Pandangan Steven pada para agen penyidik yang seperti sering dlihatnya di televisi, mereka duduk dengan laptop di depannya satu persatu. Karena Steven tidak megetahui wajah Hamid Khan, dia pun terpaku seperti boneka mematung.
Hamid yang sudah mengantongi identitas Steven, dia pun bergegas menghampiri sambil mengulurkan tangannya, “Aku Hamid, ayo ikut aku!”
Steven meraih jabatan tangan Hamid kemudian mengikutinya.
“Silahkan duduk!” titah Hamid sambil memberikan satu botol coke dingin. Steven yang sudah dahaga dari tadi segera membuka lalu meminumnya.
Hamid menyenderkan badannya sejenak. “Lyn istrimu yang keempat? Istrimu seorang yatim piatu. Sedangkan kamu rajanya b*rahi?” investigasi cepat disertai seringai tawa di bibir Hamid.
Tangan Hamid membuka laptop yang ada di depannya, “Siapa wanita ini?” tanya Hamid menujuk pada video yang direkam dari ruangan CCTV hotel.
Mata biru Steven menyelidiki, “Paula?” kejutnya.
“Siapa dia?” tanya Hamid dengan menegaskan kedua matanya pada wajah Steven.
“Dia....” Ucapan Steven terputus.
“Teman kencan? Lalu menyebar photo dan videomu?” sergahnya disertai memperlihatkan hasil percakapan antara dirinya bersama Paula.
Ternyata penyidik sudah sampai ke privasi percakapan dalam telepon genggam milik Steven. Steven bergeming pun mengetahui semua itu.
Selang beberapa jeda, Hamid pun memperlihatkan bukti keterlibatan Paula akan kematian Lyn. “Paula masuk ke kamar istrimu setengah jam setelah kepergianmu, dia meminjam access card dari housekeeping yang sedang bertugas di sekitar kamar.”
Steven tidak percaya, “Tidak mungkin! Untuk apa dia melakukannya? Dia sudah aku bayar!” ucapnya sangat tegas.
Hamid tersenyum hambar, lalu beranjak dari tempat duduknya. “Kamu ini, tidak semua hal bisa diselesaikan dengan uang! Perlu diketahui kalau Paula adalah bukan wanita biasa yang menjajakan diri demi uang! Kamu tahu siapa dia?” tanyanya.
Steven mengernyitkan. Kemudian menjawab, “Dia hanya asisten dari clientku, Mr. Jibs Chaudry!”
Hamid tertawa mendengar ucapan dari Steven. Dia pun menjelaskan siapa Paula Cristian, menurut data yang dimilikinya dia adalah anak dari penguasaha nuklir dunia dan tidak kekurangan apa pun. Ayah tersebut adalah Mr. Jibs Chaudry.
“Paula sepertinya terobsesi padamu, setelah permainan liar bersamamu malam itu! Dia ingin memilikimu seutuhnya,” jelas Hamid.
Sejenak Steven mengingat bagaimana Paula bersikap aggressive dalam waktu semalam. “Artinya kita harus menangkap Paula?” tanyanya sambil menatap mata Hamid.
Hamid menghela napas pendek, kemudian menutup pintu ruangannya dan berbisik, “Dia pernah melakukan pembunuhan berpuluh kali dengan kasus yang sama! Kita harus bekerjasama.”
Steven mengerti apa yang dimaksud dengan Hamid, rasa takut sudah menghantui jiwanya. Karena setelah tahu jati diri Paula, Steven sudah tidak ingin berhubungan dengannya lagi. Kendati itu cara satu-satunya untuk menjebak Paula melalui dirinya.
“Aku tidak ingin tidur bersamanya, karena kalau aku menghubunginya kembali seperti memberikan ikan!” tolak Steven sambil ke luar dari ruangan Hamid.
Hamid menggertak, "Jadi, lupakanlah kasus pembunuhan istrimu itu."
Steven merasa tertampar karenanya.
***
Seminggu sudah kematian Lyn Lyana yang terdeteksi bahwa dirinya meninggal karena bubuk polonium. Jenazah dibawa memakai pesawat pribadi dari Karachi ke Beijing.
Di pemakaman khusus penganut taoisme banyak menyita waktu karena buat mereka meninggal dengan cara dibunuh adalah adanya unsur yang tidak mengenakan bagi jiwa dan harus segera ditemukan pembunuhnya agar Lyn tenang dan damai.
Setelah upacara pemakaman selesai, Steven duduk termenung di dalam mobilnya. 'Aku ditinggalkan istri-istriku yang lain, tetapi tidaklah sangat sesakit ini.' Bathinnya sambil berkaca-kaca.
Lyn adalah wanita yang dipaksa melayani nafsunya atau sebut saja diperkosa di Yi Hotel. Di mana Steven tahu kalau Lyn masih perawan. Lebih parahnya setelah itu Steven meninggalkannya begitu saja. Hingga membuat Lyn mencarinya dan bertemu dengan istri pertamanya yang berkewarganegaraan British.
Seperti wanita pada umumnya, Lyn depresi juga hampir mengakhiri hidupnya setelah mengetahui semua hal tentang Steven. Hanya saja Lyn berusaha kuat karena ada setitik perasaan suka yang membuatnya nekad mengikuti Steven. Kala itu sedang bertugas di Belanda dan di sanalah mereka menikah.
Deringan handphone menghentikan lamunan Steven, dia pun segera memeriksanya. ‘Paula?’ kagetnya.
Ternyata Paula sudah mematai-matai Steven setelah dirinya membunuh Lyn.
“Halo, Paula!” sahut Steven berusaha tenang.
“Aku di sebrang jalan!” jawab Paula sambil membuka jendela mustang merah yang dikendarainya.
Steven menoleh, Paula dengan menawan menyimpulkan senyuman dan mengedipkan matanya. Lalu, dia pun pergi melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
“Halo, Paula! Kita perlu bicara!” ucap Steven di telepon karena belum dimatikan.
Di ujung telepon Paula menjawab, “Aku tidak berkencan dengan pria yang sedang berkabung!”
‘Klik’
Telepon pun dimatikan begitu saja.
Saat bersamaan Hamid menelepon, tanpa berbasa-basi Steven segera memberitahukan keberadaan Paula, “Dia ada di Beijing dan datang ke pemakaman Lyn!”
Hamid menghela napas kasar. Kemudian bertanya, “Sudah terduga! Apa rencanamu?”
Dengan penuh keyakinan Steven menjawab sangat tegas, “Aku akan membuat Paula jatuh cinta padaku! Tanda pembalasan untuk istriku! Setelahnya, aku akan menyerahkan padamu.”
Setelah mengucapkan itu, suasana menjadi sangat menakutkan. Langit menjadi gelap ditambah suara gemuruh angin dan petir yang menyambar. Seolah ini adalah awal dari perjanjian antara Steven dengan tubuh Lyn yang sudah membujur kaku meminta dipenuhi.
Hamid yang masih di dalam telepon mewaspadai, “Ingat, dia bukan wanita sembarangan, dia tidak segan – segan untuk membunuh dengan cara halus. Bubuk polonium bukanlah seberapa!”
Steven seperti pasrah dengan apa pun yang akan terjadi. Di dalam pikirannya dia harus mendapatkan Paula dalam keadaan hidup.
Besoknya Steven pergi ke Fenghuang tempat pengembangbiakan hewan peliharaan milik Lyn. Dia menemui para staff istrinya. Mereka pun berdiskusi akan kelanjutan bisnisnya. “Tuan, biarlah kami berdelapan yang mengurus ini semuanya. Juga, kami tidak tahu harus berbuat apalagi, karena inilah satu-satunya tempat cari nafkah kami!” ujar salah satu Staff Senior.
“Baiklah, kalian lakukan dengan baik. Karena aku sendiri tidak tahu menahu persoalan ini.” Jelas Steven sambil berdiri.
Tiba-tiba salah satu dari mereka berkata, “Nyonya Lyn meninggal karena apa?”
Steven bungkam sejenak. “Nanti aku beritahu setelah semua terselesaikan, jaga diri kalian!” ungkapnya singkat.
Setelahnya, Steven pun segera berjalan ke arah mobil sambil berbicara sendiri dan agak bingung, “Bagaimana caranya aku harus mendapatkanmu, Paula?”
“Tentu saja ke tempat dunia malam!” tiba-tiba suara lelaki datang dari belakang.
“Bapak siapa?” tanya Steven kaget karena Bapak berpostur tubuh pendek, bermata sipit dan memakai topi dari anyaman daun pandan yang usianya hampir 65 tahun sudah ada di sebelahnya.
Bapak itu hanya menatap wajah Steven dengan tajam, lalu tidak begitu lama dia pun meninggalkannya.
Steven pun mencoba mengejar. Akan tetapi Bapak Tua ini jalannya begitu sangat cepat. Dengan masih bertanya-tanya dia pun kembali ke mobil dengan napasnya megap-megap.
Setelah beberapa jeda beristirahat, Steven melajukan mobilnya ke arah kota Beijing. Kendati butuh puluhan kilometar untuk mencapai tujuan itu. Karena di pikiran Steven hanya ingin cepat membalas dendam.
-Sky Night Club – Beijing-Meskipun lelah dari perjalanannya, Steven tetap semangat demi misi yang harus cepat dituntaskan. Tangannya membuka kaca spion untuk meyakinkan kalau wajahnya tidak terlihat letih, setelahnya mengambil parfume yang ada di laci sebelah kanan lalu menyemprotkannya. Sudah merasa percaya diri, dia pun ke luar mobil dan berjalan mengarah ke pintu masuk night club. Begitu sudah suara musik hip hop terdengar meramaikan suasana, kemudian dia pun duduk di tempat yang paling menarik perhatian serta persis di dekat bartender, “Vodka!” pinta Steven.Bartender memberikan gelas kecil dan menuangkan minuman sesuai pesanan, “Selamat menikmati.” Tangan Steven pun langsung mengambil gelas itu, lalu Steven meneguk hingga tidak tersisa.Sedangkan di kursi tinggi yang terletak di sudut, Paula sudah mengetahui keberadaan Steven, merasa dirinya memiliki kekuatan dan tidak takut masuk penjara. Paula pun melancarkan aksinya d
Tiba-tiba, dua mobil Hummer hitam datang persis di depan kuburan dengan membawa pasukan berseragam hitam putih yang berjumlah sepuluh orang termasuk orang kepercayaan Jibs, yaitu Alex. Salah satu dari mereka melangkah dengan cepat menghampiri Steven, lalu menodongkan pistol di punggungnya. Sementara Steven sedang menendang-nendang Paula. Mengetahui dirinya sedang tidak aman Steven bergeming sejenak dan berhenti menendang. Sementara dua orang lainnya juga Alex segera menyelamatkan Paula yang sudah hampir sekarat dan berdarah-darah.Kekuatan Steven pun tiba-tiba menjadi semakin kuat, badannya berbalik lalu mendorong pria yang menodongnya dengan kencang. Membuat pria tersebut terhampas jauh ke belakang kurang lebih berjarak sepuluh meter.Melihat itu, mereka segera menembakan pistolnya pada Steven berkali-kali. Akan tetapi itu tidak sama sekali berpengaruh pada tubuhnya, bahkan peluru pun tidak bisa menembus kulitnya. Membuat segerombolan pria itu behamburan, lalu masuk k
Cepat sekali Paula melajukan mustang merahnya, dia seperti sedang balapan serta dirinya tidak kapok untuk bertemu kembali dengan Steven. Jelasnya seperti dihipnotis oleh daya tarik Steven. Padahal Steven kini sedang menuju ke bandara untuk kembali mengerjakan perojectnya yang ada di Karachi.Mustang berhenti di depan rumah mewah dengan ornamen asli chinese dengan ciri khas pohon bambu yang mengelilingi halaman dan pintu masuk. Inilah rumah Steven yang ada di China dan ditempati Lyn semasa hidupnya. Paula ke luar dari mobil, lalu berjalan ke arah pintu dan mengetuknya berkali-kali. Dari dalam asisten rumah tangga yang menjaga rumah membuka pintu. "Iya, ada apa?" tanyanya sangat sopan sambil tersenyum."Aku mau bertemu Steven!" Jawab Paula sambil menerobos masuk dan mendorong paksa badan ART ini."T-tuan, akan kembali ke Karachi, baru saja beliau pergi ke bandara!" tutur ART agak sedikit kelagapan.Mendengar itu, Paula dengan setengah berlari ke luar dari r
Alex yang sudah lama ingin mencicipi tubuh Paula pun memutar haluan. Dia segera menyuruh anak buahnya turun dari mobilnya. "Kamu turun di sini, aku akan membawa Nona ke rumah pribadi Tuan Jibs," titahnya dengan tegas dan tanpa curiga. Anak buahnya pun turun dan percaya saja akan apa yang Alex tuturkan, karena Alex sudah bekerja dengan Jibs sudah hampir 20 tahun lamanya.Alex melajukan mobilnya ke arah dusun terpencil dimana dia sering menghabiskan waktunya sendirian dan Alex ini seorang perjaka tua yang telah menaksir anak bossnya dari usia Paula 17 tahun. 'Aku mencintaimu Paula dan tidak bisa menahan gejolak kelelakianku kali ini. Aku harus mencicipimu!' gumamnya sambil memarkirkan Ford miliknya di sudut halaman rumahnya.Tangan kekar Alex membopong Paula yang sudah terlelap, lalu dia pun menidurkannya di tempat tidur rustic miliknya. Sebelum melakukan hal lainnya Alex pun mengirimkan pesan pada Jibs. "Tuan, Paula bersamaku dan aku kelelahan." Isi pesan diterima
Paula menjadi budak nafsu pengawalnya hingga ayahnya kembali. "Iya Tuan, aku akan menjemputmu, setelah mengantar Non Paula," jawab Alex di ujung telepon karena Jibs menelponnya.Sedangkan di tempat penyidik yang tempatnya tidak jauh dari kediaman Paula, Steven dan Michael sedang merencanakan bagaimana menangkap Paula. "Aku harus pergi ke Karachi, kalau begitu?" ucap Steven karena mendapat kabar kalau Paula akan ke sana mendampingi Jibs.Paula memelas pada Jibs agar ikut bersamanya ke Karachi demi untuk menghindar dari Alex, karena bagaimana pun Alex sudah mengetahui semua hal tentang keluarganya dan tidak mudah bagi Paula memberitahu apa yang telah dilakukan oleh Alex. Serta Alex sendiri bukanlah anak kemarin sore yang tidak memiliki kekuatan untuk mengendalikan Jibs dan terlebih lagi Paula sudah mengisi relung hatinya."Ya sudah, ikut Ayah... tapi ingat jangan cari- cari masalah lagi!" ucap Jibs sambil memanggil anak buahnya untuk menyiapkan jet pribadinya.
Paula pun bercerita pada Steven tentang diri Alex dan tentang apa yang dilakukannya. Mendengar itu Steven terperanjat, "Itu orang kepercayaanmu?" "Alex bukan hanya orang kepercayaan ayah, dia pun sudah mengetahui seluk beluk pekerjaan pentingnya. Bahkan kunci rahasia gudang penyimpanan senjata serta semua brankas Alex sudah hapal. Makanya aku tidak ingin membicarakan semua ini pada ayah, karena ayah tidak akan mempercayainya." Jelas Paula sambil bersandar di bahu Steven. Steven merasa iba pada Paula, dia pun tidak berkata apa-apa. Tetapi seperti ada kekuatan untuk mencederai diri Paula. Tangannya meraih lengan Paula kemudian membantingnya ke sudut pintu, melihat reaksi Steven seperti itu Paula dengan cepat meraih gagang pintu lalu membukannya. Cepat sekali, dia kabur dari apartemen serta langsung melajukan mobilnya ke arah rumah Hamid. Karena beberapa menit lalu dia meneleponnya. Dalam hitungan menit Paula pun sudah sampai di depan rumah Hamid, begitu tangan
"Bu, dia tidak ada sangkut paut dengan ayahnya. Alex mencintainya...." bujuk Alex pada ibunya sambil meraih tangan Paula dan menggenggamnya erat. Amie memang sudah mengetahui perasaan anaknya pada Paula, reaksinya hanya mendengus dan berlalu masuk ke dalam kamarnya dengan membanting pintu kamarnya sangat keras. Paula menatap wajah Alex sedangkan tangannya meraih senderan kursi. "Itu ibumu?" tanyanya. Alex pun ikut duduk dan menjawab pertanyaan Paula, "Dia ibu yang tabah...hanya saja dia kurang suka keluargamu!" Paula menyadari siapa keluarganya terlebih lagi dirinya. Jadi, kalau Amie tidak menyukainya sangat wajar. "Ayo, aku tunjukan kamar kita berdua...aku akan memenuhi janjimu...." Ajak Alex sambil meraih lengan Paula. Paula menepisnya. "Aku lapar!" ucapnya sambil mengambil roti tawar dan membuka tutup botol keju cream. Alex tertawa kecil dan kembali duduk yang kini berhadapan dengan wanita yang telah lama diincarnya, kenda
Paula memang sudah merancang strategi sendiri, dia akan mendekati Alex dengan cara membalas cintanya kendati harus bersandiwara. Mendengar jawaban dari Paula seperti itu Alex tersenyum merekah sambil membaca pesan masuk satu persatu. "Orang yang mencintaimu akan mencoba melindungimu dari segala hal, dan aku tahu isi pesan-pesan itu bukan hanya dari ayahmu saja." Ucapnya membela diri. Amie pun ikut berbicara, "Paula sayang, kamu ini bukan orang biasa. Semua orang akan mendekatimu demi kekayaan ayahmu." Pembicaraan Amie diakhiri dengan menyendok pasta dan menaruhnya di atas piring yang ada di depan Paula. Seketika bibir Paula mengulas senyuman terpaksa namun nampak menawan di mata Amie. Sementara Alex merasa gusar akan isi pesan yang dikirim oleh Steven karena menginginkan photo dirinya. Apalagi diketahui kalau Paula sudah bercerita akan dirinya pada Steven. Alex pun sudah berkeputusan untuk mengganti nomor handphone Paula dan memperketat gerak-geriknya. Tanpa
Semua yang ada di dalam ruangan mengarah ke arah Jibs dengan terheran-heran.Tidak untuk Dexe juga Mawar yang memang masih ada di dalam rumah, mereka dengan cepat memberitahukan kepada atasannya akan keberadaan Jibs di sini. "Bagaimana bisa lelaki ini ada di sini?" Dexe bergumam dan hampir bersamaan dengan Mawar. Jibs berjalan ke arah sofa, kemudian dengan santainya duduk disertai dengan menopang kaki. Matanya pada Amie, kemudian pada Jhon. Lama sekali pandangan mengarah pada lelaki bertubuh kurus itu. "Akhirnya, Kamu menghirup udara bebas juga setelah berpuluh tahun lamanya menjadi budakku!" Ucapan terlontar begitu saja dari mulut Jibs. "Pacarmu, aku rampas kehormatannya. Kepintaranmu pun, Aku yang dikenal banyak orang. Aku sudah puas menikmati semua milikmu. Jadi, tidak apa-apa jika sekarang giliran Kamu yang menikmatinya." tambahnya lantang. Jhon mengepalkan kedua tangannya, dia sangat marah begitu mendengar kejujuran dari Jibs. Namun, Steven mengelus halus pundaknya, memberikann
"Cepat Nyonya, Nona...kalian harus segera keluar dari sini. Rumah ini akan dihuni oleh pemilik sebenarnya!" Marwa menggertak kasar dengan menggebrak pintu. "Siapa penghuni rumah ini?" Catherine penasaran. Tiba-tiba Jhon Rudolf, Steven dan Dexe datang dari ruangan bawah. Mereka memang sudah ada di sana setengah jam yang lalu. Steven membawa Jhon ke sini, padahal tadinya berpikiran untuk langsung ke rumah Amie, istrinya. Merasa kalau Jhon sudah sangat berhak di rumah yang semestinya ditempatinya sejak dahulu. "Bapak ini adalah pemilik rumah ini, Nyonya, Paula! Bapak ini yang telah dizolimi oleh istri juga, Jibs bapakmu!" ungkap Steven dengan tangan menepuk bahu Jhon. Catherine tersenyum tipis sembari mengangguk-angguk kepalanya. "Semoga Amie bisa menerima kenyataan pahit nantinya. Tuan tahu 'kan kenapa Tuan menikahinya dulu?" ungkap Catherine sedang mengompori. Steven mengerlingkan matanya mengarah pada Catherine. Dia ingin bertanya panjang lebar, akan tetapi merasa bukan saatnya se
-Flashback on- Di atas jembatan panjang di United Kingdom. Catherine merasa tidak berguna, harga dirinya sudah diinjak-injak oleh kekasihnya sendiri. Pasalnya, setelah saling menikmati surga dunia. Pria yang akan berjanji untuk menikahinya pergi entah ke mana. Sebulan. Dua bulan berlalu. Catherine masih menunggu dan keadaannya sudah berbadan dua. Sakit hati, merasa tercampakan, frustasi, adalah perasaannya kini. Jembatan itu disusurinya tepat tengah malam, air matanya mengalir deras. Kedua orang tuanya pasti marah kalau mengetahui dirinya tengah mengandung, lebih parahnya kekasihnya itu pergi entah ke mana. Sedang tidak karuan datanglah Jibs Choudry, dia tengah mabuk. Mereka belum kenal satu sama lain. Terbersit di kepala Catherine untuk menjebaknya. Jibs sedang meracau tak karuan, dia memang pecandu alcohol, buatnya minuman itu sebagai penenang dirinya saat kalut dan stress. Memang dia tidak minum seperti layaknya peminum urakan di jalanan. Dia duduk manis di dalam mobilnya atau pun
Steven tidak menjawab yang Amie tanyakan. Dia bergegas meninggalkan apartemennya. “Steven….” Amie berteriak agak kencang, membuat lelaki berwajah sempurna itu menoleh dan menghentikan langkahnya, “Iya?” “Malam ini jangan lupa temui Aline! Dia berada di rumah….” Pemberitahuan itu terhenti ketika matanya melihat Rizwan yang masih menyamar menjadi cleaning service. “Ibu lagi di rumah mana?” Pertanyaan Steven membuat Amie gelisah karena dirinya merasakan kalau wajah cleaning service itu tak asing untuknya. Kemudian cepat sekali mendekat ke arah Steven. “Ibumu ada di rumahku yang ada di pinggir kota!” Ucapan itu hampir berbisik. Kemudian Amie pun menepuk bahu Steven. “Pergilah! Kamu hati-hati!” pungkasnya dengan mata masih melirik ke Rizwan. Akan tetapi itu membuat Steven penasaran serta mengartikan kalau itu adalah kode pemberitahuan. Dipanggilah cleaning service itu olehnya, “Permisi! Helo! Kamu!!” Sayangnya, Rizwan berpura-pura tidak mendengar seolah memahami kalau dirinya telah dicur
Langkah kaki itu semakin ke depan. Ke dalam kamar tepatnya. Tangannya menekan pintu yang dibelakangnya tumpukan kardus air mineral. Pintu ditekan dan hampir menjepit tubuh Dexe yang merebah dan tenggelam ke pojokan. “Ok. Sampai ketemu besok pagi!” ujar laki-laki yang sudah rutin memantau Jhon Rudolf. “Oh, ya. Saya malam ini mau makan banyak. Bawakan kambing panggang, nasi biryani, dan beberapa gulab janum. Jangan lupa salad juga buah. Satu liter sprite!” Permintaan Jhon membuat laki-laki itu mengangguk. Dia seolah paham kalau nafsu makannya baru menggugah seleranya karena kamar telah bersih dan wangi. Cetrek! Cetrek! Suara pintu terkunci dua kali oleh laki-laki yang di pinggangnya ada pistol membuat Dexe menarik napas lega. Dexe masih menunggu beberapa detik untuk memastikan lelaki tersebut tidak kembali. “Dia akan kembali nanti malam, itu pun pelayan yang akan membawakan makanan untukku. Kamu siapa?” Jhon sekarang duduk di pinggir tempat tidurnya dengan tatapan kedua matanya ke
"Sudah kalian pergilah!" Jibs pun ikut menyuruh. Ketiga wanita itu pun langsung ke luar rumah dengan menggunakan sopir pribadi Jibs pergi ke toko berlian langganan mereka. Sementara Catherine yang sudah mencium sesuatu rancangan suaminya tak banyak berbicara apalagi mengintrogasi. Dia cukup memahami kalau suaminya tak bisa ditantang. Sekarang mereka sedang di toko berlian dan langsung memilah yang cocok untuk dikenakan pengantin wanita di pesta nanti. ***Dexe sekarang menyamar menjadi seorang ahli nuklir dan mengaku teman Jibs sewaktu di universitas dulu. Pengakuan itu pada penjaga dengan memberikan beberapa bukti. Kendati penjaga masih menunggu jawaban dari Jibs yang tidak mengangkat teleponnya. "Cepatlah! Dia sudah menyuruh untuk ke sini sekarang! Aku pun tahu dia sedang sibuk untuk mempersiapkan acara putrinya." Dexe meyakinkan penjaga. Penjaga pun kembali melihat foto-foto dan hasil karya-karya Jibs yang terlampir di dalam map warna cokelat. "Taruh identitasmu di sini! Masukl
Nuansa hijau daun memang sudah Nampak dominan akan dipilih menjadi warna pilihan dekorasi pernikahan putranya oleh Aline. Iya, Aline kini telah mendarat. Dia adalah Zaina yang menyamar menjadi Aline untuk beberapa hari ke depan sampai pesta dilaksanakan. Iya, permainan Jibs yang sudah bisa ditebak oleh Aline pun membuat dirinya tidak sembarang menampakan diri di depan publik. Rizwan memang sudah mulai memata-matai apartemen milik Steven. Bukan dirinya saja bahkan lima orang lainnya. Dari beberapa arah masuk; barat, timur juga selatan terlebih lagi pintu utama. Terpantau oleh anak buah Rizwan atas suruhan Jibs. Belum ada tanda-tanda memang. Akan tetapi pandangan mereka berlima mengarah pada mobil mewah warna hitam yang baru saja datang. Dibukanya palang pintu masuk ke apartemen oleh penjaga. Penjaga hanya tersenyum tipis dan memeriksa identitas milik mobil mewah tersebut. Belum jelas memang wajah dari si pengendara mobil tersebut oleh kelima anak buah Rizwan. Mobil itu sekarang sudah
Setelah acara, Farida pun pulang diantar oleh Steven memakai mobil pribadinya. Steven yang sudah mencium strategi ibunya dan Farida langsung saja mencecar pertanyaan pada wanita tua ini. "Tuan, nanti juga akan tahu semuanya. Ibu Tuan wanita luar biasa!" Farida hanya memberikan jawaban sesingkatnya. Kendati dirinya pun sudah tak sabar agar Steven mengetahui segalanya. "Bi Farida, Ibu kapan datang ke sini?" Ujar Steven meyakinkan akan penuturan yang telah didengarnya tadi. Akan tetapi telepon genggamnya berdering. Diliriknya layar smartphone di sebelahnya yang kebetulan ditaruh di pinggir jok mobilnya. "Ibu ini selalu saja tahu kalau aku sedang membicarakannya!" Ucap Steven serta tangannya menekan tanda terima kemudian dia pun berbicara menggunakan earphone. "Ibu sudah di apartemenmu. Jangan lupa ajak Bi Farida ke sini." Pemberitahuan Aline membuat Steven mengerlingkan matanya pada Bi Farida yang duduk di jok sebelahnya. "Ibuku pun memiliki kunci apartemenku? Dari mana dia dapatkan?"
Siapa Amie? Siapa Aline? Teka- teki itu sudah meronta-ronta ingin cepat diketahui oleh Steven. Sangat aneh memang seorang anak tidak mengenal ibunya serta terlebih lagi ayahnya. Ironis sekali, apalagi perkawinan antara Aline dan Jibs disaksikan oleh orang tua Aline. Tapi, kenapa mereka seolah menutup mata? Jelasnya, siapa yang akan membuka mata pada lelaki licik seperti Jibs? Racun pun sepertinya akan seperti minuman segar dibuatnya. Amie menatap wajah Steven sangat dalam, dalam hingga Steven tak ada daya untuk menepisnya. Tatapan Amie bukan tanpa sebab, dia sangat mengingat bagaimana Aline datang pada dirinya tepat setelah melahirkan. Namun, tatapan itu terhenyak karena Steven menegurnya, "Ibu juga tidak peduli pada anak sendiri 'kan?" Amie bergeming mendengar itu walaupun ingin sekali bekata; aku pun tak sudi memiliki anak dari hasil perkosaan, terlebih lagi ayahnya berpura-pura seperti pahlawan. Spontan sekali bibir Amie pun menyimpulkan senyuman tipis. "Sangat peduli! Karena