Rara tampak gelisah. Dia mondar-mandir sejak terbangun setelah dua hari pasca kecelakaan. Rara berkali-kali memastikan wajah itu di cermin. Dia mendesah pelan, masih tetap sama.
Rara tidak habis pikir, bagaimana bisa dia berada dalam tubuh Aldebaran? Rara mengacak rambut Aldebaran dengan frustasi. Suara langkah kaki terdengar dari luar, Dion kembali dengan dokter pribadi Aldebaran. Said namanya.
“Ini, Dok. Tolong periksa dia. Sejak sadar tadi, aku rasa ada yang salah dengan isi kepalanya,” ujar Dion.
“Aku tidak apa-apa, kepalaku baik-baik saja. Masalahnya saat ini aku bukanlah ....”—Rara memegang dada bidang Aldebaran lalu pandangannya mengarah pada satu-satunya yang sangat menonjol—“tubuhku!”
Dion mendesah. “Lihat tingkahnya kan, Dok. Ada yang salah dengan otaknya. Pasti amnesia!”
“Aku tidak amnesia Pak Dion. Aku—“
“Kau memang harus diperiksa, Al. Sejak kapan kau memanggilku dengan sebutan ‘pak’? Tolong periksa dia, Dok.”
Rara benar-benar tidak tahan ingin mengatakan kalau dia bukan Aldebaran. Rara menatap kesal melihat pantulan wajah Aldebaran di cermin.
Dion membawa Rara duduk. Dokter Said segera memeriksa keadaannya.
“Sepertinya tidak ada yang salah dengan keadaannya. Mungkin saja pengaruh dari benturan keras pada kepalanya sehingga dia bisa saja mengalami gangguan daya ingat. Saya akan memberikan resep obat, jika tidak membaik sebaiknya periksakan di Rumah Sakit,” terangnya.
“Tidak perlu! Aku tidak membutuhkan pemeriksaan dan obat, Dok. Mungkin itu pengaruh kecelakaan,” sahut Rara. Dia tidak bisa berpikir jernih untuk saat ini. Sebaiknya menghindar dari masalah untuk sementara, sampai dia tahu apa sebenarnya yang terjadi.
“Tetapi kau tetap harus diperiksa, Al!” desak Dion merasa cemas.
“Tidak masalah Pak Dion. Pak Al baru saja sadar jadi biarkan dia beristirahat saja!” timpal Dokter Said.
Dion lagi-lagi menghela napas, dia mengantar Dokter Said keluar.
Rara memijat pangkal hidung. Dia harus keluar dari rumah Aldebaran agar bisa menemukan jawaban atas masalah ini. Rara melihat ke sekeliling, kamar Aldebaran sangat luas dan mewah. Dia harus berganti pakaian untuk bisa keluar.
Rara membuka lemari pakaiannya. Matanya berbinar takjub melihat pakaian bermerek dan mahal yang tersusun rapi. Pria arogan itu benar-benar perfeksionis. Berbagai setelan jas juga outfit simple membuat Rara bingung harus memakai yang mana.
Rara mengingat model pakaian yang biasa dipakai Aldebaran lalu mengeluarkan dari lemari. Rara mematut dirinya di cermin. Dia merasa ragu harus melepas pakaian yang dikenakan, secara otomatis Rara akan melihat setiap lekuk tubuh indah milik Aldebaran.
Rara menjauh dari cermin, dia perlahan melepas pakaian dengan hati-hati. Tiba-tiba, Dion mendadak muncul membuat Rara terlonjak.
“Apa yang kaulakukan?!” teriak Rara.
Dion menatap bingung, melihat Aldebaran menyilangkan kedua tangan menutup bagian dada.
“Al, apa yang kaulakukan?” Dion bertanya balik. Masih tidak habis pikir dengan tingkah Aldebaran yang tiba-tiba berubah.
Rara menurunkan tangannya. Sikapnya tadi refleks sebagai naluri seorang perempuan yang mencoba melindungi diri. Rara lupa saat ini dia berada dalam tubuh Aldebaran. Sepertinya, Rara harus berusaha menyesuaikan diri jika tidak ingin berakhir di rumah sakit jiwa.
“Bukan apa-apa Pak eh maksud aku Dion!” Rara menegaskan suaranya.
“Ada polisi mencarimu di bawah. Mereka ingin menyampaikan sesuatu,” kata Dion.
“Aku akan turun setelah mengganti pakaian. Kau temani mereka dulu.”
Dion mengangguk pelan dan beranjak keluar. Rara menarik napas lega. Dia harus bisa bersikap sebagai Aldebaran.
Rara menapak pelan sambil mengedarkan pandangannya. Rumah Aldebaran sangat besar. Matanya menelisik setiap sudut dari koridor yang panjang. Kamar Aldebaran terletak di paling ujung koridor, jarak antara ruangan lainnya dengan kamar Aldebaran sedikit jauh. Apalagi dia tipe orang yang suka dengan ketenangan. Dari belokan, Rara melihat sebuah pintu berukiran mewah. Sepertinya itu salah satu kamar penghuni rumah. Ada juga berbagai lukisan mahal yang terpajang rapi.
Rara menuruni tangga, di sana ada dua orang petugas polisi yang sudah menunggu bersama Dion.
“Selamat pagi, Pak Al. Bagaimana keadaan Anda?” tanya salah seorang polisi bernama Anton.
“Baik, Pak. Silakan duduk!”
“Begini Pak Al, kedatangan kami kemari ingin menyampaikan mengenai kecelakaan yang menimpa Pak Al dan seorang gadis bernama Jihan Azzahra,” ucap Pak Anton.
Rara menarik napas berat. Dia bahkan tidak memikirkan bagaimana keadaan tubuhnya di sana.
“Apa ada sesuatu mengenai kejadian itu? Saat itu mobil melaju kencang dan Pak ....”
Lagi-lagi aku hampir keceplosan. Aku harus bersikap sebagai Aldebaran, batin Rara.
Rara berdeham. “Maksudnya mobil itu di luar kendali. Rara tiba-tiba saja berlari dan ....” Rara kembali menahan ucapannya melihat tatapan Dion dengan penuh selidik dilayangkan padanya.
“Apa Anda tidak mengingat kondisi saat itu?”
“Entahlah, kepalaku juga masih sakit. Aku masih belum mengingat sepenuhnya,” elak Rara. Dia kebingungan mencari jawaban yang tepat.
“Kecelakaan mobil Pak Al dikarenakan mengalami rem blong. Kami sudah memeriksa TKP sehingga mengambil kesimpulan itu merupakan tindakan kesengajaan oleh seseorang,” terang Pak Anton.
Rara terdiam, tidak tahu harus bicara apa.
Apa mungkin Pak Al tahu rem mobilnya blong? Rara bertanya bingung dalam hati.
“Saat ini kondisi Al belum cukup stabil Pak. Bapak selidiki saja siapa orang yang berada dibalik insiden itu. Pasti ada seseorang yang tidak menyukai Al mengingat sikapnya yang sedikit arogan,” papar Dion.
“Baik, Pak. Kami akan terus selidiki kasus ini.”
“Bagaimana keadaan gadis itu?” Rara menyela. Dia mendadak teringat Nirmala. “Apakah sudah ada yang memberi tahu ibunya mengenai kecelakaan itu?”
“Ibunya sedang dalam perjalanan menuju kemari. Saat kejadian ibunya sedang berada di luar kota.”
Benar juga, ibu menginap di rumah bibi, batin Rara.
“Sampai saat ini, gadis itu belum sadarkan diri,” kata Pak Anton lagi.
Rara bangkit dari duduknya. “Tolong selidiki kasus ini. Aku harus pergi melihat gadis itu!”
Kedua polisi itu mengangguk lalu beranjak keluar.
“Al, kau harus memeriksakan diri ke dokter. Keadaanmu makin memburuk. Kau bahkan tidak mengingat apa yang terjadi sebelum kecelakaan. Apa kau terlibat masalah dengan seseorang?”
Rara menggeleng. Dia sendiri saja sudah hampir gila memikirkan kondisi dirinya saat ini. Kini, masalah baru datang lagi. Mau tidak mau Rara harus mencari tahu siapa dalang dari kecelakaan itu.
Rara lantas beranjak keluar dan diikuti Dion dari belakang.
Sejak tadi, ada seseorang yang mendengar percakapan mereka di balik tembok. Senyumnya tersungging sinis menatap punggung Aldebaran dengan penuh kebencian.
***
Rara berlari cepat sepanjang koridor rumah sakit. Rasanya seperti melayang dibandingkan dengan tubuh aslinya yang sudah pasti membuatnya cepat lelah. Dion tidak kuat berlari, napasnya tersengal dan beristirahat sebentar.
Pandangan Rara mengedar mencari meja resepsionis. Ini pertama kali dia masuk ke Rumah Sakit mahal itu.
“Pak Al!” panggil seseorang yang mencegah langkahnya.
Rara berbalik, melihat orang yang memanggilnya.
“Bagaimana keadaanmu? Kau kemari untuk pemeriksaan?” tanya seorang dokter muda. Dari id card yang tergantung, tertulis dengan nama dr. Reza.
“Aku baik-baik saja. Apa kau tahu di mana kamar Jihan Azzahra?”
“Dia berada di kamar VVIP lantai tiga.”
“Terima kasih.” Rara kembali mengambil langkah cepat, dia menekan tombol lift dan disusul Dion yang hampir saja tertinggal.
“Apa kau sepanik itu mencemaskan asisten pribadimu?”
“Tentu saja aku cemas. Dia sangat penting bagiku, aku takut jika ada apa-apa dengannya dan ....”
Rara menoleh ke arah Dion yang menatap curiga. Rara menggaruk kepalanya.
“Bukan seperti itu maksudku. Aku hanya .... ah sudahlah!” Rara merasa stres sendiri menghadapi Dion yang terus menaruh prasangka padanya.
Rara berlari lebih dulu setelah pintu lift terbuka. Seorang dokter baru saja keluar bersama dua perawat.
“Dok, bagaimana ....”
“Dokter!”
Rara ikut menoleh melihat Nirmala yang sudah berlinang air mata berlari cepat ke arah mereka. Nirmala datang ditemani bibi Rara.
Ibu, ucap Rara dalam hati.
“Apa yang terjadi dengan anak saya, Dokter? Bagaimana keadaannya? Apa Rara baik-baik saja?”
“Dia mengalami koma. Belum bisa dipastikan kapan pasien akan sadar, mengingat dia korban yang paling parah dalam kecelakaan itu.”
“Apa?” Nirmala tampak terguncang. Tubuhnya mendadak terhuyung dan pingsan.
Rara mengurungkan niatnya yang hendak mengangkat Nirmala. Tangannya mengepal tidak bisa berbuat apa-apa saat melihat Nirmala dibawa beberapa perawat dengan brankar. Saat ini mereka melihatnya sebagai Aldebaran bukan Rara.
Maafkan aku, ibu. Rara sudah buat ibu cemas.
Rara menahan diri untuk tidak menangis. Dia menoleh ke arah Dion yang sejak tadi memperhatikannya.
Dion tersenyum lalu menepuk-nepuk bahu Aldebaran. Rara terdiam sesaat, dia kembali melihat pantulan wajah Aldebaran di kaca.
“Aku akan kembali, kau masuk saja dulu."
Rara mengambil langkah cepat. Dia menemui dokter spesialis jantung dan meminta untuk melakukan penanganan terhadap Nirmala. Setelah memastikan kondisi Nirmala baik-baik saja, Rara bergegas menyusul Dion.
Pijakannya mendadak lemas saat melihat tubuhnya terbujur tak berdaya dengan peralatan medis yang menempel di badan Rara. Apa Rara benar-benar tidak bisa kembali lagi? Bagaimana dengan Aldebaran? Kalau dia tidak kembali ke tubuhnya, apa Rara akan menjadi Aldebaran selamanya?
Rara mengusap rambut dengan frustasi. Dia hampir kehilangan akal memikirkan semua hal yang mendadak terjadi dan sangat tidak masuk akal itu.
Rara duduk di kursi dan menyentuh tangannya dengan hangat. Rasanya seperti mimpi melihat tubuhnya sendiri.
“Kumohon sadarlah. Aku tidak bisa melihatmu seperti ini.”
Dion menatap iba. Untuk pertama kali dia melihat Aldebaran mencemaskan orang lain. Dia tidak tahu saja, yang Rara maksud bukan seperti yang ia pikirkan, melainkan Rara mencemaskan tubuhnya jika sampai terjadi sesuatu maka Rara tidak akan bisa kembali.
“Ada satu hal baik darimu yang aku sukai setelah kejadian ini, Al.”
Rara hanya menoleh sendu. Dia tidak punya kekuatan menanggapi ucapan Dion yang pastinya membuatnya bertambah pusing.
“Kau mulai menunjukkan perhatian ke orang lain, dan aku senang walau kau mungkin mengalami amnesia,” ujar Dion.
Rara menghela napas. Kata itu lagi yang terus diulangi Dion. Rara harus membiasakan diri mendengar kata itu.
Rara kembali menatap wajahnya.
Maafkan aku Pak Al, aku menggunakan uangmu untuk menyembuhkan ibuku. Jika nanti kita sudah bertukar tubuh lagi, aku janji akan membayarmu walau harus bekerja seumur hidup menjadi asistenmu. Rara membatin.
Tidak ada pergerakan. Hanya suara alat yang berbunyi bersahutan. Entah di mana jiwa Aldebaran kini berada. []
Rara menatap langit-langit kamar Aldebaran. Dia masih tidak percaya dengan apa yang dialaminya. Rara mengedarkan pandangannya, berharap semua ini adalah mimpi.Suara ketukan pintu mengalihkan atensi Rara. Rara menoleh ke arah pintu yang terbuka. Rara lantas bangkit dan mengganti posisi duduk dengan cepat. Rupanya Angga. Dia menghampiri Rara yang terlihat sedikit canggung. Wajar saja, Rara baru bertemu lagi dengan Angga setelah terakhir kali saat Angga mengantarnya pulang.“Bagaimana keadaanmu, Al?”“Aku baik, Kak. Kau tidak perlu khawatir,” jawab Rara berusaha terlihat santai.Angga menatap kaget. “Kau tidak hilang ingatan ‘kan? Kau tidak pernah memanggilku ‘kak’ sebelumnya.”Ya ampun, aku lupa kalau Pak Al tidak memanggilnya kakak, batin Rara.Rara menggaruk tengkuk yang tidak gatal. “Ak
Lima menit berlalu begitu saja. Rara dan Monika sama-sama terdiam. Tidak ada percakapan di antara keduanya. Sungguh pemandangan aneh bagi Dion melihat Aldebaran tidak seperti biasanya jika bertemu dengan Monika. Dia sesekali memerhatikan Aldebaran dari balik konter Bartender. Rara benar-benar terjebak. Dia bingung harus berkata apa, mengingat terakhir kali bertemu, sikap Aldebaran begitu marah pada Monika. Rara memperbaiki posisi duduknya. Dia menyandarkan punggung, sedikit mengangkat dagu layaknya bersikap arogan seperti yang dilakukan Aldebaran. “Sampai kapan kau akan diam saja seperti itu?” Rara membuka percakapan lebih dulu. Monika berdeham pelan, nyaris tak terdengar. Dia mengaitkan anak rambut di belakang telinga seraya memperbaiki posisi duduk. “Aku hanya tidak ingin mengacaukan suasana hatimu, Al. Terakhir kita bertemu, kau terlihat sangat marah pada
Rara masih tidak percaya dengan perempuan yang berdiri di hadapannya dan Dion. Rara menatap Dion dengan penuh tanda tanya. Mengapa Dion bisa mengenal Amel, tetangga Rara yang sombong itu?! Pakaiannya juga sangat minim, menampakkan belahan dada yang begitu mengundang hasrat. Amel meletakan tumpuan tangan di pundak Aldebaran. Membisikan sesuatu yang hanya bisa didengar Rara. Rara menoleh kaget, tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan Amel. Rara tidak menolak, mengingat dia adalah tetangga yang baik dia akan diam dulu kali ini. “Bersenang-senanglah, Al!” Dion berseru menyikut lengan Aldebaran. Amel menyunggingkan senyum melihat Aldebaran mengikutinya. Amel membawa Aldebaran masuk ke dalam salah satu ruangan khusus. Rara mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ruangan itu cukup luas, dilengkapi beberapa fasilitas pendukung. Ada botol minuman
Rara memarkirkan mobil Aldebaran di lahan parkir Rumah Sakit. Hari ini dia mengunjungi ibunya sekaligus mengecek keadaan perkembangan tubuhnya. Rara menggunakan topi dan masker untuk menutupi wajah Aldebaran. Rara berjalan menyusuri koridor Rumah Sakit dengan pandangan awas, khawatir ada yang mengenal Aldebaran dan dicerca pertanyaan beragam apalagi jika sampai ke telinga media. Di tangan kanan, dia memegang bingkisan buah yang sengaja dibeli untuk ibunya. Nirmala sudah seminggu melewati masa pemulihan setelah pasca operasi transplantasi jantung. Rara sangat bersyukur, Tuhan memberikan dia kesempatan untuk menyembuhkan ibunya melalui Aldebaran. Dia tidak akan pernah melupakan janji yang sudah dia ucapkan sebelumnya. Binar wajah yang ditunjukkan Rara tampak bahagia sepanjang tapak kaki menuju ruangan Nirmala. Mendadak, Rara menahan langkah. Dia melihat orang tak dikenal berdiri di depan pintu kamar rawat Nirmala. Rara menyembunyikan diri
Rara berulang kali berlatih di cermin, hasilnya selalu gagal. Sering kali Rara lupa dialog atau ekspresi wajahnya tidak tepat. Rara mengembuskan napas kasar, sepuluh menit berlalu dia belum juga berhasil. Mereka pasti akan mempertanyakannya karena Aldebaran yang asli tidak pernah mengulang akting.Rara mengusap rambut ke belakang dengan jemari. Dia benar-benar harus fokus. Rara menatap tajam di cermin, bagaimana pun juga dia tidak boleh gagal.Suara ketukan berasal dari balik pintu ruang ganti Aldebaran. Asisten Firman—Fandi, mendekat.“Maaf, Pak. Anda diminta untuk segera syuting.”“Pergilah! Aku akan keluar,” jawab Rara tegas.Fandi mengangguk paham dan segera undur diri.Rara menarik napas panjang lalu beranjak keluar. Di sana dia sudah melihat lawan mainnya Liona telah bersiap. Liona kembali menjadi rekan dalam film yang dita
Rara menggeliat, dia menoleh ke arah jam di atas nakas menunjukkan pukul tujuh pagi. Dia beberapa kali mengerjap masih dengan pandangan yang sama saat netra nya menatap langit kamar berukiran mewah itu. Rara segera bangkit dan duduk bersila, pandangannya mengarah ke arah cermin—melihat wajah tampan Aldebaran ketika bangun tidur. Dia tidak menampik, wajah pria arogan ini benar-benar tampan. Pahatan sempurna dari kedua alis tebal yang membingkai dua manik mata yang teduh. Hidung mancung yang sesuai dengan bentuk wajah oriental serta rambut-rambut halus menghiasi area dagu. Begitu maskulin dan sempurna bagi setiap penggemar setia seorang Aldebaran. Rara masih terpaku sejenak memandang ciptaan Tuhan yang nyaris sempurna. Spontan, senyumnya melengkung memperlihatkan lesung pipi yang terlihat samar di sebelah kiri. Rara tersentak. Sejak kapan Aldebaran punya lesung pipi? Kenapa juga dia harus tersenyum melihat wajah orang lain dari cermin?!
Rara baru saja habis mandi. Dia tengah bersiap untuk pergi. Hari ini dia akan ke Rumah Sakit untuk membawa ibunya pulang. Setelan kasual yang dia pakai cukup baginya. Semoga tidak menyita perhatian jika ada yang melihat Aldebaran. Rara meraih kunci mobil dan segera beranjak. Saat Rara membuka pintu, sontak membuatnya terkejut. Dia melihat Angga sudah berdiri di depan pintu hendak untuk mengetuk. “Ka ... apa yang kaulakukan?” sembur Rara begitu saja. Hampir saja dia kelepasan memanggil dengan sebutan kakak. Angga melebarkan senyum. Dia menurunkan tangannya dan sedikit menggaruk bagian tengkuk yang tidak gatal. “Kau mau keluar?” Rara menunjukkan mimik dingin. “Bukan urusanmu!” Rara hendak melangkah, tetapi Angga lebih dulu menghalangi jalannya. “Aku mau mengajakmu ke sebuah tempat. Siapa tahu bisa mengembalikan sedikit ingatan
Saat ini tim medis disibukkan dengan Rara yang tiba-tiba saja bangun. Bagaimana tidak, jiwa Aldebaran dalam tubuh Rara telah kembali. Tim medis bergegas memeriksa keadaan Rara. Aldebaran yang berada di tubuh Rara masih setengah sadar dan belum sepenuhnya menyadari kenyataan. Dia memerintahkan beberapa perawat untuk melepaskan benda menyebalkan yang menempel di tubuhnya. “Lepaskan semua yang ada di tubuhku!” teriaknya. Beberapa perawat tidak bergeming, mereka menunggu arahan dari dokter yang menanganinya. “Anda tidak bisa melepasnya begitu saja, Nona. Anda baru saja sadar setelah koma hampir dua bulan lamanya,” jawab salah seorang dokter paruh baya. “Dua bulan aku koma? Dan kau panggil aku siapa? Nona?” Aldebaran berusaha bangun, sayangnya tubuh Rara belum pulih sepenuhnya—dia kembali terbaring. “Tunggu .... “ Aldebaran sontak menyadari sesuatu.
Rara telah bersiap dengan balutan gaun pengantin. Dia benar-benar tampak cantik dan anggun. Aldebaran melamarnya dengan cara tak terduga. Lamaran yang dilakukan Aldebaran sampai viral di berbagai media sosial. Akun i*******m milik Rara dan Aldebaran dibanjiri komentar positif dan ucapan selamat. Momen itu juga ditayangkan di TV nasional selama hampir seminggu. Bahkan beberapa pihak berbondong-bondong menawarkan endorse untuk pernikahan mereka. Hari pernikahan mereka juga sengaja ditayangkan secara langsung dari salah satu stasiun TV dengan rating tertinggi. Rara merasa gugup. Berkali-kali Rara menghela napas. Jantungnya seakan mencelos menunggu akad nikah mereka dimulai. "Kau sangat cantik, Ra!" Monika mendekat seraya memuji. Dia tersenyum tulus melihat dari pantulan cermin. "Terima kasih, Kak! Aku sangat gugup." "Al tidak kalah lebih gugup darimu. Dia masih terus berlatih mengucapkan ijab kabul agar tidak salah." Rara tersenyum h
Rara menggeliat, meregangkan otot-otot. Matanya mengerjap lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Di sinilah Rara, masih tidak percaya berada di kamar sendiri. Seperti mimpi yang panjang baginya.Rara menyibak selimut, merapikan tempat tidurnya. Rara bergegas keluar mendapati Nirmala dan Monika di ruang makan sedang mempersiapkan sarapan."Pagi adikku, Sayang!" Monika menyapa. Tidurmu nyenyak?"Rara mengangguk. "Sangat nyenyak. Bagaimana dengan Kak Monika?""Aku juga. Aku akan merasa nyaman jika tinggal lama di sini!""Tinggal lah selama mungkin. Aku sangat senang jika Kak Monika tinggal di sini!""Benarkah? Apa boleh, Bu?" Monika melirik ke arah Nirmala."Tentu saja. Kau tidak perlu meminta izin.""Kalau dengan ayah, juga boleh?" Monika melempar tatapan ke arah Rara.Nirmala diam sejenak. Rara dan Monika menunggu jawaban Nirmala. "Tergantung usahanya mendapatkan hati ibu kem
Aldebaran dan Rara merencanakan janji untuk bertemu setelah Rara melakukan pekerjaan Aldebaran. Mereka akan bersama-sama mencari wanita tua itu. Sebelumnya, Rara dan Aldebaran sudah mencari tahu kue yang dibeli Firman. Dari ucapan Firman, dia tidak membeli di tempat yang Aldebaran maksud dan penjual kue itu bukan wanita tua melainkan wanita muda. Saat ini, Rara sibuk melakukan syuting iklan terakhir sebelum akhirnya dia mengambil libur panjang untuk beberapa bulan ke depan. Aldebaran meminta Rara untuk tidak menerima tawaran karena dia ingin mengajak Rara berlibur membawa Nirmala yang sejak dulu ingin sekali pergi ke Korea. Nirmala sangat gemar menonton drama dari Negeri Gingseng itu. Aldebaran ingin memberikan kejutan sebagai Rara dengan mengajaknya ke sana. "Bu, apa yang bisa Rara bantu?" tanya Aldebaran setelah membereskan kamar Rara. Dia sudah memutuskan tinggal bersama Nirmala. "Rara bantu ibu pergi ke pasar. Ada beberapa bahan masakan yang harus dibeli.
Mahesa marah besar begitu mengetahui Ivanka adalah pelaku utama dari kecelakaan yang menimpa Aldebaran. Ivanka sudah dibekuk polisi seminggu yang lalu. Angga sendiri yang melaporkan ibunya setelah semua usaha Angga meminta ibunya menyerahkan diri diabaikan Ivanka. Angga tidak punya pilihan dan terpaksa membuat bukti untuk menjerat Ivanka.Pemberitaan mengenai kasus kecelakaan Aldebaran mengudara selama berhari-hari, para media terus saja membahas motif dan alasan Ivanka melakukan semua itu. Bahkan fans setia Aldebaran merutuki Ivanka dan meminta pihak kepolisian untuk menjatuhkan hukuman mati sebagai efek jera agar tidak ada lagi orang seperti Ivanka yang tega merencanakan pembunuhan pada anak dari suaminya sendiri.Saat ini Ivanka telah duduk di meja persidangan. Sementara Angga duduk di meja saksi memberikan pernyataan. Ivanka tidak bisa mengelak, semua barang bukti mengarah padanya. Kaki tangan Ivanka juga sudah mengakui perbuatan mereka.Ivanka akhirny
"Akhirnya kau datang juga, Al!" Aldebaran menatap tajam. “Berani sekali kau datang ke rumah ini! Bukankah aku sudah melarangmu untuk tidak menginjakkan kaki di sini?!” “Aku kemari karena mengambil barangku yang tertinggal!” Ivanka berjalan ke arah sofa panjang yang ukiran gagangnya terbuat dari kayu jati. Ivanka menjuntaikan sebuah liontin seraya tersenyum. “Kenapa itu ada padamu?!" suara Aldebaran merendah, terdengar penuh penekanan. "Duduklah! Setidaknya berbincanglah denganku. Kau selalu saja bersikap dingin dari semenjak pertama kali kita bertemu!" Ivanka berujar. Dia memberi isyarat menunjuk dengan dagu ke arah secangkir kopi yang sudah dia siapkan. Ivanka mengangkat cangkir menyeruput kopinya dengan nikmat. "Aku tidak meracunimu. Aku hanya ingin kita berbaikan dan bisa duduk bersama, berbincang hangat layaknya ibu dan anak." Aldebaran meneguk setengah kopi miliknya. "Kau puas? Sekarang kembalikan! Sejak
Sehari sebelum kecelakaan terjadi.... Ivanka mendatangi RAM Corp setelah berbelanja di butik langganannya. Jam makan siang sebentar lagi dan Ivanka ingin mengajak Mahesa makan di luar. Sudah lama dia tidak jalan berdua dengan Mahesa karena terlalu sibuk dengan bisnis. Ivanka mengumbar senyum pada beberapa karyawan yang berpapasan dengannya. Suara heels pigalle foliies 100 milik Ivanka mengetuk-ngetuk lantai marmer hingga terdengar menggema berirama. Ivanka menunjukkan keanggunan saat menaiki lift menuju lantai utama. Senyum Ivanka kembali terukir begitu sampai di depan meja sekretaris Mahesa. “Nindya, apa Pak Mahesa ada? Katakan aku ada di sini!” titah Ivanka membusungkan dada dengan elegan. “Ada, Bu! Pak Mahesa sedang berbincang dengan Pak Mudi.” “Aku ingin masuk!” “Maaf, Ibu! Pesan Pak Mahesa, dia tidak ingin di
Rara baru saja tiba di depan sebuah restoran. Rara meminta bertemu dengan David secara pribadi. Dia sengaja reservasi rooftop hotel agar pertemuan mereka tidak diganggu. David sudah datang lebih dulu. Rara mengeluarkan ponsel, membuka kotak masuk. Aldebaran : Tidak perlu mampir! Aku akan keluar dengan Angga. Rara : Aku akan bertemu dengan Pak David hari ini. Aldebaran : Kau sudah yakin dengan keputusanmu? Rara : Keputusanku sudah bulat! Rara menarik napas panjang, menguatkan batinnya, mengumpulkan keberanian untuk menanyakan langsung. Langkah Aldebaran beranjak masuk. Rara melihat David duduk memunggunginya. “Maaf membuat Anda lama menunggu!” ucap Aldebaran begitu duduk berseberangan di hadapan David. “Saya juga baru sampai!” jawabnya singkat. Aldebaran memanggil waitress mendekat. “Mau
Suara bel terdengar saat Aldebaran baru saja selesai sarapan. Aldebaran mendekat ke arah pintu, dia tahu itu pasti Rara. Rara sudah menelepon dan mengatakan akan mampir ke sana. Raut wajah Rara seketika berubah kaku saat mendapati Angga yang berdiri di hadapannya seraya mengulurkan buket bunga berukuran sedang. Aldebaran menerima dengan diam, detik selanjutnya dia menarik bibir membentuk senyum manis. “Kak Angga! Kenapa tidak mengabariku jika mau ke datang kemari?” “Aku ingin memberimu kejutan!” “Ayo, masuk!” Aldebaran menaruh bunga dalam vas. Kebetulan sekali dia baru membuang bunga yang sudah mengering beberapa saat lalu. “Hari ini aku mau mengajakmu kencan. Boleh luangkan waktumu seharian? Katakan pada Al untuk izin tidak bekerja!” “Kencan? Aku pikir besok.” “Aku tidak sabar melakukannya, kebetulan hari ini aku sengaja mengajukan libur bekerja sehari untuk mengaj
Malam sebelumnya.... “Pak!” sergah Rara saat mobil Aldebaran baru saja sampai di depan mansion Mahesa. “Ada apa?” “Pak David, boleh aku sendiri yang menemuinya?” Rara menoleh, ada duka dalam tatapannya. “Sebagai diriku?” Rara mengangguk. “Ucapan ibu tadi membuatku kembali berpikir....” “Apa yang kau pikirkan?” “Mengenai ayahku datang di hadapanku!” Suara Aldebaran bergetar, Rara menahan diri untuk tidak menangis. “Apa kau pikir dia ayahmu?” “Entahlah! Tapi aku yakin satu hal, ibu berbohong soal ayahku. Waktu itu, aku tidak sengaja mendengar ucapan ibu dengan bibi yang membicarakan soal ayahku. Aku hanya ingin memastikan!” Aldebaran menghela napas pelan. “Jika itu membuatmu tenang, lakukan saja. Aku tidak masalah.” “Terima kasih.” “Oh, ya, satu hal lagi. Aku ingin kau melakukan sesuatu!” “Melakukan apa?” Rara menahan pegangan pintu hendak ke