X Club, Emily sudah tampil cantik dengan seragam mini ladies companion berlambangkan X di bagian punggungnya. Sambil menunggu panggilan, Emily dan Dera mengobrol santai. "Kemarin malam aku tidak melihatmu lagi setelah aku keluar dari ruangan ini, kemana kau Emily?" "I-itu, aku menemani pelanggan minum hingga pagi!" Emily tidak berani menceritakan yang sesungguhnya kepada Dera tentang insiden tadi malam. Seandainya dia tahu bahwa Emily semalaman di kerjai oleh tamunya, entah apa yang akan Dera katakan tentangnya. "Aku juga pernah begitu Emily, untungnya orang tersebut memberikan-ku uang tip yang banyak. Bagaimana denganmu? Apa pelanggan-mu juga memberi uang tip?" tanyanya sambil tertawa lebar. Emily menggeleng pelan, alih alih memberi tip, Arnold justru menidurinya sampai pagi, malang sekali nasib Emily. "Emily!" Namanya dipanggil, itu artinya Emily harus segera keluar dan melaksanakan tugasnya. "VIP 05, dia sudah membayar mahal untuk minta kau temani minum. J
Senyum kemenangan merekah di wajah Sarah. "Sekarang kau percaya padaku, kan, Arnold?" Arnold semakin gelap mata. Dengan amarah yang meluap, ia meraih gelas wine dari meja dan menyiramkannya ke tubuh Emily. Emily menggigil. Ia memeluk lututnya, menahan sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya. Tangannya gemetar, dadanya naik turun dengan napas yang tersengal. "Ternyata begini kelakuanmu, hah?! Dasar wanita licik! Aku tidak menyangka kau bisa berbuat seperti ini!" bentak Arnold, suaranya bergetar oleh kemarahan. Ia merasa tertipu mentah-mentah. Wanita yang selama ini membuatnya candu ternyata tak lebih dari seorang perempuan murahan. Matanya membara saat membayangkan tubuh Emily disentuh oleh banyak lelaki lain. Rasa jijik dan muak bercampur menjadi satu. Emily, yang masih dikuasai efek obat perangsang, tak mampu melakukan apa pun selain menahan rasa sakit yang merayapi tubuhnya. Segala sesuatu terasa kabur, kepalanya pusing, dan ia kesulitan memahami apa yang sebenarnya terj
"Dasar wanita licik! Lihat apa yang sudah kau perbuat! Salah satu pelanggan tetapku tidak mau lagi ke sini! Sekarang pergilah dan jangan pernah kembali lagi!" Emily menunduk dalam. Baru saja ia mendapatkan pekerjaan, kini ia harus kembali menganggur. "Sarah, Arnold! Aku akan membalas kesakitan yang aku rasakan!" geramnya dalam hati. Dengan tubuh basah kuyup, Emily melangkah keluar dari X Club. Ia berjalan pelan menyusuri trotoar, menuju tempat tinggalnya yang kecil. Sepanjang jalan, pikirannya dipenuhi penyesalan dan amarah. Mencintai Arnold adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya. Bermasalah dengan Arnold William adalah sesuatu yang harus dihindarinya di masa depan. Namun setidaknya, Arnold tadi mengatakan akan menceraikannya. Itu berarti Emily akan segera terbebas dari lubang neraka yang diciptakan oleh Arnold dan Sarah. Begitu tiba di tempat tinggalnya, Emily langsung menjatuhkan tubuhnya di atas kasur tipisnya, setelah terlebih dahulu melepas pakaian basahnya. Menatap lang
Emily hanya diam membisu. Berbagai kejadian menyakitkan kembali melintas di benaknya. Satu per satu memori kelam berputar di otaknya, seperti kaset lama yang diputar ulang. Tawa Arnold dan Sarah saat mengejeknya, hinaan dan bentakan yang menyayat hati, serta perlakuan kasar yang ia terima selama berada di rumah Arnold, semua itu menghantam pikirannya tanpa ampun. Emily menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan emosi, tapi air matanya tetap jatuh tanpa bisa ia cegah. "Emily, Sayang!" Panggilan lembut Nyonya Ruby seketika membuyarkan lamunannya. "Kau tidak ingin bercerita?" Emily menunduk dalam, buru-buru menyeka sudut matanya yang basah dengan ujung jarinya. "Baiklah, Nak. Mama tidak akan memaksamu. Sekarang temani Mama berbelanja, bagaimana?" Sebenarnya, Emily tidak terlalu bersemangat. Namun, Nyonya Ruby yang pemaksa langsung menarik tangannya dan membawanya berkeliling mal. Di sepanjang perjalanan, Nyonya Ruby membelikan Emily gaun pesta yang sangat cantik, lengkap
Di sana, Nyonya Ruby muncul, berjalan anggun menuruni tangga. Gaun mewah berwarna biru safir membalut tubuhnya dengan sempurna. Aura kebangsawanannya begitu terpancar, membuat semua orang menahan napas. Di bawah tangga, Tuan William bergegas menyambutnya. Ia berdiri di anak tangga terakhir, menunggu istrinya dengan senyum bangga. Kehadiran Nyonya Ruby yang tampak memukau bukan satu-satunya alasan semua orang menatap ke arahnya tanpa berkedip. Ada sosok wanita cantik yang berjalan di sisinya, memegangi tangannya dengan anggun. Tatapan para tamu undangan berubah menjadi kekaguman. "Emily!" gumam Arnold tanpa sadar. Mata Sarah langsung memerah. Bagaimana bisa Emily mendampingi Nyonya Ruby? Bahkan, wanita itu mengenakan gaun limited edition yang sangat diinginkannya, tetapi keburu sold out! Seharusnya aku yang ada di samping ibu mertuaku! geramnya sambil meremas dress mahalnya dengan kesal. Penampilan Sarah malam ini tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Emily. Arn
Sarah menghempaskan tangannya dengan kasar, tetapi cengkeraman di pergelangan tangannya justru semakin erat. "Lepaskan!" teriaknya marah. Dengan napas memburu, Sarah menoleh ke samping. Begitu melihat siapa yang menggenggam pergelangan tangannya, matanya langsung membulat kaget. Arnold. Suaminya sendiri! "Honey, apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya dengan wajah bingung. "Ini toilet perempuan!" Arnold tetap menatapnya tajam, tanpa sedikit pun melepas genggamannya. "Kau pergi terlalu lama, jadi aku menyusulmu." Nada suaranya terdengar datar, tetapi ada ketegangan tersirat di dalamnya. Sebenarnya, bukan itu alasannya. Arnold tahu Sarah sengaja ke kamar mandi untuk mengikuti Emily. Karena itulah dia datang. Sarah mendengus, kemudian menatap Arnold dengan sorot mata memohon. "Lepaskan, Arnold! Istri keduamu ini menyakitiku! Aku harus membalasnya!" Sarah kembali berontak. Kali ini, pegangan Arnold sedikit melemah, hingga akhirnya terlepas. Dengan cepat,
Darah Sarah mendidih. Pasti ibu mertua sialan itu yang membelikannya. Sarah semakin kesal saat menyadari Arnold terus menerus mencuri pandang ke arah Emily. "Arnold, kau sudah tahu Emily ada di sini. Apa kau mau menginap di rumah Mama malam ini?" tanya Nyonya Ruby tiba-tiba. Mendengar pertanyaan itu, Sarah langsung tersentak. Jelas sekali ibu mertuanya ingin menyatukan kembali Arnold dan Emily. Bagaimana dengan aku? Apa dia akan menyuruhku pulang sendirian? Sarah harus mencari alasan agar Arnold tidak menginap di rumah ibunya bersama Emily. Dia segera membisikkan sesuatu di telinga suaminya. "Honey, bagaimana kalau kita kembali ke rumah?" Arnold menoleh sekilas. "Pestanya belum selesai, honey. Lagipula Mama meminta kita menginap. Bagaimana kalau kita menginap saja?" Tidak! Sarah menekan pikirannya yang berkecamuk. Dia tidak bisa membiarkan itu terjadi. Wajahnya mendadak berubah sendu. "Tapi aku tidak enak badan, kepalaku sakit setelah Emily menamparku tadi.
Arnold tetap diam, fokus pada setir kemudi, seolah tak mendengar pertanyaan Sarah. "Arnold!" seru Sarah dengan nada lebih tinggi. Arnold tersentak, lalu menoleh ke arah istrinya. "Ya, ada apa?" "Apa yang kalian bicarakan tadi? Aku melihatmu begitu serius berbicara dengan Emily!" Arnold menghela napas sebelum menjawab dengan santai, "Aku memintanya untuk kembali pulang ke rumah." Sarah terdiam sejenak, matanya melebar, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "APA?! Apa aku tidak salah dengar? Bukankah kau bilang akan menceraikannya?!" serunya penuh emosi. Hatinya membara saat mendengar suaminya meminta Emily kembali ke rumah mereka. "Arnold, pikirkan lagi! Bagaimana mungkin kau ingin membawanya kembali? Apa kau lupa bagaimana wanita itu menjual dirinya? Kau melihatnya dengan mata kepalamu sendiri!" Arnold menghela napas berat. "Bisa saja dia kekurangan uang, makanya dia melakukannya, tapi…" "Aku tidak mau! Aku tidak terima kalau kau akan membawanya
Menjelang siang, sinar matahari mengintip malu-malu melalui sela tirai tipis yang menggantung di jendela kamar. Emily terbangun perlahan, kelopak matanya yang berat mengerjap beberapa kali. Tubuhnya terasa nyeri di berbagai bagian, seperti baru saja melewati perjalanan panjang yang melelahkan, namun tatkala ia menyadari di mana dirinya berada dan siapa yang sedang mendekapnya erat, seulas senyum manis langsung merekah di wajahnya yang memesona. Ada kebahagiaan dan ketenangan yang terpancar dari ekspresinya. Arnold, pria yang kini resmi menjadi suaminya, memeluk tubuh mungilnya dengan posesif. Kehangatan tubuhnya dan detak jantung yang terasa di dadanya membuat Emily merasa seperti sedang terkurung dalam mimpi indah yang enggan ia akhiri. Hatinya masih sulit percaya bahwa ia kini telah sah menjadi Nyonya Arnold Edward. "Sudah puas menatap wajahku yang tampan?" Suara berat Arnold yang menggodanya membuat Emily terperanjat kecil, rona merah muda segera merayapi pipinya. "Sejak kapan k
"Harusnya aku yang meminta seperti itu, bukan kau..." Arnold membenamkan Emily ke dalam pelukannya, air matanya ikut luruh. Dan tidak hanya mereka berdua, tapi juga Sally yang tahu awal mula kisah mereka ikut meneteskan air mata haru. "Sally, mulai sekarang aku akan mempercayakan Emily kepadamu saat aku tidak ada di rumah!" "Siap, Tuan. Saya akan menjaga Nyonya Emily dengan sepenuh hati." Sally membungkuk dengan senyum terukir di bibirnya. Emily mencubit pinggang Arnold pelan. "Aku bukan anak kecil yang harus dijaga!" "Kau memang bukan anak kecil, tapi kau sesuatu yang sangat berharga untukku." Emily menganggukkan kepalanya sambil tersenyum, membuat Arnold mendadak gelisah. "Sally, bisakah kau membuatkan cake untukku dan Emily?" "Cake, tentu Tuan. Tuan mau dibuatkan cake apa? Red velvet? Cheese cake?" "Terserah kamu saja, kedua-duanya boleh juga." "Siap, Tuan!" Sally menunduk dan berlalu keluar dari kamar utama. "Sekarang hanya ada kita berdua," bisik Arnold
"Apa? Astaga aku belum mandi!" seru Emily panik. Ia berbalik secepat kilat, rambutnya yang panjang ikut terhempas, lalu langsung berlari menuju kamarnya meninggalkan Arnold yang hanya bisa menggeleng pelan, senyum kecil mengembang di wajahnya. Tatapannya mengikuti langkah Emily dengan penuh kasih, seperti melihat matahari pagi yang menyelinap masuk dari balik tirai jendela. Sembari menunggu Emily selesai mandi, Arnold duduk di sofa ruang tamu, menatap layar ponselnya dan segera menghubungi Robert. “Bisa tolong bawakan sarapan untukku dan Emily?” pintanya tenang. Tak lama berselang, dering bel rumah terdengar. Robert datang dengan senyum sopan dan nampan di tangannya. Ia membantu Arnold menata makanan dengan cekatan, seperti sudah sangat hafal dengan rutinitas majikannya. "Bagaimana, apa persiapan penandatanganan buku nikahnya sudah beres?" tanya Arnold, suaranya terdengar sedikit gemetar. "Sudah, Tuan!" jawab Robert mantap. "Terima kasih, Robert!" ujar Arnold, menahan gejolak emo
Emily menghela napasnya pelan, dadanya terasa sesak oleh beban yang selama ini dipendam. Perlahan, diraihnya tangan Arnold, erat namun tetap lembut. "Kamu bersamaku hampir dua puluh empat jam," ucapnya lirih, "apa kamu lihat aku memegang handphone?" Suara Emily terdengar lelah, seperti seseorang yang habis berlari jauh dan tak kunjung mencapai garis akhir. Tatapannya yang sayu menyorot kelelahan yang lebih dari sekadar fisik—itu adalah kelelahan batin, dari terus-menerus dicurigai, dari rasa sayang yang tak henti dipertanyakan. Tanpa menunggu respons Arnold, Emily menarik tangannya dan menggandengnya. Langkahnya cepat, seolah ingin segera menyelesaikan sesuatu yang tertunda. Mereka berdua mendekati sosok Arlen yang sedang berdiri di bawah cahaya temaram lampu taman depan. "Arlen!" seru Emily, lantang namun terdengar getir. Arlen menoleh, dan seketika keningnya berkerut saat melihat jemari Emily yang menggenggam tangan Arnold begitu erat. "Emily, Arnold, kalian…." Suaranya
“Jangan terlalu dekat dengan Alex, aku tidak suka,” ucap Arnold sambil mengusap bibir Emily yang masih tampak kemerahan setelah ciuman mereka. Suaranya pelan namun tegas, menyiratkan kecemburuan yang tak bisa disembunyikan. Emily menarik napas, berusaha mengontrol emosinya. “Aku sudah menganggap Alex dan Vania seperti saudaraku sendiri. Tidak lebih.” Wajah Arnold menegang. “Tetap saja aku tidak suka!” Tatapan keduanya saling mengunci. Dalam keheningan itu, seolah waktu berhenti. Hanya ada mereka berdua, saling menyelami isi hati melalui mata yang mengisyaratkan lebih dari sekadar kata-kata. Emosi, kekhawatiran, dan cinta yang campur aduk terpancar dalam diam. Akhirnya, Emily menghela napas panjang. “Baiklah,” ucapnya menyerah. Ia tahu Arnold sudah cukup bersabar menghadapi sikap keras kepalanya akhir-akhir ini. Arnold perlahan bangkit dari atas tubuh Emily dan duduk di sampingnya. Wajahnya serius. “Mana handphone-mu? Berikan padaku!” Suaranya dalam, sedikit mengandung nada perint
Rahang Arnold tampak mengetat, otot-ototnya menegang hingga tampak jelas dari garis wajahnya yang keras. Sejak awal, dia memang tidak pernah bisa menyembunyikan ketidaksukaannya pada Alex—lelaki yang tampak terlalu dekat dengan Emily, terlalu sering muncul di sisinya, dan terlalu membuatnya merasa terancam. Bukan hanya Alex. Bahkan dengan Arlen dan laki-laki lain yang sekadar bertukar tawa dengan Emily pun, Arnold tidak bisa menahan bara cemburu yang terus menyala dalam dirinya. Emily adalah miliknya. Dan ia tidak suka jika perempuan itu dekat dengan siapa pun yang berjenis kelamin laki-laki selain dirinya. "Emily tidak punya siapa-siapa lagi setelah kau menghancurkan keluarganya," ucap Arnold, suaranya bergetar oleh amarah yang tertahan. "Jadi aku, sebagai satu-satunya orang yang selalu ada untuknya sejak dia masih kecil, tidak akan membiarkanmu menyakiti Emily lagi untuk yang kedua kalinya." Matanya memerah, sorot matanya menusuk tajam ke arah Alex, penuh amarah dan tekad yang me
"Gak apa-apa, Arnold bisa nahan diri kok." Nyonya Ruby berlalu meninggalkan Emily dan Arnold di depan pintu kamar. Emily menarik napas dalam, sementara Arnold hanya menatap pintu kamar yang baru saja tertutup. "Angel di mana, Sayang?" tanya Arnold sambil membalikkan badan menatap Emily. "Dia menginap di tempat Livia. Tadinya aku juga mau menginap di sana, terus Mama bilang Mama sudah memesankan kamar untukku," jawab Emily sambil memainkan ujung rambutnya, sedikit gugup. "Mama ini," desah Arnold, mengusap pelipisnya. "Tunggu sebentar!" Tanpa menunggu respons, Arnold masuk ke dalam dan beberapa detik kemudian keluar kembali dengan handphone dan dompet di tangan. Ia menutup pintu kamarnya rapat-rapat. "Ayo, aku pesankan kamar yang baru," ucapnya sambil menggenggam jemari Emily, menariknya perlahan menuju lobby. "Aku bukannya tidak mau tidur denganmu, tapi aku takut tidak bisa menahan diriku!" ucap Arnold dengan suara rendah, hampir seperti bisikan. Ia mengecup puncak kepala Emily,
Arnold kembali melamarnya. Kali ini di depan butik branded yang berkilau, dipenuhi kaca besar dan lampu etalase yang memantulkan cahaya gemerlap malam Paris. Aksi Arnold spontan itu sontak mencuri perhatian, disaksikan banyak pasang mata yang lalu lalang di trotoar Champs-Élysées. "Arnold, bangun. Ada banyak orang di sini!" bisik Emily panik, wajahnya memerah menahan malu. "Aku tidak akan bangun sebelum kau memberiku jawaban. Maukah kau menikah denganku?" tanyanya sekali lagi, suara Arnold terdengar bulat dan mantap. "Kalau kau tidak mau, aku siap menggantikanmu, Emily!" seru Vania tiba-tiba, sambil mengarahkan kamera ponselnya ke Arnold yang masih berlutut. Sejak tadi ia sibuk merekam video lamaran itu dengan senyum geli dan semangat yang tak bisa disembunyikan. Emily langsung menatapnya tajam, membuat Angel dan Vania meledak dalam tawa kecil yang tertahan. Netra Emily kembali menatap lembut manik mata hitam Arnold. Ada keraguan yang perlahan luluh dalam tatapan penuh cinta itu.
"Pernahkah kau bertanya bagaimana perasaan Emily kepadamu? Apa kau tidak penasaran, Arnold?" Suara Vania terdengar tenang namun menusuk. Di dalam ruang tamu yang remang dan hangat itu, tiga orang duduk dalam diam sejenak. Robert menyandarkan dirinya ke kursi, sementara Arnold menatap mereka berdua bergantian, matanya menyiratkan kebingungan yang samar. Arnold akhirnya bersuara, suaranya terdengar mantap, namun ada bayangan keraguan yang tersembunyi. "Pernah," katanya sambil menarik napas dalam. "Aku bahkan menanyakannya langsung kepada Emily. Dia bilang dia mencintaiku." Vania mengerutkan kening. "Kalau dia cinta, harusnya dia tidak langsung minta putus, kan?" Perkataan itu membuat dada Arnold bergemuruh. Untuk sesaat, ia tidak tahu harus berkata apa. Keraguan yang selama ini ia pendam perlahan menyeruak ke permukaan. "Tapi aku bisa mengerti bagaimana perasaannya. Wajar kalau dia marah dan kesal saat melihatku bersama wanita lain, lalu meminta putus," jawab Arnold pelan, seolah