Seorang pria dengan kisaran umur empat puluhan tengah mondar-mandir di ruangan kerjanya. Tampak dari interior bangunan itu terlihat sangat mewah. Beberapa mahakarya luar biasa terpajang berjejer di sana.
Seseorang mengetuk pintu, lalu masuk ke dalam. Lelaki muda berpakaian semi formal dengan sebuah amplop berwarna cokelat di tangannya. Dia menunduk hormat dan menaruh di atas meja.
Pria itu membuka amplop dengan cepat. Tatapannya memandang serius pada sebuah foto yang diambil secara diam-diam. Foto itu yang diambil saat Rara duduk di halte beberapa hari lalu. Pria itu kembali melihat foto berikutnya. Alisnya menukik melihat sosok laki-laki yang terasa tidak asing bersama Rara.
“Bukankah dia putra tunggal Mahesa Wijaya?”
“Benar, Pak. Dia Aldebaran.”
“Kenapa gadis ini bisa bersamanya?”
“Gadis itu bekerja sebagai asisten pribadinya. Sebelumnya, gadis itu bekerja di perusahaan RAM Corp, tetapi Aldebaran memecatnya hanya karena kesalahan kecil.”
Tampak rahang pria itu mengetat. Dia meremas foto yang ada di tangannya.
“Masih ada satu lagi, Pak!” Lelaki muda itu berseru seraya menunjuk satu foto yang tersisa dalam amplop.
Pria itu mengambil satu foto yang lain. Kali ini dia begitu terkejut melihat gambar dalam foto itu.
“Ini?” Matanya menunjukkan kemarahan. Pria itu menggebrak meja.
“Awasi terus gadis itu, laporkan setiap gerak-geriknya. Bila perlu anak Mahesa itu juga. Kau boleh pergi!”
Pria itu segera melangkah keluar dengan selembar foto yang ia genggam erat. Langkahnya berhenti di ruang tamu, ia mengedarkan pandangan ke segala arah. Desain interior ruangan identik dengan kemegahan yang didominasi warna putih dan emas.
Dari kejauhan langkah sepatu terdengar dari balik salah satu ruangan. Pandangan pria itu terkunci pada sosok yang ia cari, segera dia mendekat dengan tatapan penuh kemarahan.
PRAKS!
Tamparan keras menyapu pipi mulus itu dan meninggalkan jejak merah muda.
“What's going on, Dad?” Dia meringis memegang pipinya yang terasa perih.
“Ini apa?” Pria itu menunjukkan fotonya bersama Aldebaran. Wanita itu adalah Monika, anak dari David Bailey—pengusaha terkaya sekaligus pemilik perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara dan beberapa perusahaan properti lainnya.
“Apa kau masih menjalani hubungan dengan pria itu? Bukankah ayah sudah melarangmu?!” David meninggikan suara. Tatapannya menyorot murka.
“Ya, hubungan diam-diam selama dua tahun lalu. But we broke up because of you, Dad!” Monika menahan tangisannya seraya menarik foto dari tangan David. “Kali ini Monik akan memperbaiki hubungan itu!”
“Kau tidak boleh melakukan itu!” Suara bariton David menahan langkah Monika.
Monika menyusut gumpalan air yang menggenang di sudut mata. “Sorry, Dad. Monik tetap akan melakukannya!”
“Kau sudah bertunangan!” David kembali mengeraskan suaranya.
Tangan Monika mengepal. Dia menghela napas berat. Monika tidak ingin berdebat, suasana hatinya sedang tidak baik. Dia mengambil langkah cepat masuk ke dalam lift yang langsung menuju lantai tiga di mana kamarnya berada.
David terlihat marah, dia tidak bisa membiarkan hubungan Monika dengan anak teman relasi bisnisnya kandas, itu akan berpengaruh pada perusahaannya.
David memanggil seorang pria bertubuh kekar yang berjaga di depan pintu utama dengan menggerakkan jari telunjuk.
“Pastikan Monika tetap berada di rumah sampai aku kembali!”
“Baik, Tuan.” Pria itu menjawab santun.
David mengeratkan dasinya lalu beranjak ke luar.
***
Rara tengah sibuk mengatur pakaian yang akan dipakai Aldebaran untuk pemotretan. Syutingnya baru saja selesai. Saat ini mereka berada di salah satu brand fashion ternama. Aldebaran diminta menjadi model untuk pakaian terbaru mereka.
Rara hampir kewalahan mengerjakan sendirian. Aldebaran terus saja memerintahkannya melakukan berbagai hal. Rara juga harus menyiapkan makan siang. Pria arogan itu tipe pemilih dalam makanan. Tidak boleh terlalu berminyak, tingkat level satu untuk rasa pedas dan tidak boleh pakai bawang. Aldebaran benci dengan bau bawang.
Rara menarik napas sejenak sebelum membawakan jus buah jambu yang baru saja dia beli. Rara mengangguk mantap ketika memastikan tidak ada yang kurang.
Tak jauh dari posisinya, Aldebaran sedang melakukan sesi pemotretan. Rara hanya memandang dari kejauhan. Tiba-tiba, ponsel Rara berdering. Nama Ivan tertera di layar.
“Halo, Van!”
“Lagi di mana, Ra?” tanya Ivan dari seberang sana.
“Aku lagi ....” Rara menahan kalimatnya.
“Nona Rara, kau dipanggil!” Salah seorang perempuan menepuk bahu Rara dan mengarahkan jari telunjuk ke arah Aldebaran.
Rara mengangguk pelan. Perempuan itu lantas pergi. Rara melanjutkan lagi pembicaraannya lewat telepon.
“Van, maaf, ya. Aku akan meneleponmu lagi.” Rara memutuskan panggilan dan berlari kecil menemui Aldebaran.
“Pak Al panggil aku?”
“Sudah kausiapkan makananku?” tanyanya dengan raut datar.
“Sudah, Pak!” sahut Rara cepat.
Rara membiarkan Aldebaran melangkah lebih dulu. Dia harus akui, Rara sangat rapi dalam menyajikannya. Aldebaran mengambil tempat untuk duduk.
“Tidak sia-sia aku mengeluarkan uang untuk memperkerjakanmu!”
Rara menarik sudut bibirnya. Dia tidak ingin menanggapi. Jika melihat kenyataannya, Aldebaran yang membutuhkan Rara, dia sengaja memecat Rara di perusahaan hanya karena tidak suka ada orang yang berani menentangnya. Rara baru tahu kemarin saat tidak sengaja mendengar percakapan dua asisten Firman.
Saat itu Rara baru saja keluar dari toilet.
“Aku salut sama asisten baru Pak Al. Dia bisa tahan dengan sikapnya yang arogan. Beberapa orang yang pernah bekerja dengannya memilih berhenti karena tidak tahan dengan sikapnya,” jelas Fandi pria bertubuh kurus dengan tinggi sama dengan Ivan.
“Kalau itu aku, sudah pasti menyerah lebih dulu!” sahut Riko, pria yang tubuhnya sedikit lebih berisi.
Rara kembali membuyarkan lamunannya. Aldebaran baru saja selesai makan.
“Pak, apa aku boleh pulang lebih awal? Hari ini aku mau menemui kekasihku.”
Aldebaran mengangkat pandangan dari ponsel, beralih menatap Rara lalu menoleh ke arah Firman.
“Apa jadwal lainnya?”
“Tidak ada. Tapi hari ini rapat dewan direksi dan kau diminta Pak Mahesa untuk datang ke perusahaan,” jelas Firman.
“Pak Al belum menjawab pertanyaanku,” timpal Rara kemudian.
Aldebaran menatap dingin, dia bangkit dari duduknya dan berjalan melewati Rara begitu saja. Rara menghela napas. Pria arogan itu tidak mengizinkannya pulang. Padahal dia tidak perlu ikut ke perusahaan.
Rara menyeret langkah malas menyusul Aldebaran. Apa dia harus menunggu pria arogan itu sampai rapat selesai? Benar-benar mengesalkan. Rara membuka pintu di belakang kemudi. Dia duduk di sebelah Aldebaran.
“Jangan pasang tampang seperti itu ketika sampai di perusahaan,” katanya tegas.
Rara memperbaiki posisi duduk. Dia menarik otot wajahnya menampakkan sedikit senyuman.
Aldebaran memasang earphone, lalu memejamkan mata. Itu hal yang selalu dia lakukan setiap berada dalam mobil.
Pandangan Rara ke arah luar, dia memandang rembulan yang bersinar terang di singgasananya, di kelilingi perhiasan jubah malam yang meneduhkan netra. Rara menurunkan sedikit kaca mobil, senyumnya tersimpul indah—membiarkan angin malam menerpa wajahnya. Sungguh menyegarkan.
"Naikan kacanya! Aku tidak suka ada polusi yang masuk. Bukankah pendingin mobil ini jauh lebih baik?!" sentak Aldebaran masih dengan mata terpejam.
Rara hanya bisa mendengus kesal seraya menaikan kembali kaca mobil. []
Dua puluh menit kemudian, mobil Aldebaran memasuki halaman RAM Corp. Aldebaran turun lebih dulu, lalu diikuti Rara. Setelah hampir sebulan, Rara menginjakkan kakinya lagi di perusahaan besar itu. Matanya menjelajah ke setiap sudut. Jika bukan pria arogan itu, Rara ingin bekerja di perusahaan ini walau bukan di posisi karyawan, bagi Rara bisa bekerja seperti orang lain pada umumnya bagi Rara sangat bahagia. Namun, dia tidak menampik, gaji yang ditawarkan Aldebaran jauh lebih besar. Demi menabung untuk mengusahakan biaya operasi Nirmala, Rara tidak punya pilihan lain. “Pak Al, apa yang akan kulakukan di sini? Apa aku harus menunggu di lobi?” tanya Rara yang sejak tadi mengikuti langkah Aldebaran. Beberapa pasang mata memandangnya dengan raut sinis. Ada yang merasa iri melihat Rara berjalan sedekat itu dengan Aldebaran. Selain tampan, popularitas yang juga tak kalah menjulang menjadi idaman para wanita. Aldebaran hany
Rara memperhatikan sekeliling, dia menunjuk salah satu toko yang menjual pakaian wanita. Angga mengikuti langkah Rara dengan senyum yang terus mengembang. Angga kembali menahan langkah, melihat panggilan masuk di ponselnya. “Apa yang kaulakukan?!” sergah salah seorang pegawai perempuan dengan sinis. Dia tak lain adalah tetangga Rara yang memiliki sifat sombong. Amelia namanya. Rara seketika berhenti di tempat. Dia melihat batasnya berdiri dengan pintu, lalu menoleh ke sumber suara. “Amel! Kau bekerja di sini?” Rara mendekat ke arah Amel. Amel mengangkat lima jarinya ke udara. Dia menghentikan langkah Rara sebelum mencapai padanya. “Eh, ada apa, Mel?” “Tidak perlu dekat denganku! Kau harus tahu batas, orang sepertimu tidak bisa belanja pakaian mahal di sini,” cibir Amel menyunggingkan sudut bibir. “Kau masih saja
Aldebaran melakukan syuting untuk episode terakhirnya. Rara masih senantiasa menunggu bersama Firman. Kedua tangannya menopang dagu, mengulas kejadian semalam yang membuatnya pagi-pagi buta harus berada di tempat syuting. Sepuluh jam yang lalu .... Rara terkejut melihat Aldebaran berdiri di hadapannya. “Pak Al! Anda kenapa ada di sini?” Aldebaran menyodorkan ponsel milik Rara yang tertinggal di mobil saat datang ke perusahaan. Rara memeriksa kedua saku celananya. Benar saja, ponselnya tidak ada. Rara tersenyum kikuk lalu mengambil dari tangan Aldebaran. “Maaf, Pak. Aku tidak menyadari kalau ponsel itu tertinggal di mobil.” Aldebaran tidak menjawab, pandangannya mengarah pada paper bag yang dipegang Rara. “Datang ke lokasi syuting jam enam tepat. Aku tidak menerima alasan apa pun!” ucap Aldebaran
Rara tampak gelisah. Dia mondar-mandir sejak terbangun setelah dua hari pasca kecelakaan. Rara berkali-kali memastikan wajah itu di cermin. Dia mendesah pelan, masih tetap sama.Rara tidak habis pikir, bagaimana bisa dia berada dalam tubuh Aldebaran? Rara mengacak rambut Aldebaran dengan frustasi. Suara langkah kaki terdengar dari luar, Dion kembali dengan dokter pribadi Aldebaran. Said namanya.“Ini, Dok. Tolong periksa dia. Sejak sadar tadi, aku rasa ada yang salah dengan isi kepalanya,” ujar Dion.“Aku tidak apa-apa, kepalaku baik-baik saja. Masalahnya saat ini aku bukanlah ....”—Rara memegang dada bidang Aldebaran lalu pandangannya mengarah pada satu-satunya yang sangat menonjol—“tubuhku!”Dion mendesah. “Lihat tingkahnya kan, Dok. Ada yang salah dengan otaknya. Pasti amnesia!”“Aku tidak amnesia Pak Dion. Aku—““Kau memang harus diperiksa, Al. Sejak kapan kau memang
Rara menatap langit-langit kamar Aldebaran. Dia masih tidak percaya dengan apa yang dialaminya. Rara mengedarkan pandangannya, berharap semua ini adalah mimpi.Suara ketukan pintu mengalihkan atensi Rara. Rara menoleh ke arah pintu yang terbuka. Rara lantas bangkit dan mengganti posisi duduk dengan cepat. Rupanya Angga. Dia menghampiri Rara yang terlihat sedikit canggung. Wajar saja, Rara baru bertemu lagi dengan Angga setelah terakhir kali saat Angga mengantarnya pulang.“Bagaimana keadaanmu, Al?”“Aku baik, Kak. Kau tidak perlu khawatir,” jawab Rara berusaha terlihat santai.Angga menatap kaget. “Kau tidak hilang ingatan ‘kan? Kau tidak pernah memanggilku ‘kak’ sebelumnya.”Ya ampun, aku lupa kalau Pak Al tidak memanggilnya kakak, batin Rara.Rara menggaruk tengkuk yang tidak gatal. “Ak
Lima menit berlalu begitu saja. Rara dan Monika sama-sama terdiam. Tidak ada percakapan di antara keduanya. Sungguh pemandangan aneh bagi Dion melihat Aldebaran tidak seperti biasanya jika bertemu dengan Monika. Dia sesekali memerhatikan Aldebaran dari balik konter Bartender. Rara benar-benar terjebak. Dia bingung harus berkata apa, mengingat terakhir kali bertemu, sikap Aldebaran begitu marah pada Monika. Rara memperbaiki posisi duduknya. Dia menyandarkan punggung, sedikit mengangkat dagu layaknya bersikap arogan seperti yang dilakukan Aldebaran. “Sampai kapan kau akan diam saja seperti itu?” Rara membuka percakapan lebih dulu. Monika berdeham pelan, nyaris tak terdengar. Dia mengaitkan anak rambut di belakang telinga seraya memperbaiki posisi duduk. “Aku hanya tidak ingin mengacaukan suasana hatimu, Al. Terakhir kita bertemu, kau terlihat sangat marah pada
Rara masih tidak percaya dengan perempuan yang berdiri di hadapannya dan Dion. Rara menatap Dion dengan penuh tanda tanya. Mengapa Dion bisa mengenal Amel, tetangga Rara yang sombong itu?! Pakaiannya juga sangat minim, menampakkan belahan dada yang begitu mengundang hasrat. Amel meletakan tumpuan tangan di pundak Aldebaran. Membisikan sesuatu yang hanya bisa didengar Rara. Rara menoleh kaget, tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan Amel. Rara tidak menolak, mengingat dia adalah tetangga yang baik dia akan diam dulu kali ini. “Bersenang-senanglah, Al!” Dion berseru menyikut lengan Aldebaran. Amel menyunggingkan senyum melihat Aldebaran mengikutinya. Amel membawa Aldebaran masuk ke dalam salah satu ruangan khusus. Rara mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ruangan itu cukup luas, dilengkapi beberapa fasilitas pendukung. Ada botol minuman
Rara memarkirkan mobil Aldebaran di lahan parkir Rumah Sakit. Hari ini dia mengunjungi ibunya sekaligus mengecek keadaan perkembangan tubuhnya. Rara menggunakan topi dan masker untuk menutupi wajah Aldebaran. Rara berjalan menyusuri koridor Rumah Sakit dengan pandangan awas, khawatir ada yang mengenal Aldebaran dan dicerca pertanyaan beragam apalagi jika sampai ke telinga media. Di tangan kanan, dia memegang bingkisan buah yang sengaja dibeli untuk ibunya. Nirmala sudah seminggu melewati masa pemulihan setelah pasca operasi transplantasi jantung. Rara sangat bersyukur, Tuhan memberikan dia kesempatan untuk menyembuhkan ibunya melalui Aldebaran. Dia tidak akan pernah melupakan janji yang sudah dia ucapkan sebelumnya. Binar wajah yang ditunjukkan Rara tampak bahagia sepanjang tapak kaki menuju ruangan Nirmala. Mendadak, Rara menahan langkah. Dia melihat orang tak dikenal berdiri di depan pintu kamar rawat Nirmala. Rara menyembunyikan diri
Rara telah bersiap dengan balutan gaun pengantin. Dia benar-benar tampak cantik dan anggun. Aldebaran melamarnya dengan cara tak terduga. Lamaran yang dilakukan Aldebaran sampai viral di berbagai media sosial. Akun i*******m milik Rara dan Aldebaran dibanjiri komentar positif dan ucapan selamat. Momen itu juga ditayangkan di TV nasional selama hampir seminggu. Bahkan beberapa pihak berbondong-bondong menawarkan endorse untuk pernikahan mereka. Hari pernikahan mereka juga sengaja ditayangkan secara langsung dari salah satu stasiun TV dengan rating tertinggi. Rara merasa gugup. Berkali-kali Rara menghela napas. Jantungnya seakan mencelos menunggu akad nikah mereka dimulai. "Kau sangat cantik, Ra!" Monika mendekat seraya memuji. Dia tersenyum tulus melihat dari pantulan cermin. "Terima kasih, Kak! Aku sangat gugup." "Al tidak kalah lebih gugup darimu. Dia masih terus berlatih mengucapkan ijab kabul agar tidak salah." Rara tersenyum h
Rara menggeliat, meregangkan otot-otot. Matanya mengerjap lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Di sinilah Rara, masih tidak percaya berada di kamar sendiri. Seperti mimpi yang panjang baginya.Rara menyibak selimut, merapikan tempat tidurnya. Rara bergegas keluar mendapati Nirmala dan Monika di ruang makan sedang mempersiapkan sarapan."Pagi adikku, Sayang!" Monika menyapa. Tidurmu nyenyak?"Rara mengangguk. "Sangat nyenyak. Bagaimana dengan Kak Monika?""Aku juga. Aku akan merasa nyaman jika tinggal lama di sini!""Tinggal lah selama mungkin. Aku sangat senang jika Kak Monika tinggal di sini!""Benarkah? Apa boleh, Bu?" Monika melirik ke arah Nirmala."Tentu saja. Kau tidak perlu meminta izin.""Kalau dengan ayah, juga boleh?" Monika melempar tatapan ke arah Rara.Nirmala diam sejenak. Rara dan Monika menunggu jawaban Nirmala. "Tergantung usahanya mendapatkan hati ibu kem
Aldebaran dan Rara merencanakan janji untuk bertemu setelah Rara melakukan pekerjaan Aldebaran. Mereka akan bersama-sama mencari wanita tua itu. Sebelumnya, Rara dan Aldebaran sudah mencari tahu kue yang dibeli Firman. Dari ucapan Firman, dia tidak membeli di tempat yang Aldebaran maksud dan penjual kue itu bukan wanita tua melainkan wanita muda. Saat ini, Rara sibuk melakukan syuting iklan terakhir sebelum akhirnya dia mengambil libur panjang untuk beberapa bulan ke depan. Aldebaran meminta Rara untuk tidak menerima tawaran karena dia ingin mengajak Rara berlibur membawa Nirmala yang sejak dulu ingin sekali pergi ke Korea. Nirmala sangat gemar menonton drama dari Negeri Gingseng itu. Aldebaran ingin memberikan kejutan sebagai Rara dengan mengajaknya ke sana. "Bu, apa yang bisa Rara bantu?" tanya Aldebaran setelah membereskan kamar Rara. Dia sudah memutuskan tinggal bersama Nirmala. "Rara bantu ibu pergi ke pasar. Ada beberapa bahan masakan yang harus dibeli.
Mahesa marah besar begitu mengetahui Ivanka adalah pelaku utama dari kecelakaan yang menimpa Aldebaran. Ivanka sudah dibekuk polisi seminggu yang lalu. Angga sendiri yang melaporkan ibunya setelah semua usaha Angga meminta ibunya menyerahkan diri diabaikan Ivanka. Angga tidak punya pilihan dan terpaksa membuat bukti untuk menjerat Ivanka.Pemberitaan mengenai kasus kecelakaan Aldebaran mengudara selama berhari-hari, para media terus saja membahas motif dan alasan Ivanka melakukan semua itu. Bahkan fans setia Aldebaran merutuki Ivanka dan meminta pihak kepolisian untuk menjatuhkan hukuman mati sebagai efek jera agar tidak ada lagi orang seperti Ivanka yang tega merencanakan pembunuhan pada anak dari suaminya sendiri.Saat ini Ivanka telah duduk di meja persidangan. Sementara Angga duduk di meja saksi memberikan pernyataan. Ivanka tidak bisa mengelak, semua barang bukti mengarah padanya. Kaki tangan Ivanka juga sudah mengakui perbuatan mereka.Ivanka akhirny
"Akhirnya kau datang juga, Al!" Aldebaran menatap tajam. “Berani sekali kau datang ke rumah ini! Bukankah aku sudah melarangmu untuk tidak menginjakkan kaki di sini?!” “Aku kemari karena mengambil barangku yang tertinggal!” Ivanka berjalan ke arah sofa panjang yang ukiran gagangnya terbuat dari kayu jati. Ivanka menjuntaikan sebuah liontin seraya tersenyum. “Kenapa itu ada padamu?!" suara Aldebaran merendah, terdengar penuh penekanan. "Duduklah! Setidaknya berbincanglah denganku. Kau selalu saja bersikap dingin dari semenjak pertama kali kita bertemu!" Ivanka berujar. Dia memberi isyarat menunjuk dengan dagu ke arah secangkir kopi yang sudah dia siapkan. Ivanka mengangkat cangkir menyeruput kopinya dengan nikmat. "Aku tidak meracunimu. Aku hanya ingin kita berbaikan dan bisa duduk bersama, berbincang hangat layaknya ibu dan anak." Aldebaran meneguk setengah kopi miliknya. "Kau puas? Sekarang kembalikan! Sejak
Sehari sebelum kecelakaan terjadi.... Ivanka mendatangi RAM Corp setelah berbelanja di butik langganannya. Jam makan siang sebentar lagi dan Ivanka ingin mengajak Mahesa makan di luar. Sudah lama dia tidak jalan berdua dengan Mahesa karena terlalu sibuk dengan bisnis. Ivanka mengumbar senyum pada beberapa karyawan yang berpapasan dengannya. Suara heels pigalle foliies 100 milik Ivanka mengetuk-ngetuk lantai marmer hingga terdengar menggema berirama. Ivanka menunjukkan keanggunan saat menaiki lift menuju lantai utama. Senyum Ivanka kembali terukir begitu sampai di depan meja sekretaris Mahesa. “Nindya, apa Pak Mahesa ada? Katakan aku ada di sini!” titah Ivanka membusungkan dada dengan elegan. “Ada, Bu! Pak Mahesa sedang berbincang dengan Pak Mudi.” “Aku ingin masuk!” “Maaf, Ibu! Pesan Pak Mahesa, dia tidak ingin di
Rara baru saja tiba di depan sebuah restoran. Rara meminta bertemu dengan David secara pribadi. Dia sengaja reservasi rooftop hotel agar pertemuan mereka tidak diganggu. David sudah datang lebih dulu. Rara mengeluarkan ponsel, membuka kotak masuk. Aldebaran : Tidak perlu mampir! Aku akan keluar dengan Angga. Rara : Aku akan bertemu dengan Pak David hari ini. Aldebaran : Kau sudah yakin dengan keputusanmu? Rara : Keputusanku sudah bulat! Rara menarik napas panjang, menguatkan batinnya, mengumpulkan keberanian untuk menanyakan langsung. Langkah Aldebaran beranjak masuk. Rara melihat David duduk memunggunginya. “Maaf membuat Anda lama menunggu!” ucap Aldebaran begitu duduk berseberangan di hadapan David. “Saya juga baru sampai!” jawabnya singkat. Aldebaran memanggil waitress mendekat. “Mau
Suara bel terdengar saat Aldebaran baru saja selesai sarapan. Aldebaran mendekat ke arah pintu, dia tahu itu pasti Rara. Rara sudah menelepon dan mengatakan akan mampir ke sana. Raut wajah Rara seketika berubah kaku saat mendapati Angga yang berdiri di hadapannya seraya mengulurkan buket bunga berukuran sedang. Aldebaran menerima dengan diam, detik selanjutnya dia menarik bibir membentuk senyum manis. “Kak Angga! Kenapa tidak mengabariku jika mau ke datang kemari?” “Aku ingin memberimu kejutan!” “Ayo, masuk!” Aldebaran menaruh bunga dalam vas. Kebetulan sekali dia baru membuang bunga yang sudah mengering beberapa saat lalu. “Hari ini aku mau mengajakmu kencan. Boleh luangkan waktumu seharian? Katakan pada Al untuk izin tidak bekerja!” “Kencan? Aku pikir besok.” “Aku tidak sabar melakukannya, kebetulan hari ini aku sengaja mengajukan libur bekerja sehari untuk mengaj
Malam sebelumnya.... “Pak!” sergah Rara saat mobil Aldebaran baru saja sampai di depan mansion Mahesa. “Ada apa?” “Pak David, boleh aku sendiri yang menemuinya?” Rara menoleh, ada duka dalam tatapannya. “Sebagai diriku?” Rara mengangguk. “Ucapan ibu tadi membuatku kembali berpikir....” “Apa yang kau pikirkan?” “Mengenai ayahku datang di hadapanku!” Suara Aldebaran bergetar, Rara menahan diri untuk tidak menangis. “Apa kau pikir dia ayahmu?” “Entahlah! Tapi aku yakin satu hal, ibu berbohong soal ayahku. Waktu itu, aku tidak sengaja mendengar ucapan ibu dengan bibi yang membicarakan soal ayahku. Aku hanya ingin memastikan!” Aldebaran menghela napas pelan. “Jika itu membuatmu tenang, lakukan saja. Aku tidak masalah.” “Terima kasih.” “Oh, ya, satu hal lagi. Aku ingin kau melakukan sesuatu!” “Melakukan apa?” Rara menahan pegangan pintu hendak ke