"Aku gaje, ya?"Terjebak momen yang tiba-tiba saja canggung, yang dilakukan Damar juga Arsya kini adalah saling melempar tatapan satu sama lain."E-enggak sih, cum-"Ucapan Arsya terhenti ketika sebuah ketukan di kaca mobil terdengar dari belakang Damar dan di detik itu pula, kedua mata Arsya membulat sempurna melihat seorang pria yang kini membungkuk sambil mengetuk kaca mobil Damar."Siapa tuh?" tanya Damar pada Arsya."P-Papa aku," jawab Arsya yang langsung membuat jantung Damar rasanya langsung turun ke lambung."Papa kamu?" tanya Damar.Arsya mengangguk. "I-iya, Dam. Buka dulu kacanya," kata Arsya."Oke," jawab Damar. Tangannya tiba-tiba saja bergetar, Damar membuka kaca mobil itu perlahan lalu memberanikan diri untuk menyapa. "Malam, Om.""Kamu ... Ngapain kamu parkir di depan rum ... lho, Arsya?" tanya Alfian ketika mendapati Arsya duduk di samping Damar."Papa.""Kamu ngapain?" tanya Alfian. Dari Arsya, dia kembali memandang Damar. "Ini siapa? Terus kalian lagi apa berduaan di
***"Ih enggak bisa tidur."Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah dua pagi, Aludra tak kunjung menutup matanya karena rasa kantuk yang tak datang juga.Sebenarnya saat Damar pulang, Aludra langsung pergi tidur. Namun, karena rasa ingin ke kamar mandi, pukul setengah satu dini hari Aludra terbangun dan sampai detik ini dia tak bisa tidur.Padahal, sudah berbagai cara dia lakukan mulai dari berguling di kasur, membaca buku, hingga menghitung gambar kambing di layar, tapi semuanya gagal. Aludra tetap tak mengantuk."Pizza," gumam Aludra pelan. Posisinya terlentang di atas kasur, dia mengukir senyum tipis membayangkan betama enaknya makan pizza dini hari.Beringsut, Aludra langsung mengubah posisinya menjadi duduk lalu mengambil ponsel di meja nakas—berniat untuk menghubungi Damar.Namun, semua itu urung dia lakukan ketika teringat lagi jika belakangan ini Damar sedang hectic dengan pekerjaan kantor. Jika sekarang Aludra meminta Damar untuk membelikan pizza, istirahat Damar pasti aka
***"Kancingin."Aludra yang baru saja menghampiri Arka lantas menaikkan sebelah alis ketika ucapan singkat tersebut dilontarkan Arka yang baru saja mengeluarkan sedan putih milik Dewa dari garasi.Tak mau memakai Range Rover milik Arka, Aludra memang sengaja meminta Arka memakai mobil sedan putih yang sudah cukup lama tak keluar dari garasi, dan tentu saja semua itu membuat Arka harus lebih lama memanaskan mesin."Apanya yang dikancingin?" tanya Aludra."Menurut kamu?""Otak kamu?" sarkas Aludra yang membuat Arka mendesah, sebelum pada akhirnya dia yang semula bersandar pada pintu mobil langsung berjalan mendekat lalu tanpa ragu mengancingkan cardigan rajut yang dipakai Aludra."Tipis banget, enggak punya jaket yang lebih tebel gitu?" tanya Arka."Aku lagi pengen pake ini," ucap Aludra."Tapi itu enggak akan buat kamu hangat.""Ya biarin," jawab Aludra. "Aku yang kedinginan, kenapa kamu yang repot.""Kamu kok nyebelin?" tanya Arka."Kamu yang duluan nyebelin," jawab Aludra. "Udah deh
***"Aludra belum bangun?"Datang ke dapur untuk sarapan, pertanyaan tersebut langsung dilontarkan Arka ketika di ruang makan dia tak mendapati Aludra. Padahal jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi.Sejak kejadian di restoran pizza, Aludra masih mengabaikan Arka—bahkan dini hari tadi ketika sampai di rumah, dia langsung turun tanpa mengucapkan sepatah atau dua patah kata pun.Aludra benar-benar marah karena semua sikap Arka, tapi Arka pun tak tahu harus berbuat apa karena sampai detik ini—untuk menyatakan cinta dan mengajak Aludra kembali berkomitmen, hati Arka belum benar-benar mantap.Entah seminggu atau dua minggu lagi, Arka masih perlu meyakinkan hatinya jika kejadian seperti kemarin tak aka terulang dan rumah tangganya dengan Aludra akan baik-baik saja.Namun, Arka pun takut Aludra akan benar-benar menyerah dan berpaling pada Damar.Arsya. Dia mencintai Damar. Haruskah Arka meminta bantuan Arsya untuk mengikat Damar agar tak bersama Aludra? Aish, sial! Arka tak biasa be
***"Mau apa kamu?"Arsya yang baru saja membuka kotak makan lantas berhenti lalu menatap Alfian yang kini sedang menikmati secangkir teh sebelum sarapan."Mau masukkin roti ke kotak makan," jawab Arsya santai."Sarapan di rumah," pinta Alfian. "Jangan kerja dengan perut kosong. Sarapan dulu.""Kan ini juga mau sarapan," kata Arsya."Terus itu ngapain masukkin roti ke kotak maka?""Buat Damar."Bukan Arsya, jawaban tersebut dilontarkan Alana yang datang sambil membawa dua gelas susu putih untuk Arsya dan Anindira."Buat Damar?" Alfian menaikkan sebelah alisnya. "Ngapain?""Apanya yang ngapain?""Itu kamu ngapain bawain sarapan buat Damar?" tanya Alfian.Dua buah roti sandwich isi selai coklat dan stroberi masuk ke kotak, Arsya mengambil paper bag kecil lali memasukkan kotak makan tersebut ke dalam sana—lengkap dengan susu kotak rasa coklat."Arsya," panggil Alfian. "Papa tanya, kenapa enggak jawab?"Arsya menarik kursi lalu duduk, memandang sang Papa, dia mengukir senyum tipis. "Sebag
***Setengah jam setelah memastikan Arka benar-benar berangkat ke kantor, Aludra akhirnya keluar dari kamar.Tak lagi memakai piyama satin, Aludra sudah terlihat cukup segar memakai dress seperti biasa karena tentunya sebelum keluar, dia memutuskan untuk membersihkan badannya lebih dulu."Eh Non Rara baru turun," sapa Mbak Tita yang kebetulan sedang membersihkan ruanh tengah."Pagi, Mbak.""Pagi Non," sapa Mbak Tita. "Kenapa baru turun, Non? Biasanya suka sarapan sama Mas Arka?""Males Mbak.""Kok malas?""Malas aja," jawab Aludra. Dari ruang tengah, dia melangkahkan kakinya menuju ruang makan dan tentu saja perhatiannya langsung tertuju pada nampan di atas meja.Roti sandwich juga segelas susu dari Arka masih ada. Tak dibuang, Arka menyimpan sandwich dan susu itu di atas meja makan.Aludra menghela napas lalu berjalan mendekat. Menarik kursi, dia duduk di depan meja lalu memandangi lagi sarapan yang dibuat Arka tersebut."Mbak," panggil Aludra."Ya, Non?" Sigap, Mbak Tita datang meng
***"Hati-hati pokoknya, Ra. Kalau perlu, minta Pak Hendra antarin kamu sampai ke ruangannya Papa.""Aku bukan anak kecil, Damar.""Tapi kamu ceroboh, Aludra.""Ish, aku matiin dulu ya.""Hati-hati.""Iya, bawel banget sih kamu."Pukul sepuluh pagi, Aludra bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit Sentosa—menjenguk Gilang yang sampai saat ini masih dirawat.Menenteng kotak makan susun, sesuai rencana—setelah dari rumah sakit, Aludra akan langsung menuju kantor sang papa—mengantarkan makan sianh untuk Arka."Silakan masuk, Non.""Makasih, Pak."Menggunakan sedan putih yang semalam baru saja dipakai, Aludra duduk manis di kursi belakang, sementara Pak Hendra—sang supir, sudah siap di kursi kemudi."Berangkat sekarang, Non?""Iya dong, Pak. Masa besok?" tanya Aludra sambil terkekeh. "Oh ya, sebelum ke rumah sakit, mampir ke toko buah dulu ya, Pak.""Siap."Setelah itu Pak Hendra mulai melajukan mobil. Tak terlalu cepat, Pak Hendra sengaja mengemudikan sedan putih tersebut dengan kecepatan
***"Makasih udah mau jenguk Om ya, Ra.""Sama-sama, Om. Kaya sama siapa aja."Hampir setengah jam, berada di ruangan rawat Gilang, Aludra akhirnya berpamitan karena memang waktu sudah menunjukkan pukul sebelas siang dan itu berarti dia harus segera ke kantor untuk mengantar makan siang."Bilangin ke Papa kamu, maaf belum bisa jenguk Lula.""Iya enggak apa-apa, Om. Doain aja semoga Kak Lula cepet sembuh," ucap Aludra."Jangan dulu," celetuk Damar yang kini duduk di ujung ranjang."Jangan dulu apa?" tanya Aludra."Jangan dulu sembuh," ucap Damar. "Alula ngerepotin kalau sembuh. Kamu sama Arka bersatu dulu, baru Alula sembuh."Aludra mendelik. "Kamu jahat ih!""Mau Papa lempar pake botol, kamu?" tanya Gilang. "Kalau ngomong suka sembarangan.""Kan emang kenyataannya gitu, Pa. Papa enggak tau sih, seberapa nyebelinnya Alula," ucap Damar."Lempar aja, Ra. Heran, punya anak kaya gitu banget," ujar Gilang."Jangan dilempar juga, Om. Rara sayang Damar," ucap Aludra. "Kalau Damar dilempar, na