Tanpa menyadari yang sedang terjadi, James, Emily dan Sarah tengah kebingungan.
Karena bertepatan dengan jam makan siang, meja Restoran hampir semuanya terisi.Mereka pun terpaksa duduk di tengah tengah ruangan karena hanya meja itu yang tersisa.
James langsung memanggil waiter dan meminta buku menu. Tepat seperti dugaan James, Emily memesan ayam goreng bagian sayap, tampaknya kesukaan Emily masihlah sama. "Kau tidak banyak berubah Emily, hanya saja kau semakin cantik!" ucap James begitu waiter meninggalkan meja mereka. Pipi Emily tampak merona mendengar pujian James, tapi dia tidak lantas terbang. James memang selalu memujinya sejak dulu. "Jangan merayu Emily, James, nanti suaminya marah. Rayu aku saja, aku masih jomblo!" timpal Sera sambil cekikikan. "Aku tidak merayunya, aku hanya memuji, apa tidak boleh?" Sera mengangguk anggukkan kepalanya. "Merayu dan memuji bedanya sangat tipis! Nah, sekarang cepat puji aku! Apakah kecantikanku kalah dengan Emily?" Mereka bertiga lantas tertawa bersama, ada ada saja yang dibicarakan Sera hingga mengundang gelak tawa Emily dan James. Sementara itu di meja yang tidak jauh dari meja Emily dan teman temannya, Sarah menatap dengan tatapan sinis. "Tertawalah sepuasmu Emily, sebentar lagi kau akan ku buat menangis sampai air matamu kering!" Sarah merogoh tasnya karena handphone nya bergetar, dibukanya aplikasi pesan. "Arnold!" Setelah selesai membaca pesan yang dikirimkan suaminya, Sarah segera berdiri dari kursinya dan berlalu keluar dari Restoran. "Pertunjukkan akan segera dimulai!" gumamnya sembari tersenyum licik. Di tengah perbincangan hangat ketiganya, Sera pamit ke belakang karena merasa sakit perut. Tinggallah Emily dan James, mereka lantas kembali berbincang layaknya sahabat karena James sendiri sangat pandai menutupi kekecewaannya sehingga Emily tidak merasa canggung. Melihat Emily tersenyum, sudah cukup bagi James. Makanan tiba, tapi Sera tidak kunjung datang. "Apa yang dilakukannya?" tanya Emily sambil menengok ke arah belakang. Perutnya sudah keroncongan minta diisi. Semenjak hamil memang nafsu makan Emily meningkat. "Makanlah kalau kau lapar Emily, sebentar lagi Sera juga pasti datang!" Emily kembali menengok ke arah belakang, tapi Sera tidak terlihat. "Aku duluan ya!" James mengangguk sambil tersenyum. Saat Emily hendak menyuapkan makanan ke mulutnya, tangannya ditarik seseorang hingga sendoknya jatuh begitu saja hingga membuat makanannya berhamburan. Emily membelalakan matanya saat melihat siapa yang menarik tangannya. James segera berdiri dan menarik Emily dengan lembut. Tatapan James terarah pada pria yang mencengkeram tangan Emily, memberikan peringatan. "Lepaskan tangannya, dia kesakitan!" titah James. Arnold tersenyum samar dan memeluk pinggang Emily dengan posesif. "Dia kesakitan atau tidak, bukan urusanmu. Emily adalah istriku jadi menjauhlah darinya!" "I-istri?" Tangan James perlahan melepas lengan Emily. Pria yang ada di hadapannya ini suami Emily? "Ya, istriku, Nyonya Arnold William!" tegas Arnold sambil merapatkan tubuh Emily ke tubuhnya. Seketika nyali James menciut, siapa yang tidak mengenal Arnold William, CEO Maurer Corp. Kalau di bandingkan dengannya, James tidak ada apa-apanya, ibarat langit dan bumi. Dan lagi Arnold terkenal kejam, siapa saja yang membuat masalah dengannya, maka siap siap saja usahanya bangkrut tak bersisa. Perdebatan antara Emily dan Arnold tidak bisa dielakkan. Arnold tampak sangat marah karena merasa Emily sudah bermain api. "Apa yang kau lakukan disini berdua dengannya? Kau berselingkuh?" tanya Arnold dengan tatapan mematikan. "Tidak, aku tidak berselingkuh, dia temanku!" jelas Emily. "Kau yakin hanya berteman dengannya? Pantaskah seorang perempuan yang sudah bersuami makan berduaan dengan laki-laki lain?" "Arnold, aku mohon, ini tidak seperti yang kau pikirkan, kami tidak hanya berdua, aku bersama temanku Sera!" Emily merasa perlu menjelaskan karena Arnold sudah salah paham. Mata Emily bolak-balik menatap toilet, berharap Sera cepat kembali dan meluruskan kesalahpahaman ini. Bukannya menerima penjelasan Emily, Arnold masih saja menyudutkannya. "Ingat kau adalah istriku Emily! Seharusnya kau menjaga dirimu, kau sengaja ingin membuatku malu, hah?" Emily menggeleng pelan, apa yang dikatakannya benar benar tidak didengar oleh Arnold. "Maafkan aku, aku tidak pernah bermaksud begitu, sungguh!" Karena saat ini sedang jam makan siang, pengunjung Restoran tengah ramai ramainya. Keributan yang terjadi di meja Emily sontak membuat para pelanggan menghentikan aktivitas makan siang mereka dan menatap ke arah meja Emily dengan tatapan penasaran. "Arnold, bisakah kau berhenti menuduhku. Ada banyak orang disini, aku malu!" pinta Emily sambil berbisik dan berusaha melepaskan pelukan Arnold. Bukannya melepaskan Emily, Arnold malah menariknya dan membawanya pergi dari sana. James tidak bisa berbuat apa apa, selain takut dengan Arnold, status Emily adalah istrinya. James tahu, dia tidak bisa ikut campur. Hanya saja James merasa bersalah karena sudah mengajak Emily dan Sera makan bersama. Andai saja tadi dia langsung kembali, maka kejadian seperti ini tidak akan terjadi. "Maafkan aku, Emily!" desahnya lirih sambil menatap kepergian Emily dan suaminya. Setelah Emily dan Arnold menghilang baru Sera datang. "Astaga, kenapa ini? Mana Emily?” Apa yang terjadi tanyanya melihat meja yang berantakan. James menunduk dalam, dia masih merasa sangat bersalah. "Emily dibawa pergi oleh suaminya, tampaknya suaminya salah paham karena melihatku dan Emily hanya makan berdua.” Sera menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Sera merasa bersalah karena terlalu lama berada di dalam kamar mandi, perutnya benar benar sakit dan Sera dua kali bolak balik masuk ke dalam toilet. "Kasian Emily, semoga suaminya tidak memarahinya!" Sera mendudukkan dirinya di kursi dengan tatapan sayu. "Apa kita sebaiknya ke rumahnya dan menjelaskan semuanya, James?" tanya Sera kemudian. Dia takut Emily kenapa-napa. "Aku tidak yakin suaminya mau mendengarkan kita, Sera." Melihat tatapan Arnold tadi, James bisa melihat bahwa Arnold sangatlah dominan. Emily yang notabene istrinya saja tidak didengarnya. Apalagi mereka berdua yang bukan siapa-siapanya. Yang ada malah Arnold akan semakin marah kalau mereka datang ke rumahnya. Sera menarik nafasnya dalam. "Aku akan menghubunginya nanti, semoga saja suaminya hanya marah sesaat." Sementara itu di sepanjang jalan menuju basement parkir, Arnold menarik tangan Emily dengan kasar. Tangan Emily bahkan terasa kebas karena Arnold mencengkramnya kuat hingga menghambat aliran darahnya. Emily hanya bisa diam mendapat perlakuan kasar Arnold, bagaimanapun Emily memang terlihat bersalah, jadi wajar Arnold marah padanya. Sesampainya di samping mobil mewahnya, Arnold membuka pintu kabin penumpang dan mendorong masuk Emily hingga tersungkur di kursi. Dibantingnya daun pintu dengan kencang sehingga menimbulkan bunyi yang teramat memekakkan telinga. Emily membetulkan posisinya dan duduk sambil memegangi ujung dressnya. Emily menarik nafasnya cepat, dadanya naik turun karena tadi sepanjang jalan menuju mobil Emily tidak bisa bernafas dengan baik. Baru kali ini Emily melihat Arnold semarah ini, dulu saat dia bertengkar dengan Sarah, Arnold tidak sekasar seperti barusan. Arnold memutari mobil dan masuk ke dalam kabin kemudi, dia lantas melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi meninggalkan Blue Sky Mall dengan wajah merah padam.Mobil melaju dengan kecepatan tinggi di jalan raya Kota London. Emily sampai harus mencengkeram erat jok tempat ia duduk agar tubuhnya tetap aman di posisinya. Arnold sudah seperti pembalap yang mengejar garis finis. Tidak peduli setakut apa Emily yang duduk di kursi penumpang, Arnold malah semakin menancapkan gasnya dengan membabi buta. "Kau lihat, kan, Honey, bagaimana Emily berduaan dengan laki-laki tadi? Sebelum kau datang, mereka bahkan saling merangkul dan berciuman. Aku saja sampai jijik saat melihatnya. Beruntung kau tidak menyaksikannya!" Sarah kembali memfitnah Emily tanpa rasa takut, karena dia tahu Arnold pasti percaya padanya. Padahal, apa yang dikatakan Sarah semuanya kebohongan besar. Jelas-jelas Emily tidak hanya berdua dengan James, melainkan bertiga bersama Sera, dan Emily hanya bersalaman, tidak lebih. Mendengar perkataan Sarah, Arnold meremas setir kemudinya untuk menyalurkan emosi yang semakin membuncah. Melihat Emily makan berdua dengan laki-laki tadi saja
Ternyata kedatangannya ke kamar Emily hanya untuk menanyakan Sarah. Padahal korban sesungguhnya adalah Emily, tapi lagi lagi dia yang disalahkan.Ah, bukankah selalu begitu? Emily menahan pedih. "Aku tidak mengatakan apa pun padanya, Arnold. Tidak sepatah kata pun!" Emily coba membela dirinya, walaupun pasti Arnold tidak akan percaya. "Demi Tuhan,” tambah Emily."Bohong! Kau terus terusan berbohong!" teriaknya membuat Emily memejamkan matanya karena takut melihat ekspresi marah suaminya. "Kau berani sekali mengatainya jalang! Kau tau siapa yang jalang di rumah ini? Kau Emily, kau yang jalang! Wanita yang menjual dirinya karena uang. Wanita seperti itu yang pantas dipanggil jalang!" Arnold semakin mendekat, matanya justru terpaku pada tubuh bagian atas Emily yang terekspos karena pakaian minim yang dia pakai melorot. "Tidak benar! Aku tidak pernah mengatainya jalang, justru dia yang selalu mengataiku jalang! Aku mohon percayalah padaku!" "Diam!" Tubuh Arnold perlahan maju, ke
Di sisi lain, Sarah mondar-mandir di kamarnya dengan gelisah menunggu kedatangan Arnold. Suaminya tadi bilang dia hanya sebentar saja menemui Emily untuk memarahinya, nyatanya sudah berjam jam Arnold belum kunjung kembali. Sementara itu di kamar sebelah, setelah merasa puas, Arnold akhirnya melepaskan Emily yang tengah terpejam, matanya sembab, bibirnya bengkak karena digigit Arnold berkali kali. "Dasar wanita murahan, kau pandai sekali bersandiwara. Akui saja kalau kau sangat menikmatinya. Jangan berpura-pura kesakitan, aktingmu sangat jelek Emily!" Seringaian jahat tercetak di wajah brengseknya. Arnold memunguti pakaiannya dan masuk ke dalam kamar mandi. Setelah membersihkan diri dan memakai pakaiannya kembali dia meninggalkan Emily yang masih berbaring tanpa mau menoleh karena takut tidak bisa menahan diri lagi. Arnold membanting pintu kamar Emily begitu dia keluar. Setelah kepergian Arnold, Emily membuka matanya perlahan. Inti tubuhnya terasa perih, perutnya menegang dan
'Sekarang cepat kau ke rumah sakit, kalau tidak Mama akan mencoretmu dari daftar ahli waris!' Nyonya Ruby menutup teleponnya dengan kesal. Bisa bisanya Arnold tidak tahu istrinya berada di rumah sakit.Jantung Arnold bagai dihantam batu besar. Dia menggeram kesal dan melempar handphonenya ke sembarang arah.Kaget dengan suara ribut ribut suaminya, Sarah terbangun. Dilihatnya wajah Arnold merah padam. "Ada apa, Sayang?" tanyanya sambil mengusap rahang Arnold yang tampak mengencang."Wanita sialan itu ada di rumah sakit dan ibu memarahiku. Dia pasti mengadukan apa yang aku lakukan padanya!" desahnya sambil menuruni tempat tidur. Arnold bergegas mengganti pakaiannya dan pergi ke rumah sakit detik itu juga.Sepanjang jalan Arnold tidak henti mengumpat Emily. Dia sangat kesal karena dipikirnya Emily mengadukannya kepada ibunya."Dasar wanita licik, dia yang bersalah, dia juga yang mengadu. Awas saja nanti!" geramnya kesal sambil memukul setir kemudinya.Sesampainya di rumah sakit, Arnold b
Tiga bulan berlalu, perut Emily sudah mulai membesar dan waktunya untuk pemeriksaan.Emily bangun pagi pagi sekali, dia sangat tidak sabar menantikan hari ini, dimana ia bisa melihat langsung bayinya melalui monitor."Mama ingin sekali melihatmu, Nak!" ucapnya sembari mengelus perutnya yang sedikit menonjol.Kemarin Emily sudah mendaftarkan dirinya untuk melakukan pemeriksaan pagi ini. Jadi dia tidak perlu menunggu lama nantinya di sana.Setelah selesai bersiap, Emily turun ke bawah dan menuju meja makan untuk sarapan. Sudah ada Sarah dan Arnold duduk di sana. Mereka tengah berbincang sambil tersenyum. Arnold bahkan terlihat berkali kali mengecup kening Sarah. Pemandangan pagi yang cukup mengiris hati Emily, namun Emily sudah biasa berpura pura biasa saja.Saat melihat Emily datang, mereka berdua langsung diam. Meski demikian, mata elang Arnold menatapnya tanpa berkedip. Emily sangat cantik pagi ini, aura kehamilannya membuat wajahnya semakin bersinar.Emily tetap mengulas senyum mani
Kecelakaan itu tak terelakkan. Suara benturan keras menggema di jalan raya, menarik perhatian banyak orang. Mobil yang dikemudikan Emily berputar beberapa kali di tengah aspal setelah dihantam dari belakang dengan kecepatan tinggi. Ban mobil mencicit, seakan menjerit di antara kaca yang pecah dan suara logam yang melengkung. Tubuh Emily tersentak ke depan, dadanya menghantam setir sebelum airbag mengembang dengan kasar. Napasnya memburu, rasa sakit segera menjalar dari tulang rusuk hingga perutnya. Sekilas, ia bisa melihat dunia di sekitarnya berputar dalam kekacauan. Sementara itu, mobil Sarah tak kalah naas. Kendaraannya terpelanting keluar dari jalan raya, menghantam tiang lampu sebelum berhenti di bahu jalan dalam kondisi mengenaskan. Bagian depan mobilnya ringsek, hampir tak berbentuk. Sarah yang berada di dalamnya langsung tak sadarkan diri. Beberapa detik berlalu dalam keheningan yang mencekam, sebelum jeritan saksi mata mulai terdengar. "Kecelakaan! Panggil ambulans!"
Setelah melalui masa konservasi selama kurang lebih satu jam di ruang operasi, Sarah akhirnya sadarkan diri. Perlahan, matanya terbuka, beradaptasi dengan cahaya lampu ruangan yang menyilaukan. Tubuhnya masih lemah, tapi kehadiran Arnold di sampingnya membuatnya merasa lebih baik. Ruangan rawat inap yang dipilihkan Arnold untuk Sarah adalah yang terbaik dan termahal di rumah sakit itu. Semua fasilitas mewah disediakan demi kenyamanan sang istri. Sebaliknya, untuk Emily, Arnold hanya memilih ruangan dengan fasilitas standar di bawah kelas Sarah. Sepanjang hari, Arnold menemani Sarah tanpa sedikit pun niat menjenguk Emily. Baginya, hanya Sarah yang pantas mendapat perhatiannya saat ini. Sarah, yang masih terbaring lemah, mengulurkan tangan ke arah suaminya. Jemari pucatnya yang terpasang infus disentuh lembut oleh Arnold. "Bagaimana keadaanmu, Honey?" tanya Arnold, suaranya lembut dan penuh perhatian. Sarah tersenyum tipis. "Sangat baik, karena ada dirimu di sini," jawabnya lir
Setelah meninggalkan ruangan Emily, Arnold melangkah dengan cepat menuju kamar rawat inap Sarah. Pikirannya penuh, tetapi wajahnya tetap dingin tanpa ekspresi. Langkah-langkahnya menggema di sepanjang lorong rumah sakit, mencerminkan kekacauan yang berkecamuk dalam hatinya. Saat ia membuka pintu kamar, Sarah sudah menunggunya. Wanita itu duduk bersandar di tempat tidurnya, tubuhnya tampak lemah, tetapi matanya berbinar dengan kecemasan yang tampak begitu nyata. Begitu melihat Arnold masuk, Sarah langsung bertanya, "Bagaimana keadaan Emily?" Suaranya terdengar lembut, seolah benar-benar mengkhawatirkan wanita yang selama ini menjadi duri dalam kehidupannya. "Apa dia dan janinnya baik-baik saja?" Mendengar pertanyaan itu, Arnold terdiam sejenak. Kata janin menusuk dadanya seperti belati. Anak itu… harapannya… sudah tidak ada. Rahangnya mengatup erat. Tangan yang berada di sisinya mengepal, menahan emosi yang membuncah. Namun, saat ia kembali menatap Sarah, ekspresinya kembali d
Berikut adalah perbaikan teks sesuai dengani "Baik, Tuan!" Robert pasrah dengan keputusan yang dibuat oleh Arnold. Robert percaya bahwa apa pun yang diputuskan oleh Arnold pasti sudah dipikirkan dengan matang oleh sang bos. "Belajar melepaskannya, walaupun berat. Aku percaya, kalau memang dia jodohku, kami pasti akan bersama lagi." "Yang Tuan katakan benar. Siapa tahu, saat status kalian berubah, cinta itu justru hadir di hati Nyonya." "Semoga saja. Sekarang antarkan aku ke rumah. Aku harus mengambil surat pernikahan kami dan surat perjanjian kontrak. Aku akan memberikan semua haknya sebagai istriku." --- Sementara itu, di rumah makannya, setelah puas menumpahkan kesedihannya, Emily akhirnya keluar dari ruang penyimpanan. Emily duduk di belakang meja kasir sambil mengecek stok bahan yang masih tersedia. Ia mencoba untuk acuh, tetapi perkataan Robert tadi siang cukup membuat mood-nya berantakan. Bukankah Emily tidak bersalah? Arnold yang bersalah. Seharusnya dia yan
"Laki-laki yang tadi mengejar Nona." "Buang saja!" Emily keluar dari ruang penyimpanan dan mengintip dari balik tirai pembatas. Sepi, tidak ada lagi orang di luar. "Tuan itu bilang Nona harus membacanya, kalau tidak, dia akan mengirimkan surat ini setiap hari." Emily menggertakkan giginya saking kesal. Diambilnya surat yang dipegang oleh kasir rumah makannya. Emily kembali duduk di meja kasir dan membacanya. "Saat kau membaca surat ini, aku sudah pergi meninggalkan istriku yang cantik. Sayang, terima kasih makan siangnya. Hari ini adalah hari ulang tahunku, makan masakanmu adalah kado terindah di hari spesial ini. Aku mencintaimu, Nyonya Arnold Edgar." "Cih, gombalan tidak bermutu. Aku pikir dia akan bilang tidak akan lagi menggangguku." Emily meremas surat yang Arnold tulis dan melemparkannya ke bak sampah. "Kita tutup lebih cepat hari ini. Mood-ku sedang jelek." Kelima karyawannya saling bertatap, baru kali ini bos mereka bersikap aneh. Setelah menutup rumah makannya, Emi
"Apa maksudmu?" Arlen menatap Jovanka dengan tatapan jijik. Wanita ini ada di mana mana, kemarin dia mendatangi Arlen ke SBC, hari ini dia ke rumah Emily. "Aku dan kamu punya keinginan yang sama, tidak salahnya kita bekerja sama bukan?" "Kau bekerja saja sendiri, aku tidak sudi bekerja sama dengan wanita licik sepertimu!" Arlen berlalu meninggalkan Jovanka. Jovanka yang membutuhkan bantuan Arlen lantas menarik tangannya dan mencoba merayunya kembali. "Aku mohon, aku tidak punya cukup uang untuk menjalankan aksiku. Aku butuh bantuanmu untuk memisahkan Arnold dan Emily. Tidak gratis, aku akan membayarnya dengan tubuhku!" Ucapan Jovanka justru menyulut emosi Arlen. Dirinya semakin murka, bagaimana bisa dia jatuh cinta pada wanita murahan ini hingga membuat Emily menjauh darinya. "Dasar tidak tahu malu, kamu tidak punya harga diri. Jangankan harus membayar, diberi gratis pun aku tidak mau,dasar menjijikkan!" Arlen menghempaskan tangannya hingga Jovanka hampir terjatuh, un
Tidak hanya ketiga wanita yang berdekatan itu yang menatap ke arah Arnold, tapi juga pengunjung lain yang rata-rata perempuan ikut menatap ke arah laki-laki tampan dengan sejuta pesona yang kini berjalan dengan gagah menuju ke arah Emily berada, tepat di samping Jovanka dan Nyonya Ruby yang tengah berdiri. Jovanka membalik badannya, jantungnya berdebar-debar. Apa dia tidak salah dengar? Arnold barusan memanggilnya sayang? Tidak mungkinkan Arnold memanggil mamanya sayang, jadi bisa dipastikan yang dipanggil Arnold sayang adalah dirinya. Jovanka menatap kedatangan Arnold dengan senyum angkuhnya, dadanya membusung dengan dagu diangkat ke atas, para pramuniaga toko ikut menatap ke arah Jovanka sambil berbisik. "Apa itu kekasihnya? Ah beruntung sekali. Aku tidak akan menolak laki-laki setampan itu!" samar bisikan itu terdengar di telinga Jovanka dan Emily. Emily kembali menunduk dan meneruskan bacaannya. Sementara itu Jovanka sudah melebarkan tangannya bersiap menyambut Arnold ke d
Arnold mengulurkan tangannya kepada Emily namun bukannya disambut, Emily hanya menatap uluran tangan tersebut. Nyonya Ruby tersenyum, bagaimanapun juga dia sadar bahwa anaknya telah dengan sengaja menyakiti Emily. Tapi awal mula permasalahan mereka justru datang darinya. Dia yang membawa Emily masuk ke dalam rumah tangga Arnold dan Sarah. Dia yang menginginkan Emily menjadi istri Arnold di saat sang anak tengah tergila gila dengan istri psikopatnya. Jadi, dirinya juga harus ikut bertanggung jawab atas luka yang Emily rasakan. Diraihnya tangan Emily dan disatukannya dengan tangan Arnold. "Biarkan suamimu mengantarkanmu pulang!" ucapnya sembari mengusap dua tangan yang sudah bersatu itu. Seulas senyum terbit di bibir Arnold. Tapi wajah Emily masih saja datar. Emily akhirnya mengangguk dan pasrah saja saat Arnold membawanya ke mobil. Sepanjang perjalanan menuju kediaman Emily, Arnold tidak henti tersenyum, sesekali mencuri pandang ke arah Emily yang menatap lurus ke depan,
"Nyo-Nyonya tadi ke rumah mengambil kalung pemberian ibunya yang ditinggalkan nyonya di dalam lemari pakaiannya dan sekarang Nyonya berjalan menuju bus yang ada di sana," tunjuknya ke arah depan. Arnold segera masuk ke dalam mobil dan melajukan nya dengan kecepatan tinggi berharap bisa bertemu Emily dan membawanya kembali. Mobil Arnold menepi tepat di belakang Bus yang baru saja Emily masuki. "Emily!" tangannya terangkat namun kembali dijatuhkannya di atas setir. Arnold lalu memukul setir kemudinya karena kesal. Hanya terlambat beberapa detik dan dia harus kehilangan kesempatan ini. Bus melaju dengan pelan, Arnold akhirnya memutuskan untuk mengikuti bus yang membawa Emily untuk memastikan bahwa istrinya sampai ke rumah dalam keadaan selamat. Perhentian pertama, Arnold ikut menepikan mobilnya. Tidak disangka ternyata Emily turun dan berjalan menuju Mall. Arnold kembali melajukan mobilnya dan memarkirkannya di parkiran Mall dengan tetap mengikuti arah langkah Emily. Saat keluar d
"Katakan Nyonya, apa yang harus saya lakukan?" Sebagai penebus kesalahannya di masa lalu yang pernah turut andil dalam luka batin yang Emily rasakan, Sally akan melakukan apa saja yang Emily minta. "Tolong ambilkan perhiasan yang ku simpan di dalam lemari pakaianku!" "Perhiasan Nyonya?" Emily mengangguk dengan cepat. "Nyonya, maafkan saya. Perhiasan Nyonya beberapa minggu yang lalu di ambil oleh Nyonya Sarah. Dan saat Nyonya Ruby tahu, semua perhiasan akhirnya dibawa ke kediaman Nyonya Ruby." "Bukan, bukan perhiasan yang ada di laci meja riasku, tapi perhiasan yang aku taruh di dalam lemari pakaianku, di bawah tumpukan baju-bajuku, Sally. Kalung pemberian ibuku." Harta satu-satunya yang Emily miliki saat ini. Emily membutuhkan uang untuk memulai usaha. Dia berencana membuka kedai tapi dia tidak memiliki cukup uang dan tidak ada harta yang ditinggalkan kedua orang tuanya selain rumah yang ditempatinya sekarang. "Tapi saya takut menggeledah lemari Nyonya, takut kalau Tua
Jovanka setengah berlari menghampiri Arlen yang masih mengetuk pintu depan kediaman Emily. Arlen tampak membawa paper bag di tangan sebelah kirinya. Tok! Tok! Tok! Sudah lebih dari 3 menit Arlen mengetuk, namun si empunya rumah belum kunjung membukakan pintu. "Emily! Apa kau ada di rumah?" Arlen setengah berteriak memanggil Emily. Arlen kebingungan sejak pulang dari Manchester, dia tidak bisa menghubungi Emily karena handphonenya ditinggalkan di hotel. Menurut Mike, Emily juga sudah mengajukan surat pengunduran dirinya. Arlen masih coba mengetuk pintu sambil memanggil nama Emily ketika tangan putih mulus melingkar di perutnya. Arlen sontak menoleh. "Jovanka!" Arlen kaget bukan main, dia membalik badannya dengan tangan Jovanka yang masih melingkar di pinggangnya, Jovanka tidak melepaskannya. Arlen tidak menyangka Jovanka ada di London. "Kau kembali ke London?" Jovanka mengangguk sambil tersenyum, dibenamkannya dirinya ke dalam pelukan Arlen. "Aku ingin memperbaiki kesalahan
Emily bangun pagi sekali, dia kesulitan tidur karena memikirkan sidang perdana Sarah hari ini. Selain Arnold, Emily juga turut mengajukan tuntutan kepada Sarah atas gugurnya kandungannya waktu itu. Dari rangkaian pahitnya kehidupannya di rumah Arnold, Sarah berperan penting sebagai salah satu penyebabnya. "Aku harus mendapatkan keadilan, wanita licik itu harus mendapat hukuman yang setimpal." Dengan menaiki taksi, Emily sudah tiba di pengadilan setengah jam sebelum sidang dimulai. Belum ada orang yang Emily kenal, Emily menunggu sendirian di depan ruang sidang. Satu persatu orang berdatangan dan memasuki ruang sidang. Emily ikut masuk dan memilih tempat duduk paling depan. Sejak memasuki ruang sidang, jantung Emily berdebar kencang, terlebih saat Majelis Hakim, Penuntut Umum dan Kuasa Hukum memasuki ruang sidang dan menempati posisinya. "Kau sendirian?" Emily menoleh, Arnold duduk di sampingnya sambil tersenyum, tidak lama Nyonya Ruby dan Tuan William menyusul dan duduk di ku