Paula menjadi budak nafsu pengawalnya hingga ayahnya kembali. "Iya Tuan, aku akan menjemputmu, setelah mengantar Non Paula," jawab Alex di ujung telepon karena Jibs menelponnya.
Sedangkan di tempat penyidik yang tempatnya tidak jauh dari kediaman Paula, Steven dan Michael sedang merencanakan bagaimana menangkap Paula. "Aku harus pergi ke Karachi, kalau begitu?" ucap Steven karena mendapat kabar kalau Paula akan ke sana mendampingi Jibs.
Paula memelas pada Jibs agar ikut bersamanya ke Karachi demi untuk menghindar dari Alex, karena bagaimana pun Alex sudah mengetahui semua hal tentang keluarganya dan tidak mudah bagi Paula memberitahu apa yang telah dilakukan oleh Alex. Serta Alex sendiri bukanlah anak kemarin sore yang tidak memiliki kekuatan untuk mengendalikan Jibs dan terlebih lagi Paula sudah mengisi relung hatinya.
"Ya sudah, ikut Ayah... tapi ingat jangan cari- cari masalah lagi!" ucap Jibs sambil memanggil anak buahnya untuk menyiapkan jet pribadinya.
Paula pun bercerita pada Steven tentang diri Alex dan tentang apa yang dilakukannya. Mendengar itu Steven terperanjat, "Itu orang kepercayaanmu?" "Alex bukan hanya orang kepercayaan ayah, dia pun sudah mengetahui seluk beluk pekerjaan pentingnya. Bahkan kunci rahasia gudang penyimpanan senjata serta semua brankas Alex sudah hapal. Makanya aku tidak ingin membicarakan semua ini pada ayah, karena ayah tidak akan mempercayainya." Jelas Paula sambil bersandar di bahu Steven. Steven merasa iba pada Paula, dia pun tidak berkata apa-apa. Tetapi seperti ada kekuatan untuk mencederai diri Paula. Tangannya meraih lengan Paula kemudian membantingnya ke sudut pintu, melihat reaksi Steven seperti itu Paula dengan cepat meraih gagang pintu lalu membukannya. Cepat sekali, dia kabur dari apartemen serta langsung melajukan mobilnya ke arah rumah Hamid. Karena beberapa menit lalu dia meneleponnya. Dalam hitungan menit Paula pun sudah sampai di depan rumah Hamid, begitu tangan
"Bu, dia tidak ada sangkut paut dengan ayahnya. Alex mencintainya...." bujuk Alex pada ibunya sambil meraih tangan Paula dan menggenggamnya erat. Amie memang sudah mengetahui perasaan anaknya pada Paula, reaksinya hanya mendengus dan berlalu masuk ke dalam kamarnya dengan membanting pintu kamarnya sangat keras. Paula menatap wajah Alex sedangkan tangannya meraih senderan kursi. "Itu ibumu?" tanyanya. Alex pun ikut duduk dan menjawab pertanyaan Paula, "Dia ibu yang tabah...hanya saja dia kurang suka keluargamu!" Paula menyadari siapa keluarganya terlebih lagi dirinya. Jadi, kalau Amie tidak menyukainya sangat wajar. "Ayo, aku tunjukan kamar kita berdua...aku akan memenuhi janjimu...." Ajak Alex sambil meraih lengan Paula. Paula menepisnya. "Aku lapar!" ucapnya sambil mengambil roti tawar dan membuka tutup botol keju cream. Alex tertawa kecil dan kembali duduk yang kini berhadapan dengan wanita yang telah lama diincarnya, kenda
Paula memang sudah merancang strategi sendiri, dia akan mendekati Alex dengan cara membalas cintanya kendati harus bersandiwara. Mendengar jawaban dari Paula seperti itu Alex tersenyum merekah sambil membaca pesan masuk satu persatu. "Orang yang mencintaimu akan mencoba melindungimu dari segala hal, dan aku tahu isi pesan-pesan itu bukan hanya dari ayahmu saja." Ucapnya membela diri. Amie pun ikut berbicara, "Paula sayang, kamu ini bukan orang biasa. Semua orang akan mendekatimu demi kekayaan ayahmu." Pembicaraan Amie diakhiri dengan menyendok pasta dan menaruhnya di atas piring yang ada di depan Paula. Seketika bibir Paula mengulas senyuman terpaksa namun nampak menawan di mata Amie. Sementara Alex merasa gusar akan isi pesan yang dikirim oleh Steven karena menginginkan photo dirinya. Apalagi diketahui kalau Paula sudah bercerita akan dirinya pada Steven. Alex pun sudah berkeputusan untuk mengganti nomor handphone Paula dan memperketat gerak-geriknya. Tanpa
Arman menanggapi semua yang dipaparkan Steven dengan cermat lalu diketik di dalam laptopnya untuk dijadikan bukti. Bukti untuk dia tindak lanjuti lalu mengikuti akal busuknya dan padahal dia sendiri tidak peduli akan keadilan. Tiba-tiba handphone Steven berdering memecahkan diskusi antara dirinya dengan Arman. Tangan Steven pun mengambil handphone yang diletakan di dalam saku celana lalu dengan cepat menjawabnya, "Hello!" Terdengar di ujung telepon suara nyaring perempuan, "Hati-hati pada orang yang ada di sekelilingmu." Si Penelpon langsung mematikan telponnya tanpa memberi kesempatan Steven untuk berbicara. Dahi Steven mengernyit, sedangkan matanya melihat pada layar handphone lalu memeriksa nomor tersebut. Diketahui Si Penelpon bukan berasal dari dalam Karachi melainkan dari London, dia pun terdiam sejenak dan berusaha mengingat suara tersebut karena memang tidak asing buatnya. Arman yang memperhatikannya bertanya, "Ada apa?" Steven menggelengkan
Alex menjawab sambil tertawa, namun tangan kirinya dengan cepat menodongkan pistol pada perut Paula, "Tuan, putri anda memang sedang tidak beres belakang ini, tapi Tuan tidak perlu khawatir aku akan mengatasinya." "Ajaklah dia pulang, nanti malam ibunya akan ke sini!" perintah Jibs sambil menutup teleponnya. Alex menghentikan mobilnya lalu mengirim pesan dari handphone milik Paula, "Tuan, ini nomor Paula! Handphoneku baterynya mati, aku dan Paula akan pulang besok karena Paula perlu menenangkan dirinya." Ting! Balasan pesan dari Jibs terdengar. "Ok!" balasnya singkat. Alex menyimpulkan senyuman merekah, "Kita malam ini harus segera menikah!" ucapnya lalu dengan cepat melajukan mobil ke arah rumah temannya. Dia seorang pendeta di gereja tengah kota. Tetapi sebelumnya Alex mengajak ke butik untuk membeli beberapa pakaian. "Ayo sayang cepat masuk!" ajak Alex pada Paula yang masih terpaku di depan butik yang cukup besar ini. Paula pun ters
"Ayo ikut aku! Lewat sini akan lebih dekat dengan kota!" ajak Jan sambil menarik lengan Paula. Paula terdiam sejenak, matanya memandang ke sekeliling dan di depannya memang hutan belantara yang gelap gulita. Di tengah keraguannya pemuda tadi berteriak kembali, "Ayo ikut aku! Kalau kamu melewati jalur sana bukannya bertemu kekasihmu, tetapi harimau akan menerkammu!" gertak pemuda yang mengaku bernama Jan Habib itu. Paula dengan terpaksa mengikuti Jan yang sudah berjalan terlebih dahulu. Sedangkan Steven masih mencari bus dengan nomor flat yang diberikan oleh Paula. Jalanan memang sangat sibuk malam ini ditambah lagi pemeriksaan di mana-mana. Handphone Steven berdering ramai, sangat cepat dia pun mengangkatnya, "Hallo!" "Aku Alex! Mana Paula?" bentak Alex di ujung telepon bernada tegas serta marah. Dia memang sudah kehabisan akal dan menyerah dalam pencarian Paula. Dia pun berpikir kalau Paula pasti pergi ke apartemen Steven. Mendengar itu Steve
"Aku akan pergi memakai helikopter ke Afghanistan dan harus segera menemukan Paula secepatnya!" Steven percaya diri. Ghani tertawa kecil lalu menyepelekan, "Iya, kalau kamu nyampe sana dengan selamat!" Steven menoleh ke arah Ghani dengan sedikit keheranan. Dia pun bertanya-tanya akan ucapan yang terlontar dari mulut Ghani. "Aku yang memiliki keluarga di sana saja sangat sulit untuk masuk ke sana apalagi jalur ini!" tegas Ghani sambil menyuruh pasukannya menyiapkan mobil untuk kembali ke markas yang ada di pusat kota. Setelah menunggu kurang lebih dari setengah jam, beberapa mobil sudah datang untuk membawa pasukan yang jumlahnya ada 15 orang ini. "Steven! Kamu jangan coba-coba ke sana tanpa authority!" ujar Ghani sambil memutar setir lalu melajukan mobilnya, mempertandai kepergian dengan menyembunyikan klakson. Sepeninggalnya Ghani, Steven pun memutar haluan bersama kedua rekannya. Dia tetap menyusuri jalan
Steven juga Aline pun mengikuti Ghazi serta beberapa para prajurit yang berseragam tentara Amerika ini. Baru saja Aline duduk, telponnya berbunyi lalu dengan cepat dia pun menjawabnya, "Iya Razi, aku sudah bersama adikku!" Mendengar nama Razi, Ghazi menyela, "Kamu masih berhubungan dengan musuh suamimu?" Aline dengan cepat berdehem mempertandai ucapan tidak harus dilanjutkan. Steven menoleh pada reaksi ibunya seperti itu. Sedangkan Ghazi segera memusatkan pandangan pada jalanan yang gelap gulita. Suasana menjadi sangat hening. Selang beberapa saat keheningan jalanan kini sudah mulai agak ramai dengan lampu-lampu jalan dan pusat perbelanjaan bahkan ada bazaar makanan di sana. Di sini tak nampak seperti wilayah peperangan atau pun teroris. Sumringah dan damai. *** Catherine sedang bimbang akan kehilangan putrinya dia pun segera mengeksekusi kamarnya. Dari mulai barang-barang milik pribadi hingga laptop yang tergeletak di atas tempat tidur. Begit