"Bu, dia tidak ada sangkut paut dengan ayahnya. Alex mencintainya...." bujuk Alex pada ibunya sambil meraih tangan Paula dan menggenggamnya erat.
Amie memang sudah mengetahui perasaan anaknya pada Paula, reaksinya hanya mendengus dan berlalu masuk ke dalam kamarnya dengan membanting pintu kamarnya sangat keras.
Paula menatap wajah Alex sedangkan tangannya meraih senderan kursi. "Itu ibumu?" tanyanya.
Alex pun ikut duduk dan menjawab pertanyaan Paula, "Dia ibu yang tabah...hanya saja dia kurang suka keluargamu!"
Paula menyadari siapa keluarganya terlebih lagi dirinya. Jadi, kalau Amie tidak menyukainya sangat wajar.
"Ayo, aku tunjukan kamar kita berdua...aku akan memenuhi janjimu...." Ajak Alex sambil meraih lengan Paula.
Paula menepisnya. "Aku lapar!" ucapnya sambil mengambil roti tawar dan membuka tutup botol keju cream.
Alex tertawa kecil dan kembali duduk yang kini berhadapan dengan wanita yang telah lama diincarnya, kenda
Paula memang sudah merancang strategi sendiri, dia akan mendekati Alex dengan cara membalas cintanya kendati harus bersandiwara. Mendengar jawaban dari Paula seperti itu Alex tersenyum merekah sambil membaca pesan masuk satu persatu. "Orang yang mencintaimu akan mencoba melindungimu dari segala hal, dan aku tahu isi pesan-pesan itu bukan hanya dari ayahmu saja." Ucapnya membela diri. Amie pun ikut berbicara, "Paula sayang, kamu ini bukan orang biasa. Semua orang akan mendekatimu demi kekayaan ayahmu." Pembicaraan Amie diakhiri dengan menyendok pasta dan menaruhnya di atas piring yang ada di depan Paula. Seketika bibir Paula mengulas senyuman terpaksa namun nampak menawan di mata Amie. Sementara Alex merasa gusar akan isi pesan yang dikirim oleh Steven karena menginginkan photo dirinya. Apalagi diketahui kalau Paula sudah bercerita akan dirinya pada Steven. Alex pun sudah berkeputusan untuk mengganti nomor handphone Paula dan memperketat gerak-geriknya. Tanpa
Arman menanggapi semua yang dipaparkan Steven dengan cermat lalu diketik di dalam laptopnya untuk dijadikan bukti. Bukti untuk dia tindak lanjuti lalu mengikuti akal busuknya dan padahal dia sendiri tidak peduli akan keadilan. Tiba-tiba handphone Steven berdering memecahkan diskusi antara dirinya dengan Arman. Tangan Steven pun mengambil handphone yang diletakan di dalam saku celana lalu dengan cepat menjawabnya, "Hello!" Terdengar di ujung telepon suara nyaring perempuan, "Hati-hati pada orang yang ada di sekelilingmu." Si Penelpon langsung mematikan telponnya tanpa memberi kesempatan Steven untuk berbicara. Dahi Steven mengernyit, sedangkan matanya melihat pada layar handphone lalu memeriksa nomor tersebut. Diketahui Si Penelpon bukan berasal dari dalam Karachi melainkan dari London, dia pun terdiam sejenak dan berusaha mengingat suara tersebut karena memang tidak asing buatnya. Arman yang memperhatikannya bertanya, "Ada apa?" Steven menggelengkan
Alex menjawab sambil tertawa, namun tangan kirinya dengan cepat menodongkan pistol pada perut Paula, "Tuan, putri anda memang sedang tidak beres belakang ini, tapi Tuan tidak perlu khawatir aku akan mengatasinya." "Ajaklah dia pulang, nanti malam ibunya akan ke sini!" perintah Jibs sambil menutup teleponnya. Alex menghentikan mobilnya lalu mengirim pesan dari handphone milik Paula, "Tuan, ini nomor Paula! Handphoneku baterynya mati, aku dan Paula akan pulang besok karena Paula perlu menenangkan dirinya." Ting! Balasan pesan dari Jibs terdengar. "Ok!" balasnya singkat. Alex menyimpulkan senyuman merekah, "Kita malam ini harus segera menikah!" ucapnya lalu dengan cepat melajukan mobil ke arah rumah temannya. Dia seorang pendeta di gereja tengah kota. Tetapi sebelumnya Alex mengajak ke butik untuk membeli beberapa pakaian. "Ayo sayang cepat masuk!" ajak Alex pada Paula yang masih terpaku di depan butik yang cukup besar ini. Paula pun ters
"Ayo ikut aku! Lewat sini akan lebih dekat dengan kota!" ajak Jan sambil menarik lengan Paula. Paula terdiam sejenak, matanya memandang ke sekeliling dan di depannya memang hutan belantara yang gelap gulita. Di tengah keraguannya pemuda tadi berteriak kembali, "Ayo ikut aku! Kalau kamu melewati jalur sana bukannya bertemu kekasihmu, tetapi harimau akan menerkammu!" gertak pemuda yang mengaku bernama Jan Habib itu. Paula dengan terpaksa mengikuti Jan yang sudah berjalan terlebih dahulu. Sedangkan Steven masih mencari bus dengan nomor flat yang diberikan oleh Paula. Jalanan memang sangat sibuk malam ini ditambah lagi pemeriksaan di mana-mana. Handphone Steven berdering ramai, sangat cepat dia pun mengangkatnya, "Hallo!" "Aku Alex! Mana Paula?" bentak Alex di ujung telepon bernada tegas serta marah. Dia memang sudah kehabisan akal dan menyerah dalam pencarian Paula. Dia pun berpikir kalau Paula pasti pergi ke apartemen Steven. Mendengar itu Steve
"Aku akan pergi memakai helikopter ke Afghanistan dan harus segera menemukan Paula secepatnya!" Steven percaya diri. Ghani tertawa kecil lalu menyepelekan, "Iya, kalau kamu nyampe sana dengan selamat!" Steven menoleh ke arah Ghani dengan sedikit keheranan. Dia pun bertanya-tanya akan ucapan yang terlontar dari mulut Ghani. "Aku yang memiliki keluarga di sana saja sangat sulit untuk masuk ke sana apalagi jalur ini!" tegas Ghani sambil menyuruh pasukannya menyiapkan mobil untuk kembali ke markas yang ada di pusat kota. Setelah menunggu kurang lebih dari setengah jam, beberapa mobil sudah datang untuk membawa pasukan yang jumlahnya ada 15 orang ini. "Steven! Kamu jangan coba-coba ke sana tanpa authority!" ujar Ghani sambil memutar setir lalu melajukan mobilnya, mempertandai kepergian dengan menyembunyikan klakson. Sepeninggalnya Ghani, Steven pun memutar haluan bersama kedua rekannya. Dia tetap menyusuri jalan
Steven juga Aline pun mengikuti Ghazi serta beberapa para prajurit yang berseragam tentara Amerika ini. Baru saja Aline duduk, telponnya berbunyi lalu dengan cepat dia pun menjawabnya, "Iya Razi, aku sudah bersama adikku!" Mendengar nama Razi, Ghazi menyela, "Kamu masih berhubungan dengan musuh suamimu?" Aline dengan cepat berdehem mempertandai ucapan tidak harus dilanjutkan. Steven menoleh pada reaksi ibunya seperti itu. Sedangkan Ghazi segera memusatkan pandangan pada jalanan yang gelap gulita. Suasana menjadi sangat hening. Selang beberapa saat keheningan jalanan kini sudah mulai agak ramai dengan lampu-lampu jalan dan pusat perbelanjaan bahkan ada bazaar makanan di sana. Di sini tak nampak seperti wilayah peperangan atau pun teroris. Sumringah dan damai. *** Catherine sedang bimbang akan kehilangan putrinya dia pun segera mengeksekusi kamarnya. Dari mulai barang-barang milik pribadi hingga laptop yang tergeletak di atas tempat tidur. Begit
Begitu turun dari helikopter tiba-tiba ada anak muda berpakaian abu-abu serasi antara atasan dan bawahannya menghampiri, "Tuan, musuh kita sedang ada di sini!" ucapnya berbisik tepat di dekat kuping Alex. Alex mengernyitkan dahinya. "Jibs?" tebaknya sambil terus berjalan ke arah rumah yang tidak ada pencahayaan dari luarnya. Lelaki itu membuka pintu rumah dan tanpa berbicara lagi. Lalu, dia pergi entah ke mana. Dari dalam beberapa orang sudah menyambut kedatangan Alex. Sedangkan Alex segera masuk ke dalam rumah yang nampak di luar begitu menyeramkan. Akan tetapi begitu masuk terdapat furniture mewah dihiasi lampu-lampu cantik menghiasi setiap ruangan belum lagi sajian makanan menggunggah selera. "Siapa lelaki yang menyambutku tadi, dia mengabarkan kalau musuh kita ada di sini?" tanyanya sambil duduk di atas sofa lantai. "Aline, bukankah dia lebih berbahaya daripada Jibs," jawab lelaki tinggi dengan membawa senapan yang tiba-tiba datang dengan tegas.
Mendengar pernyataan dari istri rahasianya ini, Jibs berpikiran lain, 'Haruskah aku percaya padanya? Bagaimana kalau ini akal-akalannya agar aku takut? Atau mungkin saja ini salah satu triknya untuk menuntutku mempublikasikannya?' "Aku yakin kalau John Rudolf tidak memiliki sanak saudara, aku melihat rumahnya dan beserta anak istrinya ikut hangus!" Jibs mempertegas ucapannya pada Aline. Lalu, langsung menutup handphonenya seketika. Di ujung sana Aline pun menyeringai senyum sinis, "Aku tahu kenapa kamu tidak mempublikasikan aku dan hingga anakmu sendiri tidak mengenalmu, itu karena kamu tidak pernah mempercayaiku! Atau saja kamu sebetulnya tidak pernah mencintaiku," ucap Aline pada dirinya sendiri. Dia pun bertahan menjadi pesuruh Jibs karena setidaknya dia masih bisa berkesempatan menikmati kekayaan dan tentunya ada celah untuk membalas dendam. Siapa yang akan bertahan menjadi istri rahasia? Apalagi anaknya saja tidak boleh mengetahui ayah kandungnya.
Semua yang ada di dalam ruangan mengarah ke arah Jibs dengan terheran-heran.Tidak untuk Dexe juga Mawar yang memang masih ada di dalam rumah, mereka dengan cepat memberitahukan kepada atasannya akan keberadaan Jibs di sini. "Bagaimana bisa lelaki ini ada di sini?" Dexe bergumam dan hampir bersamaan dengan Mawar. Jibs berjalan ke arah sofa, kemudian dengan santainya duduk disertai dengan menopang kaki. Matanya pada Amie, kemudian pada Jhon. Lama sekali pandangan mengarah pada lelaki bertubuh kurus itu. "Akhirnya, Kamu menghirup udara bebas juga setelah berpuluh tahun lamanya menjadi budakku!" Ucapan terlontar begitu saja dari mulut Jibs. "Pacarmu, aku rampas kehormatannya. Kepintaranmu pun, Aku yang dikenal banyak orang. Aku sudah puas menikmati semua milikmu. Jadi, tidak apa-apa jika sekarang giliran Kamu yang menikmatinya." tambahnya lantang. Jhon mengepalkan kedua tangannya, dia sangat marah begitu mendengar kejujuran dari Jibs. Namun, Steven mengelus halus pundaknya, memberikann
"Cepat Nyonya, Nona...kalian harus segera keluar dari sini. Rumah ini akan dihuni oleh pemilik sebenarnya!" Marwa menggertak kasar dengan menggebrak pintu. "Siapa penghuni rumah ini?" Catherine penasaran. Tiba-tiba Jhon Rudolf, Steven dan Dexe datang dari ruangan bawah. Mereka memang sudah ada di sana setengah jam yang lalu. Steven membawa Jhon ke sini, padahal tadinya berpikiran untuk langsung ke rumah Amie, istrinya. Merasa kalau Jhon sudah sangat berhak di rumah yang semestinya ditempatinya sejak dahulu. "Bapak ini adalah pemilik rumah ini, Nyonya, Paula! Bapak ini yang telah dizolimi oleh istri juga, Jibs bapakmu!" ungkap Steven dengan tangan menepuk bahu Jhon. Catherine tersenyum tipis sembari mengangguk-angguk kepalanya. "Semoga Amie bisa menerima kenyataan pahit nantinya. Tuan tahu 'kan kenapa Tuan menikahinya dulu?" ungkap Catherine sedang mengompori. Steven mengerlingkan matanya mengarah pada Catherine. Dia ingin bertanya panjang lebar, akan tetapi merasa bukan saatnya se
-Flashback on- Di atas jembatan panjang di United Kingdom. Catherine merasa tidak berguna, harga dirinya sudah diinjak-injak oleh kekasihnya sendiri. Pasalnya, setelah saling menikmati surga dunia. Pria yang akan berjanji untuk menikahinya pergi entah ke mana. Sebulan. Dua bulan berlalu. Catherine masih menunggu dan keadaannya sudah berbadan dua. Sakit hati, merasa tercampakan, frustasi, adalah perasaannya kini. Jembatan itu disusurinya tepat tengah malam, air matanya mengalir deras. Kedua orang tuanya pasti marah kalau mengetahui dirinya tengah mengandung, lebih parahnya kekasihnya itu pergi entah ke mana. Sedang tidak karuan datanglah Jibs Choudry, dia tengah mabuk. Mereka belum kenal satu sama lain. Terbersit di kepala Catherine untuk menjebaknya. Jibs sedang meracau tak karuan, dia memang pecandu alcohol, buatnya minuman itu sebagai penenang dirinya saat kalut dan stress. Memang dia tidak minum seperti layaknya peminum urakan di jalanan. Dia duduk manis di dalam mobilnya atau pun
Steven tidak menjawab yang Amie tanyakan. Dia bergegas meninggalkan apartemennya. “Steven….” Amie berteriak agak kencang, membuat lelaki berwajah sempurna itu menoleh dan menghentikan langkahnya, “Iya?” “Malam ini jangan lupa temui Aline! Dia berada di rumah….” Pemberitahuan itu terhenti ketika matanya melihat Rizwan yang masih menyamar menjadi cleaning service. “Ibu lagi di rumah mana?” Pertanyaan Steven membuat Amie gelisah karena dirinya merasakan kalau wajah cleaning service itu tak asing untuknya. Kemudian cepat sekali mendekat ke arah Steven. “Ibumu ada di rumahku yang ada di pinggir kota!” Ucapan itu hampir berbisik. Kemudian Amie pun menepuk bahu Steven. “Pergilah! Kamu hati-hati!” pungkasnya dengan mata masih melirik ke Rizwan. Akan tetapi itu membuat Steven penasaran serta mengartikan kalau itu adalah kode pemberitahuan. Dipanggilah cleaning service itu olehnya, “Permisi! Helo! Kamu!!” Sayangnya, Rizwan berpura-pura tidak mendengar seolah memahami kalau dirinya telah dicur
Langkah kaki itu semakin ke depan. Ke dalam kamar tepatnya. Tangannya menekan pintu yang dibelakangnya tumpukan kardus air mineral. Pintu ditekan dan hampir menjepit tubuh Dexe yang merebah dan tenggelam ke pojokan. “Ok. Sampai ketemu besok pagi!” ujar laki-laki yang sudah rutin memantau Jhon Rudolf. “Oh, ya. Saya malam ini mau makan banyak. Bawakan kambing panggang, nasi biryani, dan beberapa gulab janum. Jangan lupa salad juga buah. Satu liter sprite!” Permintaan Jhon membuat laki-laki itu mengangguk. Dia seolah paham kalau nafsu makannya baru menggugah seleranya karena kamar telah bersih dan wangi. Cetrek! Cetrek! Suara pintu terkunci dua kali oleh laki-laki yang di pinggangnya ada pistol membuat Dexe menarik napas lega. Dexe masih menunggu beberapa detik untuk memastikan lelaki tersebut tidak kembali. “Dia akan kembali nanti malam, itu pun pelayan yang akan membawakan makanan untukku. Kamu siapa?” Jhon sekarang duduk di pinggir tempat tidurnya dengan tatapan kedua matanya ke
"Sudah kalian pergilah!" Jibs pun ikut menyuruh. Ketiga wanita itu pun langsung ke luar rumah dengan menggunakan sopir pribadi Jibs pergi ke toko berlian langganan mereka. Sementara Catherine yang sudah mencium sesuatu rancangan suaminya tak banyak berbicara apalagi mengintrogasi. Dia cukup memahami kalau suaminya tak bisa ditantang. Sekarang mereka sedang di toko berlian dan langsung memilah yang cocok untuk dikenakan pengantin wanita di pesta nanti. ***Dexe sekarang menyamar menjadi seorang ahli nuklir dan mengaku teman Jibs sewaktu di universitas dulu. Pengakuan itu pada penjaga dengan memberikan beberapa bukti. Kendati penjaga masih menunggu jawaban dari Jibs yang tidak mengangkat teleponnya. "Cepatlah! Dia sudah menyuruh untuk ke sini sekarang! Aku pun tahu dia sedang sibuk untuk mempersiapkan acara putrinya." Dexe meyakinkan penjaga. Penjaga pun kembali melihat foto-foto dan hasil karya-karya Jibs yang terlampir di dalam map warna cokelat. "Taruh identitasmu di sini! Masukl
Nuansa hijau daun memang sudah Nampak dominan akan dipilih menjadi warna pilihan dekorasi pernikahan putranya oleh Aline. Iya, Aline kini telah mendarat. Dia adalah Zaina yang menyamar menjadi Aline untuk beberapa hari ke depan sampai pesta dilaksanakan. Iya, permainan Jibs yang sudah bisa ditebak oleh Aline pun membuat dirinya tidak sembarang menampakan diri di depan publik. Rizwan memang sudah mulai memata-matai apartemen milik Steven. Bukan dirinya saja bahkan lima orang lainnya. Dari beberapa arah masuk; barat, timur juga selatan terlebih lagi pintu utama. Terpantau oleh anak buah Rizwan atas suruhan Jibs. Belum ada tanda-tanda memang. Akan tetapi pandangan mereka berlima mengarah pada mobil mewah warna hitam yang baru saja datang. Dibukanya palang pintu masuk ke apartemen oleh penjaga. Penjaga hanya tersenyum tipis dan memeriksa identitas milik mobil mewah tersebut. Belum jelas memang wajah dari si pengendara mobil tersebut oleh kelima anak buah Rizwan. Mobil itu sekarang sudah
Setelah acara, Farida pun pulang diantar oleh Steven memakai mobil pribadinya. Steven yang sudah mencium strategi ibunya dan Farida langsung saja mencecar pertanyaan pada wanita tua ini. "Tuan, nanti juga akan tahu semuanya. Ibu Tuan wanita luar biasa!" Farida hanya memberikan jawaban sesingkatnya. Kendati dirinya pun sudah tak sabar agar Steven mengetahui segalanya. "Bi Farida, Ibu kapan datang ke sini?" Ujar Steven meyakinkan akan penuturan yang telah didengarnya tadi. Akan tetapi telepon genggamnya berdering. Diliriknya layar smartphone di sebelahnya yang kebetulan ditaruh di pinggir jok mobilnya. "Ibu ini selalu saja tahu kalau aku sedang membicarakannya!" Ucap Steven serta tangannya menekan tanda terima kemudian dia pun berbicara menggunakan earphone. "Ibu sudah di apartemenmu. Jangan lupa ajak Bi Farida ke sini." Pemberitahuan Aline membuat Steven mengerlingkan matanya pada Bi Farida yang duduk di jok sebelahnya. "Ibuku pun memiliki kunci apartemenku? Dari mana dia dapatkan?"
Siapa Amie? Siapa Aline? Teka- teki itu sudah meronta-ronta ingin cepat diketahui oleh Steven. Sangat aneh memang seorang anak tidak mengenal ibunya serta terlebih lagi ayahnya. Ironis sekali, apalagi perkawinan antara Aline dan Jibs disaksikan oleh orang tua Aline. Tapi, kenapa mereka seolah menutup mata? Jelasnya, siapa yang akan membuka mata pada lelaki licik seperti Jibs? Racun pun sepertinya akan seperti minuman segar dibuatnya. Amie menatap wajah Steven sangat dalam, dalam hingga Steven tak ada daya untuk menepisnya. Tatapan Amie bukan tanpa sebab, dia sangat mengingat bagaimana Aline datang pada dirinya tepat setelah melahirkan. Namun, tatapan itu terhenyak karena Steven menegurnya, "Ibu juga tidak peduli pada anak sendiri 'kan?" Amie bergeming mendengar itu walaupun ingin sekali bekata; aku pun tak sudi memiliki anak dari hasil perkosaan, terlebih lagi ayahnya berpura-pura seperti pahlawan. Spontan sekali bibir Amie pun menyimpulkan senyuman tipis. "Sangat peduli! Karena