Arman menanggapi semua yang dipaparkan Steven dengan cermat lalu diketik di dalam laptopnya untuk dijadikan bukti. Bukti untuk dia tindak lanjuti lalu mengikuti akal busuknya dan padahal dia sendiri tidak peduli akan keadilan.
Tiba-tiba handphone Steven berdering memecahkan diskusi antara dirinya dengan Arman. Tangan Steven pun mengambil handphone yang diletakan di dalam saku celana lalu dengan cepat menjawabnya, "Hello!"
Terdengar di ujung telepon suara nyaring perempuan, "Hati-hati pada orang yang ada di sekelilingmu." Si Penelpon langsung mematikan telponnya tanpa memberi kesempatan Steven untuk berbicara. Dahi Steven mengernyit, sedangkan matanya melihat pada layar handphone lalu memeriksa nomor tersebut. Diketahui Si Penelpon bukan berasal dari dalam Karachi melainkan dari London, dia pun terdiam sejenak dan berusaha mengingat suara tersebut karena memang tidak asing buatnya.
Arman yang memperhatikannya bertanya, "Ada apa?"
Steven menggelengkan
Alex menjawab sambil tertawa, namun tangan kirinya dengan cepat menodongkan pistol pada perut Paula, "Tuan, putri anda memang sedang tidak beres belakang ini, tapi Tuan tidak perlu khawatir aku akan mengatasinya." "Ajaklah dia pulang, nanti malam ibunya akan ke sini!" perintah Jibs sambil menutup teleponnya. Alex menghentikan mobilnya lalu mengirim pesan dari handphone milik Paula, "Tuan, ini nomor Paula! Handphoneku baterynya mati, aku dan Paula akan pulang besok karena Paula perlu menenangkan dirinya." Ting! Balasan pesan dari Jibs terdengar. "Ok!" balasnya singkat. Alex menyimpulkan senyuman merekah, "Kita malam ini harus segera menikah!" ucapnya lalu dengan cepat melajukan mobil ke arah rumah temannya. Dia seorang pendeta di gereja tengah kota. Tetapi sebelumnya Alex mengajak ke butik untuk membeli beberapa pakaian. "Ayo sayang cepat masuk!" ajak Alex pada Paula yang masih terpaku di depan butik yang cukup besar ini. Paula pun ters
"Ayo ikut aku! Lewat sini akan lebih dekat dengan kota!" ajak Jan sambil menarik lengan Paula. Paula terdiam sejenak, matanya memandang ke sekeliling dan di depannya memang hutan belantara yang gelap gulita. Di tengah keraguannya pemuda tadi berteriak kembali, "Ayo ikut aku! Kalau kamu melewati jalur sana bukannya bertemu kekasihmu, tetapi harimau akan menerkammu!" gertak pemuda yang mengaku bernama Jan Habib itu. Paula dengan terpaksa mengikuti Jan yang sudah berjalan terlebih dahulu. Sedangkan Steven masih mencari bus dengan nomor flat yang diberikan oleh Paula. Jalanan memang sangat sibuk malam ini ditambah lagi pemeriksaan di mana-mana. Handphone Steven berdering ramai, sangat cepat dia pun mengangkatnya, "Hallo!" "Aku Alex! Mana Paula?" bentak Alex di ujung telepon bernada tegas serta marah. Dia memang sudah kehabisan akal dan menyerah dalam pencarian Paula. Dia pun berpikir kalau Paula pasti pergi ke apartemen Steven. Mendengar itu Steve
"Aku akan pergi memakai helikopter ke Afghanistan dan harus segera menemukan Paula secepatnya!" Steven percaya diri. Ghani tertawa kecil lalu menyepelekan, "Iya, kalau kamu nyampe sana dengan selamat!" Steven menoleh ke arah Ghani dengan sedikit keheranan. Dia pun bertanya-tanya akan ucapan yang terlontar dari mulut Ghani. "Aku yang memiliki keluarga di sana saja sangat sulit untuk masuk ke sana apalagi jalur ini!" tegas Ghani sambil menyuruh pasukannya menyiapkan mobil untuk kembali ke markas yang ada di pusat kota. Setelah menunggu kurang lebih dari setengah jam, beberapa mobil sudah datang untuk membawa pasukan yang jumlahnya ada 15 orang ini. "Steven! Kamu jangan coba-coba ke sana tanpa authority!" ujar Ghani sambil memutar setir lalu melajukan mobilnya, mempertandai kepergian dengan menyembunyikan klakson. Sepeninggalnya Ghani, Steven pun memutar haluan bersama kedua rekannya. Dia tetap menyusuri jalan
Steven juga Aline pun mengikuti Ghazi serta beberapa para prajurit yang berseragam tentara Amerika ini. Baru saja Aline duduk, telponnya berbunyi lalu dengan cepat dia pun menjawabnya, "Iya Razi, aku sudah bersama adikku!" Mendengar nama Razi, Ghazi menyela, "Kamu masih berhubungan dengan musuh suamimu?" Aline dengan cepat berdehem mempertandai ucapan tidak harus dilanjutkan. Steven menoleh pada reaksi ibunya seperti itu. Sedangkan Ghazi segera memusatkan pandangan pada jalanan yang gelap gulita. Suasana menjadi sangat hening. Selang beberapa saat keheningan jalanan kini sudah mulai agak ramai dengan lampu-lampu jalan dan pusat perbelanjaan bahkan ada bazaar makanan di sana. Di sini tak nampak seperti wilayah peperangan atau pun teroris. Sumringah dan damai. *** Catherine sedang bimbang akan kehilangan putrinya dia pun segera mengeksekusi kamarnya. Dari mulai barang-barang milik pribadi hingga laptop yang tergeletak di atas tempat tidur. Begit
Begitu turun dari helikopter tiba-tiba ada anak muda berpakaian abu-abu serasi antara atasan dan bawahannya menghampiri, "Tuan, musuh kita sedang ada di sini!" ucapnya berbisik tepat di dekat kuping Alex. Alex mengernyitkan dahinya. "Jibs?" tebaknya sambil terus berjalan ke arah rumah yang tidak ada pencahayaan dari luarnya. Lelaki itu membuka pintu rumah dan tanpa berbicara lagi. Lalu, dia pergi entah ke mana. Dari dalam beberapa orang sudah menyambut kedatangan Alex. Sedangkan Alex segera masuk ke dalam rumah yang nampak di luar begitu menyeramkan. Akan tetapi begitu masuk terdapat furniture mewah dihiasi lampu-lampu cantik menghiasi setiap ruangan belum lagi sajian makanan menggunggah selera. "Siapa lelaki yang menyambutku tadi, dia mengabarkan kalau musuh kita ada di sini?" tanyanya sambil duduk di atas sofa lantai. "Aline, bukankah dia lebih berbahaya daripada Jibs," jawab lelaki tinggi dengan membawa senapan yang tiba-tiba datang dengan tegas.
Mendengar pernyataan dari istri rahasianya ini, Jibs berpikiran lain, 'Haruskah aku percaya padanya? Bagaimana kalau ini akal-akalannya agar aku takut? Atau mungkin saja ini salah satu triknya untuk menuntutku mempublikasikannya?' "Aku yakin kalau John Rudolf tidak memiliki sanak saudara, aku melihat rumahnya dan beserta anak istrinya ikut hangus!" Jibs mempertegas ucapannya pada Aline. Lalu, langsung menutup handphonenya seketika. Di ujung sana Aline pun menyeringai senyum sinis, "Aku tahu kenapa kamu tidak mempublikasikan aku dan hingga anakmu sendiri tidak mengenalmu, itu karena kamu tidak pernah mempercayaiku! Atau saja kamu sebetulnya tidak pernah mencintaiku," ucap Aline pada dirinya sendiri. Dia pun bertahan menjadi pesuruh Jibs karena setidaknya dia masih bisa berkesempatan menikmati kekayaan dan tentunya ada celah untuk membalas dendam. Siapa yang akan bertahan menjadi istri rahasia? Apalagi anaknya saja tidak boleh mengetahui ayah kandungnya.
Steven mengantisipasi semua hal dari segala sudut pantauan, karena mata anak buahnya bertebaran di mana-mana dan ikut membuntuti dirinya. Kalau pun memang betul anak buah Alex sudah mengetahui keberadaan Steven serta Aline, akan tetapi mereka tidak semudah mendapatkan Paula. Kini, mobil Alex pun terlihat melaju dan beberapa mobil mengikutinya. Begitu pula mobil Steven beserta anak buahnya ikut melaju penuh kewaspadaan. Mata-mata Steven memang sudah ada di antara pasukan Alex dan masih berpura-pura. Jalanan Afganistan telah dilewati tanpa hambatan. Kendati beberapa saat tersendat karena pengecekan oleh beberapa tentara Amerika seiring terjadinya ledakan mengakibatkan tentaranya meninggal dunia di rumah Razi yang beranjau. -Karachi- Paula serta Alex sudah berada di halaman rumah besar milik Jibs. Begitu Catherine mendengar kedatangan putrinya telah ditemukan serta sudah ada di rumah suaminya, dia pun segera pulang ke rumah yang sebelumnya dia menginap di
"Aku periksa terlebih dahulu, ya Line!" Jibs berpura-pura menenangkan. Dia pun dengan cepat ke luar dari mobil dan langsung membongkar ban mobilnya yang kempis itu. Jelang beberapa saat segerombolan anak muda mengendari beberapa mobil sport datang menghampiri berpura-pura menawarkan jasa. "Kenapa ini? Kalian perlu bantuan?" tanya salah satu dari mereka. Jibs ke luar dari kolong mobil begitu mendengar ucapan salah satu anak muda tersebut. "Ya, ini mendadak kempis." Jawabnya singkat tanpa reaksi. "Di sini jalanan berbahaya dan sudah hampir malam, kalian ikut kami saja. Biar mobilmu diangkut mobil derek," Anak Muda tersebut menawarkan. Aline yang berdiri di samping Jibs mencoba mencari-cari handphonenya. "Di mana handphoneku?" tanyanya pada diri sendiri sambil berjalan ke arah tempat jok mobil yang diduduki tadi. Akan tetapi handphonenya tidak ditemukan. "Ke mana handphoneku?" Aline masih mencari-cari serta mencoba mengingatnya.