"Kata siapa? Aku jelas lebih percaya kepada suamiku!" Nada suara Emily tegas, tak terbantahkan. Tatapan matanya lurus menembus mata Arnold, penuh keyakinan. "Mungkin tadinya aku sedikit ragu, hanya sedikit karena aku belum mendengar langsung dari mulutmu. Tapi tetap saja aku lebih percaya pada suamiku dari pada orang yang baru aku temui," ujar Emily. Arnold membeku sejenak, lalu perlahan memeluk Emily lebih erat seolah takut wanita itu menghilang jika dilepas. Dalam pelukan itu, dunia terasa lebih damai. Selama ada Emily, pikirnya, ia tak perlu takut pada apa pun. Ia bahkan tak takut kehilangan Maurer. Baginya Emily adalah satu-satunya yang paling berharga di dunia ini. "Sayang, apa kau sudah makan?" tanya Emily, tangannya bergerak lembut mengusap belakang kepala Arnold, gerakan yang menenangkan seperti pelukan ibu pada anak kecil. Arnold menggeleng pelan, lalu mengangkat wajahnya, menatap wajah istrinya dengan pandangan haus akan kenyamanan. "Belum, aku tidak lapar," jawabny
"Emily, Sayang, kemarilah." Suara Arnold terdengar berat, nyaris putus asa, saat ia berdiri dan mengulurkan tangannya kepada Emily. Emily masih bergeming di tempatnya. Sorot matanya kosong, tubuhnya seolah tertambat oleh bayang-bayang masa lalu yang terus menghantui. "Emily!" Suara Arnold terdengar lebih tegas, sedikit gemetar, seperti ada luka yang tersembunyi di balik panggilan itu. Seketika kesadarannya kembali. Emily mengedipkan matanya perlahan, lalu memandang tangan Arnold yang terulur penuh harap. Tanpa ragu lagi, ia maju dan menyambut tangan itu. Detik berikutnya, tubuhnya sudah terhimpit dalam pelukan Arnold yang hangat, kuat, namun sarat kegelisahan. "Ikutlah kemanapun aku pergi," gumam Arnold di dekat telinganya, suaranya penuh tekad. "Aku sanggup kehilangan semua harta dan kemewahan ini, tapi aku tidak sanggup kalau harus kehilanganmu untuk yang kedua kalinya!" Emily menarik napas dalam. Desahan lembut meluncur dari bibirnya yang mungil. Ia menoleh sedikit, menatap wa
Dahi Emily mengernyit dalam. "Tidak lagi?" ulangnya, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Ya, tidak lagi per hari ini!" sahut Arnold dengan tenang, meski matanya tampak menyimpan seribu beban yang belum sempat ia tumpahkan. Tanpa melanjutkan penjelasan apa pun, Arnold ikut menyandarkan punggungnya di kursi malas. Helaan napas panjang keluar dari dadanya. Matanya terpejam sejenak, mencoba menenangkan pikiran yang sejak semalam tak berhenti bekerja. Suasana di tepi kolam renang itu terasa hening, hanya terdengar suara dedaunan yang berbisik ditiup angin pagi. Burung-burung berkicau di kejauhan, namun tak mampu mencairkan ketegangan yang menggantung di antara mereka. Beberapa menit berlalu dalam diam, sebelum akhirnya Arnold membuka suara, pelan tapi mantap. "Aku akan membangun usaha kecil-kecilan," katanya tanpa menoleh, "tetap di bidang kontraktor karena basic-ku di sana." Nada suaranya mengalir datar, seperti sudah terlalu letih untuk menunjukkan emosi. Emi
Robert berlalu tanpa menunggu jawaban dari Nicholas. Langkahnya mantap dan cepat, tak menoleh sedikit pun. Keputusannya sudah bulat, tak ada yang perlu dipertanyakan lagi. Sama seperti Arnold, Robert memutuskan berhenti dari Maurer—perusahaan yang sudah menjadi bagian dari hidupnya selama lebih dari tujuh tahun. Di balik ekspresi tenangnya, Robert menahan gejolak emosi. Ia menunduk sejenak, membiarkan kalimat itu keluar dalam desisan pelan namun penuh tekanan, "Kita lihat Maurer bisa bertahan berapa lama di bawah kepemimpinan Tuan Nicholas!" Pikirannya melayang ke masa lalu, saat Maurer nyaris bangkrut karena kondisi kesehatan Tuan William yang memburuk. Saat itu, semua orang mulai meninggalkan kapal yang karam. Semua, kecuali Arnold. Bersama-sama mereka membangun kembali fondasi perusahaan dari nol. Lembur tanpa batas, rapat berlarut, keputusan-keputusan sulit—semua mereka hadapi. Dan kini, ketika Maurer berdiri kembali di puncak, Nicholas datang seperti raja muda yang merampas
"Maafkan aku." Suara Arnold parau, nyaris tak terdengar. Jemarinya yang sedikit bergetar perlahan menangkup kedua pipi Emily yang dingin. Ia usap air mata yang masih menggenang di pelupuknya, seolah ingin menyeka bukan hanya kesedihan, tapi juga luka yang tak terlihat. Emily tidak bergeming. Matanya terpejam rapat, seperti mencoba menahan segala emosi yang meledak-ledak di dalam dada. "Kau tidak benar-benar mencintaiku," ucap Emily lirih, nyaris seperti bisikan yang tertelan angin sore. "Aku mencintaimu, sungguh," sahut Arnold buru-buru, suaranya bergetar. "Aku sudah berjanji akan membuat bibir ini hanya mengulas senyum. Itulah kenapa aku tidak menceritakan masalahku padamu." Wajah Emily menegang. Napasnya berat. "Tapi bukan seperti ini. Ini tidak seperti yang aku inginkan!" Serunya sambil menepis tangan Arnold yang masih membingkai wajahnya. Sentuhan itu terasa asing kini, tak seperti dulu yang hangat dan menenangkan. "Maafkan aku," bisik Arnold. Ia perlahan berdiri, la
Arnold tersenyum miris, namun dalam matanya terpancar sinisme. Bisa-bisanya Nicholas tak merasa malu sedikit pun. “Sayang, apa yang barusan Kak Nicho bilang itu benar?” tanya Emily. "Apa aku terlihat seperti seseorang yang tidak bertanggung jawab?" Nada suara Arnold mantap, matanya menatap lurus ke arah Emily. "Maurer sudah kupegang sejak aku berusia 20 tahun. Sebelum ada kau, Maurer adalah duniaku. Tapi hari ini aku sadar bahwa Maurer bukan lagi duniaku. Hanya kamu seorang. Aku hanya ingin kamu." Kalimat itu meluncur dengan keyakinan yang tak tergoyahkan. Emily yang mendengarnya hanya bisa menunduk sambil tersenyum malu. Pipi yang tadinya tegang kini memerah. Ada semburat bahagia yang sulit disembunyikan dari wajahnya. Robert berdiri tidak jauh dari mereka, memperhatikan diam-diam. Tatapannya bergeser ke arah kiri, seolah ingin mengalihkan perhatian dari kemesraan yang tak sengaja disaksikannya. Tapi di balik sorot matanya, ada getaran halus yang baru disadari: rasa yan
"Tunggu sebentar!" Emily mendorong dada Arnold menjauh. Sentuhannya tidak keras, tapi cukup tegas untuk membuat Arnold mundur beberapa langkah dengan tatapan heran. "Ada apa, Sayang?" tanya Arnold dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan yang enggan memecah keintiman pagi itu. Emily menatapnya dengan ekspresi ragu, matanya bergerak pelan menyapu area sekitar mereka. “Kamu yakin kita melakukannya di sini?” tanyanya, nyaris seperti gumaman yang bercampur antara canggung dan penasaran. Arnold mengangguk mantap, senyumnya nakal namun menenangkan. "Private pool, tidak akan ada yang melihat kita," bisik Arnold sambil mendekat, suaranya dalam dan menggoda. Emily kembali melihat sekeliling. Yang terlihat hanya laut lepas berwarna biru kehijauan membentang luas di hadapan, serta tembok-tembok tinggi yang mengelilingi sisi kanan dan kiri. Angin berhembus lembut membawa aroma asin dari pantai. Ia pun akhirnya mengangguk pelan, seolah menyerah pada suasana yang terlalu sempurna untuk ditol
“Aku sudah membelimu, jadi lahirkan anak laki-laki untukku.” Diangkatnya dagu Emily dan ditatapnya mata sayu yang tampak berkaca-kaca tersebut. Dengan sekali sentak Arnold merobek gaun tidur tipis yang dikenakan Emily. Sorot matanya berkabut tatkala melihat tubuh polos tanpa cela di hadapannya. Kulit Emily yang putih seputih susu menggugah Arnold untuk melabuhkan jemarinya, halus dan hangat hingga membuat Arnold tak kuasa membendung hasratnya yang menggelora. Ditelannya salivanya, atensi Arnold kini sepenuhnya tercurah pada keindahan tubuh mungil Emily yang memiliki lekuk yang sangat indah. Ukuran dadanya yang di atas rata-rata membuat keindahan itu semakin sempurna. Ditambah lagi hidungnya lancip dengan bibir penuh berwarna pink menggoda. Arnold akhirnya mengungkung tubuh Emily di bawahnya. Seringaian terbit di wajah tampannya. "Buka pahamu!" titahnya dengan mata berkabut. Emily masih bergeming, dia menutup rapat kedua kakinya dan menyilangkan kedua tangannya di dadan
"Tunggu sebentar!" Emily mendorong dada Arnold menjauh. Sentuhannya tidak keras, tapi cukup tegas untuk membuat Arnold mundur beberapa langkah dengan tatapan heran. "Ada apa, Sayang?" tanya Arnold dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan yang enggan memecah keintiman pagi itu. Emily menatapnya dengan ekspresi ragu, matanya bergerak pelan menyapu area sekitar mereka. “Kamu yakin kita melakukannya di sini?” tanyanya, nyaris seperti gumaman yang bercampur antara canggung dan penasaran. Arnold mengangguk mantap, senyumnya nakal namun menenangkan. "Private pool, tidak akan ada yang melihat kita," bisik Arnold sambil mendekat, suaranya dalam dan menggoda. Emily kembali melihat sekeliling. Yang terlihat hanya laut lepas berwarna biru kehijauan membentang luas di hadapan, serta tembok-tembok tinggi yang mengelilingi sisi kanan dan kiri. Angin berhembus lembut membawa aroma asin dari pantai. Ia pun akhirnya mengangguk pelan, seolah menyerah pada suasana yang terlalu sempurna untuk ditol
Arnold tersenyum miris, namun dalam matanya terpancar sinisme. Bisa-bisanya Nicholas tak merasa malu sedikit pun. “Sayang, apa yang barusan Kak Nicho bilang itu benar?” tanya Emily. "Apa aku terlihat seperti seseorang yang tidak bertanggung jawab?" Nada suara Arnold mantap, matanya menatap lurus ke arah Emily. "Maurer sudah kupegang sejak aku berusia 20 tahun. Sebelum ada kau, Maurer adalah duniaku. Tapi hari ini aku sadar bahwa Maurer bukan lagi duniaku. Hanya kamu seorang. Aku hanya ingin kamu." Kalimat itu meluncur dengan keyakinan yang tak tergoyahkan. Emily yang mendengarnya hanya bisa menunduk sambil tersenyum malu. Pipi yang tadinya tegang kini memerah. Ada semburat bahagia yang sulit disembunyikan dari wajahnya. Robert berdiri tidak jauh dari mereka, memperhatikan diam-diam. Tatapannya bergeser ke arah kiri, seolah ingin mengalihkan perhatian dari kemesraan yang tak sengaja disaksikannya. Tapi di balik sorot matanya, ada getaran halus yang baru disadari: rasa yan
"Maafkan aku." Suara Arnold parau, nyaris tak terdengar. Jemarinya yang sedikit bergetar perlahan menangkup kedua pipi Emily yang dingin. Ia usap air mata yang masih menggenang di pelupuknya, seolah ingin menyeka bukan hanya kesedihan, tapi juga luka yang tak terlihat. Emily tidak bergeming. Matanya terpejam rapat, seperti mencoba menahan segala emosi yang meledak-ledak di dalam dada. "Kau tidak benar-benar mencintaiku," ucap Emily lirih, nyaris seperti bisikan yang tertelan angin sore. "Aku mencintaimu, sungguh," sahut Arnold buru-buru, suaranya bergetar. "Aku sudah berjanji akan membuat bibir ini hanya mengulas senyum. Itulah kenapa aku tidak menceritakan masalahku padamu." Wajah Emily menegang. Napasnya berat. "Tapi bukan seperti ini. Ini tidak seperti yang aku inginkan!" Serunya sambil menepis tangan Arnold yang masih membingkai wajahnya. Sentuhan itu terasa asing kini, tak seperti dulu yang hangat dan menenangkan. "Maafkan aku," bisik Arnold. Ia perlahan berdiri, la
Robert berlalu tanpa menunggu jawaban dari Nicholas. Langkahnya mantap dan cepat, tak menoleh sedikit pun. Keputusannya sudah bulat, tak ada yang perlu dipertanyakan lagi. Sama seperti Arnold, Robert memutuskan berhenti dari Maurer—perusahaan yang sudah menjadi bagian dari hidupnya selama lebih dari tujuh tahun. Di balik ekspresi tenangnya, Robert menahan gejolak emosi. Ia menunduk sejenak, membiarkan kalimat itu keluar dalam desisan pelan namun penuh tekanan, "Kita lihat Maurer bisa bertahan berapa lama di bawah kepemimpinan Tuan Nicholas!" Pikirannya melayang ke masa lalu, saat Maurer nyaris bangkrut karena kondisi kesehatan Tuan William yang memburuk. Saat itu, semua orang mulai meninggalkan kapal yang karam. Semua, kecuali Arnold. Bersama-sama mereka membangun kembali fondasi perusahaan dari nol. Lembur tanpa batas, rapat berlarut, keputusan-keputusan sulit—semua mereka hadapi. Dan kini, ketika Maurer berdiri kembali di puncak, Nicholas datang seperti raja muda yang merampas
Dahi Emily mengernyit dalam. "Tidak lagi?" ulangnya, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Ya, tidak lagi per hari ini!" sahut Arnold dengan tenang, meski matanya tampak menyimpan seribu beban yang belum sempat ia tumpahkan. Tanpa melanjutkan penjelasan apa pun, Arnold ikut menyandarkan punggungnya di kursi malas. Helaan napas panjang keluar dari dadanya. Matanya terpejam sejenak, mencoba menenangkan pikiran yang sejak semalam tak berhenti bekerja. Suasana di tepi kolam renang itu terasa hening, hanya terdengar suara dedaunan yang berbisik ditiup angin pagi. Burung-burung berkicau di kejauhan, namun tak mampu mencairkan ketegangan yang menggantung di antara mereka. Beberapa menit berlalu dalam diam, sebelum akhirnya Arnold membuka suara, pelan tapi mantap. "Aku akan membangun usaha kecil-kecilan," katanya tanpa menoleh, "tetap di bidang kontraktor karena basic-ku di sana." Nada suaranya mengalir datar, seperti sudah terlalu letih untuk menunjukkan emosi. Emi
"Emily, Sayang, kemarilah." Suara Arnold terdengar berat, nyaris putus asa, saat ia berdiri dan mengulurkan tangannya kepada Emily. Emily masih bergeming di tempatnya. Sorot matanya kosong, tubuhnya seolah tertambat oleh bayang-bayang masa lalu yang terus menghantui. "Emily!" Suara Arnold terdengar lebih tegas, sedikit gemetar, seperti ada luka yang tersembunyi di balik panggilan itu. Seketika kesadarannya kembali. Emily mengedipkan matanya perlahan, lalu memandang tangan Arnold yang terulur penuh harap. Tanpa ragu lagi, ia maju dan menyambut tangan itu. Detik berikutnya, tubuhnya sudah terhimpit dalam pelukan Arnold yang hangat, kuat, namun sarat kegelisahan. "Ikutlah kemanapun aku pergi," gumam Arnold di dekat telinganya, suaranya penuh tekad. "Aku sanggup kehilangan semua harta dan kemewahan ini, tapi aku tidak sanggup kalau harus kehilanganmu untuk yang kedua kalinya!" Emily menarik napas dalam. Desahan lembut meluncur dari bibirnya yang mungil. Ia menoleh sedikit, menatap wa
"Kata siapa? Aku jelas lebih percaya kepada suamiku!" Nada suara Emily tegas, tak terbantahkan. Tatapan matanya lurus menembus mata Arnold, penuh keyakinan. "Mungkin tadinya aku sedikit ragu, hanya sedikit karena aku belum mendengar langsung dari mulutmu. Tapi tetap saja aku lebih percaya pada suamiku dari pada orang yang baru aku temui," ujar Emily. Arnold membeku sejenak, lalu perlahan memeluk Emily lebih erat seolah takut wanita itu menghilang jika dilepas. Dalam pelukan itu, dunia terasa lebih damai. Selama ada Emily, pikirnya, ia tak perlu takut pada apa pun. Ia bahkan tak takut kehilangan Maurer. Baginya Emily adalah satu-satunya yang paling berharga di dunia ini. "Sayang, apa kau sudah makan?" tanya Emily, tangannya bergerak lembut mengusap belakang kepala Arnold, gerakan yang menenangkan seperti pelukan ibu pada anak kecil. Arnold menggeleng pelan, lalu mengangkat wajahnya, menatap wajah istrinya dengan pandangan haus akan kenyamanan. "Belum, aku tidak lapar," jawabny
"Kenapa berbohong padaku? Kau mulai tidak jujur, Emily?" Suara Arnold membelah keheningan sore itu. Nada suaranya tajam, nyalang, menusuk ke dalam hati sang istri. Tatapan matanya bagaikan bara yang siap membakar apa pun yang ada di hadapannya. Emily tertegun. Matanya membulat, tidak percaya atas tuduhan yang baru saja didengarnya. "Berbohong bagaimana? Aku tidak berbohong!" tegasnya, kali ini dengan suara yang meninggi. Sebuah sikap yang tidak biasa darinya—Emily yang biasanya lembut dan memilih mengalah kini berubah. Kata-kata Nicho beberapa waktu lalu seperti mengakar dalam pikirannya, mendorongnya untuk tidak terus-menerus menjadi wanita yang selalu diam. Arnold mengerutkan kening. Ia melangkah maju, sorot matanya tidak berpindah dari wajah istrinya. "Kau berani berkata keras kepadaku? Bagus," gumamnya dingin. "Bukankah sudah kubilang jangan terlalu dekat dengannya!" Mata Arnold memerah, bukan hanya karena amarah, tapi juga karena luka yang menganga—wanita yang sangat di
Emily menjawab pertanyaan-pertanyaan Nicho dengan singkat dan seperlunya. Di balik tutur katanya yang lembut, pikirannya mengingat jelas pesan Arnold—untuk tidak terlalu dekat dengan kakak iparnya itu. Meski demikian, suasana di butik yang tenang dan cara bicara Nicho yang hangat membuat percakapan mereka terasa sulit dihindari. "Arnold pasti sangat menyayangimu, Emily. Dia sungguh beruntung," puji Nicho dengan suara rendah namun jelas, matanya menatap Emily dengan ketulusan yang samar. Emily spontan mengangkat dagunya. Pandangannya terarah penuh ke wajah Nicho. Ada ketulusan dalam ucapannya, tidak terlihat niat buruk. Nicho memang sangat baik. Ia selalu memuji Arnold, tidak pernah sekalipun terdengar menjelekkan. Tapi justru itu yang membuat Emily bingung—kalau memang Nicho sebaik ini, mengapa Arnold begitu membencinya? Rasa penasaran itu akhirnya mengalahkan kewaspadaannya. "Kakak ipar, apakah Kakak dekat dengan Arnold?" tanyanya hati-hati, namun cukup jelas hingga membuat Nicho