"Sayang, kau di mana?" Arnold menyusuri papping beton yang membatasi kolam renang dengan taman rambat yang ada di bagian belakang rumahnya dengan langkah kaki tergesa. Langit mulai menggelap, bias cahaya senja menari di permukaan air yang tenang, namun hatinya jauh dari ketenangan. Baru saja ia datang dari kamar dan tidak mendapati Emily di sana. Rasa cemas mulai merayap pelan di dadanya. Ia pun turun dan bertanya kepada pelayan. Ternyata, Emily ada di samping kolam renang. Setelah pertengkarannya dengan Nicole di ruangannya siang tadi, Arnold memilih untuk kembali ke rumah. Hatinya terasa sesak, pikirannya kalut. Di ruang kerjanya, ia sempat berusaha untuk berkonsentrasi dengan tumpukan file yang harus diperiksa dan ditandatangani satu per satu, namun pikirannya sama sekali tak bisa fokus. Semua terasa kacau, dan hanya satu wajah yang muncul di benaknya—Emily. "Sayang!" Emily menghambur ke dalam pelukan Arnold begitu dia melihat suaminya sudah pulang. Langkahnya ringan, seo
Tanpa mengucap sepatah kata pun, Arnold memutuskan untuk langsung masuk ke dalam ruangannya. Tak ada sapa, tak ada lirikan pada Nico. Pintu kaca otomatis menutup di belakangnya dengan desis pelan, memisahkan dirinya dari suasana lobi yang semu hangat itu. Namun, ketenangan yang baru saja ia dapatkan hanya bertahan sejenak. Nico, seperti biasanya, bertindak semaunya. Ia masuk ke dalam ruangan Arnold begitu saja—tanpa mengetuk pintu, tanpa permisi. Seolah ruang itu adalah bagian dari rumahnya sendiri. Melihat itu, tentu saja Arnold meradang. "Ini perusahaan, bukan rumahmu. Lain kali biasakan ketuk pintunya!" Nada suara Arnold tajam, dingin. Tatapannya menusuk, tak menyembunyikan sedikit pun kekesalan yang berkecamuk dalam dirinya. Ia berusaha menekan emosinya, mengingat betapa lelahnya pagi tadi—dan bagaimana Emily sudah berhasil menenangkannya. Namun baru saja ia mulai bisa bernapas lebih tenang, Nicholas kembali berulah. Masuk seenaknya, seolah-olah aturan dan batasan tak berl
Sepuluh tahun lalu, saat Maurer Corp. berada di ambang krisis, semua mata tertuju pada Nico—anak sulung yang seharusnya meneruskan tongkat estafet kepemimpinan. Tapi dia memilih pergi. Alasannya klise—ingin mengejar cita-cita sebagai model terkenal. Padahal kebenarannya, dia hanya ingin bebas. Bebas dari tanggung jawab, dari tekanan, dari nama besar Maurer yang menuntut lebih dari sekadar kerja keras. Nico pergi. Tinggal Arnold, si anak bungsu, yang saat itu masih duduk di bangku kuliah dan bahkan belum cukup umur untuk menandatangani kontrak legal. Tapi waktu tak memberinya pilihan. Ayahnya, Papa William, jatuh sakit—dan perusahaan butuh pemimpin. Mau tidak mau, Arnold mengangkat beban yang seharusnya bukan miliknya. Kepergian Nico memperparah kondisi sang ayah. Dan di tengah kemarahan dan kekecewaannya, Papa William mengesahkan Arnold sebagai pewaris tunggal Maurer Corp. Namun, Nico tidak menyerah begitu saja. Dengan kepintaran manipulatifnya, dia berhasil mengambil hati Papa
“Aku sudah membelimu, jadi lahirkan anak laki-laki untukku.” Diangkatnya dagu Emily dan ditatapnya mata sayu yang tampak berkaca-kaca tersebut. Dengan sekali sentak Arnold merobek gaun tidur tipis yang dikenakan Emily. Sorot matanya berkabut tatkala melihat tubuh polos tanpa cela di hadapannya. Kulit Emily yang putih seputih susu menggugah Arnold untuk melabuhkan jemarinya, halus dan hangat hingga membuat Arnold tak kuasa membendung hasratnya yang menggelora. Ditelannya salivanya, atensi Arnold kini sepenuhnya tercurah pada keindahan tubuh mungil Emily yang memiliki lekuk yang sangat indah. Ukuran dadanya yang di atas rata-rata membuat keindahan itu semakin sempurna. Ditambah lagi hidungnya lancip dengan bibir penuh berwarna pink menggoda. Arnold akhirnya mengungkung tubuh Emily di bawahnya. Seringaian terbit di wajah tampannya. "Buka pahamu!" titahnya dengan mata berkabut. Emily masih bergeming, dia menutup rapat kedua kakinya dan menyilangkan kedua tangannya di dadan
Emily langsung terduduk begitu merasakan air dingin menerpa tubuhnya. Sarah, istri pertama Arnold, tengah berdiri di depannya dengan berkacak pinggang, matanya menyala penuh amarah. Penampilan wanita itu sangat glamor, dengan rambut pirang panjang, kulit putih, serta riasan dan pakaian mahal yang melekat di tubuhnya. Sarah memandangi Emily dari atas ke bawah. "Kamu bukan nyonya di sini. Siapa yang menyuruhmu tidur sekarang?" Tubuh Emily bergetar, bahkan giginya bergemeletuk. Ruangan ini sangat dingin, ditambah air yang membasahi tubuhnya juga tak kalah dinginnya. Padahal tubuh dan perasaannya baru saja dicabik-cabik oleh Arnold. Emily mengulurkan tangan, mencari-cari selimut yang ada di sekitarnya untuk membungkus tubuh polosnya. Namun, Sarah tidak memberinya kesempatan. "Jangan berpikir bahwa kamu adalah nyonya di sini hanya karena tidur dengan Arnold. Kamu hanyalah alat penghasil anak! Bangun sekarang." Setelah mengatakan itu, Sarah menatap Emily dengan jijik, seolah-olah me
Emily sontak menoleh, betapa kagetnya dia saat melihat Arnold datang. Jantung Emily seketika berdebar kencang, dadanya naik turun. Arnold menatapnya tanpa berkedip, lagi, hanya dengan melihat tubuh Emily, membuat miliknya langsung berontak. Arnold berjalan pelan sambil membuka kancing piyamanya. Diraihnya pinggul Emily dan didekapnya erat. Bibirnya sudah berlabuh di bibir Emily, membuat perempuan itu hanya bisa pasrah. Dengan satu gerakan cepat, Arnold membawa Emily ke atas ranjang dan menyingkap handuk itu.Lagi dan lagi, Arnold menyerangnya.... **"Akh..." Emily terbangun dalam keadaan seluruh tubuh ngilu, Arnold benar-benar menyiksanya sepanjang malam. Dia bahkan tidak memberi Emily waktu untuk beristirahat. Kasur, sofa, dinding, bahkan bath up menjadi saksi bisu betapa ganasnya Arnold. Saat bangun, Emily hanya sendirian. Arnold sudah tidak ada di sisinya. Emily menyeret kakinya ke kamar mandi. Kini sudah satu bulan Emily menjadi istri kedua Arnold. Arnold juga
Emily berdiri sambil meremas ujung dress-nya. Ia tidak berani menjawab dan hanya tertunduk diam. Emily tidak merusaknya, tetapi ia tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya kepada semua orang. "Apa kau tidak punya telinga, Emily? Mama bertanya padamu, tetapi kau malah diam!" Ucapan Sarah membuat Emily mengangkat dagunya. "Ma... maafkan Emily!" ucapnya dengan mata sayu. Apa lagi yang bisa ia lakukan selain meminta maaf? Menjelaskan pun tidak ada gunanya karena Emily sendiri tidak tahu apa yang terjadi pada perhiasannya. Melihat mata sendu menantunya, Nyonya Ruby mendadak merasa menyesal. Ia segera merangkul Emily. "Tidak perlu meminta maaf, Sayang. Mama tidak peduli dengan perhiasannya, sungguh! Mama hanya peduli padamu dan juga janin yang kau kandung. Lain kali lebih hati-hati, jangan ceroboh lagi, ya?" Emily mengangguk. "Iya, Ma. Terima kasih," ucapnya tulus. Nyonya Ruby tersenyum dan mengelus perut Emily. "Perhiasan bisa dibeli lagi, tapi kandungan ini tidak. Jadi, jagala
Arnold berjalan keluar kamar tanpa mempedulikan Emily yang memohon kepadanya. Dibukanya pintu kamar, Sarah langsung menghambur ke dalam pelukannya dengan tangis yang semakin kencang. "Ada apa, Honey? Berhenti menangis." Arnold mengusap pundak dan rambut Sarah dengan lembut. "A-aku mimpi buruk, aku takut sekali, Honey," jawabnya terbata. "Sudah, tidak apa-apa, ada aku di sini. Aku akan menemanimu tidur." Arnold melepaskan pelukannya, mengusap kedua pipi Sarah, lalu mengecup keningnya. Setelah menutup pintu kamar Emily, Arnold menggandeng Sarah dan membawanya kembali ke kamarnya. Jangan ditanya bagaimana perasaan Emily saat melihat perhatian Arnold kepada Sarah. Sakit, sakit sekali. Namun, Emily cukup tahu diri. Dia hanyalah istri kedua yang tidak diharapkan oleh Arnold. Setelah kepergian Arnold, Emily membenamkan dirinya di bawah selimut karena takut. Guntur dan petir yang bersahut-sahutan semakin menambah suasana horor di kamarnya yang gelap. Emily tidak bisa langsung
Sepuluh tahun lalu, saat Maurer Corp. berada di ambang krisis, semua mata tertuju pada Nico—anak sulung yang seharusnya meneruskan tongkat estafet kepemimpinan. Tapi dia memilih pergi. Alasannya klise—ingin mengejar cita-cita sebagai model terkenal. Padahal kebenarannya, dia hanya ingin bebas. Bebas dari tanggung jawab, dari tekanan, dari nama besar Maurer yang menuntut lebih dari sekadar kerja keras. Nico pergi. Tinggal Arnold, si anak bungsu, yang saat itu masih duduk di bangku kuliah dan bahkan belum cukup umur untuk menandatangani kontrak legal. Tapi waktu tak memberinya pilihan. Ayahnya, Papa William, jatuh sakit—dan perusahaan butuh pemimpin. Mau tidak mau, Arnold mengangkat beban yang seharusnya bukan miliknya. Kepergian Nico memperparah kondisi sang ayah. Dan di tengah kemarahan dan kekecewaannya, Papa William mengesahkan Arnold sebagai pewaris tunggal Maurer Corp. Namun, Nico tidak menyerah begitu saja. Dengan kepintaran manipulatifnya, dia berhasil mengambil hati Papa
Tanpa mengucap sepatah kata pun, Arnold memutuskan untuk langsung masuk ke dalam ruangannya. Tak ada sapa, tak ada lirikan pada Nico. Pintu kaca otomatis menutup di belakangnya dengan desis pelan, memisahkan dirinya dari suasana lobi yang semu hangat itu. Namun, ketenangan yang baru saja ia dapatkan hanya bertahan sejenak. Nico, seperti biasanya, bertindak semaunya. Ia masuk ke dalam ruangan Arnold begitu saja—tanpa mengetuk pintu, tanpa permisi. Seolah ruang itu adalah bagian dari rumahnya sendiri. Melihat itu, tentu saja Arnold meradang. "Ini perusahaan, bukan rumahmu. Lain kali biasakan ketuk pintunya!" Nada suara Arnold tajam, dingin. Tatapannya menusuk, tak menyembunyikan sedikit pun kekesalan yang berkecamuk dalam dirinya. Ia berusaha menekan emosinya, mengingat betapa lelahnya pagi tadi—dan bagaimana Emily sudah berhasil menenangkannya. Namun baru saja ia mulai bisa bernapas lebih tenang, Nicholas kembali berulah. Masuk seenaknya, seolah-olah aturan dan batasan tak berl
"Sayang, kau di mana?" Arnold menyusuri papping beton yang membatasi kolam renang dengan taman rambat yang ada di bagian belakang rumahnya dengan langkah kaki tergesa. Langit mulai menggelap, bias cahaya senja menari di permukaan air yang tenang, namun hatinya jauh dari ketenangan. Baru saja ia datang dari kamar dan tidak mendapati Emily di sana. Rasa cemas mulai merayap pelan di dadanya. Ia pun turun dan bertanya kepada pelayan. Ternyata, Emily ada di samping kolam renang. Setelah pertengkarannya dengan Nicole di ruangannya siang tadi, Arnold memilih untuk kembali ke rumah. Hatinya terasa sesak, pikirannya kalut. Di ruang kerjanya, ia sempat berusaha untuk berkonsentrasi dengan tumpukan file yang harus diperiksa dan ditandatangani satu per satu, namun pikirannya sama sekali tak bisa fokus. Semua terasa kacau, dan hanya satu wajah yang muncul di benaknya—Emily. "Sayang!" Emily menghambur ke dalam pelukan Arnold begitu dia melihat suaminya sudah pulang. Langkahnya ringan, seo
Kening Emily berkerut, mencoba mencerna maksud dari ucapan Arnold yang begitu tegas dan penuh peringatan. "Apa maksudmu berkata seperti itu?" gumamnya pelan, namun belum sempat ia melanjutkan pertanyaannya... "Tapi, Say—" "Mulai sekarang belajarlah menuruti apa kataku. Aku hanya ingin kamu menjauh darinya. Dia sangat berbahaya." Nada suara Arnold tak dapat ditawar. Dingin. Tegas. Ada nada kekhawatiran yang terselip, tersembunyi di balik sorot matanya yang keras. Emily terdiam. Kalimat itu menggantung dalam pikirannya, tapi ia tahu—Arnold pasti punya alasan kuat hingga berkata sejauh itu tentang saudara tirinya sendiri. Dengan pelan, Emily mengangguk setuju. Meskipun hatinya masih dipenuhi tanya, ia memilih untuk mempercayai Arnold. "Istriku memang pintar," ucap Arnold sambil mengecup lembut puncak kepala Emily, kemudian mendekap tubuh mungilnya dengan erat, seolah ingin melindunginya dari dunia luar. Pagi itu, suasana meja makan terasa sunyi. Arnold dan Emily duduk berhadapan,
"Masuklah ke kamar!" pintanya sekali lagi, kali ini dengan nada yang lebih lembut namun tetap tegas. Emily mengangguk patuh, seulas senyum manis menghiasi wajahnya saat ia menatap Arnold sesaat. Tanpa berkata apa-apa, ia berbalik dan melangkah anggun meninggalkan ruang makan, langkah-langkahnya terdengar lembut di atas lantai kayu marmer yang mengkilap. Arnold dan Nicholas sama-sama menatap punggungnya yang perlahan menghilang di tangga. Tak satu pun dari mereka berbicara, seolah tengah membaca isi pikiran masing-masing. Nicholas akhirnya bersuara, suaranya ringan namun menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. "Kau tidak berniat mengenalkan istrimu kepadaku, Arnold?" Tidak ada jawaban. Hanya hening. Mata Arnold tetap menatap ke arah tangga, memastikan Emily benar-benar telah sampai di atas. Nicholas, sementara itu, masih mengikuti sosok wanita itu dengan pandangan yang sulit ditebak. Begitu Emily menghilang dari pandangan, Arnold berdiri. Ia melangkah pelan namun mantap ke arah Nich
Menjelang siang, sinar matahari mengintip malu-malu melalui sela tirai tipis yang menggantung di jendela kamar. Emily terbangun perlahan, kelopak matanya yang berat mengerjap beberapa kali. Tubuhnya terasa nyeri di berbagai bagian, seperti baru saja melewati perjalanan panjang yang melelahkan, namun tatkala ia menyadari di mana dirinya berada dan siapa yang sedang mendekapnya erat, seulas senyum manis langsung merekah di wajahnya yang memesona. Ada kebahagiaan dan ketenangan yang terpancar dari ekspresinya. Arnold, pria yang kini resmi menjadi suaminya, memeluk tubuh mungilnya dengan posesif. Kehangatan tubuhnya dan detak jantung yang terasa di dadanya membuat Emily merasa seperti sedang terkurung dalam mimpi indah yang enggan ia akhiri. Hatinya masih sulit percaya bahwa ia kini telah sah menjadi Nyonya Arnold Edward. "Sudah puas menatap wajahku yang tampan?" Suara berat Arnold yang menggodanya membuat Emily terperanjat kecil, rona merah muda segera merayapi pipinya. "Sejak kapan k
"Harusnya aku yang meminta seperti itu, bukan kau..." Arnold membenamkan Emily ke dalam pelukannya, air matanya ikut luruh. Dan tidak hanya mereka berdua, tapi juga Sally yang tahu awal mula kisah mereka ikut meneteskan air mata haru. "Sally, mulai sekarang aku akan mempercayakan Emily kepadamu saat aku tidak ada di rumah!" "Siap, Tuan. Saya akan menjaga Nyonya Emily dengan sepenuh hati." Sally membungkuk dengan senyum terukir di bibirnya. Emily mencubit pinggang Arnold pelan. "Aku bukan anak kecil yang harus dijaga!" "Kau memang bukan anak kecil, tapi kau sesuatu yang sangat berharga untukku." Emily menganggukkan kepalanya sambil tersenyum, membuat Arnold mendadak gelisah. "Sally, bisakah kau membuatkan cake untukku dan Emily?" "Cake, tentu Tuan. Tuan mau dibuatkan cake apa? Red velvet? Cheese cake?" "Terserah kamu saja, kedua-duanya boleh juga." "Siap, Tuan!" Sally menunduk dan berlalu keluar dari kamar utama. "Sekarang hanya ada kita berdua," bisik Arnold
"Apa? Astaga aku belum mandi!" seru Emily panik. Ia berbalik secepat kilat, rambutnya yang panjang ikut terhempas, lalu langsung berlari menuju kamarnya meninggalkan Arnold yang hanya bisa menggeleng pelan, senyum kecil mengembang di wajahnya. Tatapannya mengikuti langkah Emily dengan penuh kasih, seperti melihat matahari pagi yang menyelinap masuk dari balik tirai jendela. Sembari menunggu Emily selesai mandi, Arnold duduk di sofa ruang tamu, menatap layar ponselnya dan segera menghubungi Robert. “Bisa tolong bawakan sarapan untukku dan Emily?” pintanya tenang. Tak lama berselang, dering bel rumah terdengar. Robert datang dengan senyum sopan dan nampan di tangannya. Ia membantu Arnold menata makanan dengan cekatan, seperti sudah sangat hafal dengan rutinitas majikannya. "Bagaimana, apa persiapan penandatanganan buku nikahnya sudah beres?" tanya Arnold, suaranya terdengar sedikit gemetar. "Sudah, Tuan!" jawab Robert mantap. "Terima kasih, Robert!" ujar Arnold, menahan gejolak emo
Emily menghela napasnya pelan, dadanya terasa sesak oleh beban yang selama ini dipendam. Perlahan, diraihnya tangan Arnold, erat namun tetap lembut. "Kamu bersamaku hampir dua puluh empat jam," ucapnya lirih, "apa kamu lihat aku memegang handphone?" Suara Emily terdengar lelah, seperti seseorang yang habis berlari jauh dan tak kunjung mencapai garis akhir. Tatapannya yang sayu menyorot kelelahan yang lebih dari sekadar fisik—itu adalah kelelahan batin, dari terus-menerus dicurigai, dari rasa sayang yang tak henti dipertanyakan. Tanpa menunggu respons Arnold, Emily menarik tangannya dan menggandengnya. Langkahnya cepat, seolah ingin segera menyelesaikan sesuatu yang tertunda. Mereka berdua mendekati sosok Arlen yang sedang berdiri di bawah cahaya temaram lampu taman depan. "Arlen!" seru Emily, lantang namun terdengar getir. Arlen menoleh, dan seketika keningnya berkerut saat melihat jemari Emily yang menggenggam tangan Arnold begitu erat. "Emily, Arnold, kalian…." Suaranya