Arnold berjalan keluar kamar tanpa mempedulikan Emily yang memohon kepadanya.
Dibukanya pintu kamar, Sarah langsung menghambur ke dalam pelukannya dengan tangis yang semakin kencang. "Ada apa, Honey? Berhenti menangis." Arnold mengusap pundak dan rambut Sarah dengan lembut. "A-aku mimpi buruk, aku takut sekali, Honey," jawabnya terbata. "Sudah, tidak apa-apa, ada aku di sini. Aku akan menemanimu tidur." Arnold melepaskan pelukannya, mengusap kedua pipi Sarah, lalu mengecup keningnya. Setelah menutup pintu kamar Emily, Arnold menggandeng Sarah dan membawanya kembali ke kamarnya. Jangan ditanya bagaimana perasaan Emily saat melihat perhatian Arnold kepada Sarah. Sakit, sakit sekali. Namun, Emily cukup tahu diri. Dia hanyalah istri kedua yang tidak diharapkan oleh Arnold. Setelah kepergian Arnold, Emily membenamkan dirinya di bawah selimut karena takut. Guntur dan petir yang bersahut-sahutan semakin menambah suasana horor di kamarnya yang gelap. Emily tidak bisa langsung tertidur. Dia bahkan menutup telinganya agar tidak lagi mendengar suara petir yang menggelegar. Sementara itu, di kamar sebelah, Sarah tidur nyenyak di pelukan Arnold. Rencananya berhasil lagi untuk mendapatkan perhatian Arnold dan menjauhkan suaminya tersebut dari Emily. Keesokan harinya, seperti biasa, Arnold pergi bekerja diantar oleh Sarah dan Emily hingga ke depan mobilnya. Namun, hanya Sarah yang mendapatkan kecupan selamat tinggal. Berbeda dengan Emily, Arnold bahkan tidak memandangnya. Setelah Arnold pergi, Emily kembali ke kamarnya. Nyonya Ruby sudah pulang ke rumahnya pagi-pagi sekali. Dia bahkan tidak sempat sarapan. Saat menaiki anak tangga, samar-samar Emily mendengar Sarah menyebutnya perempuan penggoda. Namun, Emily menulikan telinganya. Kadang, Emily merasa lelah berdebat dengan Sarah. Mendiamkannya saat mulut tajam itu menghinanya terasa lebih menyenangkan bagi Emily. Biasanya, Sarah akan mengamuk sendiri jika Emily mengabaikannya. Karena tidak ada kegiatan, Emily merasa bosan dan memutuskan menghubungi sahabatnya, Sera. "Halo, Emily. Apa kabar? Sombong sekali kau setelah menjadi Nyonya Arnold!" Sera langsung menyindir Emily yang sudah sebulan lebih tidak menghubunginya. "Maafkan aku, Sera, aku—" "Aku hanya bercanda!" potong Sera sambil tertawa. "Syukurlah. Aku pikir kau marah. Oh ya, Sera, apa kau sibuk? Maukah kau menemaniku berbelanja?" "Tentu saja, aku sangat merindukanmu. Ayo kita pergi!" "Tapi, bisakah kau menjemputku?" "Tentu, kirimkan alamatmu. Aku meluncur sekarang!" "Oke, aku akan mengirimkannya. Terima kasih, Sera." Setelah menutup teleponnya, Emily segera bersiap. Sejak menikah, Emily tidak pernah pergi keluar kecuali bersama mama mertuanya. Itu pun sangat jarang. Setelah Sera tiba, Emily turun dengan tergesa. Namun, di tangga, dia berpapasan dengan Sarah. "Kau mau ke mana?" tanya Sarah dengan nada ingin tahu. "Aku ingin membelanjakan uang suamiku. Kenapa?" jawab Emily berani. Sarah menggeram kesal. Dia sangat tidak rela melihat Emily menikmati uang hasil kerja keras Arnold. "Jangan terlalu boros! Arnold bekerja keras siang dan malam untuk mencari uang, dan kau malah seenaknya berbelanja!" Emily berlalu begitu saja tanpa memedulikan Sarah. Setahu Emily, Sarah hampir setiap hari berbelanja, sedangkan dirinya belum pernah sekalipun. Dicueki oleh Emily membuat Sarah semakin meradang. Dia memutar otaknya untuk mencari cara mengerjai Emily dan langsung mendapat ide. Setelah Emily pergi, Sarah mengikuti mobil yang membawa madunya itu. Selain tidak ingin kalah karena Emily akan berbelanja, dia juga berharap bisa mempermalukan Emily. Sesampainya di pusat perbelanjaan, Emily dan Sera berkeliling hampir ke semua toko yang mereka lewati, hanya sekadar melihat-lihat. Sebenarnya, tujuan Emily adalah membeli pakaian tidur yang nyaman. Apalagi, Emily sedang hamil. Gaun tidur transparan yang selama ini dikenakan sering membuatnya masuk angin. Saat keluar dari toko baju tidur, Emily dan Sera berpapasan dengan James, teman mereka semasa kuliah sekaligus laki-laki yang sudah lama mengagumi Emily. "Emily, Sera!" James terlihat sangat senang. Setelah lulus kuliah, dia sibuk membangun usaha ayahnya agar sukses dan bisa melamar Emily. "James, apa kabar?" Emily mengulurkan tangan. James menyambutnya ragu saat melihat cincin di jari manis Emily. "Kau sudah menikah?" tanyanya ragu. "Hmm, iya. Aku sudah menikah sebulan yang lalu." Harapan James pupus seketika. "Selamat, Emily. Aku turut berbahagia!" James memasang wajah ceria untuk menutupi kesedihannya. Salahnya yang tidak pernah menyatakan perasaannya kepada Emily. "James, kau terlambat. Padahal, Emily menunggumu," canda Sera, membuat Emily mencubit lengannya. James tertawa kering, membuat Emily merasa tidak enak. "Apa kalian mau makan siang bersama?" tawar James. "Tentu saja mau!" sahut Sera bersemangat. Lama tidak bertemu, banyak yang ingin diceritakannya. Ketiganya berjalan menuju restoran tidak jauh dari toko tadi. Sementara itu, dari sudut lain, Sarah yang terus mengawasi Emily tersenyum licik. Dia segera menghubungi Arnold untuk mengadukan Emily. "Ayo angkat!" Sarah tidak sabar menunggu Arnold mengangkat teleponnya. "Ya, Honey!" suara bariton Arnold terdengar. "Honey, kau harus tahu kelakuan istri keduamu!" "Apa maksudmu?" tanya Arnold bingung. "Tadi aku melihat Emily bertemu pria lain di mal. Sekarang mereka makan bersama di restoran!" "Apa? Kau yakin itu Emily?" "Tunggu. Aku akan mengirim fotonya!" Sarah mengambil foto Emily dan James tanpa menyorot Sera. Setelah mengirimnya, Sarah tersenyum puas. Arnold yang menerima foto itu langsung gelisah. Dia menelepon Sarah kembali. "Di mana mereka sekarang?" "Restoran cepat saji Blue Sky Mall," jawab Sarah cepat. Arnold menutup telepon dan melaju menuju mal itu dengan wajah marah. Di sisi lain, Sarah menahan senyumnya. "Rasakan itu, jalang!"Tanpa menyadari yang sedang terjadi, James, Emily dan Sarah tengah kebingungan.Karena bertepatan dengan jam makan siang, meja Restoran hampir semuanya terisi.Mereka pun terpaksa duduk di tengah tengah ruangan karena hanya meja itu yang tersisa. James langsung memanggil waiter dan meminta buku menu. Tepat seperti dugaan James, Emily memesan ayam goreng bagian sayap, tampaknya kesukaan Emily masihlah sama. "Kau tidak banyak berubah Emily, hanya saja kau semakin cantik!" ucap James begitu waiter meninggalkan meja mereka. Pipi Emily tampak merona mendengar pujian James, tapi dia tidak lantas terbang. James memang selalu memujinya sejak dulu. "Jangan merayu Emily, James, nanti suaminya marah. Rayu aku saja, aku masih jomblo!" timpal Sera sambil cekikikan. "Aku tidak merayunya, aku hanya memuji, apa tidak boleh?" Sera mengangguk anggukkan kepalanya. "Merayu dan memuji bedanya sangat tipis! Nah, sekarang cepat puji aku! Apakah kecantikanku kalah dengan Emily?" Mereka bertiga
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi di jalan raya Kota London. Emily sampai harus mencengkeram erat jok tempat ia duduk agar tubuhnya tetap aman di posisinya. Arnold sudah seperti pembalap yang mengejar garis finis. Tidak peduli setakut apa Emily yang duduk di kursi penumpang, Arnold malah semakin menancapkan gasnya dengan membabi buta. "Kau lihat, kan, Honey, bagaimana Emily berduaan dengan laki-laki tadi? Sebelum kau datang, mereka bahkan saling merangkul dan berciuman. Aku saja sampai jijik saat melihatnya. Beruntung kau tidak menyaksikannya!" Sarah kembali memfitnah Emily tanpa rasa takut, karena dia tahu Arnold pasti percaya padanya. Padahal, apa yang dikatakan Sarah semuanya kebohongan besar. Jelas-jelas Emily tidak hanya berdua dengan James, melainkan bertiga bersama Sera, dan Emily hanya bersalaman, tidak lebih. Mendengar perkataan Sarah, Arnold meremas setir kemudinya untuk menyalurkan emosi yang semakin membuncah. Melihat Emily makan berdua dengan laki-laki tadi saja
Ternyata kedatangannya ke kamar Emily hanya untuk menanyakan Sarah. Padahal korban sesungguhnya adalah Emily, tapi lagi lagi dia yang disalahkan.Ah, bukankah selalu begitu? Emily menahan pedih. "Aku tidak mengatakan apa pun padanya, Arnold. Tidak sepatah kata pun!" Emily coba membela dirinya, walaupun pasti Arnold tidak akan percaya. "Demi Tuhan,” tambah Emily."Bohong! Kau terus terusan berbohong!" teriaknya membuat Emily memejamkan matanya karena takut melihat ekspresi marah suaminya. "Kau berani sekali mengatainya jalang! Kau tau siapa yang jalang di rumah ini? Kau Emily, kau yang jalang! Wanita yang menjual dirinya karena uang. Wanita seperti itu yang pantas dipanggil jalang!" Arnold semakin mendekat, matanya justru terpaku pada tubuh bagian atas Emily yang terekspos karena pakaian minim yang dia pakai melorot. "Tidak benar! Aku tidak pernah mengatainya jalang, justru dia yang selalu mengataiku jalang! Aku mohon percayalah padaku!" "Diam!" Tubuh Arnold perlahan maju, ke
Di sisi lain, Sarah mondar-mandir di kamarnya dengan gelisah menunggu kedatangan Arnold. Suaminya tadi bilang dia hanya sebentar saja menemui Emily untuk memarahinya, nyatanya sudah berjam jam Arnold belum kunjung kembali. Sementara itu di kamar sebelah, setelah merasa puas, Arnold akhirnya melepaskan Emily yang tengah terpejam, matanya sembab, bibirnya bengkak karena digigit Arnold berkali kali. "Dasar wanita murahan, kau pandai sekali bersandiwara. Akui saja kalau kau sangat menikmatinya. Jangan berpura-pura kesakitan, aktingmu sangat jelek Emily!" Seringaian jahat tercetak di wajah brengseknya. Arnold memunguti pakaiannya dan masuk ke dalam kamar mandi. Setelah membersihkan diri dan memakai pakaiannya kembali dia meninggalkan Emily yang masih berbaring tanpa mau menoleh karena takut tidak bisa menahan diri lagi. Arnold membanting pintu kamar Emily begitu dia keluar. Setelah kepergian Arnold, Emily membuka matanya perlahan. Inti tubuhnya terasa perih, perutnya menegang dan
'Sekarang cepat kau ke rumah sakit, kalau tidak Mama akan mencoretmu dari daftar ahli waris!' Nyonya Ruby menutup teleponnya dengan kesal. Bisa bisanya Arnold tidak tahu istrinya berada di rumah sakit.Jantung Arnold bagai dihantam batu besar. Dia menggeram kesal dan melempar handphonenya ke sembarang arah.Kaget dengan suara ribut ribut suaminya, Sarah terbangun. Dilihatnya wajah Arnold merah padam. "Ada apa, Sayang?" tanyanya sambil mengusap rahang Arnold yang tampak mengencang."Wanita sialan itu ada di rumah sakit dan ibu memarahiku. Dia pasti mengadukan apa yang aku lakukan padanya!" desahnya sambil menuruni tempat tidur. Arnold bergegas mengganti pakaiannya dan pergi ke rumah sakit detik itu juga.Sepanjang jalan Arnold tidak henti mengumpat Emily. Dia sangat kesal karena dipikirnya Emily mengadukannya kepada ibunya."Dasar wanita licik, dia yang bersalah, dia juga yang mengadu. Awas saja nanti!" geramnya kesal sambil memukul setir kemudinya.Sesampainya di rumah sakit, Arnold b
Tiga bulan berlalu, perut Emily sudah mulai membesar dan waktunya untuk pemeriksaan.Emily bangun pagi pagi sekali, dia sangat tidak sabar menantikan hari ini, dimana ia bisa melihat langsung bayinya melalui monitor."Mama ingin sekali melihatmu, Nak!" ucapnya sembari mengelus perutnya yang sedikit menonjol.Kemarin Emily sudah mendaftarkan dirinya untuk melakukan pemeriksaan pagi ini. Jadi dia tidak perlu menunggu lama nantinya di sana.Setelah selesai bersiap, Emily turun ke bawah dan menuju meja makan untuk sarapan. Sudah ada Sarah dan Arnold duduk di sana. Mereka tengah berbincang sambil tersenyum. Arnold bahkan terlihat berkali kali mengecup kening Sarah. Pemandangan pagi yang cukup mengiris hati Emily, namun Emily sudah biasa berpura pura biasa saja.Saat melihat Emily datang, mereka berdua langsung diam. Meski demikian, mata elang Arnold menatapnya tanpa berkedip. Emily sangat cantik pagi ini, aura kehamilannya membuat wajahnya semakin bersinar.Emily tetap mengulas senyum mani
Kecelakaan itu tak terelakkan. Suara benturan keras menggema di jalan raya, menarik perhatian banyak orang. Mobil yang dikemudikan Emily berputar beberapa kali di tengah aspal setelah dihantam dari belakang dengan kecepatan tinggi. Ban mobil mencicit, seakan menjerit di antara kaca yang pecah dan suara logam yang melengkung. Tubuh Emily tersentak ke depan, dadanya menghantam setir sebelum airbag mengembang dengan kasar. Napasnya memburu, rasa sakit segera menjalar dari tulang rusuk hingga perutnya. Sekilas, ia bisa melihat dunia di sekitarnya berputar dalam kekacauan. Sementara itu, mobil Sarah tak kalah naas. Kendaraannya terpelanting keluar dari jalan raya, menghantam tiang lampu sebelum berhenti di bahu jalan dalam kondisi mengenaskan. Bagian depan mobilnya ringsek, hampir tak berbentuk. Sarah yang berada di dalamnya langsung tak sadarkan diri. Beberapa detik berlalu dalam keheningan yang mencekam, sebelum jeritan saksi mata mulai terdengar. "Kecelakaan! Panggil ambulans!"
Setelah melalui masa konservasi selama kurang lebih satu jam di ruang operasi, Sarah akhirnya sadarkan diri. Perlahan, matanya terbuka, beradaptasi dengan cahaya lampu ruangan yang menyilaukan. Tubuhnya masih lemah, tapi kehadiran Arnold di sampingnya membuatnya merasa lebih baik. Ruangan rawat inap yang dipilihkan Arnold untuk Sarah adalah yang terbaik dan termahal di rumah sakit itu. Semua fasilitas mewah disediakan demi kenyamanan sang istri. Sebaliknya, untuk Emily, Arnold hanya memilih ruangan dengan fasilitas standar di bawah kelas Sarah. Sepanjang hari, Arnold menemani Sarah tanpa sedikit pun niat menjenguk Emily. Baginya, hanya Sarah yang pantas mendapat perhatiannya saat ini. Sarah, yang masih terbaring lemah, mengulurkan tangan ke arah suaminya. Jemari pucatnya yang terpasang infus disentuh lembut oleh Arnold. "Bagaimana keadaanmu, Honey?" tanya Arnold, suaranya lembut dan penuh perhatian. Sarah tersenyum tipis. "Sangat baik, karena ada dirimu di sini," jawabnya lir
Arnold beranjak dari duduknya dan kembali masuk ke dalam walk-in closet. Langkahnya mantap namun terasa berat, seakan ada beban yang ikut menyeret setiap gerakan. Tidak berselang lama, dia keluar dengan membawa sebuah amplop berwarna putih di tangannya. Tangannya sedikit gemetar, tapi ekspresi wajahnya tetap tenang, seolah berusaha menyembunyikan badai yang tengah mengamuk di dalam dadanya. Dia lalu duduk perlahan di samping Emily yang sejak tadi terlihat gelisah, menggigit bibir bawahnya dan menunduk, menghindari tatapan. Arnold meletakkan amplop itu di atas pahanya, dengan sengaja memastikan Emily tahu betapa pentingnya isi dari amplop tersebut. “St. Thomas Hospital,” ucapnya pelan, namun nadanya tegas dan penuh makna. Emily menatap amplop itu dengan mata membulat. Hatinya berdebar hebat, napasnya memburu. Tiba-tiba saja pikirannya dipenuhi dengan berbagai kemungkinan buruk. Tangannya mulai berkeringat, dan ia bahkan belum berani menyentuh amplop itu. "Ini pasti berat untukmu,"
Arnold mengusap puncak kepala Emily hingga ke punggungnya, berulang kali hingga akhirnya Emily bangun dari tidurnya. Sentuhan itu lembut dan penuh perhatian, seakan ingin meredakan beban di hati sang istri. Napas Emily yang semula berat perlahan menjadi teratur, tapi matanya masih tampak sembab. Dengan gerakan cepat Emily menyeka sudut mata dan pipinya yang basah karena air mata. Ia tidak ingin terlihat rapuh di hadapan Arnold, terlebih setelah apa yang baru saja terjadi. "Kau menangis?" tanya Arnold saat melihat Emily menyeka wajahnya. Suaranya lembut, ada nada khawatir yang tak bisa disembunyikan. Emily tidak menjawab, dia turun dari kasur melalui sisi sebelah kanannya untuk menghindari Arnold. Emily sedang kesal dan enggan menatap suaminya yang menjadi serba salah. Ia berjalan pelan menuju jendela, membiarkan sinar matahari menyinari wajahnya yang masih tampak murung. "Kita pulang, Sally, tolong bereskan barang-barang Emily. Aku akan meminta supir untuk kemari." Arnold be
Sementara itu, di ruangan Dokter Lexa. Arnold tengah menunggu Dokter Lexa yang sedang menangani pasien melahirkan sesar. Waktu terasa berjalan sangat lambat. Jarum jam yang berdetak di dinding seakan sengaja memperpanjang kegelisahan yang merayap dalam dada Arnold. Sesekali ia menatap layar ponselnya, namun tak satu pun pesan masuk. Pikirannya kacau, hatinya berkecamuk. Arnold duduk dengan gelisah, dia benar-benar kaget saat mengetahui Emily sudah mengetahui kehamilannya, padahal akan lebih mudah kalau Emily tidak tahu sehingga Dokter bisa memberikannya obat penggugur kandungan, seperti saran awal Dokter Lexa yang ditanggapi Arnold dingin tadi malam. Suara langkah kaki terdengar memasuki ruangan. Pintu dibuka perlahan dan wajah lelah Dokter Lexa muncul di ambang pintu. "Tuan Arnold, maaf menunggu lama." Dokter Lexa menarik kursinya dan duduk dengan wajah muram. Beberapa helai rambut terurai dari sanggulnya yang sedikit berantakan, menunjukkan betapa berat kasus yang baru saja ia
"Katakan apa itu?" Arnold tidak kalah antusias. Dia juga ikut tersenyum saat melihat Emily tersenyum lebar. Setelah apa yang terjadi pada Emily tadi malam—mimpi buruk, tangisan tertahan, dan tatapan kosong yang begitu dalam—senyum lebarnya membuat Arnold bisa sedikit melupakan kepedihannya. Seolah senyum itu adalah cahaya pertama setelah malam yang panjang. "Tutup matamu," pinta Emily sambil mengusap rahang tegas Arnold. Sentuhan lembut jarinya menyapu bulu-bulu halus yang tumbuh tidak teratur karena Arnold pasti tidak mencukurnya beberapa hari ini. Emily selalu menyukai sisi acak Arnold yang satu ini, tampak maskulin namun tetap tenang dan penuh kehangatan. "Baiklah, cepat beritahu aku kejutannya." Arnold menutup matanya dengan patuh, menarik napas panjang seolah ingin menyerap momen bahagia itu sedalam mungkin. Senyum manis masih terukir di bibirnya, begitu tulus dan penuh harapan. Emily menoleh sesaat ke arah Sally yang berdiri tidak jauh dari mereka. Sally, sahabat sekaligus
Emily menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Rasa mual yang datang tiba-tiba membuat tubuhnya melemas. Ia bergegas menuju wastafel dan memuntahkan seluruh isi perutnya tanpa bisa ditahan. Nafasnya tersengal-sengal, bahunya naik turun menahan ketidaknyamanan. Di sampingnya, Arnold yang sedari tadi menemaninya sigap mengusap punggung istrinya, mencoba memberikan ketenangan. "Apa buburnya tidak enak?" tanyanya lembut, meski wajahnya menyiratkan kekhawatiran. Emily menggeleng pelan. "Enak, mungkin aku masuk angin... atau karena tadi malam aku tidak sempat makan." Suaranya terdengar lemah. Setelah merasa lebih baik dan mualnya sedikit mereda, Emily kembali ke tempat tidur, wajahnya masih pucat. "Makan lagi ya, Sayang," bujuk Arnold, mengangkat sendok dengan penuh harap. Emily menggeleng lagi, lebih tegas kali ini. "Aku benar-benar tidak selera." Arnold tidak menyerah. "Apa mau makan yang lain?" Dia tidak ingin membiarkan Emily melewati waktu makan, terlebih sekarang ia tengah men
Mendengar perkataan Papa William, Arnold tersenyum miring. Senyum sinis yang tak menutupi betapa getir hatinya. Bisa-bisanya, pikir Arnold, Papa William masih saja bertindak semaunya. Walau dia kepala keluarga dan Arnold hanyalah anaknya, bukan berarti setiap kata-kata sang ayah adalah perintah mutlak yang harus dituruti. "Arnold tidak akan pernah kembali lagi ke Maurer!" ucapnya tegas, sorot matanya tak main-main. Dulu, dia mungkin akan menuruti apa pun—menikahi Emily karena permintaan orang tua, menjalankan perusahaan keluarga tanpa banyak tanya. Tapi sekarang, semua itu sudah berubah. "Papa sudah tua, Nak. Kalau bukan kamu, lantas siapa lagi yang akan menjalankannya?" suara Papa William pelan, lebih kepada nada memohon daripada perintah. Ada getar halus yang tertangkap di ujung kalimatnya—ketakutan akan kehilangan, atau mungkin penyesalan. "Maaf, Pa. Arnold benar-benar tidak bisa." Jawabannya tegas namun lembut. Bukan untuk melukai hati ayahnya, tapi karena dia tahu, sudah wa
Kilat kebencian jelas terlihat di mata Arnold. Tanpa ragu, dia langsung berdiri dari sisi ranjang Emily dan melangkah cepat ke arah dua sosok yang kini berdiri di ambang pintu. Setiap langkahnya penuh kemarahan yang tertahan sejak lama. "Untuk apa lagi kau kemari?" tanyanya dingin, suaranya penuh nada penghinaan. Tatapannya menusuk tajam pada Nicho, yang wajahnya masih dipenuhi bekas pukulan—bengkak, memar, dan sedikit mengering. Luka yang belum genap seminggu, dan masih terasa panas. Masih mending, pikir Arnold sinis. Masih mending dia tidak membunuh Nicho saat itu, atau menyeretnya ke kantor polisi. Hanya karena dia masih menghormati Papa William, pria tua itu, ayah mereka berdua, yang masih punya tempat di hatinya—meski hanya sedikit. "Kakakmu ingin meminta maaf, Arnold." Papa William melangkah maju, mencoba menjembatani dua anak lelakinya yang kini terpecah oleh sejarah kelam. Ia melihat kedua tangan Arnold yang terkepal kuat di sisi tubuhnya. Wajah Arnold mengeras seperti
Dokter itu tampak melirik sekilas ke arah kertas yang ada di depannya, lalu menarik napas dalam sebelum membuka mulutnya. "Kehamilannya masih sangat muda, kurang lebih satu minggu," ucapnya dengan suara yang terkontrol, "sehingga siklus bulanannya pun belum terlambat. Saya tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya, tapi ada pembengkakan di perut dalam Nyonya Emily. Apa Nyonya Emily pernah mengalami semacam kecelakaan atau trauma di perut?" Arnold mengangguk pelan, tatapannya menerawang sejenak, seperti menggali ingatan yang sudah lama terkubur. "Dia pernah kecelakaan saat hamil dan mengalami keguguran... mungkin perutnya menghantam salah satu bagian mobil dengan keras." Suara Arnold terdengar berat. Kenangan itu menghantamnya seperti badai yang datang tiba-tiba. Saat itu, dia tidak memperdulikan kondisi Emily, bahkan menyalahkannya karena keguguran yang terjadi. Kesalahan itu terus menghantuinya, walau tak pernah ia akui dengan lantang. "Tapi itu sudah lama, Dokter. Setahun yang lal
Perjalanan menuju rumah sakit terasa sangat lama, padahal jaraknya tidak lebih dari satu kilometer. Di dalam mobil yang melaju dengan cepat, suasana begitu tegang. Arnold tak henti-hentinya melirik ke arah Emily yang terbaring lemah di jok belakang. Napasnya terdengar pelan dan tidak stabil. Sesekali, Arnold mengusap kening perempuan itu yang terasa sedikit hangat. "Jangan sakit, sayang," gumamnya pelan, lebih kepada doa daripada ucapan. Suaranya nyaris tak terdengar, tenggelam dalam deru mesin mobil. Setelah beberapa menit yang terasa seperti jam, mobil berbelok tajam memasuki halaman ST. Thomas Hospital, rumah sakit yang sama di mana Nyonya Ruby, ibu mertua Arnold, tengah dirawat karena kondisi kritisnya. Pintu mobil nyaris belum terbuka sempurna ketika dua orang perawat yang berjaga di lobi langsung datang membawa brankar. Mereka bergerak cepat, profesional, namun tetap waspada melihat raut panik di wajah Arnold. Mereka hendak mengangkat tubuh Emily, namun tiba-tiba Arnold me