Home / Romansa / Secret Identity / 5 || Kemarahan yang Membingungkan

Share

5 || Kemarahan yang Membingungkan

Author: Ayzahran
last update Last Updated: 2021-02-26 13:27:32

Rara berjalan terhuyung-huyung sambil memegang barang belanjaan milik Aldebaran. Tangannya sudah tidak kuat lagi memegang paper bag dan beberapa dus yang berisi sepatu. Sebisa mungkin, Rara membawa dengan hati-hati. Dia tampak kelelahan, sejak tadi Rara berputar-putar mencari barang yang ditulisnya sesuai perintah Aldebaran. Sudah hampir sejam lebih, Rara berada dalam sebuah pusat perbelanjaan. 

“Pria arogan itu membuatku harus bekerja keras untuk ini. Mana semuanya berat. Ya, ampun tanganku tidak kuat lagi.”

Rara melepaskan beberapa paper bag dan dus sepatu ke lantai begitu saja. Dia duduk bersandar pada pembatas pagar untuk melepas penat sejenak.

Ponsel Rara berdering, pria arogan itu menelpon. Segera Rara menggeser icon berwarna hijau.

“Iya, Pak.”

“Sudah semua, Pak. Aku istirahat sebentar. Kakiku sangat lelah, sejak tadi berputar-putar mencari daftar barang yang Pak Al inginkan.”

“Sekarang, Pak? Baik, Pak.”

Rara menutup telepon. Dia bergegas mengumpulkan barang belanjaannya.

“Mana bisa aku sampai dalam waktu lima menit. Ini saja aku kesulitan membawanya. Ah, pria arogan itu membuatku kesal!” keluh Rara.

Dia mengambil langkah cepat walau harus dengan sangat berhati-hati. Aldebaran tidak akan menerima jika ada yang lecet sedikit saja.

Rara mendapat ide ketika melihat seorang wanita mendorong troli menuju keluar.

“Permisi, Bu!”

Wanita itu menoleh, sedikit terkejut karena tidak melihat wajah orang yang berbicara kepadanya. Hanya tumpuan dus yang dia lihat. Rara memutar sedikit badannya.

“Apa aku boleh menitip beberapa barang belanjaan ku ke dalam troli itu?Setidaknya sampai tempat parkir,” pinta Rara, berharap wanita itu membantunya.

“Iya, silakan saja. Punya saya juga tidak banyak,” sahut wanita itu.

“Terima kasih, Bu.” Wajah Rara berbinar senang, dia segera menaruh belanjaannya ke dalam troli lalu mengambil alih dan mendorong keluar.

“Apa ini belanjaan punyamu ya, Dek?”

“Bukan, punya bos aku. Aku bekerja sebagai asisten pribadi.”

Wanita itu mengangguk-angguk. “Banyak sekali, ya.”

Rara tersenyum kikuk. Dia dari tadi tidak berhenti melirik jam di tangannya. Sudah lima menit berlalu. Aldebaran pasti akan menyemburnya habis-habisan.

“Ini mobil saya,” kata wanita itu mengambil kantung belanjaannya.

“Terima kasih. Aku pergi, ya, Bu.”

Wanita itu melambaikan tangan. Rara segera mendorong dengan cepat. Dari kejauhan, Aldebaran sudah menunggunya dengan melipat tangan di depan dada sambil bersandar di badan mobil.

“Kau terlambat lima menit. Gajimu aku kurangi!” semburnya.

“Aku kesulitan membawanya, Pak. Mana bisa dalam lima menit membawa barang sebanyak ini. Tidakkah Pak Al lihat?” Rara memasang wajah memelas. Walau dalam hatinya menahan kesal.

“Aku tidak menerima alasan! Bawakan itu ke lokasi syuting," tutupnya angkuh dan masuk ke dalam mobil.

Rara mengangkat satu kepalan tangan ke udara. Ingin rasanya dia menonjok pria arogan itu.

“Dia menyuruhku membeli ini semua dan menyusahkanku juga. Lalu, seenaknya mengurangi gajiku di hari pertama bekerja,” omel Rara menaruh di bagasi belakang dengan kesal.

Mobil Aldebaran kemudian meninggalkan lahan parkir. Tanpa sepengetahuan mereka, ada seseorang sejak tadi memperhatikan dari kejauhan.

***

Rara mengeluarkan pakaian yang diperlukan Aldebaran untuk syuting. Aldebaran sudah bersiap-siap. Begitu instruksi dari sutradara, mereka mulai beradu akting.

Aldebaran tampak mendalami perannya. Rara bahkan tidak mengalihkan pandangannya sejak tadi.

Tiba-tiba, ponsel Aldebaran berdering. ‘Monika’ itulah nama yang tertera dilayar ponselnya. Rara tidak mengindahkan. Dia tidak mau menyentuh barang milik Aldebaran tanpa izin.

Ponsel itu kembali berdering. Rara menatap layar benda pipih itu. Dia menarik napas dalam lalu menggeser icon berwarna hijau.

“Halo!”

“Who are you?”

Rara menjauhkan ponselnya. “Aku tidak paham dia bicara apa.”

“Aku tidak mengerti apa yang Anda bicarakan. Pak Al sedang syuting.”

Rara lantas memutuskan panggilan. Dia segera menaruh ponsel Aldebaran di meja.

“Aku bahkan tidak jago bahasa Inggris,” gerutu Rara memandang ponsel Aldebaran yang kembali berbunyi. Kali ini ada sebuah chat masuk. Yang pasti Rara tidak mau tahu itu. Bukan urusannya.

Beberapa menit kemudian, Aldebaran berjalan menuju tempat duduknya. Syuting di break sebentar.

Rara memberikan botol minuman kemasan. Aldebaran hanya mengambil dengan diam. Dia meraih ponselnya melihat notifikasi chat yang kembali berbunyi.

“Kau menyentuh ponselku?” Tatapan Aldebaran menyorot marah. Rara mengangguk pelan.

“Berani sekali kaumenyentuh barang milikku!” bentak Aldebaran dengan menggebrak meja.

Rara tersentak. Suara Aldebaran mengalihkan pandangan orang di sekitar menatap ke arah Rara.

“Ma-maf, Pak. Tadi ponsel Anda berdering terus, jadi aku hanya bilang kalau Pak Al sedang syuting,” jawab Rara sedikit terbata. Bukan rasa takut dari tatapan marah Aldebaran. Rara merasa tidak nyaman dengan tatapan kasihan dari mereka yang melihatnya. Rara tidak suka dengan tatapan seperti itu.

“Tetap saja, kau tidak berhak menyentuh apa pun tanpa izin dariku!” Aldebaran membanting ponselnya dengan keras.

Rara membelalak melihat ponsel Aldebaran menjadi retak berkeping-keping. Apa harus semarah itu? Dia hanya menjawab telepon. Kenapa harus melampiaskan kemarahan pada ponsel?

Aldebaran menarik tangan Rara. Hanya berjarak beberapa senti, bahkan embusan napas Aldebaran menerpa wajah Rara.

Mata Aldebaran menunjukkan kemarahan dan kebencian. Rara membalas tatapan Aldebaran. Jantungnya berpacu seperti lomba lari. Entah kenapa, keberanian itu muncul begitu saja.

Aldebaran menyentak tangan Rara dengan kasar. Tanpa berkata apa pun, dia pergi begitu saja—membiarkan Rara yang terdiam di tempat.

Rara menatap punggung Aldebaran, tangannya mengepal samar. Sikap pria arogan itu membuatnya menjadi pusat perhatian. Di mana salah Rara? Bukankah dia harus menjelaskan, apa hanya karena mengangkat telepon dari wanita itu atau ada hal lain yang membuatnya semarah itu? Setidaknya, dia mengatakan sesuatu. Rara mengacak rambutnya frustasi, dia segera meninggalkan tempat yang membuatnya sesak napas.

***

Aldebaran menepikan mobilnya. Dia memukul kemudi dengan kesal. Pikirannya diliputi amarah yang tidak bisa ia kendalikan. Dia mengambil ponsel lain yang ada dalam dashboard mobil. Sepertinya itu ponsel cadangan miliknya.

Aldebaran mengirim pesan singkat lalu melepas ponsel begitu saja di kursi sebelah. Dia melempar punggung, menyisir rambut dengan jemari ke belakang. Sedetik kemudian Aldebaran memutar balik menuju lokasi syuting.

Sementara Rara, saat ini berada di sebuah taman yang tak jauh dari lokasi syuting. Dia pergi untuk menenangkan diri. Rara berjalan dengan satu tangan ia masukkan ke dalam saku celana jeans-nya. Beberapa lelaki yang berpapasan dengannya mencoba menegur. Tatapan sangar Rara membuat mereka bergidik seraya berlalu.

“Dasar pria arogan. Hanya karena punya banyak uang seakan-akan barang apa pun bisa dibuang begitu saja!” Rara menahan langkahnya. “Apa yang salah dengan aku menjawab telepon? Bukan berarti aku mengutak-atik ponselnya. Aku hanya melakukan tugasku. Salah?!”

Rara menendang kaleng kosong yang berada di depannya dengan kesal.

“Aww!” rintih seseorang yang berada tak jauh di hadapannya.

Rara terkesiap. Dia segera menghampiri seorang pria yang mengusap dahinya.

“Pak Angga!”

“Jihan!”

Rara tersenyum kikuk. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Maaf, Pak. Aku tidak melihat ke depan.”

Angga tersenyum tipis. “Tidak apa-apa. Aku hanya kaget, ini juga sudah baik-baik saja.”

“Syukurlah.” Rara mendesah lega.

“Tapi kenapa kau menendang kaleng malang itu?” tanya Angga.

“Oh, soal itu ....”—Rara menggaruk tengkuknya—“aku hanya sedang kesal.”

“Pasti karena Al 'kan?”

Rara mengangguk ringan.

Angga tersenyum. Satu tangannya ia masukkan ke dalam saku sembari menapak  dengan santai. Rara lantas menyamakan langkah. Wajahnya kembali berseri berjalan bersama Angga. Sepertinya suasana hatinya sudah membaik.

"Pak Angga suka datang ke taman, ya?" 

"Aku mana punya waktu. Tapi, kadang-kadang. Kebetulan mobilku sedang bermasalah, tiba-tiba saja mogok. Jadi sambil menunggu montir memeriksa, aku mampir ke sini. Cuaca juga sedang bersahabat hari ini, jadi aku jalan-jalan sebentar untuk melepas penat."

Rara mengulas senyum. Dia ikut mendongak memandang langit yang diselimuti awan, mendung.

“Apa Al menyusahkanmu sehingga kau merasa kesal?”

“Aku tidak sengaja mengangkat ponselnya yang berdering. Dia sedang syuting, dan wanita bernama Monika terus saja menelpon. Jadi aku—“

“Siapa kau bilang? Monika?” Angga menghentikan langkah. Dia seakan terkejut mendengar nama wanita itu.

“Iya, Monika namanya.”

Angga menarik napas kecil. Dia kembali melanjutkan langkah.

“Memangnya siapa wanita itu? Pak Al bahkan membanting ponselnya hanya karena tahu aku menjawab telepon dari wanita itu.”

“Dia masa lalu Al yang ingin dilupakan. Wajar saja dia marah, karena Al tidak pernah menjawab panggilan atau pesan dari Monika,” jelas Angga.

“Pantas saja ....” Rara mendadak terdiam di tempat. Angga mengernyitkan alisnya melihat ekspresi kaget Rara. Dia mengikuti arah pandangan Rara ke depan.

Aldebaran! Pria arogan itu berjalan mendekati mereka dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.

Aldebaran menatap Rara dengan tajam. “Kenapa tidak menjawab telepon dariku?”

Rara segera mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Benar saja, lima panggilan tak terjawab dari ‘pria arogan’ nama kontak Aldebaran. Rara sengaja memakai mode senyap karena kesal dengan kejadian tadi.

“Ponselku mode senyap. Maaf!” jawab Rara dengan raut datar.

Aldebaran sontak menarik tangan Rara hendak pergi. Namun, langkahnya tertahan—Angga memegang tangan Aldebaran.

“Jangan lampiaskan kemarahanmu pada Jihan. Dia tidak tahu mengenai masalahmu.”

Aldebaran menyentak. “Kau tidak perlu ikut campur! Aku tahu apa yang aku lakukan.”

Aldebaran kembali membawa Rara pergi. Rara hanya bisa mengikuti Aldebaran, jika dia menolak, kemarahan Aldebaran akan makin besar padanya.

Setelah sampai di depan mobilnya, dia melepas tangan Rara. Kali ini raut wajahnya tidak seperti tadi. Sedikit tenang tetapi tetap menyeramkan.

“Apa yang kaulakukan di sini?”

“Aku hanya datang melihat-lihat. Pak Al juga pergi begitu saja dengan kemarahan,” imbuh Rara. Pandangannya mengarah ke berbagai objek, sengaja tidak ingin menatap iris amber itu.

“Lihat aku! Aku tidak suka orang yang berbicara denganku mengalihkan pandangannya ke tempat lain!” titahnya menarik tubuh Rara sedikit mendekat.

Ada apa dengan pria ini? Dia seenak saja berlaku sesuka hati. Rara ingin melepaskan diri. Tidak kuat. Tenaga Aldebaran lebih besar darinya.

Aldebaran menarik dagu Rara, membuatnya menatap wajah Aldebaran. Pandangan Aldebaran mengarah pada satu-satunya yang kenyal dan lembut. Susah payah Rara meneguk ludah. Seakan sudah terkunci, dia tidak bisa bergerak. Dadanya bergemuruh, seketika pijakannya hampir lemas saat Aldebaran sedikit mendekatkan bibirnya mengarah pada objek yang terkunci oleh kedua netra itu. Rara menarik napas panjang, dengan sekuat tenaga yang dia punya—mendorong tubuh Aldebaran dengan keras hingga membuatnya hampir terjatuh.

“Apa aku tampak seperti mainanmu, Pak?!” sentak Rara mulai emosi.

Manusia tidak sopan itu hampir saja merenggut ciuman pertamanya. Dia bahkan tidak membiarkan Ivan mendekat, apalagi dengan Aldebaran yang hanya sebatas atasan dan bawahan. Enak saja!

Aldebaran menyunggingkan senyum. Dia mengibas bagian pakaiannya yang disentuh Rara.

Rara mendelik tidak percaya melihat tingkah pria arogan itu yang sama saat mereka pertama kali bertemu.

Dia bahkan tidak berubah sama sekali, tetap saja angkuh! batin Rara kesal.

“Setidaknya, kau bukan wanita murahan!  Aku tidak suka memperkerjakan seseorang yang mudah sekali digoda. Aku hanya mengujimu!” katanya santai lalu berbalik masuk ke dalam mobil.

Hah?! Dasar pria mesum, menguji katanya? Rara menoleh tajam ke arah kaca mobil, seakan tatapannya tembus pada sasaran, dia mengeluarkan sumpah serapah. Aldebaran menampakkan seringai tipis melihat tingkah kesal Rara di balik pintu. Dia lantas menekan klakson yang membuat Rara memekik kaget.

“Ya Tuhan, aku harus berlatih sabar demi ibu!” []

Related chapters

  • Secret Identity   6 || Kehadiran mendadak

    Pagi-pagi buta Rara sudah melakukan olahraga lari. Aldebaran memang sangat menyebalkan. Dia menyuruh Rara datang menemuinya jam lima pagi. Jalanan masih tampak sepi, hanya beberapa kendaraan yang lalu-lalang. Rara bahkan tidak boleh terlambat walau satu detik pun. Pria arogan itu menunggu di taman.Napas Rara tersengal ketika baru saja sampai. Dia memegang dadanya yang naik turun. Aldebaran memakai earphone dengan kedua mata terpejam. Tangan Rara menggapai ujung bangku, masih mengatur napasnya, serasa jantungnya hampir copot. Rara duduk sebentar dan meluruskan kakinya.“Aku tidak menyuruhmu duduk,” ucap Aldebaran masih dengan mata terpejam.“Istirahat sebentar, Pak. Aku berlari sejauh 700 meter untuk sampai ke sini,” keluh Rara.“Aku tidak mendengar apa pun! Bawakan aku air. Ada di mobil. Cepat ambil!” perintah Aldebaran. Masih dengan mata terpejam. Entah lagu apa yang ia dengar.Rara mendengus. Dia

    Last Updated : 2021-03-01
  • Secret Identity   7 || Pertemuan kembali

    Rara merasa tidak asing dengan suara wanita itu, dia seperti pernah mendengar suaranya. Tatapan Rara kembali mengarah pada Aldebaran yang menyentak tangan wanita itu dengan kasar. “Aku masih sama. Tidak berubah!” jawab Al tegas. Rara mengingatnya. Dia wanita yang pernah menelepon Aldebaran. Raut Rara berubah ketika mengingat perkataan Angga waktu itu. Dia pasti Monika, batin Rara menerka. “Aku merindukanmu, Al. Bisakah kita bicara berdua saja?” tanyanya. Dia menoleh ke arah Rara. Rara menyadari maksud tatapan wanita itu, mencoba untuk melepaskan diri. Tidak berhasil. Aldebaran makin mengencangkan cengkeramannya. Rara bahkan meringis dengan suara tertahan. Rasa perih menjalar di area pergelangan tangan. “Aku sibuk! Tidak punya waktu untuk bicara denganmu!” kata Aldebaran tanpa menatap wanita itu. “Sekali ini saja, biarkan aku

    Last Updated : 2021-03-03
  • Secret Identity   8 || Kekesalan

    Range Rover hitam milik Aldebaran melaju di atas jalan bebas hambatan. Guratan tegas di wajahnya yang tampan sedang tidak baik-baik saja. Pikiran-pikiran meresahkan mulai tumbuh lebat di kepalanya. Semenjak pertemuan kembali dengan Monika setelah tiga tahun, Aldebaran tidak bisa mengontrol diri. Dia bahkan mengabaikan panggilan masuk dari Firman yang sejak tadi berharap cemas di tempat lain. Aldebaran melewatkan syuting hari ini. Pikirannya kalut, dia butuh tempat untuk menenangkan diri. Setelah membela jalanan lenggang ibukota, mobil mewah Aldebaran memasuki pelataran sebuah tempat yang tentunya masih sepi pengunjung, lalu menepikan mobilnya. Aldebaran segera masuk ke dalam, dia mengedarkan pandangannya, lalu menuju tempat yang biasa ia duduki, di sudut ruangan yang tenang dan nyaman. Seseorang datang dengan nampan berisi sebotol minuman dan gelas kaca. Sudah menjadi hal lumrah jika Aldebaran sudah datang berkunju

    Last Updated : 2021-03-07
  • Secret Identity   9 || Merepotkan

    Setelah menempuh perjalanan hampir tiga puluh menit, Rara memarkirkan mobil Aldebaran. Di sana, Firman dan dua orang pria sudah menunggu mereka. Firman dan dua pria itu memapah Aldebaran menuju lift. Rara menghela napas. Tugasnya sudah selesai, dia harus segera pulang. Rara lantas beranjak, dia menapak santai hingga mendekati ke arah gerbang. Mendadak, Rara menahan langkah, tangannya meraba saku celana mencari ponselnya. Tidak ada. Rara menepuk dahi, ponselnya tertinggal di dalam mobil Aldebaran. Rara menghentak kesal, dia harus kembali dan meminta kunci mobil untuk mengambil ponselnya. Rara menarik napas kesal merutuki dirinya yang suka pelupa. Dia melangkah cepat ketika pintu lift itu terbuka, belum juga menutup sempurna, seseorang mengganjal dengan satu tangan. Rara sedikit bergeser, memberi ruang kepada seorang wanita yang seusia dengan Aldebaran. Dia terlihat menawan, rambut cokelat kemerahan dibiarkan tergerai dengan ujung yang men

    Last Updated : 2021-03-08
  • Secret Identity   10 || Sumber Masalah

    Seorang pria dengan kisaran umur empat puluhan tengah mondar-mandir di ruangan kerjanya. Tampak dari interior bangunan itu terlihat sangat mewah. Beberapa mahakarya luar biasa terpajang berjejer di sana. Seseorang mengetuk pintu, lalu masuk ke dalam. Lelaki muda berpakaian semi formal dengan sebuah amplop berwarna cokelat di tangannya. Dia menunduk hormat dan menaruh di atas meja. Pria itu membuka amplop dengan cepat. Tatapannya memandang serius pada sebuah foto yang diambil secara diam-diam. Foto itu yang diambil saat Rara duduk di halte beberapa hari lalu. Pria itu kembali melihat foto berikutnya. Alisnya menukik melihat sosok laki-laki yang terasa tidak asing bersama Rara. “Bukankah dia putra tunggal Mahesa Wijaya?” “Benar, Pak. Dia Aldebaran.” “Kenapa gadis ini bisa bersamanya?” “Gadis itu bekerja sebagai asisten pribadinya. Sebelumnya, gadis

    Last Updated : 2021-03-08
  • Secret Identity   11 || Perubahan Sikap

    Dua puluh menit kemudian, mobil Aldebaran memasuki halaman RAM Corp. Aldebaran turun lebih dulu, lalu diikuti Rara. Setelah hampir sebulan, Rara menginjakkan kakinya lagi di perusahaan besar itu. Matanya menjelajah ke setiap sudut. Jika bukan pria arogan itu, Rara ingin bekerja di perusahaan ini walau bukan di posisi karyawan, bagi Rara bisa bekerja seperti orang lain pada umumnya bagi Rara sangat bahagia. Namun, dia tidak menampik, gaji yang ditawarkan Aldebaran jauh lebih besar. Demi menabung untuk mengusahakan biaya operasi Nirmala, Rara tidak punya pilihan lain. “Pak Al, apa yang akan kulakukan di sini? Apa aku harus menunggu di lobi?” tanya Rara yang sejak tadi mengikuti langkah Aldebaran. Beberapa pasang mata memandangnya dengan raut sinis. Ada yang merasa iri melihat Rara berjalan sedekat itu dengan Aldebaran. Selain tampan, popularitas yang juga tak kalah menjulang menjadi idaman para wanita. Aldebaran hany

    Last Updated : 2021-03-08
  • Secret Identity   12 || Cemburu

    Rara memperhatikan sekeliling, dia menunjuk salah satu toko yang menjual pakaian wanita. Angga mengikuti langkah Rara dengan senyum yang terus mengembang. Angga kembali menahan langkah, melihat panggilan masuk di ponselnya. “Apa yang kaulakukan?!” sergah salah seorang pegawai perempuan dengan sinis. Dia tak lain adalah tetangga Rara yang memiliki sifat sombong. Amelia namanya. Rara seketika berhenti di tempat. Dia melihat batasnya berdiri dengan pintu, lalu menoleh ke sumber suara. “Amel! Kau bekerja di sini?” Rara mendekat ke arah Amel. Amel mengangkat lima jarinya ke udara. Dia menghentikan langkah Rara sebelum mencapai padanya. “Eh, ada apa, Mel?” “Tidak perlu dekat denganku! Kau harus tahu batas, orang sepertimu tidak bisa belanja pakaian mahal di sini,” cibir Amel menyunggingkan sudut bibir. “Kau masih saja

    Last Updated : 2021-03-09
  • Secret Identity   13 || Di Ujung Pelangi

    Aldebaran melakukan syuting untuk episode terakhirnya. Rara masih senantiasa menunggu bersama Firman. Kedua tangannya menopang dagu, mengulas kejadian semalam yang membuatnya pagi-pagi buta harus berada di tempat syuting. Sepuluh jam yang lalu .... Rara terkejut melihat Aldebaran berdiri di hadapannya. “Pak Al! Anda kenapa ada di sini?” Aldebaran menyodorkan ponsel milik Rara yang tertinggal di mobil saat datang ke perusahaan. Rara memeriksa kedua saku celananya. Benar saja, ponselnya tidak ada. Rara tersenyum kikuk lalu mengambil dari tangan Aldebaran. “Maaf, Pak. Aku tidak menyadari kalau ponsel itu tertinggal di mobil.” Aldebaran tidak menjawab, pandangannya mengarah pada paper bag yang dipegang Rara. “Datang ke lokasi syuting jam enam tepat. Aku tidak menerima alasan apa pun!” ucap Aldebaran

    Last Updated : 2021-03-13

Latest chapter

  • Secret Identity   EPILOG

    Rara telah bersiap dengan balutan gaun pengantin. Dia benar-benar tampak cantik dan anggun. Aldebaran melamarnya dengan cara tak terduga. Lamaran yang dilakukan Aldebaran sampai viral di berbagai media sosial. Akun i*******m milik Rara dan Aldebaran dibanjiri komentar positif dan ucapan selamat. Momen itu juga ditayangkan di TV nasional selama hampir seminggu. Bahkan beberapa pihak berbondong-bondong menawarkan endorse untuk pernikahan mereka. Hari pernikahan mereka juga sengaja ditayangkan secara langsung dari salah satu stasiun TV dengan rating tertinggi. Rara merasa gugup. Berkali-kali Rara menghela napas. Jantungnya seakan mencelos menunggu akad nikah mereka dimulai. "Kau sangat cantik, Ra!" Monika mendekat seraya memuji. Dia tersenyum tulus melihat dari pantulan cermin. "Terima kasih, Kak! Aku sangat gugup." "Al tidak kalah lebih gugup darimu. Dia masih terus berlatih mengucapkan ijab kabul agar tidak salah." Rara tersenyum h

  • Secret Identity   EXTRA PART

    Rara menggeliat, meregangkan otot-otot. Matanya mengerjap lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Di sinilah Rara, masih tidak percaya berada di kamar sendiri. Seperti mimpi yang panjang baginya.Rara menyibak selimut, merapikan tempat tidurnya. Rara bergegas keluar mendapati Nirmala dan Monika di ruang makan sedang mempersiapkan sarapan."Pagi adikku, Sayang!" Monika menyapa. Tidurmu nyenyak?"Rara mengangguk. "Sangat nyenyak. Bagaimana dengan Kak Monika?""Aku juga. Aku akan merasa nyaman jika tinggal lama di sini!""Tinggal lah selama mungkin. Aku sangat senang jika Kak Monika tinggal di sini!""Benarkah? Apa boleh, Bu?" Monika melirik ke arah Nirmala."Tentu saja. Kau tidak perlu meminta izin.""Kalau dengan ayah, juga boleh?" Monika melempar tatapan ke arah Rara.Nirmala diam sejenak. Rara dan Monika menunggu jawaban Nirmala. "Tergantung usahanya mendapatkan hati ibu kem

  • Secret Identity   77 || Akhir Dari Segalanya (END)

    Aldebaran dan Rara merencanakan janji untuk bertemu setelah Rara melakukan pekerjaan Aldebaran. Mereka akan bersama-sama mencari wanita tua itu. Sebelumnya, Rara dan Aldebaran sudah mencari tahu kue yang dibeli Firman. Dari ucapan Firman, dia tidak membeli di tempat yang Aldebaran maksud dan penjual kue itu bukan wanita tua melainkan wanita muda. Saat ini, Rara sibuk melakukan syuting iklan terakhir sebelum akhirnya dia mengambil libur panjang untuk beberapa bulan ke depan. Aldebaran meminta Rara untuk tidak menerima tawaran karena dia ingin mengajak Rara berlibur membawa Nirmala yang sejak dulu ingin sekali pergi ke Korea. Nirmala sangat gemar menonton drama dari Negeri Gingseng itu. Aldebaran ingin memberikan kejutan sebagai Rara dengan mengajaknya ke sana. "Bu, apa yang bisa Rara bantu?" tanya Aldebaran setelah membereskan kamar Rara. Dia sudah memutuskan tinggal bersama Nirmala. "Rara bantu ibu pergi ke pasar. Ada beberapa bahan masakan yang harus dibeli.

  • Secret Identity   76 || Menerima Keputusan

    Mahesa marah besar begitu mengetahui Ivanka adalah pelaku utama dari kecelakaan yang menimpa Aldebaran. Ivanka sudah dibekuk polisi seminggu yang lalu. Angga sendiri yang melaporkan ibunya setelah semua usaha Angga meminta ibunya menyerahkan diri diabaikan Ivanka. Angga tidak punya pilihan dan terpaksa membuat bukti untuk menjerat Ivanka.Pemberitaan mengenai kasus kecelakaan Aldebaran mengudara selama berhari-hari, para media terus saja membahas motif dan alasan Ivanka melakukan semua itu. Bahkan fans setia Aldebaran merutuki Ivanka dan meminta pihak kepolisian untuk menjatuhkan hukuman mati sebagai efek jera agar tidak ada lagi orang seperti Ivanka yang tega merencanakan pembunuhan pada anak dari suaminya sendiri.Saat ini Ivanka telah duduk di meja persidangan. Sementara Angga duduk di meja saksi memberikan pernyataan. Ivanka tidak bisa mengelak, semua barang bukti mengarah padanya. Kaki tangan Ivanka juga sudah mengakui perbuatan mereka.Ivanka akhirny

  • Secret Identity   75 || Akhirnya Terungkap (Part 2)

    "Akhirnya kau datang juga, Al!" Aldebaran menatap tajam. “Berani sekali kau datang ke rumah ini! Bukankah aku sudah melarangmu untuk tidak menginjakkan kaki di sini?!” “Aku kemari karena mengambil barangku yang tertinggal!” Ivanka berjalan ke arah sofa panjang yang ukiran gagangnya terbuat dari kayu jati. Ivanka menjuntaikan sebuah liontin seraya tersenyum. “Kenapa itu ada padamu?!" suara Aldebaran merendah, terdengar penuh penekanan. "Duduklah! Setidaknya berbincanglah denganku. Kau selalu saja bersikap dingin dari semenjak pertama kali kita bertemu!" Ivanka berujar. Dia memberi isyarat menunjuk dengan dagu ke arah secangkir kopi yang sudah dia siapkan. Ivanka mengangkat cangkir menyeruput kopinya dengan nikmat. "Aku tidak meracunimu. Aku hanya ingin kita berbaikan dan bisa duduk bersama, berbincang hangat layaknya ibu dan anak." Aldebaran meneguk setengah kopi miliknya. "Kau puas? Sekarang kembalikan! Sejak

  • Secret Identity   74 || Akhirnya Terungkap (Part 1)

    Sehari sebelum kecelakaan terjadi.... Ivanka mendatangi RAM Corp setelah berbelanja di butik langganannya. Jam makan siang sebentar lagi dan Ivanka ingin mengajak Mahesa makan di luar. Sudah lama dia tidak jalan berdua dengan Mahesa karena terlalu sibuk dengan bisnis. Ivanka mengumbar senyum pada beberapa karyawan yang berpapasan dengannya. Suara heels pigalle foliies 100 milik Ivanka mengetuk-ngetuk lantai marmer hingga terdengar menggema berirama. Ivanka menunjukkan keanggunan saat menaiki lift menuju lantai utama. Senyum Ivanka kembali terukir begitu sampai di depan meja sekretaris Mahesa. “Nindya, apa Pak Mahesa ada? Katakan aku ada di sini!” titah Ivanka membusungkan dada dengan elegan. “Ada, Bu! Pak Mahesa sedang berbincang dengan Pak Mudi.” “Aku ingin masuk!” “Maaf, Ibu! Pesan Pak Mahesa, dia tidak ingin di

  • Secret Identity   73 || Kebenaran yang Lain

    Rara baru saja tiba di depan sebuah restoran. Rara meminta bertemu dengan David secara pribadi. Dia sengaja reservasi rooftop hotel agar pertemuan mereka tidak diganggu. David sudah datang lebih dulu. Rara mengeluarkan ponsel, membuka kotak masuk. Aldebaran : Tidak perlu mampir! Aku akan keluar dengan Angga. Rara : Aku akan bertemu dengan Pak David hari ini. Aldebaran : Kau sudah yakin dengan keputusanmu? Rara : Keputusanku sudah bulat! Rara menarik napas panjang, menguatkan batinnya, mengumpulkan keberanian untuk menanyakan langsung. Langkah Aldebaran beranjak masuk. Rara melihat David duduk memunggunginya. “Maaf membuat Anda lama menunggu!” ucap Aldebaran begitu duduk berseberangan di hadapan David. “Saya juga baru sampai!” jawabnya singkat. Aldebaran memanggil waitress mendekat. “Mau

  • Secret Identity   72 || Pilihan Terbaik

    Suara bel terdengar saat Aldebaran baru saja selesai sarapan. Aldebaran mendekat ke arah pintu, dia tahu itu pasti Rara. Rara sudah menelepon dan mengatakan akan mampir ke sana. Raut wajah Rara seketika berubah kaku saat mendapati Angga yang berdiri di hadapannya seraya mengulurkan buket bunga berukuran sedang. Aldebaran menerima dengan diam, detik selanjutnya dia menarik bibir membentuk senyum manis. “Kak Angga! Kenapa tidak mengabariku jika mau ke datang kemari?” “Aku ingin memberimu kejutan!” “Ayo, masuk!” Aldebaran menaruh bunga dalam vas. Kebetulan sekali dia baru membuang bunga yang sudah mengering beberapa saat lalu. “Hari ini aku mau mengajakmu kencan. Boleh luangkan waktumu seharian? Katakan pada Al untuk izin tidak bekerja!” “Kencan? Aku pikir besok.” “Aku tidak sabar melakukannya, kebetulan hari ini aku sengaja mengajukan libur bekerja sehari untuk mengaj

  • Secret Identity   71 || Mengambil Keputusan

    Malam sebelumnya.... “Pak!” sergah Rara saat mobil Aldebaran baru saja sampai di depan mansion Mahesa. “Ada apa?” “Pak David, boleh aku sendiri yang menemuinya?” Rara menoleh, ada duka dalam tatapannya. “Sebagai diriku?” Rara mengangguk. “Ucapan ibu tadi membuatku kembali berpikir....” “Apa yang kau pikirkan?” “Mengenai ayahku datang di hadapanku!” Suara Aldebaran bergetar, Rara menahan diri untuk tidak menangis. “Apa kau pikir dia ayahmu?” “Entahlah! Tapi aku yakin satu hal, ibu berbohong soal ayahku. Waktu itu, aku tidak sengaja mendengar ucapan ibu dengan bibi yang membicarakan soal ayahku. Aku hanya ingin memastikan!” Aldebaran menghela napas pelan. “Jika itu membuatmu tenang, lakukan saja. Aku tidak masalah.” “Terima kasih.” “Oh, ya, satu hal lagi. Aku ingin kau melakukan sesuatu!” “Melakukan apa?” Rara menahan pegangan pintu hendak ke

DMCA.com Protection Status