***"Duduk, Mas.""Iya."Usai kejadian menegangkan, mengharukan, juga mungkin terbilang cukup lucu, Aludra dan Arka tak langsung pergi dari rumah sakit.Ditawarkan oleh Arsya untuk makan siang di ruangannya, Arka dan Aludra justru memilih taman rumah sakit yang berada di bagian belakang untuk menjadi tempat keduanya menyantap makan siang."Ingus," celetuk Aludra ketika dia dan Arka duduk berhadapan."Hah?"Aludra tersenyum lalu membuka tas selempangnya. Mengeluarkan beberapa lembar tisu, dia mengelap bagian bawah hidung Arka yang basah. Bukan ingus sebenarnya—lebih mengarah ke keringat, karena memang berlari di rumah sakit lalu menangisi jenazah yang ternyata bukan Aludra cukup membuat Arka lelah."Kamu keringetan," ucap Aludra. Mengganti tisu, kini tangannya dengan sangat telaten mengelap keringat yang bercampur air mata di pipi Arka.Tak cukup sampai di situ, Aludra juga merapikan rambut Arka yang berantakan bahkan kini kedua tangannya beralih pada dasi Arka yang ikut tak rapi.Dan
***"Steak kematangan medium sama jus stroberi dua ya, Mbak?""Sip.""Oke, ditunggu pesanannya ya.""Siap."Pelayan restoran pergi, Arsya mengukir senyum manisnya lalu kembali mengalihkan perhatian pada Damar yang ternyata sedang memperhatikannya.Menghibur Damar, Arsya memang sengaja mengajak pria itu untuk makan di salah satu restoran yang tak jauh dari rumah sakit.Tania—sang mama sudah kembali menjaga sang papa, Damar mengiakan ajakan Arsya karena kebetulan perutnya memang sedang lapar."Kenapa lihatin aku? Ada yang aneh ya?" tanya Arsya yang membuat Damar mengerjap."Hah? Gimana?" tanya Damar. Dia yang semula duduk bersandar pada kursi sambil memeluk tangan di dada, segera mengubah posisi duduknya menjadi tegap."Kamu lihatin aku, kenapa? Apa ada yang aneh sama penampil-""Kamu cantik," ucap Damar—memotong ucapan Arsya dan tentu saja langsung membuat kedua pipi putri bungsu Alifan manuel itu memerah karena malu."Kamu bisa aja," kata Arsya malu-malu."Keluarga Alexander emang bib
***"Selesai juga akhirnya."Mematikan laptop, Arka membereskan semua berkas di meja lalu memasukkannya ke laci. Kembali ke kantor sekitar pukul dua siang, Arka memang kembali melanjutkan pekerjaannya karena tentu saja dia tak enak pada karyawan lain jika bolos di hari pertama."Aludra lagi apa ya," gumam Arka pelan. Semua berkas selesai dibereskan, Arka beranjak dari kursi yang sejak tadi dia duduki.Tak ada pekerjaan tambahan, Arka bisa pulang tepat pukul empat dan sekarang tujuannya adalah menjemput Aludra.Tak pulang, dari rumah sakit Aludra sengaja ikut ke kantor bersama Arka. Katanya, dia ingin melepas rindu dan tentu saja karena ruangan kerja Arka berukuran tak terlalu besar, Aludra tak bisa menunggu di sana.Alhasil, sejak dua jam lalu Aludra berada di ruangan Dewa di lantai enam. Semua orang kantor tahu siapa Aludra, tentu saja dia bisa bebas keluar masuk ruangan sang Papa bahkan tidur di sana pun tak akan ada yang berani melarangnya."Ra," panggil Arka ketika kini dia berdi
***"Alula udah baik-baik aja, Ra. Jangan ngelamun."Melihat Aludra terus melamun, teguran tersebut langsung diucapkan Arka agar perempuan tersebut tak terlalu banyak pikiran.Mendapatkan kabar buruk dari Dewa, Aludra memang sempat kalang kabut. Namun, perasaan gelisah yang dia rasakan pun tak lama karena lima belas menit berselang, Dewa kembali memberi kabar jika Alula berhasil melewati masa kritisnya."Aku takut, Mas.""Takut kenapa?""Aku takut Kak Lula pergi kapan aja," ucap Aludra. "Dia saudaraku satu-satunya.""Dia enggak akan pergi," kata Arka sambil mengusap pucuk kepala Aludra dengan tangan kirinya, sementara tangan kanan dia pakai untuk mengendalikan kemudi. "Kamu aja adiknya kuat, masa dia lemah. Bukannya Alula enggak pernah mau kalah dari kamu?""Tapi kan-""Jangan sedih," ucap Arka lagi. "Daripada sedih, mending kita cari hiburan.""Hiburan apa?""Terserah kamu aja," jawab Arka. "Mumpung masih di jalan, kali aja kamu pengen pergi ke suatu tempat.""Pengen sih, tapi agak j
***"Sampe juga akhirnya."Aludra yang sejak tadi bersandar pada jok mobil hanya bisa menghela napas pelan ketika Range Rover putih Arka akhirnya berhenti di parkiran.Menempuh perjalanan empat puluh menit—melalui tol, Arka dan Aludra akhirnya sampai di Dufan. Mencari informasi lebih dulu, keduanya bisa bernapas lega karena hari ini dan hari-hari kerja ke depan, Dufan buka sampai pukul tujuh malam."Kok diem aja?" tanya Arka. "Tadi katanya pengen ke Dufan, kok sekarang sampai kaya enggak seneng."Aludra menoleh. "Perut aku enggak enak," ucapnya sambil mengelus perut. "Kaya mu ... hoek!"Belum selesai Aludra berbicara, isi perutnya mendahului keluar. Aludra muntah. Tak sempat memberikan kresek atau sebagainya, dia muntah di mobil."Yah, mobil kamu kotor," kata Aludra setelah mual di perutnya mereda. Mendongak, dia menatap Arka. "Maaf ya, Mas."Arka tersenyum. Meskipun karpetnya kotor, dia tak mempermasalahkan semua itu. "Enggak apa-apa," ucapnya. "Nanti biar aku bersihin.""Pake apa?"
***Double date.Mungkin dua kata itulah yang sekiranya cocok untuk Aludra dan Arka juga Damar dan Arsya yang kini berjalan menyusuri Dufan.Belum menemukan apa yang ingin mereka lakukan, keempatnya hanya berjalan-jalan sambil menikmati keramaian sore wahana tersebut yang kini mulai dihiasi kerlap-kerlip lampu hingga tak lama Aludra yang berjalan di depan bersama Arka berhenti melangkah."Mas, komidi putar," kata Aludra sambil menunjuk wahana komidi putar yang tak jauh dari tempatnya dan yang lain berdiri."Mau naik?" tanya Arka. "Eh itu mutarnya kenceng enggak sih?""Enggak," jawab Damar. "Enggak lihat tuh banyak anak-anak yang naik. Kalau banyak anak-anak berarti aman.""Mau, Ra?""Mau, Mas.""Kamu mau juga, Sya?" tanya Damar pada Arsya."Boleh deh."Mengantri sebentar, keempatnya langsung mencari tempat kosong yang bisa mereka duduki di sana."Aku di sini," kata Aludra yang langsung duduk di sebuah bangku kosong."Oke," kata Arka. Percaya diri, dia menghampiri Aludra untuk ikut du
***"Silakan.""Ini kenapa antriannya dikit banget sih? Harusnya kan rame."Sambil melangkah menuju kereta yang akan dia naikki, Damar tak hentinya bergerutu. Entah kebetulan atau apa, wahana menyeramkan yang akan dia dan Arka naikki tiba-tiba saja tak terlalu ramai karena hanya beberapa menit menunggu, kini Damar dan Arka sudah mendapat giliran untuk naik."Harusnya antrian ini sampe belasan meter biar enggak keburu terus tutup," sahut Arka yang berjalan persis di belakang Damar."Nah." Kali ini Damar setuju. Menoleh dia menjentikkan jarinya di depan wajah Arka. "Setuju. Emang harusnya gitu.""Iya.""Terus sekarang gimana?" tanya Damar.Arka menaikkan sebelah alisnya. "Apanya yang gimana?""Aku tau kamu takut, Ar. Enggak usah so berani," ujar Damar."Terus?" tanya Arka. "Kita udah sampe sini juga, kan? Kalau kabur, Aludra marah. Aku enggak mau kandungannya kenapa-kenapa."Damar menggaruk tengkuknya. "Iya sih," jawabnya. "Lagian kamu kenapa pake bawa Aludra ke sini sih? Kaya enggak ad
***"Ar, gimana kalau kita kabur aja sekarang? Sumpah, enggak kuat. Aludra ngidamnya makin nyiksa."Berdiri di antrian, sebuah usulan tersebut dilontarkan Damar pada Arka yang kini berdiri di belakangnya.Seolah belum puas mengerjai Damar dan Arka, Aludra memang kembali meminta dua pria itu menaikki satu wahana lagi di Dufan.Memberi dua pilihan, Aludra meminta Arka dan Damar memilih antara wahana tornado dan kora-kora. Membandingkan, dua wahana tersebut akhirnya Damar dan Arka sepakat memilih kora-kora meskipun pada kenyataannya mereka pun masih takut menaikki wahana tersebut."Kalau kabur, Aludra pulang sama siapa, Dam?" tanya Arka. "Ini Jakarta utara lho, pulang ke Jaksel itu enggak dekat.""Ya habisnya aku takut, Ar. Sekarang kora-kora, nanti apa? Arum jeram? Tornado? Histeria? Lama-lama copot juga nih jantung," oceh Damar panjang lebar."Lagian penakut banget jadi cowok, badan aja gede. Naik wahan histeris," cibir Arka yang tentu saja langsung mendapatkan delikkan tajam dari Dama