"Kami pergi berbelanja." Emily menjawab salah satu dari pertanyaan Arnold lewat sambungan telepon yang sempat terhenti beberapa detik sebelumnya. "Bersama siapa?" Kejar Arnold, nada suaranya terdengar was-was, nyaris curiga. Arnold memang menjadi lebih posesif sejak kedatangan Nicho, yang tiba-tiba kembali dengan segala karisma dan pesona yang membuat siapa pun menoleh. "Dengan mama dan—" Belum sempat Emily menyelesaikan jawabannya, tiba-tiba ponselnya direbut dengan lembut namun tegas oleh Ruby. "Arnold, ini mama. Mama pinjam istrimu sebentar," ucap mama Ruby dengan nada santai namun penuh wibawa. "Mama. Oke, Ma. Tolong jagakan Emily," pinta Arnold setengah cemas, setengah pasrah. "Tanpa kau minta pun mama pasti menjaganya," jawab mama Ruby mantap, sebelum sambungan telepon terputus. "Terima kasih, Ma," bisik Arnold sebelum benar-benar menutup ponselnya. Rasa lega mengalir di dadanya. Ia kembali fokus pada laporan-laporan di meja kerjanya di Maurer, meski pikirannya masih m
Nicho berjalan dengan langkah pasti, penuh perhitungan namun tampak santai, menuju sudut butik tempat Emily tengah duduk sendiri. Sofa tempat wanita itu duduk terlihat sepi, jauh dari lalu lalang pengunjung, dikelilingi rak-rak pakaian dan deretan manekin yang mengenakan busana mahal. “Boleh aku duduk di sini?” tanya Nicho begitu sampai di sisi kursi, suaranya tenang, nyaris berbisik tapi cukup jelas untuk menarik perhatian Emily. Emily mendongakkan kepala, sedikit terkejut namun tidak menunjukkan ekspresi berlebihan. Matanya bertemu dengan wajah laki-laki yang selama beberapa bulan ini mulai sering hadir dalam hidupnya dan Arnold. “Kakak ipar,” ucap Emily, menegaskan kedekatan hubungan mereka namun dengan batas yang jelas. “Panggil Nicho saja, biar lebih akrab,” sahut Nicho cepat, mencoba menyusupkan kehangatan dalam suaranya. Emily langsung menggeleng cepat, raut wajahnya sedikit kaku. “Tidak sopan, Kak,” jawabnya pelan namun tegas. Nicho mengangkat bahu, tampak tak ambil pusi
Emily menjawab pertanyaan-pertanyaan Nicho dengan singkat dan seperlunya. Di balik tutur katanya yang lembut, pikirannya mengingat jelas pesan Arnold—untuk tidak terlalu dekat dengan kakak iparnya itu. Meski demikian, suasana di butik yang tenang dan cara bicara Nicho yang hangat membuat percakapan mereka terasa sulit dihindari. "Arnold pasti sangat menyayangimu, Emily. Dia sungguh beruntung," puji Nicho dengan suara rendah namun jelas, matanya menatap Emily dengan ketulusan yang samar. Emily spontan mengangkat dagunya. Pandangannya terarah penuh ke wajah Nicho. Ada ketulusan dalam ucapannya, tidak terlihat niat buruk. Nicho memang sangat baik. Ia selalu memuji Arnold, tidak pernah sekalipun terdengar menjelekkan. Tapi justru itu yang membuat Emily bingung—kalau memang Nicho sebaik ini, mengapa Arnold begitu membencinya? Rasa penasaran itu akhirnya mengalahkan kewaspadaannya. "Kakak ipar, apakah Kakak dekat dengan Arnold?" tanyanya hati-hati, namun cukup jelas hingga membuat Nicho
"Kenapa berbohong padaku? Kau mulai tidak jujur, Emily?" Suara Arnold membelah keheningan sore itu. Nada suaranya tajam, nyalang, menusuk ke dalam hati sang istri. Tatapan matanya bagaikan bara yang siap membakar apa pun yang ada di hadapannya. Emily tertegun. Matanya membulat, tidak percaya atas tuduhan yang baru saja didengarnya. "Berbohong bagaimana? Aku tidak berbohong!" tegasnya, kali ini dengan suara yang meninggi. Sebuah sikap yang tidak biasa darinya—Emily yang biasanya lembut dan memilih mengalah kini berubah. Kata-kata Nicho beberapa waktu lalu seperti mengakar dalam pikirannya, mendorongnya untuk tidak terus-menerus menjadi wanita yang selalu diam. Arnold mengerutkan kening. Ia melangkah maju, sorot matanya tidak berpindah dari wajah istrinya. "Kau berani berkata keras kepadaku? Bagus," gumamnya dingin. "Bukankah sudah kubilang jangan terlalu dekat dengannya!" Mata Arnold memerah, bukan hanya karena amarah, tapi juga karena luka yang menganga—wanita yang sangat di
"Kata siapa? Aku jelas lebih percaya kepada suamiku!" Nada suara Emily tegas, tak terbantahkan. Tatapan matanya lurus menembus mata Arnold, penuh keyakinan. "Mungkin tadinya aku sedikit ragu, hanya sedikit karena aku belum mendengar langsung dari mulutmu. Tapi tetap saja aku lebih percaya pada suamiku dari pada orang yang baru aku temui," ujar Emily. Arnold membeku sejenak, lalu perlahan memeluk Emily lebih erat seolah takut wanita itu menghilang jika dilepas. Dalam pelukan itu, dunia terasa lebih damai. Selama ada Emily, pikirnya, ia tak perlu takut pada apa pun. Ia bahkan tak takut kehilangan Maurer. Baginya Emily adalah satu-satunya yang paling berharga di dunia ini. "Sayang, apa kau sudah makan?" tanya Emily, tangannya bergerak lembut mengusap belakang kepala Arnold, gerakan yang menenangkan seperti pelukan ibu pada anak kecil. Arnold menggeleng pelan, lalu mengangkat wajahnya, menatap wajah istrinya dengan pandangan haus akan kenyamanan. "Belum, aku tidak lapar," jawabny
“Aku sudah membelimu, jadi lahirkan anak laki-laki untukku.” Diangkatnya dagu Emily dan ditatapnya mata sayu yang tampak berkaca-kaca tersebut. Dengan sekali sentak Arnold merobek gaun tidur tipis yang dikenakan Emily. Sorot matanya berkabut tatkala melihat tubuh polos tanpa cela di hadapannya. Kulit Emily yang putih seputih susu menggugah Arnold untuk melabuhkan jemarinya, halus dan hangat hingga membuat Arnold tak kuasa membendung hasratnya yang menggelora. Ditelannya salivanya, atensi Arnold kini sepenuhnya tercurah pada keindahan tubuh mungil Emily yang memiliki lekuk yang sangat indah. Ukuran dadanya yang di atas rata-rata membuat keindahan itu semakin sempurna. Ditambah lagi hidungnya lancip dengan bibir penuh berwarna pink menggoda. Arnold akhirnya mengungkung tubuh Emily di bawahnya. Seringaian terbit di wajah tampannya. "Buka pahamu!" titahnya dengan mata berkabut. Emily masih bergeming, dia menutup rapat kedua kakinya dan menyilangkan kedua tangannya di dadan
Emily langsung terduduk begitu merasakan air dingin menerpa tubuhnya. Sarah, istri pertama Arnold, tengah berdiri di depannya dengan berkacak pinggang, matanya menyala penuh amarah. Penampilan wanita itu sangat glamor, dengan rambut pirang panjang, kulit putih, serta riasan dan pakaian mahal yang melekat di tubuhnya. Sarah memandangi Emily dari atas ke bawah. "Kamu bukan nyonya di sini. Siapa yang menyuruhmu tidur sekarang?" Tubuh Emily bergetar, bahkan giginya bergemeletuk. Ruangan ini sangat dingin, ditambah air yang membasahi tubuhnya juga tak kalah dinginnya. Padahal tubuh dan perasaannya baru saja dicabik-cabik oleh Arnold. Emily mengulurkan tangan, mencari-cari selimut yang ada di sekitarnya untuk membungkus tubuh polosnya. Namun, Sarah tidak memberinya kesempatan. "Jangan berpikir bahwa kamu adalah nyonya di sini hanya karena tidur dengan Arnold. Kamu hanyalah alat penghasil anak! Bangun sekarang." Setelah mengatakan itu, Sarah menatap Emily dengan jijik, seolah-olah me
Emily sontak menoleh, betapa kagetnya dia saat melihat Arnold datang. Jantung Emily seketika berdebar kencang, dadanya naik turun. Arnold menatapnya tanpa berkedip, lagi, hanya dengan melihat tubuh Emily, membuat miliknya langsung berontak. Arnold berjalan pelan sambil membuka kancing piyamanya. Diraihnya pinggul Emily dan didekapnya erat. Bibirnya sudah berlabuh di bibir Emily, membuat perempuan itu hanya bisa pasrah. Dengan satu gerakan cepat, Arnold membawa Emily ke atas ranjang dan menyingkap handuk itu.Lagi dan lagi, Arnold menyerangnya.... **"Akh..." Emily terbangun dalam keadaan seluruh tubuh ngilu, Arnold benar-benar menyiksanya sepanjang malam. Dia bahkan tidak memberi Emily waktu untuk beristirahat. Kasur, sofa, dinding, bahkan bath up menjadi saksi bisu betapa ganasnya Arnold. Saat bangun, Emily hanya sendirian. Arnold sudah tidak ada di sisinya. Emily menyeret kakinya ke kamar mandi. Kini sudah satu bulan Emily menjadi istri kedua Arnold. Arnold juga
"Kata siapa? Aku jelas lebih percaya kepada suamiku!" Nada suara Emily tegas, tak terbantahkan. Tatapan matanya lurus menembus mata Arnold, penuh keyakinan. "Mungkin tadinya aku sedikit ragu, hanya sedikit karena aku belum mendengar langsung dari mulutmu. Tapi tetap saja aku lebih percaya pada suamiku dari pada orang yang baru aku temui," ujar Emily. Arnold membeku sejenak, lalu perlahan memeluk Emily lebih erat seolah takut wanita itu menghilang jika dilepas. Dalam pelukan itu, dunia terasa lebih damai. Selama ada Emily, pikirnya, ia tak perlu takut pada apa pun. Ia bahkan tak takut kehilangan Maurer. Baginya Emily adalah satu-satunya yang paling berharga di dunia ini. "Sayang, apa kau sudah makan?" tanya Emily, tangannya bergerak lembut mengusap belakang kepala Arnold, gerakan yang menenangkan seperti pelukan ibu pada anak kecil. Arnold menggeleng pelan, lalu mengangkat wajahnya, menatap wajah istrinya dengan pandangan haus akan kenyamanan. "Belum, aku tidak lapar," jawabny
"Kenapa berbohong padaku? Kau mulai tidak jujur, Emily?" Suara Arnold membelah keheningan sore itu. Nada suaranya tajam, nyalang, menusuk ke dalam hati sang istri. Tatapan matanya bagaikan bara yang siap membakar apa pun yang ada di hadapannya. Emily tertegun. Matanya membulat, tidak percaya atas tuduhan yang baru saja didengarnya. "Berbohong bagaimana? Aku tidak berbohong!" tegasnya, kali ini dengan suara yang meninggi. Sebuah sikap yang tidak biasa darinya—Emily yang biasanya lembut dan memilih mengalah kini berubah. Kata-kata Nicho beberapa waktu lalu seperti mengakar dalam pikirannya, mendorongnya untuk tidak terus-menerus menjadi wanita yang selalu diam. Arnold mengerutkan kening. Ia melangkah maju, sorot matanya tidak berpindah dari wajah istrinya. "Kau berani berkata keras kepadaku? Bagus," gumamnya dingin. "Bukankah sudah kubilang jangan terlalu dekat dengannya!" Mata Arnold memerah, bukan hanya karena amarah, tapi juga karena luka yang menganga—wanita yang sangat di
Emily menjawab pertanyaan-pertanyaan Nicho dengan singkat dan seperlunya. Di balik tutur katanya yang lembut, pikirannya mengingat jelas pesan Arnold—untuk tidak terlalu dekat dengan kakak iparnya itu. Meski demikian, suasana di butik yang tenang dan cara bicara Nicho yang hangat membuat percakapan mereka terasa sulit dihindari. "Arnold pasti sangat menyayangimu, Emily. Dia sungguh beruntung," puji Nicho dengan suara rendah namun jelas, matanya menatap Emily dengan ketulusan yang samar. Emily spontan mengangkat dagunya. Pandangannya terarah penuh ke wajah Nicho. Ada ketulusan dalam ucapannya, tidak terlihat niat buruk. Nicho memang sangat baik. Ia selalu memuji Arnold, tidak pernah sekalipun terdengar menjelekkan. Tapi justru itu yang membuat Emily bingung—kalau memang Nicho sebaik ini, mengapa Arnold begitu membencinya? Rasa penasaran itu akhirnya mengalahkan kewaspadaannya. "Kakak ipar, apakah Kakak dekat dengan Arnold?" tanyanya hati-hati, namun cukup jelas hingga membuat Nicho
Nicho berjalan dengan langkah pasti, penuh perhitungan namun tampak santai, menuju sudut butik tempat Emily tengah duduk sendiri. Sofa tempat wanita itu duduk terlihat sepi, jauh dari lalu lalang pengunjung, dikelilingi rak-rak pakaian dan deretan manekin yang mengenakan busana mahal. “Boleh aku duduk di sini?” tanya Nicho begitu sampai di sisi kursi, suaranya tenang, nyaris berbisik tapi cukup jelas untuk menarik perhatian Emily. Emily mendongakkan kepala, sedikit terkejut namun tidak menunjukkan ekspresi berlebihan. Matanya bertemu dengan wajah laki-laki yang selama beberapa bulan ini mulai sering hadir dalam hidupnya dan Arnold. “Kakak ipar,” ucap Emily, menegaskan kedekatan hubungan mereka namun dengan batas yang jelas. “Panggil Nicho saja, biar lebih akrab,” sahut Nicho cepat, mencoba menyusupkan kehangatan dalam suaranya. Emily langsung menggeleng cepat, raut wajahnya sedikit kaku. “Tidak sopan, Kak,” jawabnya pelan namun tegas. Nicho mengangkat bahu, tampak tak ambil pusi
"Kami pergi berbelanja." Emily menjawab salah satu dari pertanyaan Arnold lewat sambungan telepon yang sempat terhenti beberapa detik sebelumnya. "Bersama siapa?" Kejar Arnold, nada suaranya terdengar was-was, nyaris curiga. Arnold memang menjadi lebih posesif sejak kedatangan Nicho, yang tiba-tiba kembali dengan segala karisma dan pesona yang membuat siapa pun menoleh. "Dengan mama dan—" Belum sempat Emily menyelesaikan jawabannya, tiba-tiba ponselnya direbut dengan lembut namun tegas oleh Ruby. "Arnold, ini mama. Mama pinjam istrimu sebentar," ucap mama Ruby dengan nada santai namun penuh wibawa. "Mama. Oke, Ma. Tolong jagakan Emily," pinta Arnold setengah cemas, setengah pasrah. "Tanpa kau minta pun mama pasti menjaganya," jawab mama Ruby mantap, sebelum sambungan telepon terputus. "Terima kasih, Ma," bisik Arnold sebelum benar-benar menutup ponselnya. Rasa lega mengalir di dadanya. Ia kembali fokus pada laporan-laporan di meja kerjanya di Maurer, meski pikirannya masih m
Emily menatap dalam manik mata suaminya yang terlihat memerah, rahangnya tampak mengeras, menahan emosi yang hampir meledak. Sorot matanya penuh gejolak, tapi tertahan. “Kita pulang sekarang. Aku akan menceritakan semuanya di rumah,” ucap Arnold tegas, namun suaranya bergetar oleh emosi yang sulit dijelaskan. Mata Arnold perlahan kembali sayu, amarahnya mereda saat bertemu dengan tatapan teduh Emily. Seolah amarahnya melebur hanya karena satu tatapan itu. Emily mengangguk pelan. “Ayo kita pulang,” ujarnya sembari memberi senyum tipis yang lebih menyerupai upaya menenangkan hati yang sedang bergemuruh. Sepanjang perjalanan pulang menuju kediaman mereka, suasana mobil terasa hening, bahkan udara di dalamnya seolah berat. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir Arnold. Hanya helaan nafas beratnya yang sesekali terdengar, seperti beban yang tengah dipikulnya nyaris tak sanggup ditahan lagi. Emily mencuri pandang, ingin sekali memeluk dan meredakan gundah itu, namun ia tahu, s
Sepanjang jalan pulang menuju kediamannya, Arnold menggerutu. Jemarinya mengetuk-ngetuk setir mobil, ekspresinya masam, seakan cuaca senja yang mendung ikut menyuarakan kekesalannya. Pasalnya, sebelum dia pulang tadi, mamanya menghubunginya dan memintanya datang ke rumah untuk makan malam bersama. "Tumben sekali mama mengajak makan malam. Aku yakin pasti Nicho yang meminta mama untuk mengundang kami," gumam Arnold, setengah menghela napas berat. Dia tahu betul bahwa dirinya tak akan bisa menolak jika mamanya yang meminta. Permintaan sang mama selalu datang sebagai perintah tak tertulis yang harus dipatuhi. Arnold memukul setir kemudinya, sebuah luapan emosi yang tak tertahan. Nicho, kakak tirinya, selalu saja menyusahkan. Pria itu seperti bayangan masa lalu yang terus menghantuinya, membawa luka yang belum sempat sembuh sepenuhnya. Begitu sampai di rumah, Arnold langsung memarkir mobil dan melangkah cepat ke dalam rumah. Matanya mencari sosok Emily. Hari sudah menunjukkan pukul ena
Sepuluh tahun lalu, saat Maurer Corp. berada di ambang krisis, semua mata tertuju pada Nico—anak sulung yang seharusnya meneruskan tongkat estafet kepemimpinan. Tapi dia memilih pergi. Alasannya klise—ingin mengejar cita-cita sebagai model terkenal. Padahal kebenarannya, dia hanya ingin bebas. Bebas dari tanggung jawab, dari tekanan, dari nama besar Maurer yang menuntut lebih dari sekadar kerja keras. Nico pergi. Tinggal Arnold, si anak bungsu, yang saat itu masih duduk di bangku kuliah dan bahkan belum cukup umur untuk menandatangani kontrak legal. Tapi waktu tak memberinya pilihan. Ayahnya, Papa William, jatuh sakit—dan perusahaan butuh pemimpin. Mau tidak mau, Arnold mengangkat beban yang seharusnya bukan miliknya. Kepergian Nico memperparah kondisi sang ayah. Dan di tengah kemarahan dan kekecewaannya, Papa William mengesahkan Arnold sebagai pewaris tunggal Maurer Corp. Namun, Nico tidak menyerah begitu saja. Dengan kepintaran manipulatifnya, dia berhasil mengambil hati Papa
Tanpa mengucap sepatah kata pun, Arnold memutuskan untuk langsung masuk ke dalam ruangannya. Tak ada sapa, tak ada lirikan pada Nico. Pintu kaca otomatis menutup di belakangnya dengan desis pelan, memisahkan dirinya dari suasana lobi yang semu hangat itu. Namun, ketenangan yang baru saja ia dapatkan hanya bertahan sejenak. Nico, seperti biasanya, bertindak semaunya. Ia masuk ke dalam ruangan Arnold begitu saja—tanpa mengetuk pintu, tanpa permisi. Seolah ruang itu adalah bagian dari rumahnya sendiri. Melihat itu, tentu saja Arnold meradang. "Ini perusahaan, bukan rumahmu. Lain kali biasakan ketuk pintunya!" Nada suara Arnold tajam, dingin. Tatapannya menusuk, tak menyembunyikan sedikit pun kekesalan yang berkecamuk dalam dirinya. Ia berusaha menekan emosinya, mengingat betapa lelahnya pagi tadi—dan bagaimana Emily sudah berhasil menenangkannya. Namun baru saja ia mulai bisa bernapas lebih tenang, Nicholas kembali berulah. Masuk seenaknya, seolah-olah aturan dan batasan tak berl