Emily langsung terduduk begitu merasakan air dingin menerpa tubuhnya. Sarah, istri pertama Arnold, tengah berdiri di depannya dengan berkacak pinggang, matanya menyala penuh amarah. Penampilan wanita itu sangat glamor, dengan rambut pirang panjang, kulit putih, serta riasan dan pakaian mahal yang melekat di tubuhnya.
Sarah memandangi Emily dari atas ke bawah. "Kamu bukan nyonya di sini. Siapa yang menyuruhmu tidur sekarang?" Tubuh Emily bergetar, bahkan giginya bergemeletuk. Ruangan ini sangat dingin, ditambah air yang membasahi tubuhnya juga tak kalah dinginnya. Padahal tubuh dan perasaannya baru saja dicabik-cabik oleh Arnold. Emily mengulurkan tangan, mencari-cari selimut yang ada di sekitarnya untuk membungkus tubuh polosnya. Namun, Sarah tidak memberinya kesempatan. "Jangan berpikir bahwa kamu adalah nyonya di sini hanya karena tidur dengan Arnold. Kamu hanyalah alat penghasil anak! Bangun sekarang." Setelah mengatakan itu, Sarah menatap Emily dengan jijik, seolah-olah menganggap dirinya sebagai sesuatu yang kotor. Hati Emily terasa tersengat melihat tatapan itu. Ia hanya mampu menatap punggung Sarah yang pergi meninggalkannya. Sepeninggal Sarah, Emily bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Ia menyalakan shower dan berdiri di bawah kucuran air, kedua tangannya bertumpu pada dinding, sementara kakinya terasa tak mampu menahan bobot tubuhnya. Emily meringis menahan perih saat air mengalir di area pangkal pahanya. Apa yang dilakukan Arnold tadi malam sungguh mengerikan, meninggalkan trauma mendalam. "Sabar, Emily. Dia belum mengenalmu. Suatu saat cintamu pasti akan berbalas!" Emily mencoba memberi semangat kepada dirinya sendiri, meskipun orang-orang di rumah ini terus menyakitinya. Setelah merasa cukup bersih, Emily menyudahi mandinya. Dia kembali ke kamar dan melihat tempat tidurnya sudah rapi. Ia menghela napas dalam-dalam, lalu mengambil pakaian dari dalam lemari. Semua itu sudah disiapkan oleh ibu mertuanya, Nyonya Ruby. Emily hanya membawa tubuhnya saja saat masuk ke rumah Arnold. Tidak tahu harus melakukan apa, Emily keluar dari kamarnya. Rumah Arnold ternyata sangat besar. Kemarin ia bahkan tidak menyadarinya, mungkin karena terlalu gugup. Emily menuruni anak tangga dengan tujuan dapur, tempat para pelayan biasanya berkumpul. Di dapur, para pelayan sedang sibuk memasak. "Hai!" Sapaan Emily seketika menghentikan kegiatan mereka. Para pelayan menunduk hormat kepada Nyonya Muda Arnold. Emily mengitari meja bar dan ikut bergabung. "Apa aku boleh membantu?" tanyanya ragu. Sally, ketua pelayan, menghampirinya. "Boleh sekali, Nyonya. Apa Nyonya ingin belajar memasak?" "Ya, bisa dibilang begitu. Aku ingin memasak untuk suamiku," jawab Emily berhati-hati. Sally membuka laci dan mengambil apron, lalu memakaikannya kepada Emily. Senyum lebar terbit di wajah Sally. Baru kali ini ada nyonya rumah yang mau membantu di dapur. "Kalau aku boleh tahu, apa makanan kesukaan Tuan Arnold?" "Tuan Arnold suka sup kepiting, Nyonya," jawab Sally. "Kalau begitu, bisakah kita membuatnya hari ini?" Sally dengan ramah membimbing Emily ke kulkas, memperlihatkan bahan-bahan dan memberi tahu apa saja yang disukai Tuan Arnold. Pengalaman pertama itu membuat para pelayan sangat antusias membantu Emily. Selama ini, Sarah hanya memberi perintah tanpa pernah membantu mereka. Saat Emily sedang bercanda dengan para pelayan, Sarah muncul dan langsung menghentikan langkahnya. "Kurang ajar! Bisa-bisanya dia tertawa bahagia!" pikir Sarah, mengepalkan tangan menahan amarah. Namun, tak lama kemudian ia menyunggingkan senyum licik dan berbalik ke kamarnya. Sore harinya, Emily memutuskan untuk melihat halaman rumah yang luas dan penuh bunga indah. Setelah puas, ia kembali ke dalam. Namun, langkahnya terhenti oleh suara Sarah yang memanggilnya dari belakang. "Heh, jalang!" Emily menoleh dengan tatapan tidak suka. "Maaf, Nyonya Sarah yang terhormat. Status saya di rumah ini sama dengan Anda. Jadi, tolong jaga bicara Anda." Sarah terbelalak, tak menyangka Emily berani melawan. "Kau memang jalang! Jangan pernah bermimpi dipanggil nyonya!" PLAK! Sarah melayangkan tamparan ke pipi Emily hingga terhuyung. Saat Sarah hendak memukul lagi, Emily menepis tangannya. "Berhenti!" teriak Emily. Tiba-tiba, suara Arnold terdengar. "Ada apa ini?" Emily terkesiap. Sarah langsung menangis dan mengadu. "Dia memukulku!" katanya sambil memegangi pipinya. Arnold menatap Emily dingin. Ia lalu menarik tangan Sarah dan meninggalkannya sendirian. Emily kembali ke kamarnya dengan air mata berlinang, lalu masuk ke kamar mandi dan menangis di bawah shower. Setelah lama menangis, ia baru sadar lupa membawa handuk dan pakaian ganti. Dengan terpaksa, ia keluar tanpa sehelai benang pun. Namun, langkahnya terhenti saat melihat Arnold duduk di sofa kamar. "A-apa yang Anda lakukan di sini?" tanyanya terbata. Arnold tidak menjawab. Tatapannya justru terpaku pada tubuh polos Emily. Desisannya membuat Emily gemetar. "Lepas handuk itu!" perintah Arnold. Deg!Emily sontak menoleh, betapa kagetnya dia saat melihat Arnold datang. Jantung Emily seketika berdebar kencang, dadanya naik turun. Arnold menatapnya tanpa berkedip, lagi, hanya dengan melihat tubuh Emily, membuat miliknya langsung berontak. Arnold berjalan pelan sambil membuka kancing piyamanya. Diraihnya pinggul Emily dan didekapnya erat. Bibirnya sudah berlabuh di bibir Emily, membuat perempuan itu hanya bisa pasrah. Dengan satu gerakan cepat, Arnold membawa Emily ke atas ranjang dan menyingkap handuk itu.Lagi dan lagi, Arnold menyerangnya.... **"Akh..." Emily terbangun dalam keadaan seluruh tubuh ngilu, Arnold benar-benar menyiksanya sepanjang malam. Dia bahkan tidak memberi Emily waktu untuk beristirahat. Kasur, sofa, dinding, bahkan bath up menjadi saksi bisu betapa ganasnya Arnold. Saat bangun, Emily hanya sendirian. Arnold sudah tidak ada di sisinya. Emily menyeret kakinya ke kamar mandi. Kini sudah satu bulan Emily menjadi istri kedua Arnold. Arnold juga
Emily berdiri sambil meremas ujung dress-nya. Ia tidak berani menjawab dan hanya tertunduk diam. Emily tidak merusaknya, tetapi ia tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya kepada semua orang. "Apa kau tidak punya telinga, Emily? Mama bertanya padamu, tetapi kau malah diam!" Ucapan Sarah membuat Emily mengangkat dagunya. "Ma... maafkan Emily!" ucapnya dengan mata sayu. Apa lagi yang bisa ia lakukan selain meminta maaf? Menjelaskan pun tidak ada gunanya karena Emily sendiri tidak tahu apa yang terjadi pada perhiasannya. Melihat mata sendu menantunya, Nyonya Ruby mendadak merasa menyesal. Ia segera merangkul Emily. "Tidak perlu meminta maaf, Sayang. Mama tidak peduli dengan perhiasannya, sungguh! Mama hanya peduli padamu dan juga janin yang kau kandung. Lain kali lebih hati-hati, jangan ceroboh lagi, ya?" Emily mengangguk. "Iya, Ma. Terima kasih," ucapnya tulus. Nyonya Ruby tersenyum dan mengelus perut Emily. "Perhiasan bisa dibeli lagi, tapi kandungan ini tidak. Jadi, jagala
Arnold berjalan keluar kamar tanpa mempedulikan Emily yang memohon kepadanya. Dibukanya pintu kamar, Sarah langsung menghambur ke dalam pelukannya dengan tangis yang semakin kencang. "Ada apa, Honey? Berhenti menangis." Arnold mengusap pundak dan rambut Sarah dengan lembut. "A-aku mimpi buruk, aku takut sekali, Honey," jawabnya terbata. "Sudah, tidak apa-apa, ada aku di sini. Aku akan menemanimu tidur." Arnold melepaskan pelukannya, mengusap kedua pipi Sarah, lalu mengecup keningnya. Setelah menutup pintu kamar Emily, Arnold menggandeng Sarah dan membawanya kembali ke kamarnya. Jangan ditanya bagaimana perasaan Emily saat melihat perhatian Arnold kepada Sarah. Sakit, sakit sekali. Namun, Emily cukup tahu diri. Dia hanyalah istri kedua yang tidak diharapkan oleh Arnold. Setelah kepergian Arnold, Emily membenamkan dirinya di bawah selimut karena takut. Guntur dan petir yang bersahut-sahutan semakin menambah suasana horor di kamarnya yang gelap. Emily tidak bisa langsung
Tanpa menyadari yang sedang terjadi, James, Emily dan Sarah tengah kebingungan.Karena bertepatan dengan jam makan siang, meja Restoran hampir semuanya terisi.Mereka pun terpaksa duduk di tengah tengah ruangan karena hanya meja itu yang tersisa. James langsung memanggil waiter dan meminta buku menu. Tepat seperti dugaan James, Emily memesan ayam goreng bagian sayap, tampaknya kesukaan Emily masihlah sama. "Kau tidak banyak berubah Emily, hanya saja kau semakin cantik!" ucap James begitu waiter meninggalkan meja mereka. Pipi Emily tampak merona mendengar pujian James, tapi dia tidak lantas terbang. James memang selalu memujinya sejak dulu. "Jangan merayu Emily, James, nanti suaminya marah. Rayu aku saja, aku masih jomblo!" timpal Sera sambil cekikikan. "Aku tidak merayunya, aku hanya memuji, apa tidak boleh?" Sera mengangguk anggukkan kepalanya. "Merayu dan memuji bedanya sangat tipis! Nah, sekarang cepat puji aku! Apakah kecantikanku kalah dengan Emily?" Mereka bertiga
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi di jalan raya Kota London. Emily sampai harus mencengkeram erat jok tempat ia duduk agar tubuhnya tetap aman di posisinya. Arnold sudah seperti pembalap yang mengejar garis finis. Tidak peduli setakut apa Emily yang duduk di kursi penumpang, Arnold malah semakin menancapkan gasnya dengan membabi buta. "Kau lihat, kan, Honey, bagaimana Emily berduaan dengan laki-laki tadi? Sebelum kau datang, mereka bahkan saling merangkul dan berciuman. Aku saja sampai jijik saat melihatnya. Beruntung kau tidak menyaksikannya!" Sarah kembali memfitnah Emily tanpa rasa takut, karena dia tahu Arnold pasti percaya padanya. Padahal, apa yang dikatakan Sarah semuanya kebohongan besar. Jelas-jelas Emily tidak hanya berdua dengan James, melainkan bertiga bersama Sera, dan Emily hanya bersalaman, tidak lebih. Mendengar perkataan Sarah, Arnold meremas setir kemudinya untuk menyalurkan emosi yang semakin membuncah. Melihat Emily makan berdua dengan laki-laki tadi saja
Ternyata kedatangannya ke kamar Emily hanya untuk menanyakan Sarah. Padahal korban sesungguhnya adalah Emily, tapi lagi lagi dia yang disalahkan.Ah, bukankah selalu begitu? Emily menahan pedih. "Aku tidak mengatakan apa pun padanya, Arnold. Tidak sepatah kata pun!" Emily coba membela dirinya, walaupun pasti Arnold tidak akan percaya. "Demi Tuhan,” tambah Emily."Bohong! Kau terus terusan berbohong!" teriaknya membuat Emily memejamkan matanya karena takut melihat ekspresi marah suaminya. "Kau berani sekali mengatainya jalang! Kau tau siapa yang jalang di rumah ini? Kau Emily, kau yang jalang! Wanita yang menjual dirinya karena uang. Wanita seperti itu yang pantas dipanggil jalang!" Arnold semakin mendekat, matanya justru terpaku pada tubuh bagian atas Emily yang terekspos karena pakaian minim yang dia pakai melorot. "Tidak benar! Aku tidak pernah mengatainya jalang, justru dia yang selalu mengataiku jalang! Aku mohon percayalah padaku!" "Diam!" Tubuh Arnold perlahan maju, ke
Di sisi lain, Sarah mondar-mandir di kamarnya dengan gelisah menunggu kedatangan Arnold. Suaminya tadi bilang dia hanya sebentar saja menemui Emily untuk memarahinya, nyatanya sudah berjam jam Arnold belum kunjung kembali. Sementara itu di kamar sebelah, setelah merasa puas, Arnold akhirnya melepaskan Emily yang tengah terpejam, matanya sembab, bibirnya bengkak karena digigit Arnold berkali kali. "Dasar wanita murahan, kau pandai sekali bersandiwara. Akui saja kalau kau sangat menikmatinya. Jangan berpura-pura kesakitan, aktingmu sangat jelek Emily!" Seringaian jahat tercetak di wajah brengseknya. Arnold memunguti pakaiannya dan masuk ke dalam kamar mandi. Setelah membersihkan diri dan memakai pakaiannya kembali dia meninggalkan Emily yang masih berbaring tanpa mau menoleh karena takut tidak bisa menahan diri lagi. Arnold membanting pintu kamar Emily begitu dia keluar. Setelah kepergian Arnold, Emily membuka matanya perlahan. Inti tubuhnya terasa perih, perutnya menegang dan
'Sekarang cepat kau ke rumah sakit, kalau tidak Mama akan mencoretmu dari daftar ahli waris!' Nyonya Ruby menutup teleponnya dengan kesal. Bisa bisanya Arnold tidak tahu istrinya berada di rumah sakit.Jantung Arnold bagai dihantam batu besar. Dia menggeram kesal dan melempar handphonenya ke sembarang arah.Kaget dengan suara ribut ribut suaminya, Sarah terbangun. Dilihatnya wajah Arnold merah padam. "Ada apa, Sayang?" tanyanya sambil mengusap rahang Arnold yang tampak mengencang."Wanita sialan itu ada di rumah sakit dan ibu memarahiku. Dia pasti mengadukan apa yang aku lakukan padanya!" desahnya sambil menuruni tempat tidur. Arnold bergegas mengganti pakaiannya dan pergi ke rumah sakit detik itu juga.Sepanjang jalan Arnold tidak henti mengumpat Emily. Dia sangat kesal karena dipikirnya Emily mengadukannya kepada ibunya."Dasar wanita licik, dia yang bersalah, dia juga yang mengadu. Awas saja nanti!" geramnya kesal sambil memukul setir kemudinya.Sesampainya di rumah sakit, Arnold b
"Katakan apa itu?" Arnold tidak kalah antusias. Dia juga ikut tersenyum saat melihat Emily tersenyum lebar. Setelah apa yang terjadi pada Emily tadi malam—mimpi buruk, tangisan tertahan, dan tatapan kosong yang begitu dalam—senyum lebarnya membuat Arnold bisa sedikit melupakan kepedihannya. Seolah senyum itu adalah cahaya pertama setelah malam yang panjang. "Tutup matamu," pinta Emily sambil mengusap rahang tegas Arnold. Sentuhan lembut jarinya menyapu bulu-bulu halus yang tumbuh tidak teratur karena Arnold pasti tidak mencukurnya beberapa hari ini. Emily selalu menyukai sisi acak Arnold yang satu ini, tampak maskulin namun tetap tenang dan penuh kehangatan. "Baiklah, cepat beritahu aku kejutannya." Arnold menutup matanya dengan patuh, menarik napas panjang seolah ingin menyerap momen bahagia itu sedalam mungkin. Senyum manis masih terukir di bibirnya, begitu tulus dan penuh harapan. Emily menoleh sesaat ke arah Sally yang berdiri tidak jauh dari mereka. Sally, sahabat sekaligus
Emily menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Rasa mual yang datang tiba-tiba membuat tubuhnya melemas. Ia bergegas menuju wastafel dan memuntahkan seluruh isi perutnya tanpa bisa ditahan. Nafasnya tersengal-sengal, bahunya naik turun menahan ketidaknyamanan. Di sampingnya, Arnold yang sedari tadi menemaninya sigap mengusap punggung istrinya, mencoba memberikan ketenangan. "Apa buburnya tidak enak?" tanyanya lembut, meski wajahnya menyiratkan kekhawatiran. Emily menggeleng pelan. "Enak, mungkin aku masuk angin... atau karena tadi malam aku tidak sempat makan." Suaranya terdengar lemah. Setelah merasa lebih baik dan mualnya sedikit mereda, Emily kembali ke tempat tidur, wajahnya masih pucat. "Makan lagi ya, Sayang," bujuk Arnold, mengangkat sendok dengan penuh harap. Emily menggeleng lagi, lebih tegas kali ini. "Aku benar-benar tidak selera." Arnold tidak menyerah. "Apa mau makan yang lain?" Dia tidak ingin membiarkan Emily melewati waktu makan, terlebih sekarang ia tengah men
Mendengar perkataan Papa William, Arnold tersenyum miring. Senyum sinis yang tak menutupi betapa getir hatinya. Bisa-bisanya, pikir Arnold, Papa William masih saja bertindak semaunya. Walau dia kepala keluarga dan Arnold hanyalah anaknya, bukan berarti setiap kata-kata sang ayah adalah perintah mutlak yang harus dituruti. "Arnold tidak akan pernah kembali lagi ke Maurer!" ucapnya tegas, sorot matanya tak main-main. Dulu, dia mungkin akan menuruti apa pun—menikahi Emily karena permintaan orang tua, menjalankan perusahaan keluarga tanpa banyak tanya. Tapi sekarang, semua itu sudah berubah. "Papa sudah tua, Nak. Kalau bukan kamu, lantas siapa lagi yang akan menjalankannya?" suara Papa William pelan, lebih kepada nada memohon daripada perintah. Ada getar halus yang tertangkap di ujung kalimatnya—ketakutan akan kehilangan, atau mungkin penyesalan. "Maaf, Pa. Arnold benar-benar tidak bisa." Jawabannya tegas namun lembut. Bukan untuk melukai hati ayahnya, tapi karena dia tahu, sudah wa
Kilat kebencian jelas terlihat di mata Arnold. Tanpa ragu, dia langsung berdiri dari sisi ranjang Emily dan melangkah cepat ke arah dua sosok yang kini berdiri di ambang pintu. Setiap langkahnya penuh kemarahan yang tertahan sejak lama. "Untuk apa lagi kau kemari?" tanyanya dingin, suaranya penuh nada penghinaan. Tatapannya menusuk tajam pada Nicho, yang wajahnya masih dipenuhi bekas pukulan—bengkak, memar, dan sedikit mengering. Luka yang belum genap seminggu, dan masih terasa panas. Masih mending, pikir Arnold sinis. Masih mending dia tidak membunuh Nicho saat itu, atau menyeretnya ke kantor polisi. Hanya karena dia masih menghormati Papa William, pria tua itu, ayah mereka berdua, yang masih punya tempat di hatinya—meski hanya sedikit. "Kakakmu ingin meminta maaf, Arnold." Papa William melangkah maju, mencoba menjembatani dua anak lelakinya yang kini terpecah oleh sejarah kelam. Ia melihat kedua tangan Arnold yang terkepal kuat di sisi tubuhnya. Wajah Arnold mengeras seperti
Dokter itu tampak melirik sekilas ke arah kertas yang ada di depannya, lalu menarik napas dalam sebelum membuka mulutnya. "Kehamilannya masih sangat muda, kurang lebih satu minggu," ucapnya dengan suara yang terkontrol, "sehingga siklus bulanannya pun belum terlambat. Saya tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya, tapi ada pembengkakan di perut dalam Nyonya Emily. Apa Nyonya Emily pernah mengalami semacam kecelakaan atau trauma di perut?" Arnold mengangguk pelan, tatapannya menerawang sejenak, seperti menggali ingatan yang sudah lama terkubur. "Dia pernah kecelakaan saat hamil dan mengalami keguguran... mungkin perutnya menghantam salah satu bagian mobil dengan keras." Suara Arnold terdengar berat. Kenangan itu menghantamnya seperti badai yang datang tiba-tiba. Saat itu, dia tidak memperdulikan kondisi Emily, bahkan menyalahkannya karena keguguran yang terjadi. Kesalahan itu terus menghantuinya, walau tak pernah ia akui dengan lantang. "Tapi itu sudah lama, Dokter. Setahun yang lal
Perjalanan menuju rumah sakit terasa sangat lama, padahal jaraknya tidak lebih dari satu kilometer. Di dalam mobil yang melaju dengan cepat, suasana begitu tegang. Arnold tak henti-hentinya melirik ke arah Emily yang terbaring lemah di jok belakang. Napasnya terdengar pelan dan tidak stabil. Sesekali, Arnold mengusap kening perempuan itu yang terasa sedikit hangat. "Jangan sakit, sayang," gumamnya pelan, lebih kepada doa daripada ucapan. Suaranya nyaris tak terdengar, tenggelam dalam deru mesin mobil. Setelah beberapa menit yang terasa seperti jam, mobil berbelok tajam memasuki halaman ST. Thomas Hospital, rumah sakit yang sama di mana Nyonya Ruby, ibu mertua Arnold, tengah dirawat karena kondisi kritisnya. Pintu mobil nyaris belum terbuka sempurna ketika dua orang perawat yang berjaga di lobi langsung datang membawa brankar. Mereka bergerak cepat, profesional, namun tetap waspada melihat raut panik di wajah Arnold. Mereka hendak mengangkat tubuh Emily, namun tiba-tiba Arnold me
Ucapan menjijikkan itu membuat Emily bergidik ngeri. Sedangkan Arnold? Rahangnya sudah semakin mengetat. Otot-otot lengannya sampai menyembul dan bersiap memberi hantaman maksimal untuk pria tidak tahu diuntung itu, Nicho. “Tak akan!” seru Arnold mendekat hendak memberi pukulan lagi ke sosok di depannya. Namun Nicho kali ini sudah bersiap. Dia bisa menghindar lalu menendang perut Arnold. “Aaaa!” pekik Emily melihat suaminya terhuyung ke belakang. “Sabar, Emily. Kita akan melanjutkan aksi menyenangkan tadi setelah aku melumpuhkan pria pengganggu ini.” Nicho berucap dengan senyum Lucifer yang menyeramkan. Tidak bisa dibiarkan. Arnold kembali maju memberi pukulan. Hingga beberapa saat mereka saling menepis. Hal itu membuat Emily ketakutan. Bagaimana kalau Arnold tidak datang lalu dia menjadi santapan pria gila itu, Emily bisa bisa gila kalau sampai dirinya disentuh oleh laki laki lain. Sampai pada titik Arnold akhirnya menendang belakang lutut Nicho sampai rivalnya terjatuh
Emily melangkah mundur saat Nicho berjalan ke arahnya. "Diam di sana! Aku mohon lepaskan aku!" Emily mencoba membujuk kakak iparnya. "Kenapa kau menolakku? Aku kaya dan tampan. Tinggalkan saja suamimu yang tidak punya pekerjaan itu Emily." "Tidak!" Nicholas menghela nafasnya dalam, dia menghentikan langkahnya dan bersedekap. "Apa yang kau inginkan? Perhiasan? Uang? Katakan! Aku akan memberikannya kepadamu asalkan kau dengan sukarela menceraikan Arnold dan menikah denganku." Emily menggeleng, "aku hanya ingin Arnold! Dia jauh lebih berarti dibandingkan dengan uangmu Tuan Nicholas!" "Jangan munafik Emily, semua orang menyukai uang. Atau kau takut aku tidak bisa memuaskanmu, hmm?" Mendengar pertanyaan Nicho yang menjijikkan itu, Emily semakin geram, kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya. "Kau sungguh menjijikkannya!" "Oh suaramu sangat merdu saat mengumpat, aku yakin desahannya jauh lebih merdu." Nicho kembali melangkahkan kakinya mendekati Emily yang semakin
Prang!! Gelas yang ada di tangan Arnold tiba-tiba terlepas dan meluncur bebas ke lantai. Suara pecahan kaca memantul di seluruh ruangan, seiring dengan detak jantung Arnold yang mendadak berdetak tak beraturan. "Mama!" Arnold menoleh dengan panik ke arah ranjang rumah sakit. Sosok yang dicintainya, Nyonya Ruby, tampak meringis kesakitan, tubuhnya sedikit menggeliat di atas ranjang. Dengan langkah tergesa, Arnold menghampiri ibunya yang perlahan-lahan mulai siuman. "Mama," panggilnya lembut di sela rintihan lirih Nyonya Ruby yang masih memejamkan mata. Kelopak mata itu kemudian terbuka perlahan. Tatapan sayunya mengarah pada wajah Arnold yang tengah menggenggam jemarinya erat. Tangan itu masih pucat, namun terasa hangat. Kehangatan itulah yang membuat Arnold ingin terus bertahan di sampingnya. "Mama, syukurlah Mama sudah sadarkan diri!" ucap Arnold, hampir menangis. Rasa cemas yang sejak tadi menghimpit dadanya perlahan sirna, tergantikan dengan kelegaan yang menyejukkan. Namun