***"Makasih udah mau jenguk Om ya, Ra.""Sama-sama, Om. Kaya sama siapa aja."Hampir setengah jam, berada di ruangan rawat Gilang, Aludra akhirnya berpamitan karena memang waktu sudah menunjukkan pukul sebelas siang dan itu berarti dia harus segera ke kantor untuk mengantar makan siang."Bilangin ke Papa kamu, maaf belum bisa jenguk Lula.""Iya enggak apa-apa, Om. Doain aja semoga Kak Lula cepet sembuh," ucap Aludra."Jangan dulu," celetuk Damar yang kini duduk di ujung ranjang."Jangan dulu apa?" tanya Aludra."Jangan dulu sembuh," ucap Damar. "Alula ngerepotin kalau sembuh. Kamu sama Arka bersatu dulu, baru Alula sembuh."Aludra mendelik. "Kamu jahat ih!""Mau Papa lempar pake botol, kamu?" tanya Gilang. "Kalau ngomong suka sembarangan.""Kan emang kenyataannya gitu, Pa. Papa enggak tau sih, seberapa nyebelinnya Alula," ucap Damar."Lempar aja, Ra. Heran, punya anak kaya gitu banget," ujar Gilang."Jangan dilempar juga, Om. Rara sayang Damar," ucap Aludra. "Kalau Damar dilempar, na
***"Aish, sial! Kenapa harus macet segala?!"Sekali lagi, Arka memukul setir bahkan sengaja membunyikan klakson dengan kencang setelah hampir sepuluh menit mobilnya tak bisa bergerak karena macet.Jika bisa terbang, rasanya Arka ingin terbang saja sekarang agar bisa cepat sampai di rumah sakit untuk memastikan orang yang terserempet mobil itu Aludra atau bukan.Semoga bukan Aludra. Tiga kata yang seolah menjadi mantra itu terus digumamkan Arka di dalam hatinya.Sungguh, jika orang itu Aludra dan terjadi sesuatu padanya, Arka tak akan memaafkan dirinya sendiri."Arka bego, seharusnya kamu tadi jemput dia dulu."Penyesalan selalu datang terakhir. Begitulah yang dirasakan Arka sekarang. Demi apapun, dia ingin berlari saja sekarang."Maju, ayo maju!"Lima belas menit, range rover Arka akhirnya bisa kembali melaju. Mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, Arka akhirnya sampai di rumah sakit.Memarkirkan mobilnya asal di parkiran depan rumah sakit, Arka berlari menuju lobi lalu tentu
***"Duduk, Mas.""Iya."Usai kejadian menegangkan, mengharukan, juga mungkin terbilang cukup lucu, Aludra dan Arka tak langsung pergi dari rumah sakit.Ditawarkan oleh Arsya untuk makan siang di ruangannya, Arka dan Aludra justru memilih taman rumah sakit yang berada di bagian belakang untuk menjadi tempat keduanya menyantap makan siang."Ingus," celetuk Aludra ketika dia dan Arka duduk berhadapan."Hah?"Aludra tersenyum lalu membuka tas selempangnya. Mengeluarkan beberapa lembar tisu, dia mengelap bagian bawah hidung Arka yang basah. Bukan ingus sebenarnya—lebih mengarah ke keringat, karena memang berlari di rumah sakit lalu menangisi jenazah yang ternyata bukan Aludra cukup membuat Arka lelah."Kamu keringetan," ucap Aludra. Mengganti tisu, kini tangannya dengan sangat telaten mengelap keringat yang bercampur air mata di pipi Arka.Tak cukup sampai di situ, Aludra juga merapikan rambut Arka yang berantakan bahkan kini kedua tangannya beralih pada dasi Arka yang ikut tak rapi.Dan
***"Steak kematangan medium sama jus stroberi dua ya, Mbak?""Sip.""Oke, ditunggu pesanannya ya.""Siap."Pelayan restoran pergi, Arsya mengukir senyum manisnya lalu kembali mengalihkan perhatian pada Damar yang ternyata sedang memperhatikannya.Menghibur Damar, Arsya memang sengaja mengajak pria itu untuk makan di salah satu restoran yang tak jauh dari rumah sakit.Tania—sang mama sudah kembali menjaga sang papa, Damar mengiakan ajakan Arsya karena kebetulan perutnya memang sedang lapar."Kenapa lihatin aku? Ada yang aneh ya?" tanya Arsya yang membuat Damar mengerjap."Hah? Gimana?" tanya Damar. Dia yang semula duduk bersandar pada kursi sambil memeluk tangan di dada, segera mengubah posisi duduknya menjadi tegap."Kamu lihatin aku, kenapa? Apa ada yang aneh sama penampil-""Kamu cantik," ucap Damar—memotong ucapan Arsya dan tentu saja langsung membuat kedua pipi putri bungsu Alifan manuel itu memerah karena malu."Kamu bisa aja," kata Arsya malu-malu."Keluarga Alexander emang bib
***"Selesai juga akhirnya."Mematikan laptop, Arka membereskan semua berkas di meja lalu memasukkannya ke laci. Kembali ke kantor sekitar pukul dua siang, Arka memang kembali melanjutkan pekerjaannya karena tentu saja dia tak enak pada karyawan lain jika bolos di hari pertama."Aludra lagi apa ya," gumam Arka pelan. Semua berkas selesai dibereskan, Arka beranjak dari kursi yang sejak tadi dia duduki.Tak ada pekerjaan tambahan, Arka bisa pulang tepat pukul empat dan sekarang tujuannya adalah menjemput Aludra.Tak pulang, dari rumah sakit Aludra sengaja ikut ke kantor bersama Arka. Katanya, dia ingin melepas rindu dan tentu saja karena ruangan kerja Arka berukuran tak terlalu besar, Aludra tak bisa menunggu di sana.Alhasil, sejak dua jam lalu Aludra berada di ruangan Dewa di lantai enam. Semua orang kantor tahu siapa Aludra, tentu saja dia bisa bebas keluar masuk ruangan sang Papa bahkan tidur di sana pun tak akan ada yang berani melarangnya."Ra," panggil Arka ketika kini dia berdi
***"Alula udah baik-baik aja, Ra. Jangan ngelamun."Melihat Aludra terus melamun, teguran tersebut langsung diucapkan Arka agar perempuan tersebut tak terlalu banyak pikiran.Mendapatkan kabar buruk dari Dewa, Aludra memang sempat kalang kabut. Namun, perasaan gelisah yang dia rasakan pun tak lama karena lima belas menit berselang, Dewa kembali memberi kabar jika Alula berhasil melewati masa kritisnya."Aku takut, Mas.""Takut kenapa?""Aku takut Kak Lula pergi kapan aja," ucap Aludra. "Dia saudaraku satu-satunya.""Dia enggak akan pergi," kata Arka sambil mengusap pucuk kepala Aludra dengan tangan kirinya, sementara tangan kanan dia pakai untuk mengendalikan kemudi. "Kamu aja adiknya kuat, masa dia lemah. Bukannya Alula enggak pernah mau kalah dari kamu?""Tapi kan-""Jangan sedih," ucap Arka lagi. "Daripada sedih, mending kita cari hiburan.""Hiburan apa?""Terserah kamu aja," jawab Arka. "Mumpung masih di jalan, kali aja kamu pengen pergi ke suatu tempat.""Pengen sih, tapi agak j
***"Sampe juga akhirnya."Aludra yang sejak tadi bersandar pada jok mobil hanya bisa menghela napas pelan ketika Range Rover putih Arka akhirnya berhenti di parkiran.Menempuh perjalanan empat puluh menit—melalui tol, Arka dan Aludra akhirnya sampai di Dufan. Mencari informasi lebih dulu, keduanya bisa bernapas lega karena hari ini dan hari-hari kerja ke depan, Dufan buka sampai pukul tujuh malam."Kok diem aja?" tanya Arka. "Tadi katanya pengen ke Dufan, kok sekarang sampai kaya enggak seneng."Aludra menoleh. "Perut aku enggak enak," ucapnya sambil mengelus perut. "Kaya mu ... hoek!"Belum selesai Aludra berbicara, isi perutnya mendahului keluar. Aludra muntah. Tak sempat memberikan kresek atau sebagainya, dia muntah di mobil."Yah, mobil kamu kotor," kata Aludra setelah mual di perutnya mereda. Mendongak, dia menatap Arka. "Maaf ya, Mas."Arka tersenyum. Meskipun karpetnya kotor, dia tak mempermasalahkan semua itu. "Enggak apa-apa," ucapnya. "Nanti biar aku bersihin.""Pake apa?"
***Double date.Mungkin dua kata itulah yang sekiranya cocok untuk Aludra dan Arka juga Damar dan Arsya yang kini berjalan menyusuri Dufan.Belum menemukan apa yang ingin mereka lakukan, keempatnya hanya berjalan-jalan sambil menikmati keramaian sore wahana tersebut yang kini mulai dihiasi kerlap-kerlip lampu hingga tak lama Aludra yang berjalan di depan bersama Arka berhenti melangkah."Mas, komidi putar," kata Aludra sambil menunjuk wahana komidi putar yang tak jauh dari tempatnya dan yang lain berdiri."Mau naik?" tanya Arka. "Eh itu mutarnya kenceng enggak sih?""Enggak," jawab Damar. "Enggak lihat tuh banyak anak-anak yang naik. Kalau banyak anak-anak berarti aman.""Mau, Ra?""Mau, Mas.""Kamu mau juga, Sya?" tanya Damar pada Arsya."Boleh deh."Mengantri sebentar, keempatnya langsung mencari tempat kosong yang bisa mereka duduki di sana."Aku di sini," kata Aludra yang langsung duduk di sebuah bangku kosong."Oke," kata Arka. Percaya diri, dia menghampiri Aludra untuk ikut du