Cepat sekali Paula melajukan mustang merahnya, dia seperti sedang balapan serta dirinya tidak kapok untuk bertemu kembali dengan Steven. Jelasnya seperti dihipnotis oleh daya tarik Steven. Padahal Steven kini sedang menuju ke bandara untuk kembali mengerjakan perojectnya yang ada di Karachi.
Mustang berhenti di depan rumah mewah dengan ornamen asli chinese dengan ciri khas pohon bambu yang mengelilingi halaman dan pintu masuk. Inilah rumah Steven yang ada di China dan ditempati Lyn semasa hidupnya. Paula ke luar dari mobil, lalu berjalan ke arah pintu dan mengetuknya berkali-kali. Dari dalam asisten rumah tangga yang menjaga rumah membuka pintu. "Iya, ada apa?" tanyanya sangat sopan sambil tersenyum.
"Aku mau bertemu Steven!" Jawab Paula sambil menerobos masuk dan mendorong paksa badan ART ini.
"T-tuan, akan kembali ke Karachi, baru saja beliau pergi ke bandara!" tutur ART agak sedikit kelagapan.
Mendengar itu, Paula dengan setengah berlari ke luar dari rumah, dia kembali ke dalam mobilnya lalu melajukannya sangat cepat. Kendati jalanan Beijing ini sangat padat, tetapi karena kelihaian Paula mengendarai mobil. Maka dalam hitungan menit mobilnya sudah sampai persis di depan pintu masuk bandara. Kunci mobil dilempar pada petugas bandara begitu saja, hingga membuat petugas itu kebingungan, karena dia merasa kalau dirinya bukanlah parking valet.
Paula dengan cepat ke ruang informasi, lalu merebut microphone. "Steven...aku Paula...tolong temui aku di lobby utama. Ini sangat penting!" ucapnya tanpa berbasa-basi.
Sehingga seluruh bandara menjadi sangat sibuk, para petugas memfokuskan perhatian pada Paula. "Hey, kamu ini apa-apaan?" tanya seorang polisi dengan tegas.Paula memberikan identitas VIP milik ayahnya, melihat itu polisi itu segera memundurkan badannya dan memberi tanda hormat.
Sedangkan Steven dengan jelas mendengar suara Paula, dia pun tersenyum renyah lalu membalikan haluan serta kembali ke luar dari pintu keberangkatan dan mencancel kepergiannya. "Agen Hamid, Paula akan segera berada di tanganku dalam beberapa menit, akan aku pastikan dia ada dalam pelukanku dan secepatnya menyerahkan padamu." Ucap Steven pada voice note pesan yang sudah terkirim untuk Hamid.
Di Karachi Hamid serta rekan-rekannya menerima voice note tersebut. Tetapi tidak banyak berharap semua itu akan lancar semudah ucapan Steven. "Aku dulu pun begitu sangat percaya diri untuk mendapatkan wanita iblis itu, setelah ada dalam pelukanku, aku yang terbuai olehnya!" ucap Hamid tanpa malu berkata tersebut di depan para agen penyidik lainnya. Sepertinya mereka pun mengetahui apa yang telah terjadi antara Hamid dengan Paula.
Hamid masih bernostalgia dengan apa yang telah Paula lakukan. Paula bukan hanya memiliki tubuh yang seksi, tetapi dia tahu bagaimana memperlakukan lelaki dan membuatnya ketagihan oleh permainannya. Apakah Hamid adalah mantan mangsa Paula? Di mana? Kok bisa seorang agen ternama bisa masuk ke dalam dekapan Paula?
Pertanyaan itu kini untuk Steven yang sedang berurusan dengan Paula. Wanita ini sudah ada di dalam gandengannya, "Kamu baik-baik saja, sayang...." tanya Steven pada Paula.
"Kamu begitu kuat malam kemarin, apa yang membuat seperti itu?" Paula mengintrogasi dengan penasaran.
Steven pun menjelaskan apa yang telah terjadi dan dia sendiri tidak tahu kekuatan apa yang sebenarnya telah merasuki tubuhnya.
Paula dengan penuh nafsu membalikan badannya dia mencium mesra bibir Steven di depan umum. Steven menepisnya, namun Paula begitu sangat lihai untuk merangsang kelelakian Steven. "Biarkan mereka mononton kita...." tantang Paula serta dengan cepat menarik tangan Steven agar masuk ke dalam mustangnya yang sudah terparkir di depan trotoar jalan raya. Siapa yang berani melarang dan menyingkirkan mobil anak nomor satu di dunia? Atau keturunan mereka akan dibuat sengsara dunia akhirat. Sebegitu berpengaruhkah Jibs Chaudry ini? Jawabannya ada pada nuklir yang telah dibuat olehnya dan bisa meledakan Beijing dengan waktu satu jam. Luar biasa!
Paula membawa Steven ke hotel bintang lima yang ada di tengah kota, setelah chek in mereka segera masuk ke dalam lift, lalu menuju kamar yang berada di lantai 1515.
Pintu kamar dibuka. Sedangkan tangan Paula meraih dasi Steven dengan kasar serta membanting pintu dengan keras. Kemeja Steven pun dilepas paksa dan mendorong lelaki yang sempurna ini ke atas tempat tidur. Sedangkan Paula segera melucuti pakaiannya juga hanya mengenakan bra serta seutas celana dalam yang menutupi nirwananya saja. Steven tidak berkutik di atas tempat tidur, dia melayang juga pasrah dengan perbuatan yang dilakukan Paula. Paula tersenyum menang melihat Steven begitu menikmatinya dan kebrutalannya kini mulai dilancarkan.Steven yang sedang memejamkan matanya tiba-tiba dia sadar kalau tangannya sekarang sudah diikat oleh rantai besi dan begitu juga kakinya, "P-Paula, jangan...." ucap Steven memelas.
"Kamu milikku...milikku!" desis Paula sambil melakukan yang membuat Steven agak sedikit merintih.
Brutalisme Paula tidak ada yang menandingi. Dirinya tidak puas teman kancannya hanya mengeluarkan cairan kenikmatan saja. Dia akan lebih puas kalau mereka merasa kesakitan. Steven yang menderita hal yang sama pun masih terhitung wajar, namun Paula akan memberikan pil perkasa bila eggplantnya melemas."Cepat minum ini!" titah Paula memaksa dan memasukannya pada mulut Steven, dan ini adalah yang keempat.Steven menepis, sayangnya tangan dan kakinya terantai dan tidak bisa mengelaknya, Steven kalah serta pasrah. Sedangkan eggplantnya sudah kembali berdiri, lalu Paula sudah ada di atasnya. Semoga kamu tidak apa-apa Steven!
Hamid mengetahui keberadaan Steven dan Paula dari GPS telepon genggam milik Steven. Dia pun segera menghubungi agen penyidik dari Beijing untuk segera mendatangi hotel di mana Paula dan Steven menginap. "Cepat datangi The Hotel kamar 1515! Sekarang!" ujar Hamid pada salah satu agen yang bernama Michael Lian.
Michael dengan sigap memberitahukan teamnya agar mendatangi hotel tersebut dan malam ini juga.
Michael serta team sudah ada di Hotel, sontak saja membuat management hotel menjadi sibuk, mereka diberikan dua pilihan yang membingungkan. Kedua team berpengaruh di dunia ada di dalam hotelnya, Paula dan Agen Penyidik Dunia ada pada saat bersamaan. Kalau mempersilahkan masuk serta memberikan akses ke kamar Paula, mereka akan terancam oleh Jibs kalau mengetahui itu. Jika tidak memberikannya pada Michael, mereka pun akan dibuat seperti tikus got yang tidak ada harganya.
Melihat keterpakuan pihak management hotel, Michael semakin paham kalau yang sedang Hamid tangani adalah orang yang memiliki kekuatan hukum. Dia pun mengitari tangga darurat untuk naik ke lantai 1515 dan entah kapan sampainya.
Di dalam kamar, Steven hampir sekarat oleh perbuatan brutal Paula. "Huh!" deruan napas kenikmatan ke luar dari mulut Paula, lalu mencium pipi Steven yang terkulai lemah di sampingnya dengan kedua kaki dan tangan diikat. Paula baru saja hendak memejamkan mata, suara dentingan handphonenya bersuara, "Cepat kamu ke luar dari hotel!" isi pesan dari Alex yang sudah menerima kabar kalau Paula sedang dalam incaran team Michael.
Dengan cepat Paula mengambil pakaiannya dan memakainnya, lalu meninggalkan Steven sendiri di dalam kamar. Dia pergi dengan cepat dari pintu lift lorong yang menghubungkan langsung pada basement parkiran. Sedangkan di dalam basement Alex dan keempat anak buahnya sudah menunggu di sana.
Paula masuk ke dalam mobil Alex, lalu menyenderkan jok. Dia pun tertidur lelap di sebelah orang kepercayaan ayahnya itu.
Alex yang sudah lama ingin mencicipi tubuh Paula pun memutar haluan. Dia segera menyuruh anak buahnya turun dari mobilnya. "Kamu turun di sini, aku akan membawa Nona ke rumah pribadi Tuan Jibs," titahnya dengan tegas dan tanpa curiga. Anak buahnya pun turun dan percaya saja akan apa yang Alex tuturkan, karena Alex sudah bekerja dengan Jibs sudah hampir 20 tahun lamanya.Alex melajukan mobilnya ke arah dusun terpencil dimana dia sering menghabiskan waktunya sendirian dan Alex ini seorang perjaka tua yang telah menaksir anak bossnya dari usia Paula 17 tahun. 'Aku mencintaimu Paula dan tidak bisa menahan gejolak kelelakianku kali ini. Aku harus mencicipimu!' gumamnya sambil memarkirkan Ford miliknya di sudut halaman rumahnya.Tangan kekar Alex membopong Paula yang sudah terlelap, lalu dia pun menidurkannya di tempat tidur rustic miliknya. Sebelum melakukan hal lainnya Alex pun mengirimkan pesan pada Jibs. "Tuan, Paula bersamaku dan aku kelelahan." Isi pesan diterima
Paula menjadi budak nafsu pengawalnya hingga ayahnya kembali. "Iya Tuan, aku akan menjemputmu, setelah mengantar Non Paula," jawab Alex di ujung telepon karena Jibs menelponnya.Sedangkan di tempat penyidik yang tempatnya tidak jauh dari kediaman Paula, Steven dan Michael sedang merencanakan bagaimana menangkap Paula. "Aku harus pergi ke Karachi, kalau begitu?" ucap Steven karena mendapat kabar kalau Paula akan ke sana mendampingi Jibs.Paula memelas pada Jibs agar ikut bersamanya ke Karachi demi untuk menghindar dari Alex, karena bagaimana pun Alex sudah mengetahui semua hal tentang keluarganya dan tidak mudah bagi Paula memberitahu apa yang telah dilakukan oleh Alex. Serta Alex sendiri bukanlah anak kemarin sore yang tidak memiliki kekuatan untuk mengendalikan Jibs dan terlebih lagi Paula sudah mengisi relung hatinya."Ya sudah, ikut Ayah... tapi ingat jangan cari- cari masalah lagi!" ucap Jibs sambil memanggil anak buahnya untuk menyiapkan jet pribadinya.
Paula pun bercerita pada Steven tentang diri Alex dan tentang apa yang dilakukannya. Mendengar itu Steven terperanjat, "Itu orang kepercayaanmu?" "Alex bukan hanya orang kepercayaan ayah, dia pun sudah mengetahui seluk beluk pekerjaan pentingnya. Bahkan kunci rahasia gudang penyimpanan senjata serta semua brankas Alex sudah hapal. Makanya aku tidak ingin membicarakan semua ini pada ayah, karena ayah tidak akan mempercayainya." Jelas Paula sambil bersandar di bahu Steven. Steven merasa iba pada Paula, dia pun tidak berkata apa-apa. Tetapi seperti ada kekuatan untuk mencederai diri Paula. Tangannya meraih lengan Paula kemudian membantingnya ke sudut pintu, melihat reaksi Steven seperti itu Paula dengan cepat meraih gagang pintu lalu membukannya. Cepat sekali, dia kabur dari apartemen serta langsung melajukan mobilnya ke arah rumah Hamid. Karena beberapa menit lalu dia meneleponnya. Dalam hitungan menit Paula pun sudah sampai di depan rumah Hamid, begitu tangan
"Bu, dia tidak ada sangkut paut dengan ayahnya. Alex mencintainya...." bujuk Alex pada ibunya sambil meraih tangan Paula dan menggenggamnya erat. Amie memang sudah mengetahui perasaan anaknya pada Paula, reaksinya hanya mendengus dan berlalu masuk ke dalam kamarnya dengan membanting pintu kamarnya sangat keras. Paula menatap wajah Alex sedangkan tangannya meraih senderan kursi. "Itu ibumu?" tanyanya. Alex pun ikut duduk dan menjawab pertanyaan Paula, "Dia ibu yang tabah...hanya saja dia kurang suka keluargamu!" Paula menyadari siapa keluarganya terlebih lagi dirinya. Jadi, kalau Amie tidak menyukainya sangat wajar. "Ayo, aku tunjukan kamar kita berdua...aku akan memenuhi janjimu...." Ajak Alex sambil meraih lengan Paula. Paula menepisnya. "Aku lapar!" ucapnya sambil mengambil roti tawar dan membuka tutup botol keju cream. Alex tertawa kecil dan kembali duduk yang kini berhadapan dengan wanita yang telah lama diincarnya, kenda
Paula memang sudah merancang strategi sendiri, dia akan mendekati Alex dengan cara membalas cintanya kendati harus bersandiwara. Mendengar jawaban dari Paula seperti itu Alex tersenyum merekah sambil membaca pesan masuk satu persatu. "Orang yang mencintaimu akan mencoba melindungimu dari segala hal, dan aku tahu isi pesan-pesan itu bukan hanya dari ayahmu saja." Ucapnya membela diri. Amie pun ikut berbicara, "Paula sayang, kamu ini bukan orang biasa. Semua orang akan mendekatimu demi kekayaan ayahmu." Pembicaraan Amie diakhiri dengan menyendok pasta dan menaruhnya di atas piring yang ada di depan Paula. Seketika bibir Paula mengulas senyuman terpaksa namun nampak menawan di mata Amie. Sementara Alex merasa gusar akan isi pesan yang dikirim oleh Steven karena menginginkan photo dirinya. Apalagi diketahui kalau Paula sudah bercerita akan dirinya pada Steven. Alex pun sudah berkeputusan untuk mengganti nomor handphone Paula dan memperketat gerak-geriknya. Tanpa
Arman menanggapi semua yang dipaparkan Steven dengan cermat lalu diketik di dalam laptopnya untuk dijadikan bukti. Bukti untuk dia tindak lanjuti lalu mengikuti akal busuknya dan padahal dia sendiri tidak peduli akan keadilan. Tiba-tiba handphone Steven berdering memecahkan diskusi antara dirinya dengan Arman. Tangan Steven pun mengambil handphone yang diletakan di dalam saku celana lalu dengan cepat menjawabnya, "Hello!" Terdengar di ujung telepon suara nyaring perempuan, "Hati-hati pada orang yang ada di sekelilingmu." Si Penelpon langsung mematikan telponnya tanpa memberi kesempatan Steven untuk berbicara. Dahi Steven mengernyit, sedangkan matanya melihat pada layar handphone lalu memeriksa nomor tersebut. Diketahui Si Penelpon bukan berasal dari dalam Karachi melainkan dari London, dia pun terdiam sejenak dan berusaha mengingat suara tersebut karena memang tidak asing buatnya. Arman yang memperhatikannya bertanya, "Ada apa?" Steven menggelengkan
Alex menjawab sambil tertawa, namun tangan kirinya dengan cepat menodongkan pistol pada perut Paula, "Tuan, putri anda memang sedang tidak beres belakang ini, tapi Tuan tidak perlu khawatir aku akan mengatasinya." "Ajaklah dia pulang, nanti malam ibunya akan ke sini!" perintah Jibs sambil menutup teleponnya. Alex menghentikan mobilnya lalu mengirim pesan dari handphone milik Paula, "Tuan, ini nomor Paula! Handphoneku baterynya mati, aku dan Paula akan pulang besok karena Paula perlu menenangkan dirinya." Ting! Balasan pesan dari Jibs terdengar. "Ok!" balasnya singkat. Alex menyimpulkan senyuman merekah, "Kita malam ini harus segera menikah!" ucapnya lalu dengan cepat melajukan mobil ke arah rumah temannya. Dia seorang pendeta di gereja tengah kota. Tetapi sebelumnya Alex mengajak ke butik untuk membeli beberapa pakaian. "Ayo sayang cepat masuk!" ajak Alex pada Paula yang masih terpaku di depan butik yang cukup besar ini. Paula pun ters
"Ayo ikut aku! Lewat sini akan lebih dekat dengan kota!" ajak Jan sambil menarik lengan Paula. Paula terdiam sejenak, matanya memandang ke sekeliling dan di depannya memang hutan belantara yang gelap gulita. Di tengah keraguannya pemuda tadi berteriak kembali, "Ayo ikut aku! Kalau kamu melewati jalur sana bukannya bertemu kekasihmu, tetapi harimau akan menerkammu!" gertak pemuda yang mengaku bernama Jan Habib itu. Paula dengan terpaksa mengikuti Jan yang sudah berjalan terlebih dahulu. Sedangkan Steven masih mencari bus dengan nomor flat yang diberikan oleh Paula. Jalanan memang sangat sibuk malam ini ditambah lagi pemeriksaan di mana-mana. Handphone Steven berdering ramai, sangat cepat dia pun mengangkatnya, "Hallo!" "Aku Alex! Mana Paula?" bentak Alex di ujung telepon bernada tegas serta marah. Dia memang sudah kehabisan akal dan menyerah dalam pencarian Paula. Dia pun berpikir kalau Paula pasti pergi ke apartemen Steven. Mendengar itu Steve
Semua yang ada di dalam ruangan mengarah ke arah Jibs dengan terheran-heran.Tidak untuk Dexe juga Mawar yang memang masih ada di dalam rumah, mereka dengan cepat memberitahukan kepada atasannya akan keberadaan Jibs di sini. "Bagaimana bisa lelaki ini ada di sini?" Dexe bergumam dan hampir bersamaan dengan Mawar. Jibs berjalan ke arah sofa, kemudian dengan santainya duduk disertai dengan menopang kaki. Matanya pada Amie, kemudian pada Jhon. Lama sekali pandangan mengarah pada lelaki bertubuh kurus itu. "Akhirnya, Kamu menghirup udara bebas juga setelah berpuluh tahun lamanya menjadi budakku!" Ucapan terlontar begitu saja dari mulut Jibs. "Pacarmu, aku rampas kehormatannya. Kepintaranmu pun, Aku yang dikenal banyak orang. Aku sudah puas menikmati semua milikmu. Jadi, tidak apa-apa jika sekarang giliran Kamu yang menikmatinya." tambahnya lantang. Jhon mengepalkan kedua tangannya, dia sangat marah begitu mendengar kejujuran dari Jibs. Namun, Steven mengelus halus pundaknya, memberikann
"Cepat Nyonya, Nona...kalian harus segera keluar dari sini. Rumah ini akan dihuni oleh pemilik sebenarnya!" Marwa menggertak kasar dengan menggebrak pintu. "Siapa penghuni rumah ini?" Catherine penasaran. Tiba-tiba Jhon Rudolf, Steven dan Dexe datang dari ruangan bawah. Mereka memang sudah ada di sana setengah jam yang lalu. Steven membawa Jhon ke sini, padahal tadinya berpikiran untuk langsung ke rumah Amie, istrinya. Merasa kalau Jhon sudah sangat berhak di rumah yang semestinya ditempatinya sejak dahulu. "Bapak ini adalah pemilik rumah ini, Nyonya, Paula! Bapak ini yang telah dizolimi oleh istri juga, Jibs bapakmu!" ungkap Steven dengan tangan menepuk bahu Jhon. Catherine tersenyum tipis sembari mengangguk-angguk kepalanya. "Semoga Amie bisa menerima kenyataan pahit nantinya. Tuan tahu 'kan kenapa Tuan menikahinya dulu?" ungkap Catherine sedang mengompori. Steven mengerlingkan matanya mengarah pada Catherine. Dia ingin bertanya panjang lebar, akan tetapi merasa bukan saatnya se
-Flashback on- Di atas jembatan panjang di United Kingdom. Catherine merasa tidak berguna, harga dirinya sudah diinjak-injak oleh kekasihnya sendiri. Pasalnya, setelah saling menikmati surga dunia. Pria yang akan berjanji untuk menikahinya pergi entah ke mana. Sebulan. Dua bulan berlalu. Catherine masih menunggu dan keadaannya sudah berbadan dua. Sakit hati, merasa tercampakan, frustasi, adalah perasaannya kini. Jembatan itu disusurinya tepat tengah malam, air matanya mengalir deras. Kedua orang tuanya pasti marah kalau mengetahui dirinya tengah mengandung, lebih parahnya kekasihnya itu pergi entah ke mana. Sedang tidak karuan datanglah Jibs Choudry, dia tengah mabuk. Mereka belum kenal satu sama lain. Terbersit di kepala Catherine untuk menjebaknya. Jibs sedang meracau tak karuan, dia memang pecandu alcohol, buatnya minuman itu sebagai penenang dirinya saat kalut dan stress. Memang dia tidak minum seperti layaknya peminum urakan di jalanan. Dia duduk manis di dalam mobilnya atau pun
Steven tidak menjawab yang Amie tanyakan. Dia bergegas meninggalkan apartemennya. “Steven….” Amie berteriak agak kencang, membuat lelaki berwajah sempurna itu menoleh dan menghentikan langkahnya, “Iya?” “Malam ini jangan lupa temui Aline! Dia berada di rumah….” Pemberitahuan itu terhenti ketika matanya melihat Rizwan yang masih menyamar menjadi cleaning service. “Ibu lagi di rumah mana?” Pertanyaan Steven membuat Amie gelisah karena dirinya merasakan kalau wajah cleaning service itu tak asing untuknya. Kemudian cepat sekali mendekat ke arah Steven. “Ibumu ada di rumahku yang ada di pinggir kota!” Ucapan itu hampir berbisik. Kemudian Amie pun menepuk bahu Steven. “Pergilah! Kamu hati-hati!” pungkasnya dengan mata masih melirik ke Rizwan. Akan tetapi itu membuat Steven penasaran serta mengartikan kalau itu adalah kode pemberitahuan. Dipanggilah cleaning service itu olehnya, “Permisi! Helo! Kamu!!” Sayangnya, Rizwan berpura-pura tidak mendengar seolah memahami kalau dirinya telah dicur
Langkah kaki itu semakin ke depan. Ke dalam kamar tepatnya. Tangannya menekan pintu yang dibelakangnya tumpukan kardus air mineral. Pintu ditekan dan hampir menjepit tubuh Dexe yang merebah dan tenggelam ke pojokan. “Ok. Sampai ketemu besok pagi!” ujar laki-laki yang sudah rutin memantau Jhon Rudolf. “Oh, ya. Saya malam ini mau makan banyak. Bawakan kambing panggang, nasi biryani, dan beberapa gulab janum. Jangan lupa salad juga buah. Satu liter sprite!” Permintaan Jhon membuat laki-laki itu mengangguk. Dia seolah paham kalau nafsu makannya baru menggugah seleranya karena kamar telah bersih dan wangi. Cetrek! Cetrek! Suara pintu terkunci dua kali oleh laki-laki yang di pinggangnya ada pistol membuat Dexe menarik napas lega. Dexe masih menunggu beberapa detik untuk memastikan lelaki tersebut tidak kembali. “Dia akan kembali nanti malam, itu pun pelayan yang akan membawakan makanan untukku. Kamu siapa?” Jhon sekarang duduk di pinggir tempat tidurnya dengan tatapan kedua matanya ke
"Sudah kalian pergilah!" Jibs pun ikut menyuruh. Ketiga wanita itu pun langsung ke luar rumah dengan menggunakan sopir pribadi Jibs pergi ke toko berlian langganan mereka. Sementara Catherine yang sudah mencium sesuatu rancangan suaminya tak banyak berbicara apalagi mengintrogasi. Dia cukup memahami kalau suaminya tak bisa ditantang. Sekarang mereka sedang di toko berlian dan langsung memilah yang cocok untuk dikenakan pengantin wanita di pesta nanti. ***Dexe sekarang menyamar menjadi seorang ahli nuklir dan mengaku teman Jibs sewaktu di universitas dulu. Pengakuan itu pada penjaga dengan memberikan beberapa bukti. Kendati penjaga masih menunggu jawaban dari Jibs yang tidak mengangkat teleponnya. "Cepatlah! Dia sudah menyuruh untuk ke sini sekarang! Aku pun tahu dia sedang sibuk untuk mempersiapkan acara putrinya." Dexe meyakinkan penjaga. Penjaga pun kembali melihat foto-foto dan hasil karya-karya Jibs yang terlampir di dalam map warna cokelat. "Taruh identitasmu di sini! Masukl
Nuansa hijau daun memang sudah Nampak dominan akan dipilih menjadi warna pilihan dekorasi pernikahan putranya oleh Aline. Iya, Aline kini telah mendarat. Dia adalah Zaina yang menyamar menjadi Aline untuk beberapa hari ke depan sampai pesta dilaksanakan. Iya, permainan Jibs yang sudah bisa ditebak oleh Aline pun membuat dirinya tidak sembarang menampakan diri di depan publik. Rizwan memang sudah mulai memata-matai apartemen milik Steven. Bukan dirinya saja bahkan lima orang lainnya. Dari beberapa arah masuk; barat, timur juga selatan terlebih lagi pintu utama. Terpantau oleh anak buah Rizwan atas suruhan Jibs. Belum ada tanda-tanda memang. Akan tetapi pandangan mereka berlima mengarah pada mobil mewah warna hitam yang baru saja datang. Dibukanya palang pintu masuk ke apartemen oleh penjaga. Penjaga hanya tersenyum tipis dan memeriksa identitas milik mobil mewah tersebut. Belum jelas memang wajah dari si pengendara mobil tersebut oleh kelima anak buah Rizwan. Mobil itu sekarang sudah
Setelah acara, Farida pun pulang diantar oleh Steven memakai mobil pribadinya. Steven yang sudah mencium strategi ibunya dan Farida langsung saja mencecar pertanyaan pada wanita tua ini. "Tuan, nanti juga akan tahu semuanya. Ibu Tuan wanita luar biasa!" Farida hanya memberikan jawaban sesingkatnya. Kendati dirinya pun sudah tak sabar agar Steven mengetahui segalanya. "Bi Farida, Ibu kapan datang ke sini?" Ujar Steven meyakinkan akan penuturan yang telah didengarnya tadi. Akan tetapi telepon genggamnya berdering. Diliriknya layar smartphone di sebelahnya yang kebetulan ditaruh di pinggir jok mobilnya. "Ibu ini selalu saja tahu kalau aku sedang membicarakannya!" Ucap Steven serta tangannya menekan tanda terima kemudian dia pun berbicara menggunakan earphone. "Ibu sudah di apartemenmu. Jangan lupa ajak Bi Farida ke sini." Pemberitahuan Aline membuat Steven mengerlingkan matanya pada Bi Farida yang duduk di jok sebelahnya. "Ibuku pun memiliki kunci apartemenku? Dari mana dia dapatkan?"
Siapa Amie? Siapa Aline? Teka- teki itu sudah meronta-ronta ingin cepat diketahui oleh Steven. Sangat aneh memang seorang anak tidak mengenal ibunya serta terlebih lagi ayahnya. Ironis sekali, apalagi perkawinan antara Aline dan Jibs disaksikan oleh orang tua Aline. Tapi, kenapa mereka seolah menutup mata? Jelasnya, siapa yang akan membuka mata pada lelaki licik seperti Jibs? Racun pun sepertinya akan seperti minuman segar dibuatnya. Amie menatap wajah Steven sangat dalam, dalam hingga Steven tak ada daya untuk menepisnya. Tatapan Amie bukan tanpa sebab, dia sangat mengingat bagaimana Aline datang pada dirinya tepat setelah melahirkan. Namun, tatapan itu terhenyak karena Steven menegurnya, "Ibu juga tidak peduli pada anak sendiri 'kan?" Amie bergeming mendengar itu walaupun ingin sekali bekata; aku pun tak sudi memiliki anak dari hasil perkosaan, terlebih lagi ayahnya berpura-pura seperti pahlawan. Spontan sekali bibir Amie pun menyimpulkan senyuman tipis. "Sangat peduli! Karena