***"Aish, sial! Kenapa harus macet segala?!"Sekali lagi, Arka memukul setir bahkan sengaja membunyikan klakson dengan kencang setelah hampir sepuluh menit mobilnya tak bisa bergerak karena macet.Jika bisa terbang, rasanya Arka ingin terbang saja sekarang agar bisa cepat sampai di rumah sakit untuk memastikan orang yang terserempet mobil itu Aludra atau bukan.Semoga bukan Aludra. Tiga kata yang seolah menjadi mantra itu terus digumamkan Arka di dalam hatinya.Sungguh, jika orang itu Aludra dan terjadi sesuatu padanya, Arka tak akan memaafkan dirinya sendiri."Arka bego, seharusnya kamu tadi jemput dia dulu."Penyesalan selalu datang terakhir. Begitulah yang dirasakan Arka sekarang. Demi apapun, dia ingin berlari saja sekarang."Maju, ayo maju!"Lima belas menit, range rover Arka akhirnya bisa kembali melaju. Mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, Arka akhirnya sampai di rumah sakit.Memarkirkan mobilnya asal di parkiran depan rumah sakit, Arka berlari menuju lobi lalu tentu
***"Duduk, Mas.""Iya."Usai kejadian menegangkan, mengharukan, juga mungkin terbilang cukup lucu, Aludra dan Arka tak langsung pergi dari rumah sakit.Ditawarkan oleh Arsya untuk makan siang di ruangannya, Arka dan Aludra justru memilih taman rumah sakit yang berada di bagian belakang untuk menjadi tempat keduanya menyantap makan siang."Ingus," celetuk Aludra ketika dia dan Arka duduk berhadapan."Hah?"Aludra tersenyum lalu membuka tas selempangnya. Mengeluarkan beberapa lembar tisu, dia mengelap bagian bawah hidung Arka yang basah. Bukan ingus sebenarnya—lebih mengarah ke keringat, karena memang berlari di rumah sakit lalu menangisi jenazah yang ternyata bukan Aludra cukup membuat Arka lelah."Kamu keringetan," ucap Aludra. Mengganti tisu, kini tangannya dengan sangat telaten mengelap keringat yang bercampur air mata di pipi Arka.Tak cukup sampai di situ, Aludra juga merapikan rambut Arka yang berantakan bahkan kini kedua tangannya beralih pada dasi Arka yang ikut tak rapi.Dan
***"Steak kematangan medium sama jus stroberi dua ya, Mbak?""Sip.""Oke, ditunggu pesanannya ya.""Siap."Pelayan restoran pergi, Arsya mengukir senyum manisnya lalu kembali mengalihkan perhatian pada Damar yang ternyata sedang memperhatikannya.Menghibur Damar, Arsya memang sengaja mengajak pria itu untuk makan di salah satu restoran yang tak jauh dari rumah sakit.Tania—sang mama sudah kembali menjaga sang papa, Damar mengiakan ajakan Arsya karena kebetulan perutnya memang sedang lapar."Kenapa lihatin aku? Ada yang aneh ya?" tanya Arsya yang membuat Damar mengerjap."Hah? Gimana?" tanya Damar. Dia yang semula duduk bersandar pada kursi sambil memeluk tangan di dada, segera mengubah posisi duduknya menjadi tegap."Kamu lihatin aku, kenapa? Apa ada yang aneh sama penampil-""Kamu cantik," ucap Damar—memotong ucapan Arsya dan tentu saja langsung membuat kedua pipi putri bungsu Alifan manuel itu memerah karena malu."Kamu bisa aja," kata Arsya malu-malu."Keluarga Alexander emang bib
***"Selesai juga akhirnya."Mematikan laptop, Arka membereskan semua berkas di meja lalu memasukkannya ke laci. Kembali ke kantor sekitar pukul dua siang, Arka memang kembali melanjutkan pekerjaannya karena tentu saja dia tak enak pada karyawan lain jika bolos di hari pertama."Aludra lagi apa ya," gumam Arka pelan. Semua berkas selesai dibereskan, Arka beranjak dari kursi yang sejak tadi dia duduki.Tak ada pekerjaan tambahan, Arka bisa pulang tepat pukul empat dan sekarang tujuannya adalah menjemput Aludra.Tak pulang, dari rumah sakit Aludra sengaja ikut ke kantor bersama Arka. Katanya, dia ingin melepas rindu dan tentu saja karena ruangan kerja Arka berukuran tak terlalu besar, Aludra tak bisa menunggu di sana.Alhasil, sejak dua jam lalu Aludra berada di ruangan Dewa di lantai enam. Semua orang kantor tahu siapa Aludra, tentu saja dia bisa bebas keluar masuk ruangan sang Papa bahkan tidur di sana pun tak akan ada yang berani melarangnya."Ra," panggil Arka ketika kini dia berdi
***"Alula udah baik-baik aja, Ra. Jangan ngelamun."Melihat Aludra terus melamun, teguran tersebut langsung diucapkan Arka agar perempuan tersebut tak terlalu banyak pikiran.Mendapatkan kabar buruk dari Dewa, Aludra memang sempat kalang kabut. Namun, perasaan gelisah yang dia rasakan pun tak lama karena lima belas menit berselang, Dewa kembali memberi kabar jika Alula berhasil melewati masa kritisnya."Aku takut, Mas.""Takut kenapa?""Aku takut Kak Lula pergi kapan aja," ucap Aludra. "Dia saudaraku satu-satunya.""Dia enggak akan pergi," kata Arka sambil mengusap pucuk kepala Aludra dengan tangan kirinya, sementara tangan kanan dia pakai untuk mengendalikan kemudi. "Kamu aja adiknya kuat, masa dia lemah. Bukannya Alula enggak pernah mau kalah dari kamu?""Tapi kan-""Jangan sedih," ucap Arka lagi. "Daripada sedih, mending kita cari hiburan.""Hiburan apa?""Terserah kamu aja," jawab Arka. "Mumpung masih di jalan, kali aja kamu pengen pergi ke suatu tempat.""Pengen sih, tapi agak j
***"Sampe juga akhirnya."Aludra yang sejak tadi bersandar pada jok mobil hanya bisa menghela napas pelan ketika Range Rover putih Arka akhirnya berhenti di parkiran.Menempuh perjalanan empat puluh menit—melalui tol, Arka dan Aludra akhirnya sampai di Dufan. Mencari informasi lebih dulu, keduanya bisa bernapas lega karena hari ini dan hari-hari kerja ke depan, Dufan buka sampai pukul tujuh malam."Kok diem aja?" tanya Arka. "Tadi katanya pengen ke Dufan, kok sekarang sampai kaya enggak seneng."Aludra menoleh. "Perut aku enggak enak," ucapnya sambil mengelus perut. "Kaya mu ... hoek!"Belum selesai Aludra berbicara, isi perutnya mendahului keluar. Aludra muntah. Tak sempat memberikan kresek atau sebagainya, dia muntah di mobil."Yah, mobil kamu kotor," kata Aludra setelah mual di perutnya mereda. Mendongak, dia menatap Arka. "Maaf ya, Mas."Arka tersenyum. Meskipun karpetnya kotor, dia tak mempermasalahkan semua itu. "Enggak apa-apa," ucapnya. "Nanti biar aku bersihin.""Pake apa?"
***Double date.Mungkin dua kata itulah yang sekiranya cocok untuk Aludra dan Arka juga Damar dan Arsya yang kini berjalan menyusuri Dufan.Belum menemukan apa yang ingin mereka lakukan, keempatnya hanya berjalan-jalan sambil menikmati keramaian sore wahana tersebut yang kini mulai dihiasi kerlap-kerlip lampu hingga tak lama Aludra yang berjalan di depan bersama Arka berhenti melangkah."Mas, komidi putar," kata Aludra sambil menunjuk wahana komidi putar yang tak jauh dari tempatnya dan yang lain berdiri."Mau naik?" tanya Arka. "Eh itu mutarnya kenceng enggak sih?""Enggak," jawab Damar. "Enggak lihat tuh banyak anak-anak yang naik. Kalau banyak anak-anak berarti aman.""Mau, Ra?""Mau, Mas.""Kamu mau juga, Sya?" tanya Damar pada Arsya."Boleh deh."Mengantri sebentar, keempatnya langsung mencari tempat kosong yang bisa mereka duduki di sana."Aku di sini," kata Aludra yang langsung duduk di sebuah bangku kosong."Oke," kata Arka. Percaya diri, dia menghampiri Aludra untuk ikut du
***"Silakan.""Ini kenapa antriannya dikit banget sih? Harusnya kan rame."Sambil melangkah menuju kereta yang akan dia naikki, Damar tak hentinya bergerutu. Entah kebetulan atau apa, wahana menyeramkan yang akan dia dan Arka naikki tiba-tiba saja tak terlalu ramai karena hanya beberapa menit menunggu, kini Damar dan Arka sudah mendapat giliran untuk naik."Harusnya antrian ini sampe belasan meter biar enggak keburu terus tutup," sahut Arka yang berjalan persis di belakang Damar."Nah." Kali ini Damar setuju. Menoleh dia menjentikkan jarinya di depan wajah Arka. "Setuju. Emang harusnya gitu.""Iya.""Terus sekarang gimana?" tanya Damar.Arka menaikkan sebelah alisnya. "Apanya yang gimana?""Aku tau kamu takut, Ar. Enggak usah so berani," ujar Damar."Terus?" tanya Arka. "Kita udah sampe sini juga, kan? Kalau kabur, Aludra marah. Aku enggak mau kandungannya kenapa-kenapa."Damar menggaruk tengkuknya. "Iya sih," jawabnya. "Lagian kamu kenapa pake bawa Aludra ke sini sih? Kaya enggak ad
*** "Semangat, Sayang. Jangan tegang ya." Menunggu sekitar satu jam setelah sampai di rumah sakit, Aludra akhirnya siap masuk ruang operasi untuk melahirkan putri kecilnya. Tak didampingi Aurora, yang datang ke rumah sakit hanya Dewa karena memang sang istri tak bisa pergi setelah kedua cucunya sigap menghadang agar sang Oma tak bisa ke mana-mana. Namun, tentu saja Aurora berjanji akan datang setelah Regan maupun Raiden berhasil dia tidurkan. Untuk Amanda dan Dirga, kedua orang tua Arka juga sedang dalam perjalanan setelah ditelepon oleh sang putra setengah jam lalu. "Doain ya, Pa." "Pasti, Ra," kata Dewa. Seumur hidup Aludra, ini adalah kali ketiga dia masuk ruang operasi. Pertama saat melahirkan Regan dan Raiden, kedua ketika mendapatkan donor dari Alula dan ketiga, sekarang—ketika dia akan melahirkan putri ketiganya. Sensasinya masih sama. Ruang operasi di setiap rumah sakit masih terasa dingin dan mungkin sedikit menyeramkan. "Kita mulai sekarang ya, Bu." "Iya, dokter."
***"Aku takut."Aludra yang sejak tadi duduk bersandar sambil mengelus perutnya seketika menoleh ketika Arka yang sejak tadi fokus mengemudi tiba-tiba saja berucap demikian."Takut apa?" tanya Aludra.Arka menoleh sekilas. "Takut kamu lahiran di jalan," ucapnya. "Usia kehamilan kamu tuh udah tiga puluh tujuh minggu, Ra. Duh ngeri kan kalau lahiran di jalan.""Ck, lebay," celetuk Aludra. "Dokter Ellina kan bilang kalau HPL aku dua minggu lagi, Mas. Santai aja kali.""Kan bisa maju.""Ya jangan maju," kata Aludra. Dia kemudian mengusap lagi perutnya yang buncit. "Jangan lahir dulu ya, Sayang. Mama mau nengok aunty dulu.""Iya Mama," ucap Arka.Hari ini, Aludra memang mengajak Arka ke Karawang untuk mengunjungi makam Alula. Tak membawa anak-anak, seperti biasa Aludra menitipkan Regan dan Raiden bersama Aurora juga Dewa yang sudah berkunjung lebih dulu kemarin ke makam Alula.Kemarin, terhitung delapan belas bulan sudah Alula pergi menghadap Sang Pencipta dan Aludra masih merasa semuany
***"Mas Arka buruan ih! Kok lama!"Sekali lagi Aludra yang sejak tadi menunggu di sofa dekat tangga berteriak memanggil Arka yang tak kunjung turun. Padahal, sudah hampir sepuluh menit dia menunggu suaminya turun."Iya sayang, iya. Sebentar," sahut Arka. Memakai pakaian santai, pria itu turun dengan sedikit tergesa-gesa di tangga. "Enggak sabaran banget kamu tuh ya.""Bawaan bayi," celetuk Aludra sambil mengusap perutnya yang buncit. Minggu ini terhitung tiga puluh minggu sudah usia kandungan Aludra."Ck, alasan aja.""Emang kenyataannya gitu.""Regan sama Raiden mana?""Ke mall sama Papa dan Mama.""Beneran jadi anak Oma sama Opa ya mereka tuh," kata Arka."Ya begitulah."Sejak hamil, itensitas Aludra mengasuh anak-anak memang berkurang karena Raiden dan Regan lebih sering dipegang oleh Aurora.Selain sudah tak asi lagi, Aludra juga tak boleh kelelahan selama hamil, sementara Regan dan Raiden yang sudah genap berusia dua tahun semakin lama semakin aktif."Ya udah kita berangkat seka
***"Ini kamu seriusan mau lahiran enggak sih?"Melihat sang istri yang nampak begitu tenang menghadapi proses kontraksi, pertanyaan tersebut akhirnya dilontarkan Damar yang sejak tadi setia duduk di samping Arsya.Kehamilannya sudah mencapai tiga puluh delapan minggu, sore tadi Arsya mengalami sedikit pendarahan. Segera dibawa menuju rumah sakit, dokte kandungan lain yang selama ini menangani Arsya mengatakan jika perempuan itu sudah mengalami bukaan.Ketika datang, Arsya baru mengalami bukaan dua dan sekarang setelah tiga jam berlalu—tepatnya pukul delapan, bukaan tersebut baru sampai ke angka lima.Masih ada lima lagi angka yang harus dilewati Arsya sebelum bukaan lengkap dan bayi yang selama ini dia kandung bisa lahir ke dunia."Emang kenapa?" Arsya yang sejak tadi sibuk mengatur napas sambil menikmati gelombang cinta yang cukup luar biasa, lantas mendongak dan menatap suaminya itu. "Tenang banget," celetuk Damar. "Di film-film tuh yang aku lihat, cewek mau lahiran itu biasanya n
***"Ini seriusan enggak nyadar apa gimana?"Aludra dan Arka mengernyit tak paham sambil memandang Arsya setelah pertanyaan tersebut dilontarkan perempuan tersebut."Maksudnya?" tanya Aludra."Enggak sadar apa?" tanya Arka."Nih." Arsya menunjukkan testpack yang beberapa menit lalu dipakai Aludra. Bukan testpack biasa, testpack yang dipakai adalah testpack digital yang bisa langsung menunjukkan usia kehamilan seorang ibu karena memang saat ini Aludra sedang mengandung."Ten weeks pregnant," gumam Aludra-mengeja tulisan pada testpack lalu Arka yang ikut membaca, spontan menerjemahkan."Hamil sepuluh minggu," ucap Arka.Untuk beberapa detik, sepasang suami istri tersebut bisa dibilang nge-bug, karena setelah membaca testpack baik Aludra maupun Arka saling diam."Kok pada diem sih?" tanya Arsya."Jadi maksudnya aku hamil?" tanya Aludra."Yes, Ra. Kamu hamil," kata Arsya. "Udah sepuluh minggu malah kehamilan kamu tuh.""Kok bisa?" tanya Arka. "Aludra kan baru telat datang bulan dua bulan
***"Mas mandinya udah belum, aku udah siapin sarapan tuh. Katanya mau meeting sama Papa?"Masuk ke kamar, pertanyaan tersebut dilontarkan Aludra pada Arka ketika suaminya itu tak terlihat di dalam kamar."Mas!""Di wc, Ra!" teriak Arka—membuat Aludra seketika terkekeh karenanya."Oh lagi nabung, oke. Aku tunggu," kata Aludra. Melangkah masuk, dia duduk di pinggir kasur lalu merentangkan tubuhnya di sana.Tak lama berselang, Aludra menoleh ketika pintu kamar mandi terbuka—menampakkan Arka yang sudah rapi dengan pakaian kantornya seperti biasa.Hampir setahun setelah kepindahannya ke Jakarta secara resmi, Arka tak lagi memegang jabatan manajer di perusahaan Dewa karena sang mertua memercayakan posisi CEO pada menantunya itu.Dan tentu saja jabatan yang dipegang Arka sekarang membuat pekerjaannya lebih sibuk dari biasa."Sakit perut aku tuh," kata Arka sambil melangkahkan kakinya mendekati Aludra yang langsung beringsut ketika Arka duduk di sampingnya."Mas. Kok kamu bau?" tanya Aludra—
***"Diem terus daritadi. Bisu ya?"Anindira menoleh ke arah Alister ketika pertanyaan tersebut dilontarkan pria itu padanya tepat setelah mereka selesai berbelanja di salah satu super market besar di kota Bandung."Enggak penting," ketus Anindira. Mendorong troli berisi belanjaan, dia berjalan menuju bagasi mobil Alister yang terparkir di bagian depan. Tanpa meminta bantuan, Anindira dengan mudah membuka bagasi lalu memasukkan beberapa kresek ke sana.Sementara Alister justru tersenyum sambil bersandar pada bagian samping mobil dengan kedua tangan yang berada di dada."Samson banget kamu tuh ya," celetuk Alister. "Penampilan anggun, tapi tenaga kaya kuli pasar.""Pulang," kata Anindira yang langsung berjalan ke sisi kiri mobil lalu masuk dan duduk di samping kursi kemudi.Sebenarnya Anindira ingin duduk di kursi belakang. Namun, sial. Semua itu tak bisa dia lakukan karena jok belakang dipenuhi beberapa pasang pakaian juga sepatu Alister yang katanya akan dipakai syuting besok pagi d
***"Akhirnya selesai juga.""Capek ya?"Damar yang baru saja menghempaskan tubuhnya ke kasur seketika menoleh—memandang Arsya yang sudah santai dengan celana joger juga sweater rajut.Rangkaian acara pernikahan—mulai dari akad hingga resepsi yang digelar hari ini akhirnya selesai, keluarga Damar dan Arsya memang menginap di salah satu vila mewah di Bandung agar privasi mereka terjaga.Rencananya besok, Damar dan Arsya pulang dari Bandung menuju bandara Soekarno hatta untuk langsung pergi berbulan madu menuju Maldives selama seminggu."Banget," kata Damar. "Gempor rasanya kaki aku berdiri berjam-jam nyalamin tamu."Arsya tersenyum lalu duduk di samping Damar. Tanpa aba-aba, dia langsung meraih lengan suaminya itu untuk memberikan sebuah pijatan."Kamu ngapain?" tanya Damar speecles. Menikahi Arsya memang rasanya seperti mimpi bagi dirinya.Selain umur Arsya yang tiga tahun lebih tua dari Damar, selama masa pacaran keduanya pun tak jarang terlibat cekcok karena perbedaan pendapat yang
***"Kok tegang ya, Ar?"Arka yang duduk tak jauh dari Damar mengukir senyuman tipis ketika ungkapan itu kembali terlontar dari mulut sahabat istrinya tersebut.Menempuh perjalanan dua jam, rombongan keluarga mempelai pria sampai di lokasi pernikahan. Tak mau membuang-buang waktu, akad nikah akan segera dilaksanakan sebelum hari menjelang siang."Bismillah," kata Arka mengingatkan."Udah, tapi tetap aja tegang," kata Damar."Tarik napas, hembuskan napas terakhir," celetuk Arka asal."Oh ok ... eh apa barusan? Hembuskan napas terakhir? Mati dong, Ar.""Bercanda.""Lagi tegang malah dibercandain.""Ya udah sih, rileks aja.""Mempelai perempuan memasuki area akad nikah."Arka dan Damar menghentikan obrolan mereka setelah suara sang pembawa acara terdengar dari pengeras suara—disusul suara gamelan yang mengiring kedatangan Arsya bersama Aludra juga Anindira.Memakai adat sunda, perempuan berwajah blasteran itu nampak cantik dengan siger juga kebaya putih yang dia pakai.Manglingi. Begitu