Rara berulang kali berlatih di cermin, hasilnya selalu gagal. Sering kali Rara lupa dialog atau ekspresi wajahnya tidak tepat. Rara mengembuskan napas kasar, sepuluh menit berlalu dia belum juga berhasil. Mereka pasti akan mempertanyakannya karena Aldebaran yang asli tidak pernah mengulang akting.
Rara mengusap rambut ke belakang dengan jemari. Dia benar-benar harus fokus. Rara menatap tajam di cermin, bagaimana pun juga dia tidak boleh gagal.
Suara ketukan berasal dari balik pintu ruang ganti Aldebaran. Asisten Firman—Fandi, mendekat.
“Maaf, Pak. Anda diminta untuk segera syuting.”
“Pergilah! Aku akan keluar,” jawab Rara tegas.
Fandi mengangguk paham dan segera undur diri.
Rara menarik napas panjang lalu beranjak keluar. Di sana dia sudah melihat lawan mainnya Liona telah bersiap. Liona kembali menjadi rekan dalam film yang dita
Rara menggeliat, dia menoleh ke arah jam di atas nakas menunjukkan pukul tujuh pagi. Dia beberapa kali mengerjap masih dengan pandangan yang sama saat netra nya menatap langit kamar berukiran mewah itu. Rara segera bangkit dan duduk bersila, pandangannya mengarah ke arah cermin—melihat wajah tampan Aldebaran ketika bangun tidur. Dia tidak menampik, wajah pria arogan ini benar-benar tampan. Pahatan sempurna dari kedua alis tebal yang membingkai dua manik mata yang teduh. Hidung mancung yang sesuai dengan bentuk wajah oriental serta rambut-rambut halus menghiasi area dagu. Begitu maskulin dan sempurna bagi setiap penggemar setia seorang Aldebaran. Rara masih terpaku sejenak memandang ciptaan Tuhan yang nyaris sempurna. Spontan, senyumnya melengkung memperlihatkan lesung pipi yang terlihat samar di sebelah kiri. Rara tersentak. Sejak kapan Aldebaran punya lesung pipi? Kenapa juga dia harus tersenyum melihat wajah orang lain dari cermin?!
Rara baru saja habis mandi. Dia tengah bersiap untuk pergi. Hari ini dia akan ke Rumah Sakit untuk membawa ibunya pulang. Setelan kasual yang dia pakai cukup baginya. Semoga tidak menyita perhatian jika ada yang melihat Aldebaran. Rara meraih kunci mobil dan segera beranjak. Saat Rara membuka pintu, sontak membuatnya terkejut. Dia melihat Angga sudah berdiri di depan pintu hendak untuk mengetuk. “Ka ... apa yang kaulakukan?” sembur Rara begitu saja. Hampir saja dia kelepasan memanggil dengan sebutan kakak. Angga melebarkan senyum. Dia menurunkan tangannya dan sedikit menggaruk bagian tengkuk yang tidak gatal. “Kau mau keluar?” Rara menunjukkan mimik dingin. “Bukan urusanmu!” Rara hendak melangkah, tetapi Angga lebih dulu menghalangi jalannya. “Aku mau mengajakmu ke sebuah tempat. Siapa tahu bisa mengembalikan sedikit ingatan
Saat ini tim medis disibukkan dengan Rara yang tiba-tiba saja bangun. Bagaimana tidak, jiwa Aldebaran dalam tubuh Rara telah kembali. Tim medis bergegas memeriksa keadaan Rara. Aldebaran yang berada di tubuh Rara masih setengah sadar dan belum sepenuhnya menyadari kenyataan. Dia memerintahkan beberapa perawat untuk melepaskan benda menyebalkan yang menempel di tubuhnya. “Lepaskan semua yang ada di tubuhku!” teriaknya. Beberapa perawat tidak bergeming, mereka menunggu arahan dari dokter yang menanganinya. “Anda tidak bisa melepasnya begitu saja, Nona. Anda baru saja sadar setelah koma hampir dua bulan lamanya,” jawab salah seorang dokter paruh baya. “Dua bulan aku koma? Dan kau panggil aku siapa? Nona?” Aldebaran berusaha bangun, sayangnya tubuh Rara belum pulih sepenuhnya—dia kembali terbaring. “Tunggu .... “ Aldebaran sontak menyadari sesuatu.
Aldebaran yang baru saja turun dari kamar mendadak menegang di tempat. Pijakannya hampir saja membuatnya terjatuh jika saja dia tidak berpegang dengan cepat. Rara melempar senyum manis saat melihat Aldebaran tak bergeming di tempat. Angga yang baru saja masuk dari belakang membawa beberapa paper bag milik Rara. Mereka baru saja habis belanja. “Apa yang kaulakukan di sini?” tanya Aldebaran bergegas turun menghampiri Rara. Angga menengahi dan berdiri menghalangi Aldebaran untuk mendekati Rara. “Aku yang membawanya pulang!” sahut Angga. Aldebaran menoleh tidak suka. Apa yang ada di pikiran Angga?! “Bagaimana bisa kau membawanya ke rumah ini? Dia punya rumah dan dia juga masih punya ibu!” “Aku juga akan membawa ibunya kemari. Bukankah kau yang menabraknya hingga dia terluka? Setidaknya kau harus bertanggung jawab atas perbuatanm
Rara saat ini berada di depan rumah Nirmala. Dia menimbang sejenak untuk menyampaikan alasan pada ibunya seperti yang diminta Aldebaran. Dia tidak pernah sama sekali menyangka harus berbohong pada ibunya lagi. Namun, dia tidak ada pilihan. Apa yang akan Nirmala pikirkan ketika tahu Rara sudah sadar dan sama sekali tidak datang menemuinya. Rara benar-benar bingung, dia menghela napas panjang dan bersiap untuk masuk. Langkahnya mendadak terhenti saat Range Rover silver milik Angga memasuki pekarangan rumah. Tidak hanya sendiri, ada Aldebaran juga di dalam sana. Rara dengan pakaian casual yang tidak pernah dia pakai sebelumnya sangat terlihat feminim. Itu bukan gaya Rara. Rara hanya melihat Aldebaran yang masih mematung bersikap acuh masuk ke dalam lebih dulu dan diikuti Angga. “Apa itu tadi?! Sejak kapan aku memakai baju seperti itu? Pak Al kau ....” Aldebaran mengambil l
Rara refleks berdiri menyentuh bibir Aldebaran. Pijakannya hampir lemas menatap wajah dirinya tersenyum dengan raut tidak berdosa. Aldebaran merasa santai, sementara Rara mencengkeram naskah hingga tampak kusut. “Apa yang Pak Al lakukan? Kau baru saja menciumku?” Mata Aldebaran melotot tidak terima. “Bukan aku, tapi kau!” sanggah Aldebaran melempar punggung pada sandaran sofa. Rara mengepalkan tangan, ingin rasanya dia menampar wajah pria arogan itu yang sangat tidak tahu diri. Berani sekali dia merenggut ciuman pertama bahkan dalam tubuhnya sendiri. Rara melempar naskah begitu saja. Air matanya mengambang menahan kesal merasa tidak terima. Pandangannya menusuk, merasa geram tidak bisa berbuat apa pun dalam tubuh Aldebaran. Rara lantas pergi dan meraih kunci mobil yang tergantung di dinding lalu mengambil langkah seribu menuju parkiran. Aldebaran yang menyadari itu lant
Aldebaran sedang memerhatikan Rara beradu akting. Cukup baik penampilan Rara yang berusaha keras menjadi sosok Aldebaran. Setelah break, Rara menghampirinya. Aldebaran menawarkan segelas jus jambu yang biasa dia minum di lokasi syuting. “Minum ini! Itu sudah jadi kebiasaanku jika sedang istirahat,” ujar Aldebaran. Rara hanya berdeham sambil menyesap beberapa kali. “Enak juga jadi Pak Al. Aku dilayani dengan sangat baik,” sahut Rara seraya bersandar santai pada punggung kursi. “Benarkah? Apa kau juga menikmati kehidupan malamku?” Rara berdecak. “Aku bahkan jijik jika harus mengingat kejadian-kejadian itu. Apa Pak Al selalu berbuat seperti itu untuk kesenangan?” “Tentu saja! Itu hobiku. Menikmati kehidupan yang begitu menggairahkan. Kau harus belajar untuk melakukannya,” katanya bangga. “Tidak akan perna
Rara terus saja mondar-mandir menunggu Aldebaran. Tak lama kemudian Rara muncul dengan wajah semringah. Bukan karakter Aldebaran!“Dari mana saja kau?” Nada Aldebaran terdengar dingin.“Sikap seperti itu tidak cocok untukku, Pak! Aku tadi dari kamar Firman. Dia memberikan aku ini,” jawab Rara menunjukkan dua tiket pesawat kelas bisnis.Aldebaran lantas mengambil dengan cepat dan melihat arah tujuannya.“Bali?”“Iya, bukannya setelah selesai syuting kita liburan?!” Rara terlihat bersemangat.Tidak ada tanggapan. Tiba-tiba, sudut bibir Rara sedikit terangkat. Sepertinya Aldebaran sedang memikirkan sesuatu.“Ini pasti liburan yang menyenangkan,” tukasnya sembari menduduki sofa.Rara mengerutkan dahi. Dia ikut duduk di hadapan Aldebaran.&ldq
Rara telah bersiap dengan balutan gaun pengantin. Dia benar-benar tampak cantik dan anggun. Aldebaran melamarnya dengan cara tak terduga. Lamaran yang dilakukan Aldebaran sampai viral di berbagai media sosial. Akun i*******m milik Rara dan Aldebaran dibanjiri komentar positif dan ucapan selamat. Momen itu juga ditayangkan di TV nasional selama hampir seminggu. Bahkan beberapa pihak berbondong-bondong menawarkan endorse untuk pernikahan mereka. Hari pernikahan mereka juga sengaja ditayangkan secara langsung dari salah satu stasiun TV dengan rating tertinggi. Rara merasa gugup. Berkali-kali Rara menghela napas. Jantungnya seakan mencelos menunggu akad nikah mereka dimulai. "Kau sangat cantik, Ra!" Monika mendekat seraya memuji. Dia tersenyum tulus melihat dari pantulan cermin. "Terima kasih, Kak! Aku sangat gugup." "Al tidak kalah lebih gugup darimu. Dia masih terus berlatih mengucapkan ijab kabul agar tidak salah." Rara tersenyum h
Rara menggeliat, meregangkan otot-otot. Matanya mengerjap lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Di sinilah Rara, masih tidak percaya berada di kamar sendiri. Seperti mimpi yang panjang baginya.Rara menyibak selimut, merapikan tempat tidurnya. Rara bergegas keluar mendapati Nirmala dan Monika di ruang makan sedang mempersiapkan sarapan."Pagi adikku, Sayang!" Monika menyapa. Tidurmu nyenyak?"Rara mengangguk. "Sangat nyenyak. Bagaimana dengan Kak Monika?""Aku juga. Aku akan merasa nyaman jika tinggal lama di sini!""Tinggal lah selama mungkin. Aku sangat senang jika Kak Monika tinggal di sini!""Benarkah? Apa boleh, Bu?" Monika melirik ke arah Nirmala."Tentu saja. Kau tidak perlu meminta izin.""Kalau dengan ayah, juga boleh?" Monika melempar tatapan ke arah Rara.Nirmala diam sejenak. Rara dan Monika menunggu jawaban Nirmala. "Tergantung usahanya mendapatkan hati ibu kem
Aldebaran dan Rara merencanakan janji untuk bertemu setelah Rara melakukan pekerjaan Aldebaran. Mereka akan bersama-sama mencari wanita tua itu. Sebelumnya, Rara dan Aldebaran sudah mencari tahu kue yang dibeli Firman. Dari ucapan Firman, dia tidak membeli di tempat yang Aldebaran maksud dan penjual kue itu bukan wanita tua melainkan wanita muda. Saat ini, Rara sibuk melakukan syuting iklan terakhir sebelum akhirnya dia mengambil libur panjang untuk beberapa bulan ke depan. Aldebaran meminta Rara untuk tidak menerima tawaran karena dia ingin mengajak Rara berlibur membawa Nirmala yang sejak dulu ingin sekali pergi ke Korea. Nirmala sangat gemar menonton drama dari Negeri Gingseng itu. Aldebaran ingin memberikan kejutan sebagai Rara dengan mengajaknya ke sana. "Bu, apa yang bisa Rara bantu?" tanya Aldebaran setelah membereskan kamar Rara. Dia sudah memutuskan tinggal bersama Nirmala. "Rara bantu ibu pergi ke pasar. Ada beberapa bahan masakan yang harus dibeli.
Mahesa marah besar begitu mengetahui Ivanka adalah pelaku utama dari kecelakaan yang menimpa Aldebaran. Ivanka sudah dibekuk polisi seminggu yang lalu. Angga sendiri yang melaporkan ibunya setelah semua usaha Angga meminta ibunya menyerahkan diri diabaikan Ivanka. Angga tidak punya pilihan dan terpaksa membuat bukti untuk menjerat Ivanka.Pemberitaan mengenai kasus kecelakaan Aldebaran mengudara selama berhari-hari, para media terus saja membahas motif dan alasan Ivanka melakukan semua itu. Bahkan fans setia Aldebaran merutuki Ivanka dan meminta pihak kepolisian untuk menjatuhkan hukuman mati sebagai efek jera agar tidak ada lagi orang seperti Ivanka yang tega merencanakan pembunuhan pada anak dari suaminya sendiri.Saat ini Ivanka telah duduk di meja persidangan. Sementara Angga duduk di meja saksi memberikan pernyataan. Ivanka tidak bisa mengelak, semua barang bukti mengarah padanya. Kaki tangan Ivanka juga sudah mengakui perbuatan mereka.Ivanka akhirny
"Akhirnya kau datang juga, Al!" Aldebaran menatap tajam. “Berani sekali kau datang ke rumah ini! Bukankah aku sudah melarangmu untuk tidak menginjakkan kaki di sini?!” “Aku kemari karena mengambil barangku yang tertinggal!” Ivanka berjalan ke arah sofa panjang yang ukiran gagangnya terbuat dari kayu jati. Ivanka menjuntaikan sebuah liontin seraya tersenyum. “Kenapa itu ada padamu?!" suara Aldebaran merendah, terdengar penuh penekanan. "Duduklah! Setidaknya berbincanglah denganku. Kau selalu saja bersikap dingin dari semenjak pertama kali kita bertemu!" Ivanka berujar. Dia memberi isyarat menunjuk dengan dagu ke arah secangkir kopi yang sudah dia siapkan. Ivanka mengangkat cangkir menyeruput kopinya dengan nikmat. "Aku tidak meracunimu. Aku hanya ingin kita berbaikan dan bisa duduk bersama, berbincang hangat layaknya ibu dan anak." Aldebaran meneguk setengah kopi miliknya. "Kau puas? Sekarang kembalikan! Sejak
Sehari sebelum kecelakaan terjadi.... Ivanka mendatangi RAM Corp setelah berbelanja di butik langganannya. Jam makan siang sebentar lagi dan Ivanka ingin mengajak Mahesa makan di luar. Sudah lama dia tidak jalan berdua dengan Mahesa karena terlalu sibuk dengan bisnis. Ivanka mengumbar senyum pada beberapa karyawan yang berpapasan dengannya. Suara heels pigalle foliies 100 milik Ivanka mengetuk-ngetuk lantai marmer hingga terdengar menggema berirama. Ivanka menunjukkan keanggunan saat menaiki lift menuju lantai utama. Senyum Ivanka kembali terukir begitu sampai di depan meja sekretaris Mahesa. “Nindya, apa Pak Mahesa ada? Katakan aku ada di sini!” titah Ivanka membusungkan dada dengan elegan. “Ada, Bu! Pak Mahesa sedang berbincang dengan Pak Mudi.” “Aku ingin masuk!” “Maaf, Ibu! Pesan Pak Mahesa, dia tidak ingin di
Rara baru saja tiba di depan sebuah restoran. Rara meminta bertemu dengan David secara pribadi. Dia sengaja reservasi rooftop hotel agar pertemuan mereka tidak diganggu. David sudah datang lebih dulu. Rara mengeluarkan ponsel, membuka kotak masuk. Aldebaran : Tidak perlu mampir! Aku akan keluar dengan Angga. Rara : Aku akan bertemu dengan Pak David hari ini. Aldebaran : Kau sudah yakin dengan keputusanmu? Rara : Keputusanku sudah bulat! Rara menarik napas panjang, menguatkan batinnya, mengumpulkan keberanian untuk menanyakan langsung. Langkah Aldebaran beranjak masuk. Rara melihat David duduk memunggunginya. “Maaf membuat Anda lama menunggu!” ucap Aldebaran begitu duduk berseberangan di hadapan David. “Saya juga baru sampai!” jawabnya singkat. Aldebaran memanggil waitress mendekat. “Mau
Suara bel terdengar saat Aldebaran baru saja selesai sarapan. Aldebaran mendekat ke arah pintu, dia tahu itu pasti Rara. Rara sudah menelepon dan mengatakan akan mampir ke sana. Raut wajah Rara seketika berubah kaku saat mendapati Angga yang berdiri di hadapannya seraya mengulurkan buket bunga berukuran sedang. Aldebaran menerima dengan diam, detik selanjutnya dia menarik bibir membentuk senyum manis. “Kak Angga! Kenapa tidak mengabariku jika mau ke datang kemari?” “Aku ingin memberimu kejutan!” “Ayo, masuk!” Aldebaran menaruh bunga dalam vas. Kebetulan sekali dia baru membuang bunga yang sudah mengering beberapa saat lalu. “Hari ini aku mau mengajakmu kencan. Boleh luangkan waktumu seharian? Katakan pada Al untuk izin tidak bekerja!” “Kencan? Aku pikir besok.” “Aku tidak sabar melakukannya, kebetulan hari ini aku sengaja mengajukan libur bekerja sehari untuk mengaj
Malam sebelumnya.... “Pak!” sergah Rara saat mobil Aldebaran baru saja sampai di depan mansion Mahesa. “Ada apa?” “Pak David, boleh aku sendiri yang menemuinya?” Rara menoleh, ada duka dalam tatapannya. “Sebagai diriku?” Rara mengangguk. “Ucapan ibu tadi membuatku kembali berpikir....” “Apa yang kau pikirkan?” “Mengenai ayahku datang di hadapanku!” Suara Aldebaran bergetar, Rara menahan diri untuk tidak menangis. “Apa kau pikir dia ayahmu?” “Entahlah! Tapi aku yakin satu hal, ibu berbohong soal ayahku. Waktu itu, aku tidak sengaja mendengar ucapan ibu dengan bibi yang membicarakan soal ayahku. Aku hanya ingin memastikan!” Aldebaran menghela napas pelan. “Jika itu membuatmu tenang, lakukan saja. Aku tidak masalah.” “Terima kasih.” “Oh, ya, satu hal lagi. Aku ingin kau melakukan sesuatu!” “Melakukan apa?” Rara menahan pegangan pintu hendak ke