Rara memperhatikan sekeliling, dia menunjuk salah satu toko yang menjual pakaian wanita. Angga mengikuti langkah Rara dengan senyum yang terus mengembang. Angga kembali menahan langkah, melihat panggilan masuk di ponselnya.
“Apa yang kaulakukan?!” sergah salah seorang pegawai perempuan dengan sinis. Dia tak lain adalah tetangga Rara yang memiliki sifat sombong. Amelia namanya.
Rara seketika berhenti di tempat. Dia melihat batasnya berdiri dengan pintu, lalu menoleh ke sumber suara.
“Amel! Kau bekerja di sini?” Rara mendekat ke arah Amel.
Amel mengangkat lima jarinya ke udara. Dia menghentikan langkah Rara sebelum mencapai padanya.
“Eh, ada apa, Mel?”
“Tidak perlu dekat denganku! Kau harus tahu batas, orang sepertimu tidak bisa belanja pakaian mahal di sini,” cibir Amel menyunggingkan sudut bibir.
“Kau masih saja sombong. Padahal kita tetangga,” sahut Rara merasa sedikit kesal.
“Aku tidak punya tetangga miskin sepertimu. Toko kami hanya melayani orang kaya. Gadis miskin sepertimu hanya mengotori pemandangan. Cepat pergi dari sini!” Amel mencela dengan cemooh. Dia bahkan bersedakap dada menatap Rara dengan angkuh.
“Kita berdua sama saja, Mel. Memiliki kehidupan yang sesuai porsinya. Jangan kira kau bekerja di toko pakaian mahal, kau merasa tinggi hati. Jika dibandingkan gajimu, aku bahkan lebih tinggi tiga kali lipat!” balas Rara merasa jengkel. Jika saja dia tidak menahan diri karena mereka tetangga, Rara sudah pasti merobek-robek mulut gadis sombong itu.
Amel menatap geram dia ingin sekali membalas ucapan Rara. Namun, Amel kembali bersikap tenang saat melihat Angga mendekat ke arah mereka.
“Minggir sana!” gumam Amel dengan penuh penekanan.
“Selamat datang, Pak Angga!” sapa Amel ramah.
Rara mengerling kesal lalu berbalik pergi.
“Mau ke mana Jihan?” tanya Angga menahan tangan Rara.
Amel sedikit terkejut melihat Angga menyebut nama Rara apalagi sampai memegang tangannya.
Angga mendekat, berdiri di hadapan Amel.
“Silakan masuk lebih dulu, Jihan. Kau pilih saja pakaian mana yang kau inginkan!” kata Angga kemudian.
Amel tidak bisa berkata-kata. Dia hanya mengikuti langkah mereka dari belakang dengan pandangan tertunduk.
Bagaimana bisa Rara mengenal seorang Angga Wijaya? batin Amel bertanya-tanya.
“Pak Angga ingin mencari model pakaian apa? Toko kami ada model pakaian terbaru,” tawar Amel dengan senyum tersimpul manis.
Rara menoleh ke arah Amel yang menatap tidak suka padanya.
Angga menurunkan berbagai model pakaian. Dia membawa Rara mendekati cermin besar yang tergantung.
“Bagaimana menurutmu? Apa yang ini cocok padamu?”
Rara menatap kaget ke arah Angga yang tersenyum manis berdiri di hadapannya. Rara menunjukkan isyarat kebingungan dalam matanya. Angga mengedipkan mata, berharap Rara mengikuti apa yang dilakukan Angga. Rara mengangguk, walau masih belum paham maksud Angga.
“Yang lain, Kak. Ini terlalu mencolok. Aku tidak suka!”
Angga menunjukkan model lain. “Kalau yang ini?”
“Terlalu kebesaran.”
Angga mengganti pakaian berikutnya. Rara hanya menggeleng. Angga kembali tersenyum melihat Rara dari pantulan cermin.
Rara kembali memberi isyarat, dia masih belum paham dengan semua hal yang Angga lakukan.
Amel sejak tadi menahan kekesalan. Dia yang sejak dulu selalu memperhatikan Angga setiap kali belanja di toko pakaian itu tidak terima melihat sikap Angga yang sangat perhatian pada Rara. Bahkan beberapa pegawai lainnya hanya bisa memekik senang dengan suara tertahan melihat Angga yang masih tetap tampan.
“Tidak ada yang menarik di sini. Pakaiannya juga sangat mahal. Lagi pula ibu—“
“Mau lihat ke tempat lain?” Angga menyela cepat.
“Terserah Kak Angga saja.” Rara memandang ke arah Amel yang sudah sangat jengkel dari tadi. Dia kini mengerti maksud Angga. Rupanya, Angga sengaja membalas perlakuan Amel yang tidak sopan pada Rara.
Rara melingkari tangannya di lengan Angga. “Kita ke tempat lain saja, Kak. Di sini bukan selera aku. Pasti ada yang lebih bagus dari sini.”
Angga mengulas senyum. Pandangannya beralih ke arah Amel yang seketika mengubah raut wajahnya.
“Maaf, ya, Jihan tidak suka dengan model pakaian di sini.” Angga berkata santun seraya beranjak pergi.
Senyum Rara merekah, dia melempar pandangan pada Amel dengan tatapan mencela.
Amel hanya bisa menghentakkan kakinya dengan kesal.
Rara melepas tangannya ketika beberapa langkah melewati toko itu.
“Maaf, Kak, dan terima kasih soal tadi.”
“Aku hanya membalas perlakuan pegawai itu padamu. Dia pantas menerimanya!”
“Benar, Kak. Dia sangat sombong. Namanya Amel. Padahal kita tetangga, kehidupan kami juga tidak jauh beda malah berlagak angkuh!”
Angga tersenyum. “Oh, ya, menurut Jihan, hadiah apa yang cocok untuk ibuku?”
Rara memperhatikan sekeliling. Dia masih mencari hadiah yang tepat. Kemudian, manik matanya tertuju pada syal berwarna gold yang terpajang di salah satu maneken.
“Kak, bagaimana kalau yang itu!” Tunjuk Rara.
Rara berlari mendekat ke arah kaca, memperhatikan secara saksama. Sangat cantik dan berkilau.
Angga masuk ke dalam bersama Rara. Para pegawai di situ menyambut dengan sopan.
“Aku mau syal di patung itu!” kata Angga ke salah satu pegawai.
Rara melihat sekeliling. Netra nya tertuju pada sebuah long dress yang cantik dengan motif bunga membuatnya tertarik. Rara menggeleng, mana mungkin dia cocok dengan pakaian seperti itu. Sejak dulu Rara terbiasa dengan memakai celana jeans dan kaos. Itu juga hanya sanggup membeli ketika ada toko grosir sedang promo cuci gudang.
Mata Rara kembali membulat saat melihat harga yang tertera. Itu sebanding dengan uang yang dia kumpulkan selama setahun.
Rara menggantung kembali di tempatnya. Dia berbalik, melihat Angga mendekat ke arahnya.
“Sudah dibungkus, Kak?”
“Iya. Kau lihat apa?”
“Bukan apa-apa, hanya melihat-lihat saja.”
Rara berjalan lebih dulu. Angga menoleh ke arah long dress yang tergantung. Sedetik kemudian, dia berbalik dan menyusul Rara.
Setelah hampir tiga puluh menit berkendara, Angga menepikan mobil di depan pagar rumah Rara.
“Terima kasih, Kak. Kak Angga tidak mampir dulu?”
“Sudah malam, lain kali saja.”
“Baik, Kak. Aku turun ya, Kak.”
“Tunggu, Jihan!"—Angga menoleh ke belakang mengambil sesuatu—“buat Jihan!”
Rara menerima sebuah paper bag. “Ini apa, Kak?”
“Buka saja!”
Rara tertegun, melihat long dress yang dilihatnya tadi. Angga membelikan pakaian mahal untuknya.
“Ini kan—“
“Iya, itu yang Jihan suka ‘kan?” Angga mengusap puncak kepala Rara.
“Terimakasih, Kak. Tapi aku hanya menyukainya saja. Baju ini tidak akan cocok dengan penampilanku. Apalagi baju ini sangat mahal. Kapan Kak Angga beli? Perasaan tadi kita langsung pergi.”
“Aku sudah membayarnya ketika Jihan melihat baju ini, dan begitu kau keluar pegawai di sana langsung membungkusnya,” papar Angga.
“Tapi aku tetap tidak bisa menerimanya, Kak. Baju ini tidak cocok untukku!” Rara memberikan kembali pada Angga.
Angga menolak dengan menggeleng. “Ini hadiah ulang tahunmu. Aku memberikan lebih awal karena besok kau pasti sibuk. Tolong Jihan jangan menolak.” Angga menatap penuh harap.
Rara menghela napas berat. Dia mengangguk tanda setuju. Senyum Angga mengembang, dia tampak senang Rara menerima hadiah darinya.
“Sekali lagi terima kasih, Kak.”
“Harusnya aku, kau sudah membantuku memilih hadiah yang tepat.”
“Hati-hati di jalan!” Rara melambaikan tangan melihat mobil Angga berangsur menjauh.
Senyum Rara mendadak memudar saat berbalik dan melihat seseorang berdiri di hadapannya dengan tatapan menyorot tajam. []
Aldebaran melakukan syuting untuk episode terakhirnya. Rara masih senantiasa menunggu bersama Firman. Kedua tangannya menopang dagu, mengulas kejadian semalam yang membuatnya pagi-pagi buta harus berada di tempat syuting. Sepuluh jam yang lalu .... Rara terkejut melihat Aldebaran berdiri di hadapannya. “Pak Al! Anda kenapa ada di sini?” Aldebaran menyodorkan ponsel milik Rara yang tertinggal di mobil saat datang ke perusahaan. Rara memeriksa kedua saku celananya. Benar saja, ponselnya tidak ada. Rara tersenyum kikuk lalu mengambil dari tangan Aldebaran. “Maaf, Pak. Aku tidak menyadari kalau ponsel itu tertinggal di mobil.” Aldebaran tidak menjawab, pandangannya mengarah pada paper bag yang dipegang Rara. “Datang ke lokasi syuting jam enam tepat. Aku tidak menerima alasan apa pun!” ucap Aldebaran
Rara tampak gelisah. Dia mondar-mandir sejak terbangun setelah dua hari pasca kecelakaan. Rara berkali-kali memastikan wajah itu di cermin. Dia mendesah pelan, masih tetap sama.Rara tidak habis pikir, bagaimana bisa dia berada dalam tubuh Aldebaran? Rara mengacak rambut Aldebaran dengan frustasi. Suara langkah kaki terdengar dari luar, Dion kembali dengan dokter pribadi Aldebaran. Said namanya.“Ini, Dok. Tolong periksa dia. Sejak sadar tadi, aku rasa ada yang salah dengan isi kepalanya,” ujar Dion.“Aku tidak apa-apa, kepalaku baik-baik saja. Masalahnya saat ini aku bukanlah ....”—Rara memegang dada bidang Aldebaran lalu pandangannya mengarah pada satu-satunya yang sangat menonjol—“tubuhku!”Dion mendesah. “Lihat tingkahnya kan, Dok. Ada yang salah dengan otaknya. Pasti amnesia!”“Aku tidak amnesia Pak Dion. Aku—““Kau memang harus diperiksa, Al. Sejak kapan kau memang
Rara menatap langit-langit kamar Aldebaran. Dia masih tidak percaya dengan apa yang dialaminya. Rara mengedarkan pandangannya, berharap semua ini adalah mimpi.Suara ketukan pintu mengalihkan atensi Rara. Rara menoleh ke arah pintu yang terbuka. Rara lantas bangkit dan mengganti posisi duduk dengan cepat. Rupanya Angga. Dia menghampiri Rara yang terlihat sedikit canggung. Wajar saja, Rara baru bertemu lagi dengan Angga setelah terakhir kali saat Angga mengantarnya pulang.“Bagaimana keadaanmu, Al?”“Aku baik, Kak. Kau tidak perlu khawatir,” jawab Rara berusaha terlihat santai.Angga menatap kaget. “Kau tidak hilang ingatan ‘kan? Kau tidak pernah memanggilku ‘kak’ sebelumnya.”Ya ampun, aku lupa kalau Pak Al tidak memanggilnya kakak, batin Rara.Rara menggaruk tengkuk yang tidak gatal. “Ak
Lima menit berlalu begitu saja. Rara dan Monika sama-sama terdiam. Tidak ada percakapan di antara keduanya. Sungguh pemandangan aneh bagi Dion melihat Aldebaran tidak seperti biasanya jika bertemu dengan Monika. Dia sesekali memerhatikan Aldebaran dari balik konter Bartender. Rara benar-benar terjebak. Dia bingung harus berkata apa, mengingat terakhir kali bertemu, sikap Aldebaran begitu marah pada Monika. Rara memperbaiki posisi duduknya. Dia menyandarkan punggung, sedikit mengangkat dagu layaknya bersikap arogan seperti yang dilakukan Aldebaran. “Sampai kapan kau akan diam saja seperti itu?” Rara membuka percakapan lebih dulu. Monika berdeham pelan, nyaris tak terdengar. Dia mengaitkan anak rambut di belakang telinga seraya memperbaiki posisi duduk. “Aku hanya tidak ingin mengacaukan suasana hatimu, Al. Terakhir kita bertemu, kau terlihat sangat marah pada
Rara masih tidak percaya dengan perempuan yang berdiri di hadapannya dan Dion. Rara menatap Dion dengan penuh tanda tanya. Mengapa Dion bisa mengenal Amel, tetangga Rara yang sombong itu?! Pakaiannya juga sangat minim, menampakkan belahan dada yang begitu mengundang hasrat. Amel meletakan tumpuan tangan di pundak Aldebaran. Membisikan sesuatu yang hanya bisa didengar Rara. Rara menoleh kaget, tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan Amel. Rara tidak menolak, mengingat dia adalah tetangga yang baik dia akan diam dulu kali ini. “Bersenang-senanglah, Al!” Dion berseru menyikut lengan Aldebaran. Amel menyunggingkan senyum melihat Aldebaran mengikutinya. Amel membawa Aldebaran masuk ke dalam salah satu ruangan khusus. Rara mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ruangan itu cukup luas, dilengkapi beberapa fasilitas pendukung. Ada botol minuman
Rara memarkirkan mobil Aldebaran di lahan parkir Rumah Sakit. Hari ini dia mengunjungi ibunya sekaligus mengecek keadaan perkembangan tubuhnya. Rara menggunakan topi dan masker untuk menutupi wajah Aldebaran. Rara berjalan menyusuri koridor Rumah Sakit dengan pandangan awas, khawatir ada yang mengenal Aldebaran dan dicerca pertanyaan beragam apalagi jika sampai ke telinga media. Di tangan kanan, dia memegang bingkisan buah yang sengaja dibeli untuk ibunya. Nirmala sudah seminggu melewati masa pemulihan setelah pasca operasi transplantasi jantung. Rara sangat bersyukur, Tuhan memberikan dia kesempatan untuk menyembuhkan ibunya melalui Aldebaran. Dia tidak akan pernah melupakan janji yang sudah dia ucapkan sebelumnya. Binar wajah yang ditunjukkan Rara tampak bahagia sepanjang tapak kaki menuju ruangan Nirmala. Mendadak, Rara menahan langkah. Dia melihat orang tak dikenal berdiri di depan pintu kamar rawat Nirmala. Rara menyembunyikan diri
Rara berulang kali berlatih di cermin, hasilnya selalu gagal. Sering kali Rara lupa dialog atau ekspresi wajahnya tidak tepat. Rara mengembuskan napas kasar, sepuluh menit berlalu dia belum juga berhasil. Mereka pasti akan mempertanyakannya karena Aldebaran yang asli tidak pernah mengulang akting.Rara mengusap rambut ke belakang dengan jemari. Dia benar-benar harus fokus. Rara menatap tajam di cermin, bagaimana pun juga dia tidak boleh gagal.Suara ketukan berasal dari balik pintu ruang ganti Aldebaran. Asisten Firman—Fandi, mendekat.“Maaf, Pak. Anda diminta untuk segera syuting.”“Pergilah! Aku akan keluar,” jawab Rara tegas.Fandi mengangguk paham dan segera undur diri.Rara menarik napas panjang lalu beranjak keluar. Di sana dia sudah melihat lawan mainnya Liona telah bersiap. Liona kembali menjadi rekan dalam film yang dita
Rara menggeliat, dia menoleh ke arah jam di atas nakas menunjukkan pukul tujuh pagi. Dia beberapa kali mengerjap masih dengan pandangan yang sama saat netra nya menatap langit kamar berukiran mewah itu. Rara segera bangkit dan duduk bersila, pandangannya mengarah ke arah cermin—melihat wajah tampan Aldebaran ketika bangun tidur. Dia tidak menampik, wajah pria arogan ini benar-benar tampan. Pahatan sempurna dari kedua alis tebal yang membingkai dua manik mata yang teduh. Hidung mancung yang sesuai dengan bentuk wajah oriental serta rambut-rambut halus menghiasi area dagu. Begitu maskulin dan sempurna bagi setiap penggemar setia seorang Aldebaran. Rara masih terpaku sejenak memandang ciptaan Tuhan yang nyaris sempurna. Spontan, senyumnya melengkung memperlihatkan lesung pipi yang terlihat samar di sebelah kiri. Rara tersentak. Sejak kapan Aldebaran punya lesung pipi? Kenapa juga dia harus tersenyum melihat wajah orang lain dari cermin?!
Rara telah bersiap dengan balutan gaun pengantin. Dia benar-benar tampak cantik dan anggun. Aldebaran melamarnya dengan cara tak terduga. Lamaran yang dilakukan Aldebaran sampai viral di berbagai media sosial. Akun i*******m milik Rara dan Aldebaran dibanjiri komentar positif dan ucapan selamat. Momen itu juga ditayangkan di TV nasional selama hampir seminggu. Bahkan beberapa pihak berbondong-bondong menawarkan endorse untuk pernikahan mereka. Hari pernikahan mereka juga sengaja ditayangkan secara langsung dari salah satu stasiun TV dengan rating tertinggi. Rara merasa gugup. Berkali-kali Rara menghela napas. Jantungnya seakan mencelos menunggu akad nikah mereka dimulai. "Kau sangat cantik, Ra!" Monika mendekat seraya memuji. Dia tersenyum tulus melihat dari pantulan cermin. "Terima kasih, Kak! Aku sangat gugup." "Al tidak kalah lebih gugup darimu. Dia masih terus berlatih mengucapkan ijab kabul agar tidak salah." Rara tersenyum h
Rara menggeliat, meregangkan otot-otot. Matanya mengerjap lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Di sinilah Rara, masih tidak percaya berada di kamar sendiri. Seperti mimpi yang panjang baginya.Rara menyibak selimut, merapikan tempat tidurnya. Rara bergegas keluar mendapati Nirmala dan Monika di ruang makan sedang mempersiapkan sarapan."Pagi adikku, Sayang!" Monika menyapa. Tidurmu nyenyak?"Rara mengangguk. "Sangat nyenyak. Bagaimana dengan Kak Monika?""Aku juga. Aku akan merasa nyaman jika tinggal lama di sini!""Tinggal lah selama mungkin. Aku sangat senang jika Kak Monika tinggal di sini!""Benarkah? Apa boleh, Bu?" Monika melirik ke arah Nirmala."Tentu saja. Kau tidak perlu meminta izin.""Kalau dengan ayah, juga boleh?" Monika melempar tatapan ke arah Rara.Nirmala diam sejenak. Rara dan Monika menunggu jawaban Nirmala. "Tergantung usahanya mendapatkan hati ibu kem
Aldebaran dan Rara merencanakan janji untuk bertemu setelah Rara melakukan pekerjaan Aldebaran. Mereka akan bersama-sama mencari wanita tua itu. Sebelumnya, Rara dan Aldebaran sudah mencari tahu kue yang dibeli Firman. Dari ucapan Firman, dia tidak membeli di tempat yang Aldebaran maksud dan penjual kue itu bukan wanita tua melainkan wanita muda. Saat ini, Rara sibuk melakukan syuting iklan terakhir sebelum akhirnya dia mengambil libur panjang untuk beberapa bulan ke depan. Aldebaran meminta Rara untuk tidak menerima tawaran karena dia ingin mengajak Rara berlibur membawa Nirmala yang sejak dulu ingin sekali pergi ke Korea. Nirmala sangat gemar menonton drama dari Negeri Gingseng itu. Aldebaran ingin memberikan kejutan sebagai Rara dengan mengajaknya ke sana. "Bu, apa yang bisa Rara bantu?" tanya Aldebaran setelah membereskan kamar Rara. Dia sudah memutuskan tinggal bersama Nirmala. "Rara bantu ibu pergi ke pasar. Ada beberapa bahan masakan yang harus dibeli.
Mahesa marah besar begitu mengetahui Ivanka adalah pelaku utama dari kecelakaan yang menimpa Aldebaran. Ivanka sudah dibekuk polisi seminggu yang lalu. Angga sendiri yang melaporkan ibunya setelah semua usaha Angga meminta ibunya menyerahkan diri diabaikan Ivanka. Angga tidak punya pilihan dan terpaksa membuat bukti untuk menjerat Ivanka.Pemberitaan mengenai kasus kecelakaan Aldebaran mengudara selama berhari-hari, para media terus saja membahas motif dan alasan Ivanka melakukan semua itu. Bahkan fans setia Aldebaran merutuki Ivanka dan meminta pihak kepolisian untuk menjatuhkan hukuman mati sebagai efek jera agar tidak ada lagi orang seperti Ivanka yang tega merencanakan pembunuhan pada anak dari suaminya sendiri.Saat ini Ivanka telah duduk di meja persidangan. Sementara Angga duduk di meja saksi memberikan pernyataan. Ivanka tidak bisa mengelak, semua barang bukti mengarah padanya. Kaki tangan Ivanka juga sudah mengakui perbuatan mereka.Ivanka akhirny
"Akhirnya kau datang juga, Al!" Aldebaran menatap tajam. “Berani sekali kau datang ke rumah ini! Bukankah aku sudah melarangmu untuk tidak menginjakkan kaki di sini?!” “Aku kemari karena mengambil barangku yang tertinggal!” Ivanka berjalan ke arah sofa panjang yang ukiran gagangnya terbuat dari kayu jati. Ivanka menjuntaikan sebuah liontin seraya tersenyum. “Kenapa itu ada padamu?!" suara Aldebaran merendah, terdengar penuh penekanan. "Duduklah! Setidaknya berbincanglah denganku. Kau selalu saja bersikap dingin dari semenjak pertama kali kita bertemu!" Ivanka berujar. Dia memberi isyarat menunjuk dengan dagu ke arah secangkir kopi yang sudah dia siapkan. Ivanka mengangkat cangkir menyeruput kopinya dengan nikmat. "Aku tidak meracunimu. Aku hanya ingin kita berbaikan dan bisa duduk bersama, berbincang hangat layaknya ibu dan anak." Aldebaran meneguk setengah kopi miliknya. "Kau puas? Sekarang kembalikan! Sejak
Sehari sebelum kecelakaan terjadi.... Ivanka mendatangi RAM Corp setelah berbelanja di butik langganannya. Jam makan siang sebentar lagi dan Ivanka ingin mengajak Mahesa makan di luar. Sudah lama dia tidak jalan berdua dengan Mahesa karena terlalu sibuk dengan bisnis. Ivanka mengumbar senyum pada beberapa karyawan yang berpapasan dengannya. Suara heels pigalle foliies 100 milik Ivanka mengetuk-ngetuk lantai marmer hingga terdengar menggema berirama. Ivanka menunjukkan keanggunan saat menaiki lift menuju lantai utama. Senyum Ivanka kembali terukir begitu sampai di depan meja sekretaris Mahesa. “Nindya, apa Pak Mahesa ada? Katakan aku ada di sini!” titah Ivanka membusungkan dada dengan elegan. “Ada, Bu! Pak Mahesa sedang berbincang dengan Pak Mudi.” “Aku ingin masuk!” “Maaf, Ibu! Pesan Pak Mahesa, dia tidak ingin di
Rara baru saja tiba di depan sebuah restoran. Rara meminta bertemu dengan David secara pribadi. Dia sengaja reservasi rooftop hotel agar pertemuan mereka tidak diganggu. David sudah datang lebih dulu. Rara mengeluarkan ponsel, membuka kotak masuk. Aldebaran : Tidak perlu mampir! Aku akan keluar dengan Angga. Rara : Aku akan bertemu dengan Pak David hari ini. Aldebaran : Kau sudah yakin dengan keputusanmu? Rara : Keputusanku sudah bulat! Rara menarik napas panjang, menguatkan batinnya, mengumpulkan keberanian untuk menanyakan langsung. Langkah Aldebaran beranjak masuk. Rara melihat David duduk memunggunginya. “Maaf membuat Anda lama menunggu!” ucap Aldebaran begitu duduk berseberangan di hadapan David. “Saya juga baru sampai!” jawabnya singkat. Aldebaran memanggil waitress mendekat. “Mau
Suara bel terdengar saat Aldebaran baru saja selesai sarapan. Aldebaran mendekat ke arah pintu, dia tahu itu pasti Rara. Rara sudah menelepon dan mengatakan akan mampir ke sana. Raut wajah Rara seketika berubah kaku saat mendapati Angga yang berdiri di hadapannya seraya mengulurkan buket bunga berukuran sedang. Aldebaran menerima dengan diam, detik selanjutnya dia menarik bibir membentuk senyum manis. “Kak Angga! Kenapa tidak mengabariku jika mau ke datang kemari?” “Aku ingin memberimu kejutan!” “Ayo, masuk!” Aldebaran menaruh bunga dalam vas. Kebetulan sekali dia baru membuang bunga yang sudah mengering beberapa saat lalu. “Hari ini aku mau mengajakmu kencan. Boleh luangkan waktumu seharian? Katakan pada Al untuk izin tidak bekerja!” “Kencan? Aku pikir besok.” “Aku tidak sabar melakukannya, kebetulan hari ini aku sengaja mengajukan libur bekerja sehari untuk mengaj
Malam sebelumnya.... “Pak!” sergah Rara saat mobil Aldebaran baru saja sampai di depan mansion Mahesa. “Ada apa?” “Pak David, boleh aku sendiri yang menemuinya?” Rara menoleh, ada duka dalam tatapannya. “Sebagai diriku?” Rara mengangguk. “Ucapan ibu tadi membuatku kembali berpikir....” “Apa yang kau pikirkan?” “Mengenai ayahku datang di hadapanku!” Suara Aldebaran bergetar, Rara menahan diri untuk tidak menangis. “Apa kau pikir dia ayahmu?” “Entahlah! Tapi aku yakin satu hal, ibu berbohong soal ayahku. Waktu itu, aku tidak sengaja mendengar ucapan ibu dengan bibi yang membicarakan soal ayahku. Aku hanya ingin memastikan!” Aldebaran menghela napas pelan. “Jika itu membuatmu tenang, lakukan saja. Aku tidak masalah.” “Terima kasih.” “Oh, ya, satu hal lagi. Aku ingin kau melakukan sesuatu!” “Melakukan apa?” Rara menahan pegangan pintu hendak ke