan.
Terdengar helaan napas dari seberang sana. Sepertinya, Rara tidak punya pilihan lain.
“Baik, Pak. Kirimkan alamatnya lewat pesan.”
Rara memutuskan panggilan. Dion segera mengirim alamat pada Rara dan menaruh kembali ponsel Aldebaran di atas meja.
Dion berdecak. “Kau benar-benar menyusahkanku, Al!”
Tak lama kemudian, Rara baru saja sampai. Dia memandang tempat yang sangat asing baginya.
“Apa ini tempatnya?” Rara melihat beberapa orang berdatangan dan pergi.
Rara mengambil langkah cepat dan masuk ke dalam. Dia menyapu pandangan. Beberapa pengunjung hanya menoleh sekilas ke arahnya, ada yang berbisik mengenai cara berpakaiannya berbanding terbalik dengan parasnya yang cantik—tidak ada kesan girly, sangat mencerminkan gadis tomboi.
Dion yang baru saja melayani pelanggan, segera menghampirinya.
“Apa kau Nona Rara?” tanyanya.
“Iya, Pak. Aku Rara, asistennya Pak Al. Di mana dia?”
Dion menatap Rara dari atas sampai bawah. Dia tidak habis pikir dengan isi kepala Aldebaran yang memperkerjakan gadis tomboi seperti Rara. Namun, dia tidak menampik, wajah Rara sangat cantik. Mungkin itu sebabnya Aldebaran menjadikan Rara asisten pribadinya.
“Pak!” Rara melambaikan lima jarinya di depan wajah Dion.
“Eh, maaf. Itu, Al ada di sebalah sana.”
Pandangan Rara mengikuti arah tunjuk Dion. Aldebaran sudah tertidur di atas meja. Rara mengulas senyum singkat sebelum melangkah pergi.
Rara mengendus bau alkohol yang menyengat. Dia menutup hidungnya, tidak tahan dengan aroma yang menelisik indera penciumannya. Rara menyentuh tangan Aldebaran, memastikan pria itu masih bergerak atau sudah tidak sadarkan diri.
“Bagaimana aku bisa membawanya? Tubuhnya lebih besar dibanding aku yang ramping ini. Menyusahkan saja pria ini!” gerutu Rara berusaha mengangkat tubuh Aldebaran.
Rara tidak kuat, Aldebaran terlalu berat. Rara menoleh ke arah Dion yang masih sibuk melayani pelanggan. Tempat ini sangat berkelas, ruangan yang didominasi dengan material kayu, rak minuman yang dibingkai dengan emas dan tembaga yang berkelas menambah kesan elegan. Rara mendongak melihat langit-langit berupa kaca bening, sungguh pemandangan yang baru dijumpai Rara pertama kali, suasana yang mewah dan maskulin sangat cocok untuk orang yang ingin memanjakan diri dengan alkohol, salah satunya pria arogan ini. Rara berdecak kesal. Dia melambaikan tangan pada Dion agar bisa membantunya.
“Maaf, tadi aku harus menangani beberapa pelanggan dulu. Aku akan membawanya ke mobil. Apa kau bisa menyetir?”
Rara mengangguk. Dion hanya memandang takjub. Apa yang tidak bisa dilakukan gadis ini. Aldebaran tidak salah memilih asisten. Tentu saja, Rara belajar mengendarai mobil dari Ivan setahun yang lalu. Rara ingin menjadi sopir angkut dulu, hanya saja usianya belum cukup umur untuk mendapatkan SIM. Saat dia sudah lancar mengendarai mobil, Nirmala malah melarangnya bekerja sebagai sopir angkut karena takut akan keselamatan Rara mengingat dia seorang gadis. Rara tidak bisa membantah, dia tidak ingin ibunya khawatir. Akhirnya, Rara hanya bekerja serabutan untuk membiayai uang sekolah dan kebutuhan hidup mereka.
Dion meregangkan tubuhnya, dia hampir kewalahan membawa Aldebaran.
“Kau membuat punggung dan bahuku sakit, Al,” keluh Dion setelah membaringkannya di kursi belakang.
“Apa kau bisa menanganinya sampai ke apartemen?”
“Aku sudah menghubungi Pak Firman untuk segera menuju apartemennya.”
“Baguslah! Hati-hati di jalan.” Dion menepuk bahu Rara yang hendak masuk ke mobil.
“Aku pergi, Pak.”
Dion melambaikan tangan, memandang mobil Aldebaran yang perlahan hilang dalam pandangan. []
Setelah menempuh perjalanan hampir tiga puluh menit, Rara memarkirkan mobil Aldebaran. Di sana, Firman dan dua orang pria sudah menunggu mereka. Firman dan dua pria itu memapah Aldebaran menuju lift. Rara menghela napas. Tugasnya sudah selesai, dia harus segera pulang. Rara lantas beranjak, dia menapak santai hingga mendekati ke arah gerbang. Mendadak, Rara menahan langkah, tangannya meraba saku celana mencari ponselnya. Tidak ada. Rara menepuk dahi, ponselnya tertinggal di dalam mobil Aldebaran. Rara menghentak kesal, dia harus kembali dan meminta kunci mobil untuk mengambil ponselnya. Rara menarik napas kesal merutuki dirinya yang suka pelupa. Dia melangkah cepat ketika pintu lift itu terbuka, belum juga menutup sempurna, seseorang mengganjal dengan satu tangan. Rara sedikit bergeser, memberi ruang kepada seorang wanita yang seusia dengan Aldebaran. Dia terlihat menawan, rambut cokelat kemerahan dibiarkan tergerai dengan ujung yang men
Seorang pria dengan kisaran umur empat puluhan tengah mondar-mandir di ruangan kerjanya. Tampak dari interior bangunan itu terlihat sangat mewah. Beberapa mahakarya luar biasa terpajang berjejer di sana. Seseorang mengetuk pintu, lalu masuk ke dalam. Lelaki muda berpakaian semi formal dengan sebuah amplop berwarna cokelat di tangannya. Dia menunduk hormat dan menaruh di atas meja. Pria itu membuka amplop dengan cepat. Tatapannya memandang serius pada sebuah foto yang diambil secara diam-diam. Foto itu yang diambil saat Rara duduk di halte beberapa hari lalu. Pria itu kembali melihat foto berikutnya. Alisnya menukik melihat sosok laki-laki yang terasa tidak asing bersama Rara. “Bukankah dia putra tunggal Mahesa Wijaya?” “Benar, Pak. Dia Aldebaran.” “Kenapa gadis ini bisa bersamanya?” “Gadis itu bekerja sebagai asisten pribadinya. Sebelumnya, gadis
Dua puluh menit kemudian, mobil Aldebaran memasuki halaman RAM Corp. Aldebaran turun lebih dulu, lalu diikuti Rara. Setelah hampir sebulan, Rara menginjakkan kakinya lagi di perusahaan besar itu. Matanya menjelajah ke setiap sudut. Jika bukan pria arogan itu, Rara ingin bekerja di perusahaan ini walau bukan di posisi karyawan, bagi Rara bisa bekerja seperti orang lain pada umumnya bagi Rara sangat bahagia. Namun, dia tidak menampik, gaji yang ditawarkan Aldebaran jauh lebih besar. Demi menabung untuk mengusahakan biaya operasi Nirmala, Rara tidak punya pilihan lain. “Pak Al, apa yang akan kulakukan di sini? Apa aku harus menunggu di lobi?” tanya Rara yang sejak tadi mengikuti langkah Aldebaran. Beberapa pasang mata memandangnya dengan raut sinis. Ada yang merasa iri melihat Rara berjalan sedekat itu dengan Aldebaran. Selain tampan, popularitas yang juga tak kalah menjulang menjadi idaman para wanita. Aldebaran hany
Rara memperhatikan sekeliling, dia menunjuk salah satu toko yang menjual pakaian wanita. Angga mengikuti langkah Rara dengan senyum yang terus mengembang. Angga kembali menahan langkah, melihat panggilan masuk di ponselnya. “Apa yang kaulakukan?!” sergah salah seorang pegawai perempuan dengan sinis. Dia tak lain adalah tetangga Rara yang memiliki sifat sombong. Amelia namanya. Rara seketika berhenti di tempat. Dia melihat batasnya berdiri dengan pintu, lalu menoleh ke sumber suara. “Amel! Kau bekerja di sini?” Rara mendekat ke arah Amel. Amel mengangkat lima jarinya ke udara. Dia menghentikan langkah Rara sebelum mencapai padanya. “Eh, ada apa, Mel?” “Tidak perlu dekat denganku! Kau harus tahu batas, orang sepertimu tidak bisa belanja pakaian mahal di sini,” cibir Amel menyunggingkan sudut bibir. “Kau masih saja
Aldebaran melakukan syuting untuk episode terakhirnya. Rara masih senantiasa menunggu bersama Firman. Kedua tangannya menopang dagu, mengulas kejadian semalam yang membuatnya pagi-pagi buta harus berada di tempat syuting. Sepuluh jam yang lalu .... Rara terkejut melihat Aldebaran berdiri di hadapannya. “Pak Al! Anda kenapa ada di sini?” Aldebaran menyodorkan ponsel milik Rara yang tertinggal di mobil saat datang ke perusahaan. Rara memeriksa kedua saku celananya. Benar saja, ponselnya tidak ada. Rara tersenyum kikuk lalu mengambil dari tangan Aldebaran. “Maaf, Pak. Aku tidak menyadari kalau ponsel itu tertinggal di mobil.” Aldebaran tidak menjawab, pandangannya mengarah pada paper bag yang dipegang Rara. “Datang ke lokasi syuting jam enam tepat. Aku tidak menerima alasan apa pun!” ucap Aldebaran
Rara tampak gelisah. Dia mondar-mandir sejak terbangun setelah dua hari pasca kecelakaan. Rara berkali-kali memastikan wajah itu di cermin. Dia mendesah pelan, masih tetap sama.Rara tidak habis pikir, bagaimana bisa dia berada dalam tubuh Aldebaran? Rara mengacak rambut Aldebaran dengan frustasi. Suara langkah kaki terdengar dari luar, Dion kembali dengan dokter pribadi Aldebaran. Said namanya.“Ini, Dok. Tolong periksa dia. Sejak sadar tadi, aku rasa ada yang salah dengan isi kepalanya,” ujar Dion.“Aku tidak apa-apa, kepalaku baik-baik saja. Masalahnya saat ini aku bukanlah ....”—Rara memegang dada bidang Aldebaran lalu pandangannya mengarah pada satu-satunya yang sangat menonjol—“tubuhku!”Dion mendesah. “Lihat tingkahnya kan, Dok. Ada yang salah dengan otaknya. Pasti amnesia!”“Aku tidak amnesia Pak Dion. Aku—““Kau memang harus diperiksa, Al. Sejak kapan kau memang
Rara menatap langit-langit kamar Aldebaran. Dia masih tidak percaya dengan apa yang dialaminya. Rara mengedarkan pandangannya, berharap semua ini adalah mimpi.Suara ketukan pintu mengalihkan atensi Rara. Rara menoleh ke arah pintu yang terbuka. Rara lantas bangkit dan mengganti posisi duduk dengan cepat. Rupanya Angga. Dia menghampiri Rara yang terlihat sedikit canggung. Wajar saja, Rara baru bertemu lagi dengan Angga setelah terakhir kali saat Angga mengantarnya pulang.“Bagaimana keadaanmu, Al?”“Aku baik, Kak. Kau tidak perlu khawatir,” jawab Rara berusaha terlihat santai.Angga menatap kaget. “Kau tidak hilang ingatan ‘kan? Kau tidak pernah memanggilku ‘kak’ sebelumnya.”Ya ampun, aku lupa kalau Pak Al tidak memanggilnya kakak, batin Rara.Rara menggaruk tengkuk yang tidak gatal. “Ak
Lima menit berlalu begitu saja. Rara dan Monika sama-sama terdiam. Tidak ada percakapan di antara keduanya. Sungguh pemandangan aneh bagi Dion melihat Aldebaran tidak seperti biasanya jika bertemu dengan Monika. Dia sesekali memerhatikan Aldebaran dari balik konter Bartender. Rara benar-benar terjebak. Dia bingung harus berkata apa, mengingat terakhir kali bertemu, sikap Aldebaran begitu marah pada Monika. Rara memperbaiki posisi duduknya. Dia menyandarkan punggung, sedikit mengangkat dagu layaknya bersikap arogan seperti yang dilakukan Aldebaran. “Sampai kapan kau akan diam saja seperti itu?” Rara membuka percakapan lebih dulu. Monika berdeham pelan, nyaris tak terdengar. Dia mengaitkan anak rambut di belakang telinga seraya memperbaiki posisi duduk. “Aku hanya tidak ingin mengacaukan suasana hatimu, Al. Terakhir kita bertemu, kau terlihat sangat marah pada
Rara telah bersiap dengan balutan gaun pengantin. Dia benar-benar tampak cantik dan anggun. Aldebaran melamarnya dengan cara tak terduga. Lamaran yang dilakukan Aldebaran sampai viral di berbagai media sosial. Akun i*******m milik Rara dan Aldebaran dibanjiri komentar positif dan ucapan selamat. Momen itu juga ditayangkan di TV nasional selama hampir seminggu. Bahkan beberapa pihak berbondong-bondong menawarkan endorse untuk pernikahan mereka. Hari pernikahan mereka juga sengaja ditayangkan secara langsung dari salah satu stasiun TV dengan rating tertinggi. Rara merasa gugup. Berkali-kali Rara menghela napas. Jantungnya seakan mencelos menunggu akad nikah mereka dimulai. "Kau sangat cantik, Ra!" Monika mendekat seraya memuji. Dia tersenyum tulus melihat dari pantulan cermin. "Terima kasih, Kak! Aku sangat gugup." "Al tidak kalah lebih gugup darimu. Dia masih terus berlatih mengucapkan ijab kabul agar tidak salah." Rara tersenyum h
Rara menggeliat, meregangkan otot-otot. Matanya mengerjap lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Di sinilah Rara, masih tidak percaya berada di kamar sendiri. Seperti mimpi yang panjang baginya.Rara menyibak selimut, merapikan tempat tidurnya. Rara bergegas keluar mendapati Nirmala dan Monika di ruang makan sedang mempersiapkan sarapan."Pagi adikku, Sayang!" Monika menyapa. Tidurmu nyenyak?"Rara mengangguk. "Sangat nyenyak. Bagaimana dengan Kak Monika?""Aku juga. Aku akan merasa nyaman jika tinggal lama di sini!""Tinggal lah selama mungkin. Aku sangat senang jika Kak Monika tinggal di sini!""Benarkah? Apa boleh, Bu?" Monika melirik ke arah Nirmala."Tentu saja. Kau tidak perlu meminta izin.""Kalau dengan ayah, juga boleh?" Monika melempar tatapan ke arah Rara.Nirmala diam sejenak. Rara dan Monika menunggu jawaban Nirmala. "Tergantung usahanya mendapatkan hati ibu kem
Aldebaran dan Rara merencanakan janji untuk bertemu setelah Rara melakukan pekerjaan Aldebaran. Mereka akan bersama-sama mencari wanita tua itu. Sebelumnya, Rara dan Aldebaran sudah mencari tahu kue yang dibeli Firman. Dari ucapan Firman, dia tidak membeli di tempat yang Aldebaran maksud dan penjual kue itu bukan wanita tua melainkan wanita muda. Saat ini, Rara sibuk melakukan syuting iklan terakhir sebelum akhirnya dia mengambil libur panjang untuk beberapa bulan ke depan. Aldebaran meminta Rara untuk tidak menerima tawaran karena dia ingin mengajak Rara berlibur membawa Nirmala yang sejak dulu ingin sekali pergi ke Korea. Nirmala sangat gemar menonton drama dari Negeri Gingseng itu. Aldebaran ingin memberikan kejutan sebagai Rara dengan mengajaknya ke sana. "Bu, apa yang bisa Rara bantu?" tanya Aldebaran setelah membereskan kamar Rara. Dia sudah memutuskan tinggal bersama Nirmala. "Rara bantu ibu pergi ke pasar. Ada beberapa bahan masakan yang harus dibeli.
Mahesa marah besar begitu mengetahui Ivanka adalah pelaku utama dari kecelakaan yang menimpa Aldebaran. Ivanka sudah dibekuk polisi seminggu yang lalu. Angga sendiri yang melaporkan ibunya setelah semua usaha Angga meminta ibunya menyerahkan diri diabaikan Ivanka. Angga tidak punya pilihan dan terpaksa membuat bukti untuk menjerat Ivanka.Pemberitaan mengenai kasus kecelakaan Aldebaran mengudara selama berhari-hari, para media terus saja membahas motif dan alasan Ivanka melakukan semua itu. Bahkan fans setia Aldebaran merutuki Ivanka dan meminta pihak kepolisian untuk menjatuhkan hukuman mati sebagai efek jera agar tidak ada lagi orang seperti Ivanka yang tega merencanakan pembunuhan pada anak dari suaminya sendiri.Saat ini Ivanka telah duduk di meja persidangan. Sementara Angga duduk di meja saksi memberikan pernyataan. Ivanka tidak bisa mengelak, semua barang bukti mengarah padanya. Kaki tangan Ivanka juga sudah mengakui perbuatan mereka.Ivanka akhirny
"Akhirnya kau datang juga, Al!" Aldebaran menatap tajam. “Berani sekali kau datang ke rumah ini! Bukankah aku sudah melarangmu untuk tidak menginjakkan kaki di sini?!” “Aku kemari karena mengambil barangku yang tertinggal!” Ivanka berjalan ke arah sofa panjang yang ukiran gagangnya terbuat dari kayu jati. Ivanka menjuntaikan sebuah liontin seraya tersenyum. “Kenapa itu ada padamu?!" suara Aldebaran merendah, terdengar penuh penekanan. "Duduklah! Setidaknya berbincanglah denganku. Kau selalu saja bersikap dingin dari semenjak pertama kali kita bertemu!" Ivanka berujar. Dia memberi isyarat menunjuk dengan dagu ke arah secangkir kopi yang sudah dia siapkan. Ivanka mengangkat cangkir menyeruput kopinya dengan nikmat. "Aku tidak meracunimu. Aku hanya ingin kita berbaikan dan bisa duduk bersama, berbincang hangat layaknya ibu dan anak." Aldebaran meneguk setengah kopi miliknya. "Kau puas? Sekarang kembalikan! Sejak
Sehari sebelum kecelakaan terjadi.... Ivanka mendatangi RAM Corp setelah berbelanja di butik langganannya. Jam makan siang sebentar lagi dan Ivanka ingin mengajak Mahesa makan di luar. Sudah lama dia tidak jalan berdua dengan Mahesa karena terlalu sibuk dengan bisnis. Ivanka mengumbar senyum pada beberapa karyawan yang berpapasan dengannya. Suara heels pigalle foliies 100 milik Ivanka mengetuk-ngetuk lantai marmer hingga terdengar menggema berirama. Ivanka menunjukkan keanggunan saat menaiki lift menuju lantai utama. Senyum Ivanka kembali terukir begitu sampai di depan meja sekretaris Mahesa. “Nindya, apa Pak Mahesa ada? Katakan aku ada di sini!” titah Ivanka membusungkan dada dengan elegan. “Ada, Bu! Pak Mahesa sedang berbincang dengan Pak Mudi.” “Aku ingin masuk!” “Maaf, Ibu! Pesan Pak Mahesa, dia tidak ingin di
Rara baru saja tiba di depan sebuah restoran. Rara meminta bertemu dengan David secara pribadi. Dia sengaja reservasi rooftop hotel agar pertemuan mereka tidak diganggu. David sudah datang lebih dulu. Rara mengeluarkan ponsel, membuka kotak masuk. Aldebaran : Tidak perlu mampir! Aku akan keluar dengan Angga. Rara : Aku akan bertemu dengan Pak David hari ini. Aldebaran : Kau sudah yakin dengan keputusanmu? Rara : Keputusanku sudah bulat! Rara menarik napas panjang, menguatkan batinnya, mengumpulkan keberanian untuk menanyakan langsung. Langkah Aldebaran beranjak masuk. Rara melihat David duduk memunggunginya. “Maaf membuat Anda lama menunggu!” ucap Aldebaran begitu duduk berseberangan di hadapan David. “Saya juga baru sampai!” jawabnya singkat. Aldebaran memanggil waitress mendekat. “Mau
Suara bel terdengar saat Aldebaran baru saja selesai sarapan. Aldebaran mendekat ke arah pintu, dia tahu itu pasti Rara. Rara sudah menelepon dan mengatakan akan mampir ke sana. Raut wajah Rara seketika berubah kaku saat mendapati Angga yang berdiri di hadapannya seraya mengulurkan buket bunga berukuran sedang. Aldebaran menerima dengan diam, detik selanjutnya dia menarik bibir membentuk senyum manis. “Kak Angga! Kenapa tidak mengabariku jika mau ke datang kemari?” “Aku ingin memberimu kejutan!” “Ayo, masuk!” Aldebaran menaruh bunga dalam vas. Kebetulan sekali dia baru membuang bunga yang sudah mengering beberapa saat lalu. “Hari ini aku mau mengajakmu kencan. Boleh luangkan waktumu seharian? Katakan pada Al untuk izin tidak bekerja!” “Kencan? Aku pikir besok.” “Aku tidak sabar melakukannya, kebetulan hari ini aku sengaja mengajukan libur bekerja sehari untuk mengaj
Malam sebelumnya.... “Pak!” sergah Rara saat mobil Aldebaran baru saja sampai di depan mansion Mahesa. “Ada apa?” “Pak David, boleh aku sendiri yang menemuinya?” Rara menoleh, ada duka dalam tatapannya. “Sebagai diriku?” Rara mengangguk. “Ucapan ibu tadi membuatku kembali berpikir....” “Apa yang kau pikirkan?” “Mengenai ayahku datang di hadapanku!” Suara Aldebaran bergetar, Rara menahan diri untuk tidak menangis. “Apa kau pikir dia ayahmu?” “Entahlah! Tapi aku yakin satu hal, ibu berbohong soal ayahku. Waktu itu, aku tidak sengaja mendengar ucapan ibu dengan bibi yang membicarakan soal ayahku. Aku hanya ingin memastikan!” Aldebaran menghela napas pelan. “Jika itu membuatmu tenang, lakukan saja. Aku tidak masalah.” “Terima kasih.” “Oh, ya, satu hal lagi. Aku ingin kau melakukan sesuatu!” “Melakukan apa?” Rara menahan pegangan pintu hendak ke