"Gak apa-apa, Arnold bisa nahan diri kok." Nyonya Ruby berlalu meninggalkan Emily dan Arnold di depan pintu kamar. Emily menarik napas dalam, sementara Arnold hanya menatap pintu kamar yang baru saja tertutup. "Angel di mana, Sayang?" tanya Arnold sambil membalikkan badan menatap Emily. "Dia menginap di tempat Livia. Tadinya aku juga mau menginap di sana, terus Mama bilang Mama sudah memesankan kamar untukku," jawab Emily sambil memainkan ujung rambutnya, sedikit gugup. "Mama ini," desah Arnold, mengusap pelipisnya. "Tunggu sebentar!" Tanpa menunggu respons, Arnold masuk ke dalam dan beberapa detik kemudian keluar kembali dengan handphone dan dompet di tangan. Ia menutup pintu kamarnya rapat-rapat. "Ayo, aku pesankan kamar yang baru," ucapnya sambil menggenggam jemari Emily, menariknya perlahan menuju lobby. "Aku bukannya tidak mau tidur denganmu, tapi aku takut tidak bisa menahan diriku!" ucap Arnold dengan suara rendah, hampir seperti bisikan. Ia mengecup puncak kepala Emily,
Rahang Arnold tampak mengetat, otot-ototnya menegang hingga tampak jelas dari garis wajahnya yang keras. Sejak awal, dia memang tidak pernah bisa menyembunyikan ketidaksukaannya pada Alex—lelaki yang tampak terlalu dekat dengan Emily, terlalu sering muncul di sisinya, dan terlalu membuatnya merasa terancam. Bukan hanya Alex. Bahkan dengan Arlen dan laki-laki lain yang sekadar bertukar tawa dengan Emily pun, Arnold tidak bisa menahan bara cemburu yang terus menyala dalam dirinya. Emily adalah miliknya. Dan ia tidak suka jika perempuan itu dekat dengan siapa pun yang berjenis kelamin laki-laki selain dirinya. "Emily tidak punya siapa-siapa lagi setelah kau menghancurkan keluarganya," ucap Arnold, suaranya bergetar oleh amarah yang tertahan. "Jadi aku, sebagai satu-satunya orang yang selalu ada untuknya sejak dia masih kecil, tidak akan membiarkanmu menyakiti Emily lagi untuk yang kedua kalinya." Matanya memerah, sorot matanya menusuk tajam ke arah Alex, penuh amarah dan tekad yang me
“Jangan terlalu dekat dengan Alex, aku tidak suka,” ucap Arnold sambil mengusap bibir Emily yang masih tampak kemerahan setelah ciuman mereka. Suaranya pelan namun tegas, menyiratkan kecemburuan yang tak bisa disembunyikan. Emily menarik napas, berusaha mengontrol emosinya. “Aku sudah menganggap Alex dan Vania seperti saudaraku sendiri. Tidak lebih.” Wajah Arnold menegang. “Tetap saja aku tidak suka!” Tatapan keduanya saling mengunci. Dalam keheningan itu, seolah waktu berhenti. Hanya ada mereka berdua, saling menyelami isi hati melalui mata yang mengisyaratkan lebih dari sekadar kata-kata. Emosi, kekhawatiran, dan cinta yang campur aduk terpancar dalam diam. Akhirnya, Emily menghela napas panjang. “Baiklah,” ucapnya menyerah. Ia tahu Arnold sudah cukup bersabar menghadapi sikap keras kepalanya akhir-akhir ini. Arnold perlahan bangkit dari atas tubuh Emily dan duduk di sampingnya. Wajahnya serius. “Mana handphone-mu? Berikan padaku!” Suaranya dalam, sedikit mengandung nada perint
Emily menghela napasnya pelan, dadanya terasa sesak oleh beban yang selama ini dipendam. Perlahan, diraihnya tangan Arnold, erat namun tetap lembut. "Kamu bersamaku hampir dua puluh empat jam," ucapnya lirih, "apa kamu lihat aku memegang handphone?" Suara Emily terdengar lelah, seperti seseorang yang habis berlari jauh dan tak kunjung mencapai garis akhir. Tatapannya yang sayu menyorot kelelahan yang lebih dari sekadar fisik—itu adalah kelelahan batin, dari terus-menerus dicurigai, dari rasa sayang yang tak henti dipertanyakan. Tanpa menunggu respons Arnold, Emily menarik tangannya dan menggandengnya. Langkahnya cepat, seolah ingin segera menyelesaikan sesuatu yang tertunda. Mereka berdua mendekati sosok Arlen yang sedang berdiri di bawah cahaya temaram lampu taman depan. "Arlen!" seru Emily, lantang namun terdengar getir. Arlen menoleh, dan seketika keningnya berkerut saat melihat jemari Emily yang menggenggam tangan Arnold begitu erat. "Emily, Arnold, kalian…." Suaranya
"Apa? Astaga aku belum mandi!" seru Emily panik. Ia berbalik secepat kilat, rambutnya yang panjang ikut terhempas, lalu langsung berlari menuju kamarnya meninggalkan Arnold yang hanya bisa menggeleng pelan, senyum kecil mengembang di wajahnya. Tatapannya mengikuti langkah Emily dengan penuh kasih, seperti melihat matahari pagi yang menyelinap masuk dari balik tirai jendela. Sembari menunggu Emily selesai mandi, Arnold duduk di sofa ruang tamu, menatap layar ponselnya dan segera menghubungi Robert. “Bisa tolong bawakan sarapan untukku dan Emily?” pintanya tenang. Tak lama berselang, dering bel rumah terdengar. Robert datang dengan senyum sopan dan nampan di tangannya. Ia membantu Arnold menata makanan dengan cekatan, seperti sudah sangat hafal dengan rutinitas majikannya. "Bagaimana, apa persiapan penandatanganan buku nikahnya sudah beres?" tanya Arnold, suaranya terdengar sedikit gemetar. "Sudah, Tuan!" jawab Robert mantap. "Terima kasih, Robert!" ujar Arnold, menahan gejolak emo
"Harusnya aku yang meminta seperti itu, bukan kau..." Arnold membenamkan Emily ke dalam pelukannya, air matanya ikut luruh. Dan tidak hanya mereka berdua, tapi juga Sally yang tahu awal mula kisah mereka ikut meneteskan air mata haru. "Sally, mulai sekarang aku akan mempercayakan Emily kepadamu saat aku tidak ada di rumah!" "Siap, Tuan. Saya akan menjaga Nyonya Emily dengan sepenuh hati." Sally membungkuk dengan senyum terukir di bibirnya. Emily mencubit pinggang Arnold pelan. "Aku bukan anak kecil yang harus dijaga!" "Kau memang bukan anak kecil, tapi kau sesuatu yang sangat berharga untukku." Emily menganggukkan kepalanya sambil tersenyum, membuat Arnold mendadak gelisah. "Sally, bisakah kau membuatkan cake untukku dan Emily?" "Cake, tentu Tuan. Tuan mau dibuatkan cake apa? Red velvet? Cheese cake?" "Terserah kamu saja, kedua-duanya boleh juga." "Siap, Tuan!" Sally menunduk dan berlalu keluar dari kamar utama. "Sekarang hanya ada kita berdua," bisik Arnold
Menjelang siang, sinar matahari mengintip malu-malu melalui sela tirai tipis yang menggantung di jendela kamar. Emily terbangun perlahan, kelopak matanya yang berat mengerjap beberapa kali. Tubuhnya terasa nyeri di berbagai bagian, seperti baru saja melewati perjalanan panjang yang melelahkan, namun tatkala ia menyadari di mana dirinya berada dan siapa yang sedang mendekapnya erat, seulas senyum manis langsung merekah di wajahnya yang memesona. Ada kebahagiaan dan ketenangan yang terpancar dari ekspresinya. Arnold, pria yang kini resmi menjadi suaminya, memeluk tubuh mungilnya dengan posesif. Kehangatan tubuhnya dan detak jantung yang terasa di dadanya membuat Emily merasa seperti sedang terkurung dalam mimpi indah yang enggan ia akhiri. Hatinya masih sulit percaya bahwa ia kini telah sah menjadi Nyonya Arnold Edward. "Sudah puas menatap wajahku yang tampan?" Suara berat Arnold yang menggodanya membuat Emily terperanjat kecil, rona merah muda segera merayapi pipinya. "Sejak kapan k
"Masuklah ke kamar!" pintanya sekali lagi, kali ini dengan nada yang lebih lembut namun tetap tegas. Emily mengangguk patuh, seulas senyum manis menghiasi wajahnya saat ia menatap Arnold sesaat. Tanpa berkata apa-apa, ia berbalik dan melangkah anggun meninggalkan ruang makan, langkah-langkahnya terdengar lembut di atas lantai kayu marmer yang mengkilap. Arnold dan Nicholas sama-sama menatap punggungnya yang perlahan menghilang di tangga. Tak satu pun dari mereka berbicara, seolah tengah membaca isi pikiran masing-masing. Nicholas akhirnya bersuara, suaranya ringan namun menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. "Kau tidak berniat mengenalkan istrimu kepadaku, Arnold?" Tidak ada jawaban. Hanya hening. Mata Arnold tetap menatap ke arah tangga, memastikan Emily benar-benar telah sampai di atas. Nicholas, sementara itu, masih mengikuti sosok wanita itu dengan pandangan yang sulit ditebak. Begitu Emily menghilang dari pandangan, Arnold berdiri. Ia melangkah pelan namun mantap ke arah Nich
Emily menatap dalam manik mata suaminya yang terlihat memerah, rahangnya tampak mengeras, menahan emosi yang hampir meledak. Sorot matanya penuh gejolak, tapi tertahan. “Kita pulang sekarang. Aku akan menceritakan semuanya di rumah,” ucap Arnold tegas, namun suaranya bergetar oleh emosi yang sulit dijelaskan. Mata Arnold perlahan kembali sayu, amarahnya mereda saat bertemu dengan tatapan teduh Emily. Seolah amarahnya melebur hanya karena satu tatapan itu. Emily mengangguk pelan. “Ayo kita pulang,” ujarnya sembari memberi senyum tipis yang lebih menyerupai upaya menenangkan hati yang sedang bergemuruh. Sepanjang perjalanan pulang menuju kediaman mereka, suasana mobil terasa hening, bahkan udara di dalamnya seolah berat. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir Arnold. Hanya helaan nafas beratnya yang sesekali terdengar, seperti beban yang tengah dipikulnya nyaris tak sanggup ditahan lagi. Emily mencuri pandang, ingin sekali memeluk dan meredakan gundah itu, namun ia tahu, s
Sepanjang jalan pulang menuju kediamannya, Arnold menggerutu. Jemarinya mengetuk-ngetuk setir mobil, ekspresinya masam, seakan cuaca senja yang mendung ikut menyuarakan kekesalannya. Pasalnya, sebelum dia pulang tadi, mamanya menghubunginya dan memintanya datang ke rumah untuk makan malam bersama. "Tumben sekali mama mengajak makan malam. Aku yakin pasti Nicho yang meminta mama untuk mengundang kami," gumam Arnold, setengah menghela napas berat. Dia tahu betul bahwa dirinya tak akan bisa menolak jika mamanya yang meminta. Permintaan sang mama selalu datang sebagai perintah tak tertulis yang harus dipatuhi. Arnold memukul setir kemudinya, sebuah luapan emosi yang tak tertahan. Nicho, kakak tirinya, selalu saja menyusahkan. Pria itu seperti bayangan masa lalu yang terus menghantuinya, membawa luka yang belum sempat sembuh sepenuhnya. Begitu sampai di rumah, Arnold langsung memarkir mobil dan melangkah cepat ke dalam rumah. Matanya mencari sosok Emily. Hari sudah menunjukkan pukul ena
Sepuluh tahun lalu, saat Maurer Corp. berada di ambang krisis, semua mata tertuju pada Nico—anak sulung yang seharusnya meneruskan tongkat estafet kepemimpinan. Tapi dia memilih pergi. Alasannya klise—ingin mengejar cita-cita sebagai model terkenal. Padahal kebenarannya, dia hanya ingin bebas. Bebas dari tanggung jawab, dari tekanan, dari nama besar Maurer yang menuntut lebih dari sekadar kerja keras. Nico pergi. Tinggal Arnold, si anak bungsu, yang saat itu masih duduk di bangku kuliah dan bahkan belum cukup umur untuk menandatangani kontrak legal. Tapi waktu tak memberinya pilihan. Ayahnya, Papa William, jatuh sakit—dan perusahaan butuh pemimpin. Mau tidak mau, Arnold mengangkat beban yang seharusnya bukan miliknya. Kepergian Nico memperparah kondisi sang ayah. Dan di tengah kemarahan dan kekecewaannya, Papa William mengesahkan Arnold sebagai pewaris tunggal Maurer Corp. Namun, Nico tidak menyerah begitu saja. Dengan kepintaran manipulatifnya, dia berhasil mengambil hati Papa
Tanpa mengucap sepatah kata pun, Arnold memutuskan untuk langsung masuk ke dalam ruangannya. Tak ada sapa, tak ada lirikan pada Nico. Pintu kaca otomatis menutup di belakangnya dengan desis pelan, memisahkan dirinya dari suasana lobi yang semu hangat itu. Namun, ketenangan yang baru saja ia dapatkan hanya bertahan sejenak. Nico, seperti biasanya, bertindak semaunya. Ia masuk ke dalam ruangan Arnold begitu saja—tanpa mengetuk pintu, tanpa permisi. Seolah ruang itu adalah bagian dari rumahnya sendiri. Melihat itu, tentu saja Arnold meradang. "Ini perusahaan, bukan rumahmu. Lain kali biasakan ketuk pintunya!" Nada suara Arnold tajam, dingin. Tatapannya menusuk, tak menyembunyikan sedikit pun kekesalan yang berkecamuk dalam dirinya. Ia berusaha menekan emosinya, mengingat betapa lelahnya pagi tadi—dan bagaimana Emily sudah berhasil menenangkannya. Namun baru saja ia mulai bisa bernapas lebih tenang, Nicholas kembali berulah. Masuk seenaknya, seolah-olah aturan dan batasan tak berl
"Sayang, kau di mana?" Arnold menyusuri papping beton yang membatasi kolam renang dengan taman rambat yang ada di bagian belakang rumahnya dengan langkah kaki tergesa. Langit mulai menggelap, bias cahaya senja menari di permukaan air yang tenang, namun hatinya jauh dari ketenangan. Baru saja ia datang dari kamar dan tidak mendapati Emily di sana. Rasa cemas mulai merayap pelan di dadanya. Ia pun turun dan bertanya kepada pelayan. Ternyata, Emily ada di samping kolam renang. Setelah pertengkarannya dengan Nicole di ruangannya siang tadi, Arnold memilih untuk kembali ke rumah. Hatinya terasa sesak, pikirannya kalut. Di ruang kerjanya, ia sempat berusaha untuk berkonsentrasi dengan tumpukan file yang harus diperiksa dan ditandatangani satu per satu, namun pikirannya sama sekali tak bisa fokus. Semua terasa kacau, dan hanya satu wajah yang muncul di benaknya—Emily. "Sayang!" Emily menghambur ke dalam pelukan Arnold begitu dia melihat suaminya sudah pulang. Langkahnya ringan, seo
Kening Emily berkerut, mencoba mencerna maksud dari ucapan Arnold yang begitu tegas dan penuh peringatan. "Apa maksudmu berkata seperti itu?" gumamnya pelan, namun belum sempat ia melanjutkan pertanyaannya... "Tapi, Say—" "Mulai sekarang belajarlah menuruti apa kataku. Aku hanya ingin kamu menjauh darinya. Dia sangat berbahaya." Nada suara Arnold tak dapat ditawar. Dingin. Tegas. Ada nada kekhawatiran yang terselip, tersembunyi di balik sorot matanya yang keras. Emily terdiam. Kalimat itu menggantung dalam pikirannya, tapi ia tahu—Arnold pasti punya alasan kuat hingga berkata sejauh itu tentang saudara tirinya sendiri. Dengan pelan, Emily mengangguk setuju. Meskipun hatinya masih dipenuhi tanya, ia memilih untuk mempercayai Arnold. "Istriku memang pintar," ucap Arnold sambil mengecup lembut puncak kepala Emily, kemudian mendekap tubuh mungilnya dengan erat, seolah ingin melindunginya dari dunia luar. Pagi itu, suasana meja makan terasa sunyi. Arnold dan Emily duduk berhadapan,
"Masuklah ke kamar!" pintanya sekali lagi, kali ini dengan nada yang lebih lembut namun tetap tegas. Emily mengangguk patuh, seulas senyum manis menghiasi wajahnya saat ia menatap Arnold sesaat. Tanpa berkata apa-apa, ia berbalik dan melangkah anggun meninggalkan ruang makan, langkah-langkahnya terdengar lembut di atas lantai kayu marmer yang mengkilap. Arnold dan Nicholas sama-sama menatap punggungnya yang perlahan menghilang di tangga. Tak satu pun dari mereka berbicara, seolah tengah membaca isi pikiran masing-masing. Nicholas akhirnya bersuara, suaranya ringan namun menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. "Kau tidak berniat mengenalkan istrimu kepadaku, Arnold?" Tidak ada jawaban. Hanya hening. Mata Arnold tetap menatap ke arah tangga, memastikan Emily benar-benar telah sampai di atas. Nicholas, sementara itu, masih mengikuti sosok wanita itu dengan pandangan yang sulit ditebak. Begitu Emily menghilang dari pandangan, Arnold berdiri. Ia melangkah pelan namun mantap ke arah Nich
Menjelang siang, sinar matahari mengintip malu-malu melalui sela tirai tipis yang menggantung di jendela kamar. Emily terbangun perlahan, kelopak matanya yang berat mengerjap beberapa kali. Tubuhnya terasa nyeri di berbagai bagian, seperti baru saja melewati perjalanan panjang yang melelahkan, namun tatkala ia menyadari di mana dirinya berada dan siapa yang sedang mendekapnya erat, seulas senyum manis langsung merekah di wajahnya yang memesona. Ada kebahagiaan dan ketenangan yang terpancar dari ekspresinya. Arnold, pria yang kini resmi menjadi suaminya, memeluk tubuh mungilnya dengan posesif. Kehangatan tubuhnya dan detak jantung yang terasa di dadanya membuat Emily merasa seperti sedang terkurung dalam mimpi indah yang enggan ia akhiri. Hatinya masih sulit percaya bahwa ia kini telah sah menjadi Nyonya Arnold Edward. "Sudah puas menatap wajahku yang tampan?" Suara berat Arnold yang menggodanya membuat Emily terperanjat kecil, rona merah muda segera merayapi pipinya. "Sejak kapan k
"Harusnya aku yang meminta seperti itu, bukan kau..." Arnold membenamkan Emily ke dalam pelukannya, air matanya ikut luruh. Dan tidak hanya mereka berdua, tapi juga Sally yang tahu awal mula kisah mereka ikut meneteskan air mata haru. "Sally, mulai sekarang aku akan mempercayakan Emily kepadamu saat aku tidak ada di rumah!" "Siap, Tuan. Saya akan menjaga Nyonya Emily dengan sepenuh hati." Sally membungkuk dengan senyum terukir di bibirnya. Emily mencubit pinggang Arnold pelan. "Aku bukan anak kecil yang harus dijaga!" "Kau memang bukan anak kecil, tapi kau sesuatu yang sangat berharga untukku." Emily menganggukkan kepalanya sambil tersenyum, membuat Arnold mendadak gelisah. "Sally, bisakah kau membuatkan cake untukku dan Emily?" "Cake, tentu Tuan. Tuan mau dibuatkan cake apa? Red velvet? Cheese cake?" "Terserah kamu saja, kedua-duanya boleh juga." "Siap, Tuan!" Sally menunduk dan berlalu keluar dari kamar utama. "Sekarang hanya ada kita berdua," bisik Arnold