Dua puluh menit kemudian, mobil Aldebaran memasuki halaman RAM Corp. Aldebaran turun lebih dulu, lalu diikuti Rara.
Setelah hampir sebulan, Rara menginjakkan kakinya lagi di perusahaan besar itu. Matanya menjelajah ke setiap sudut. Jika bukan pria arogan itu, Rara ingin bekerja di perusahaan ini walau bukan di posisi karyawan, bagi Rara bisa bekerja seperti orang lain pada umumnya bagi Rara sangat bahagia. Namun, dia tidak menampik, gaji yang ditawarkan Aldebaran jauh lebih besar. Demi menabung untuk mengusahakan biaya operasi Nirmala, Rara tidak punya pilihan lain.
“Pak Al, apa yang akan kulakukan di sini? Apa aku harus menunggu di lobi?” tanya Rara yang sejak tadi mengikuti langkah Aldebaran.
Beberapa pasang mata memandangnya dengan raut sinis. Ada yang merasa iri melihat Rara berjalan sedekat itu dengan Aldebaran. Selain tampan, popularitas yang juga tak kalah menjulang menjadi idaman para wanita. Aldebaran hanya bisa berjalan santai ketika berada di perusahaan, dia tidak bisa bergerak leluasa di luar sana karena profesinya sebagai aktor terkenal. Sudah pasti dia akan dikerumuni para penggemar fanatiknya.
“Hai, Jihan!” sapa Angga yang baru saja keluar dari ruangannya.
“Pak Angga!” sahut Rara semringah.
“Kau tunggu di ruangan Angga, jangan pergi ke mana pun. Ini perintah!”
Rara memandang kikuk ke arah Angga. Angga merespons dengan anggukan kepala.
Setelah Rara pergi, Angga menahan tangan Aldebaran yang akan beranjak masuk. Dia menatap Aldebaran dengan penuh selidik.
“Kenapa kau membawa Jihan datang ke perusahaan? Kau bahkan tidak pernah membawa asisten pribadimu yang sebelumnya ke sini. Mengapa Jihan berbeda?”
Aldebaran menyentak dengan dingin. “Aku tidak perlu menjawab pertanyaanmu!”
Angga kembali menahan langkah Aldebaran. Kali ini Aldebaran menatap tidak suka.
“Apa masalahmu? Kau tidak perlu ikut campur urusanku!”
“Apa kau menyukainya, Al?” Angga menatap lekat kedua iris amber itu. Dia mencari jawaban dalam matanya.
Aldebaran membuang napas kasar. “Urusi hidupmu sendiri, tidak usah mengurusi hidupku!”
“Aku peduli padamu, Al. Jangan kau jadikan Jihan sebagai pelarianmu. Jika benar kau menyukainya, lakukan dengan cara yang benar!”
Rahang Aldebaran mengeras, satu tangannya mengepal. “Jaga ucapanmu. Kau tidak pantas mengaturku!”
“Apa karena aku bukan saudara kandungmu?” Angga menyentuh bahu Aldebaran dengan lembut.
Aldebaran tidak menjawab, dia menepis tangan Angga dan berjalan masuk ke dalam.
***
Berselang dua puluh menit, Aldebaran keluar dari ruangan rapat. Dia malas jika berlama-lama dalam ruangan itu. Hanya karena dia salah satu pemegang saham tertinggi, Aldebaran tidak bisa menolak perintah Mahesa.
Langkah kakinya menuju ruangan Angga. Di sana Aldebaran mendapati Rara yang tengah tertidur dengan menyandarkan kepala pada punggung sofa. Dia kelelahan ditambah lagi dengan udara ruangan kerja Angga yang sejuk membuat rasa kantuk datang menyapa.
Aldebaran mengamati wajah cantik Rara yang tertidur. Sangat pulas. Sedetik kemudian, Aldebaran berdeham keras seketika membuat Rara terlonjak.
“Ma-maf, Pak. Aku tertidur.” Rara merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.
“Jihan!” ucap Angga yang baru saja masuk ke ruangan.
“Pak Angga!” Rara mengulas senyum seraya bangkit dari duduknya.
“Kau sudah mau pulang?” tanyanya lagi. Angga melirik ke arah Aldebaran yang membalas tatapan tidak suka padanya.
Rara menoleh ke arah Aldebaran menunggu jawaban atas pertanyaan Angga.
“Tugasmu sudah selesai. Kau boleh pergi.” Aldebaran melangkah keluar dengan acuh.
Antara senang dan bahagia, Rara menahan diri di depan Angga.
“Aku pulang dulu, Pak!” Rara berseru girang.
“Jihan!” sergah Angga kembali menahan langkah Rara.
“Iya, Pak.”
“Kau punya waktu hari ini? Aku ingin meminta bantuanmu!”
Hari ini aku mau bertemu Ivan, batin Rara. Dia menatap sejenak wajah Angga, tampak jelas wajahnya penuh harap.
“Bantuan apa, Pak?” Rara memutuskan menemui Ivan nanti.
“Mmm ... aku mau memberi hadiah ulang tahun untuk ibuku. Dia sudah punya semua yang diinginkannya, hanya saja aku ingin memberikan sesuatu yang belum dimiliki ibuku. Bisa kau membantuku untuk mencari hadiah yang tepat?”
Aldebaran sedikit mendengar percakapan mereka. Dia kembali melanjutkan langkah dengan raut yang tidak terbaca.
“Berarti ulang tahun ibunya Pak Al?”
“Iya, tapi bukan ibu kandung Al. Kami berdua saudara tiri. Ibu kandung Al sudah meninggal sejak dia berusia lima belas tahun.”
“Pantas saja dia bersikap arogan, mungkin karena .... eh, maaf Pak. Aku suka bicara kelepasan.” Rara menggaruk tengkuknya merasa kikuk sendiri.
“Kapan ulang tahunnya, Pak?”
“Besok. Apa kau bisa membantuku? Jika kau tidak keberatan.”
“Besok? Sama dengan ulang tahunku juga!”
Rara kelepasan lagi. Entah mengapa, setiap berbicara dengan Angga, dia tidak merasa canggung.
“Maaf, Pak. Aku melakukannya lagi.”
Angga tertawa renyah. “Santai saja, aku bukan orang yang serius.”
“Aku akan merapikan berkas sebentar, kau tunggu aku di lobi. Bisa kan?”
Rara mengangguk. “Baik, Pak!”
***
Angga memarkirkan mobilnya. Mereka baru saja sampai di salah satu pusat perbelanjaan yang banyak dikunjungi pengunjung. Rara memandang bangunan bertingkat itu dengan takjub. Ini kali kedua dia datang setelah yang pertama saat membelikan pakaian Aldebaran.
“Kita akan beli apa, Pak?” tanya Rara yang lebih dulu melepas sabuk pengaman.
“Jihan panggil Angga saja, tidak perlu pakai Pak. Aku masih muda, kesannya seperti om-om. Apalagi jalan sama kamu yang seperti anak SMA begini.”
“Biar lebih sopan, Pak. Aku juga besok sudah masuk sembilan belas tahun. Masa iya terlihat seperti anak SMA,” sahut Rara mengulas senyum.
“Itu karena kau memiliki wajah yang imut," goda Angga.
Rara menggaruk kepalanya. “Pak Angga, eh apa aku panggil Kakak saja ya, aku merasa tidak enak jika hanya menyebut nama.”
“Terserah, asal jangan Pak Angga.”
Rara menahan pergerakannya yang hendak membuka pintu. Dia mengurungkan niatnya setelah mengamati kembali pakaian mereka yang jauh berbeda.
“Ada apa, Jihan?” Angga menutup kembali pintu mobilnya yang sempat terbuka lebih dulu.
Rara masih mengamati pakaiannya. Dia menoleh ke arah Angga yang merasa bingung dengan tingkah Rara.
“Pakaian kita berbeda, Kak. Aku pasti akan jadi pusat perhatian di dalam sana. Apalagi jalan dengan Kak Angga yang tampan begini,” tutur Rara dengan menunduk memegang ujung kaosnya.
Angga menghela napas. Memang benar, pakaian Angga sangat formal bila dibandingkan dengan Rara yang memakai jeans dan kaos oblong. Belum lagi rambutnya yang diikat asal-asalan. Namun, aura Rara masih tetap sama, cantik.
“Kau keluar dulu. Aku ada pakaian cadangan di belakang, biar aku ganti sebentar.”
“Apa tidak masalah, Kak? Aku sungguh tidak bermaksud apa pun, hanya saja, aku tidak enak dengan Kak Angga yang—“
“Tidak perlu merasa begitu. Bukankah kita sudah cukup akrab?”
Senyum Rara terukir, dia mengangguk cepat lalu segera turun.
Lima menit kemudian, Angga sudah keluar dengan pakaian outfit simple. Terlihat cocok dengan bentuk tubuhnya, seakan pakaian itu sudah dibuat untuknya.
“Wah, Kak Angga sangat tampan memakai pakaian apa pun.” Rara mengangkat dua ibu jari.
Angga tersenyum. “Ayo, sambil jalan!”
Dari kejauhan, orang yang diperintahkan David terus mengikuti mereka. Dia bahkan sempat mengambil gambar mereka beberapa kali.
Rara terus tertawa sepanjang tapak kaki menuju bagian dalam pusat perbelanjaan. Tanpa diketahui, ada orang lain lagi yang sejak tadi mengikuti mereka dari belakang. Mobilnya terparkir tak jauh dari posisi mobil Angga. Dia menaikkan kaca mobil lalu beranjak pergi dari sana. []
Rara memperhatikan sekeliling, dia menunjuk salah satu toko yang menjual pakaian wanita. Angga mengikuti langkah Rara dengan senyum yang terus mengembang. Angga kembali menahan langkah, melihat panggilan masuk di ponselnya. “Apa yang kaulakukan?!” sergah salah seorang pegawai perempuan dengan sinis. Dia tak lain adalah tetangga Rara yang memiliki sifat sombong. Amelia namanya. Rara seketika berhenti di tempat. Dia melihat batasnya berdiri dengan pintu, lalu menoleh ke sumber suara. “Amel! Kau bekerja di sini?” Rara mendekat ke arah Amel. Amel mengangkat lima jarinya ke udara. Dia menghentikan langkah Rara sebelum mencapai padanya. “Eh, ada apa, Mel?” “Tidak perlu dekat denganku! Kau harus tahu batas, orang sepertimu tidak bisa belanja pakaian mahal di sini,” cibir Amel menyunggingkan sudut bibir. “Kau masih saja
Aldebaran melakukan syuting untuk episode terakhirnya. Rara masih senantiasa menunggu bersama Firman. Kedua tangannya menopang dagu, mengulas kejadian semalam yang membuatnya pagi-pagi buta harus berada di tempat syuting. Sepuluh jam yang lalu .... Rara terkejut melihat Aldebaran berdiri di hadapannya. “Pak Al! Anda kenapa ada di sini?” Aldebaran menyodorkan ponsel milik Rara yang tertinggal di mobil saat datang ke perusahaan. Rara memeriksa kedua saku celananya. Benar saja, ponselnya tidak ada. Rara tersenyum kikuk lalu mengambil dari tangan Aldebaran. “Maaf, Pak. Aku tidak menyadari kalau ponsel itu tertinggal di mobil.” Aldebaran tidak menjawab, pandangannya mengarah pada paper bag yang dipegang Rara. “Datang ke lokasi syuting jam enam tepat. Aku tidak menerima alasan apa pun!” ucap Aldebaran
Rara tampak gelisah. Dia mondar-mandir sejak terbangun setelah dua hari pasca kecelakaan. Rara berkali-kali memastikan wajah itu di cermin. Dia mendesah pelan, masih tetap sama.Rara tidak habis pikir, bagaimana bisa dia berada dalam tubuh Aldebaran? Rara mengacak rambut Aldebaran dengan frustasi. Suara langkah kaki terdengar dari luar, Dion kembali dengan dokter pribadi Aldebaran. Said namanya.“Ini, Dok. Tolong periksa dia. Sejak sadar tadi, aku rasa ada yang salah dengan isi kepalanya,” ujar Dion.“Aku tidak apa-apa, kepalaku baik-baik saja. Masalahnya saat ini aku bukanlah ....”—Rara memegang dada bidang Aldebaran lalu pandangannya mengarah pada satu-satunya yang sangat menonjol—“tubuhku!”Dion mendesah. “Lihat tingkahnya kan, Dok. Ada yang salah dengan otaknya. Pasti amnesia!”“Aku tidak amnesia Pak Dion. Aku—““Kau memang harus diperiksa, Al. Sejak kapan kau memang
Rara menatap langit-langit kamar Aldebaran. Dia masih tidak percaya dengan apa yang dialaminya. Rara mengedarkan pandangannya, berharap semua ini adalah mimpi.Suara ketukan pintu mengalihkan atensi Rara. Rara menoleh ke arah pintu yang terbuka. Rara lantas bangkit dan mengganti posisi duduk dengan cepat. Rupanya Angga. Dia menghampiri Rara yang terlihat sedikit canggung. Wajar saja, Rara baru bertemu lagi dengan Angga setelah terakhir kali saat Angga mengantarnya pulang.“Bagaimana keadaanmu, Al?”“Aku baik, Kak. Kau tidak perlu khawatir,” jawab Rara berusaha terlihat santai.Angga menatap kaget. “Kau tidak hilang ingatan ‘kan? Kau tidak pernah memanggilku ‘kak’ sebelumnya.”Ya ampun, aku lupa kalau Pak Al tidak memanggilnya kakak, batin Rara.Rara menggaruk tengkuk yang tidak gatal. “Ak
Lima menit berlalu begitu saja. Rara dan Monika sama-sama terdiam. Tidak ada percakapan di antara keduanya. Sungguh pemandangan aneh bagi Dion melihat Aldebaran tidak seperti biasanya jika bertemu dengan Monika. Dia sesekali memerhatikan Aldebaran dari balik konter Bartender. Rara benar-benar terjebak. Dia bingung harus berkata apa, mengingat terakhir kali bertemu, sikap Aldebaran begitu marah pada Monika. Rara memperbaiki posisi duduknya. Dia menyandarkan punggung, sedikit mengangkat dagu layaknya bersikap arogan seperti yang dilakukan Aldebaran. “Sampai kapan kau akan diam saja seperti itu?” Rara membuka percakapan lebih dulu. Monika berdeham pelan, nyaris tak terdengar. Dia mengaitkan anak rambut di belakang telinga seraya memperbaiki posisi duduk. “Aku hanya tidak ingin mengacaukan suasana hatimu, Al. Terakhir kita bertemu, kau terlihat sangat marah pada
Rara masih tidak percaya dengan perempuan yang berdiri di hadapannya dan Dion. Rara menatap Dion dengan penuh tanda tanya. Mengapa Dion bisa mengenal Amel, tetangga Rara yang sombong itu?! Pakaiannya juga sangat minim, menampakkan belahan dada yang begitu mengundang hasrat. Amel meletakan tumpuan tangan di pundak Aldebaran. Membisikan sesuatu yang hanya bisa didengar Rara. Rara menoleh kaget, tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan Amel. Rara tidak menolak, mengingat dia adalah tetangga yang baik dia akan diam dulu kali ini. “Bersenang-senanglah, Al!” Dion berseru menyikut lengan Aldebaran. Amel menyunggingkan senyum melihat Aldebaran mengikutinya. Amel membawa Aldebaran masuk ke dalam salah satu ruangan khusus. Rara mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ruangan itu cukup luas, dilengkapi beberapa fasilitas pendukung. Ada botol minuman
Rara memarkirkan mobil Aldebaran di lahan parkir Rumah Sakit. Hari ini dia mengunjungi ibunya sekaligus mengecek keadaan perkembangan tubuhnya. Rara menggunakan topi dan masker untuk menutupi wajah Aldebaran. Rara berjalan menyusuri koridor Rumah Sakit dengan pandangan awas, khawatir ada yang mengenal Aldebaran dan dicerca pertanyaan beragam apalagi jika sampai ke telinga media. Di tangan kanan, dia memegang bingkisan buah yang sengaja dibeli untuk ibunya. Nirmala sudah seminggu melewati masa pemulihan setelah pasca operasi transplantasi jantung. Rara sangat bersyukur, Tuhan memberikan dia kesempatan untuk menyembuhkan ibunya melalui Aldebaran. Dia tidak akan pernah melupakan janji yang sudah dia ucapkan sebelumnya. Binar wajah yang ditunjukkan Rara tampak bahagia sepanjang tapak kaki menuju ruangan Nirmala. Mendadak, Rara menahan langkah. Dia melihat orang tak dikenal berdiri di depan pintu kamar rawat Nirmala. Rara menyembunyikan diri
Rara berulang kali berlatih di cermin, hasilnya selalu gagal. Sering kali Rara lupa dialog atau ekspresi wajahnya tidak tepat. Rara mengembuskan napas kasar, sepuluh menit berlalu dia belum juga berhasil. Mereka pasti akan mempertanyakannya karena Aldebaran yang asli tidak pernah mengulang akting.Rara mengusap rambut ke belakang dengan jemari. Dia benar-benar harus fokus. Rara menatap tajam di cermin, bagaimana pun juga dia tidak boleh gagal.Suara ketukan berasal dari balik pintu ruang ganti Aldebaran. Asisten Firman—Fandi, mendekat.“Maaf, Pak. Anda diminta untuk segera syuting.”“Pergilah! Aku akan keluar,” jawab Rara tegas.Fandi mengangguk paham dan segera undur diri.Rara menarik napas panjang lalu beranjak keluar. Di sana dia sudah melihat lawan mainnya Liona telah bersiap. Liona kembali menjadi rekan dalam film yang dita
Rara telah bersiap dengan balutan gaun pengantin. Dia benar-benar tampak cantik dan anggun. Aldebaran melamarnya dengan cara tak terduga. Lamaran yang dilakukan Aldebaran sampai viral di berbagai media sosial. Akun i*******m milik Rara dan Aldebaran dibanjiri komentar positif dan ucapan selamat. Momen itu juga ditayangkan di TV nasional selama hampir seminggu. Bahkan beberapa pihak berbondong-bondong menawarkan endorse untuk pernikahan mereka. Hari pernikahan mereka juga sengaja ditayangkan secara langsung dari salah satu stasiun TV dengan rating tertinggi. Rara merasa gugup. Berkali-kali Rara menghela napas. Jantungnya seakan mencelos menunggu akad nikah mereka dimulai. "Kau sangat cantik, Ra!" Monika mendekat seraya memuji. Dia tersenyum tulus melihat dari pantulan cermin. "Terima kasih, Kak! Aku sangat gugup." "Al tidak kalah lebih gugup darimu. Dia masih terus berlatih mengucapkan ijab kabul agar tidak salah." Rara tersenyum h
Rara menggeliat, meregangkan otot-otot. Matanya mengerjap lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Di sinilah Rara, masih tidak percaya berada di kamar sendiri. Seperti mimpi yang panjang baginya.Rara menyibak selimut, merapikan tempat tidurnya. Rara bergegas keluar mendapati Nirmala dan Monika di ruang makan sedang mempersiapkan sarapan."Pagi adikku, Sayang!" Monika menyapa. Tidurmu nyenyak?"Rara mengangguk. "Sangat nyenyak. Bagaimana dengan Kak Monika?""Aku juga. Aku akan merasa nyaman jika tinggal lama di sini!""Tinggal lah selama mungkin. Aku sangat senang jika Kak Monika tinggal di sini!""Benarkah? Apa boleh, Bu?" Monika melirik ke arah Nirmala."Tentu saja. Kau tidak perlu meminta izin.""Kalau dengan ayah, juga boleh?" Monika melempar tatapan ke arah Rara.Nirmala diam sejenak. Rara dan Monika menunggu jawaban Nirmala. "Tergantung usahanya mendapatkan hati ibu kem
Aldebaran dan Rara merencanakan janji untuk bertemu setelah Rara melakukan pekerjaan Aldebaran. Mereka akan bersama-sama mencari wanita tua itu. Sebelumnya, Rara dan Aldebaran sudah mencari tahu kue yang dibeli Firman. Dari ucapan Firman, dia tidak membeli di tempat yang Aldebaran maksud dan penjual kue itu bukan wanita tua melainkan wanita muda. Saat ini, Rara sibuk melakukan syuting iklan terakhir sebelum akhirnya dia mengambil libur panjang untuk beberapa bulan ke depan. Aldebaran meminta Rara untuk tidak menerima tawaran karena dia ingin mengajak Rara berlibur membawa Nirmala yang sejak dulu ingin sekali pergi ke Korea. Nirmala sangat gemar menonton drama dari Negeri Gingseng itu. Aldebaran ingin memberikan kejutan sebagai Rara dengan mengajaknya ke sana. "Bu, apa yang bisa Rara bantu?" tanya Aldebaran setelah membereskan kamar Rara. Dia sudah memutuskan tinggal bersama Nirmala. "Rara bantu ibu pergi ke pasar. Ada beberapa bahan masakan yang harus dibeli.
Mahesa marah besar begitu mengetahui Ivanka adalah pelaku utama dari kecelakaan yang menimpa Aldebaran. Ivanka sudah dibekuk polisi seminggu yang lalu. Angga sendiri yang melaporkan ibunya setelah semua usaha Angga meminta ibunya menyerahkan diri diabaikan Ivanka. Angga tidak punya pilihan dan terpaksa membuat bukti untuk menjerat Ivanka.Pemberitaan mengenai kasus kecelakaan Aldebaran mengudara selama berhari-hari, para media terus saja membahas motif dan alasan Ivanka melakukan semua itu. Bahkan fans setia Aldebaran merutuki Ivanka dan meminta pihak kepolisian untuk menjatuhkan hukuman mati sebagai efek jera agar tidak ada lagi orang seperti Ivanka yang tega merencanakan pembunuhan pada anak dari suaminya sendiri.Saat ini Ivanka telah duduk di meja persidangan. Sementara Angga duduk di meja saksi memberikan pernyataan. Ivanka tidak bisa mengelak, semua barang bukti mengarah padanya. Kaki tangan Ivanka juga sudah mengakui perbuatan mereka.Ivanka akhirny
"Akhirnya kau datang juga, Al!" Aldebaran menatap tajam. “Berani sekali kau datang ke rumah ini! Bukankah aku sudah melarangmu untuk tidak menginjakkan kaki di sini?!” “Aku kemari karena mengambil barangku yang tertinggal!” Ivanka berjalan ke arah sofa panjang yang ukiran gagangnya terbuat dari kayu jati. Ivanka menjuntaikan sebuah liontin seraya tersenyum. “Kenapa itu ada padamu?!" suara Aldebaran merendah, terdengar penuh penekanan. "Duduklah! Setidaknya berbincanglah denganku. Kau selalu saja bersikap dingin dari semenjak pertama kali kita bertemu!" Ivanka berujar. Dia memberi isyarat menunjuk dengan dagu ke arah secangkir kopi yang sudah dia siapkan. Ivanka mengangkat cangkir menyeruput kopinya dengan nikmat. "Aku tidak meracunimu. Aku hanya ingin kita berbaikan dan bisa duduk bersama, berbincang hangat layaknya ibu dan anak." Aldebaran meneguk setengah kopi miliknya. "Kau puas? Sekarang kembalikan! Sejak
Sehari sebelum kecelakaan terjadi.... Ivanka mendatangi RAM Corp setelah berbelanja di butik langganannya. Jam makan siang sebentar lagi dan Ivanka ingin mengajak Mahesa makan di luar. Sudah lama dia tidak jalan berdua dengan Mahesa karena terlalu sibuk dengan bisnis. Ivanka mengumbar senyum pada beberapa karyawan yang berpapasan dengannya. Suara heels pigalle foliies 100 milik Ivanka mengetuk-ngetuk lantai marmer hingga terdengar menggema berirama. Ivanka menunjukkan keanggunan saat menaiki lift menuju lantai utama. Senyum Ivanka kembali terukir begitu sampai di depan meja sekretaris Mahesa. “Nindya, apa Pak Mahesa ada? Katakan aku ada di sini!” titah Ivanka membusungkan dada dengan elegan. “Ada, Bu! Pak Mahesa sedang berbincang dengan Pak Mudi.” “Aku ingin masuk!” “Maaf, Ibu! Pesan Pak Mahesa, dia tidak ingin di
Rara baru saja tiba di depan sebuah restoran. Rara meminta bertemu dengan David secara pribadi. Dia sengaja reservasi rooftop hotel agar pertemuan mereka tidak diganggu. David sudah datang lebih dulu. Rara mengeluarkan ponsel, membuka kotak masuk. Aldebaran : Tidak perlu mampir! Aku akan keluar dengan Angga. Rara : Aku akan bertemu dengan Pak David hari ini. Aldebaran : Kau sudah yakin dengan keputusanmu? Rara : Keputusanku sudah bulat! Rara menarik napas panjang, menguatkan batinnya, mengumpulkan keberanian untuk menanyakan langsung. Langkah Aldebaran beranjak masuk. Rara melihat David duduk memunggunginya. “Maaf membuat Anda lama menunggu!” ucap Aldebaran begitu duduk berseberangan di hadapan David. “Saya juga baru sampai!” jawabnya singkat. Aldebaran memanggil waitress mendekat. “Mau
Suara bel terdengar saat Aldebaran baru saja selesai sarapan. Aldebaran mendekat ke arah pintu, dia tahu itu pasti Rara. Rara sudah menelepon dan mengatakan akan mampir ke sana. Raut wajah Rara seketika berubah kaku saat mendapati Angga yang berdiri di hadapannya seraya mengulurkan buket bunga berukuran sedang. Aldebaran menerima dengan diam, detik selanjutnya dia menarik bibir membentuk senyum manis. “Kak Angga! Kenapa tidak mengabariku jika mau ke datang kemari?” “Aku ingin memberimu kejutan!” “Ayo, masuk!” Aldebaran menaruh bunga dalam vas. Kebetulan sekali dia baru membuang bunga yang sudah mengering beberapa saat lalu. “Hari ini aku mau mengajakmu kencan. Boleh luangkan waktumu seharian? Katakan pada Al untuk izin tidak bekerja!” “Kencan? Aku pikir besok.” “Aku tidak sabar melakukannya, kebetulan hari ini aku sengaja mengajukan libur bekerja sehari untuk mengaj
Malam sebelumnya.... “Pak!” sergah Rara saat mobil Aldebaran baru saja sampai di depan mansion Mahesa. “Ada apa?” “Pak David, boleh aku sendiri yang menemuinya?” Rara menoleh, ada duka dalam tatapannya. “Sebagai diriku?” Rara mengangguk. “Ucapan ibu tadi membuatku kembali berpikir....” “Apa yang kau pikirkan?” “Mengenai ayahku datang di hadapanku!” Suara Aldebaran bergetar, Rara menahan diri untuk tidak menangis. “Apa kau pikir dia ayahmu?” “Entahlah! Tapi aku yakin satu hal, ibu berbohong soal ayahku. Waktu itu, aku tidak sengaja mendengar ucapan ibu dengan bibi yang membicarakan soal ayahku. Aku hanya ingin memastikan!” Aldebaran menghela napas pelan. “Jika itu membuatmu tenang, lakukan saja. Aku tidak masalah.” “Terima kasih.” “Oh, ya, satu hal lagi. Aku ingin kau melakukan sesuatu!” “Melakukan apa?” Rara menahan pegangan pintu hendak ke