***"Nasi gorengnya, silakan."Keempat orang yang duduk di sebuah meja itu langsung menyambut kedatangan pelayan yang datang membawa pesanan mereka masing-masing.Melewati banyak drama di Dufan, Aludra, Arka, Arsya, juga Damar memutuskan untuk mampir ke sebuah restoran sebelum pulang agar dalam perjalanan nanti, perut mereka tak kosong."Terima kasih, Mbak."Arka dan Damar yang duduk di ujung langsung mengambil empat piring nasi goreng yang diberikan pelayan tersebut lalu setelahnya mereka pun mengambil empat gelas minuman yang kebetulan sengaja disamakan.Nasi goreng juga es teh manis, menjadi menu yang diinginkan keempatnya untuk makan malam."Buat kamu yang enggak pedes," kata Arka sambil memberikan nasi goreng Aludra yang sedikit berbeda karena memang miliknya sengaja tak pedas."Makasih, Mas.""Kamu mau yang mana?" tanya Damar pada Arsya. "Mana aja, sama, kan?" tanya Arsya."Sama sih.""Ya udah yang mana aja.""Oke."Setelahnya kegiatan makan malam berlangsung. Masing-masing dar
***"Mau langsung pulang?""Iya, capek.""Ya udah, kita langsung pulang ya, kasian si kembar juga pasti capek."Oke."Acara makan malam selesai, kedua pasangan akhirnya membubarkan diri. Tak bersama, Arka dan Aludra lalu Damar juga Arsya mengambil jalan yang berbeda tepat setelah keluar dari pintu tol karena memang tujuan Damar adalah rumah sakit.Sesuai janji, Damar akan mengantar Arsya dengan mobil yang terpisah.Pukul sembilan malam—setelah menempuh perjalanan cukup jauh, pajero sport yang dikendarai Arka akhirnya sampai di depan rumah Aludra.Tak tidur, sampai mobil berhenti di depan teras, Aludra masih terjaga karena memang dia sengaja menemani Arka di jalan agar pria itu tak mengantuk."Sebentar," kata Arka ketika Aludra baru saja melepas seat beltnya."Kenapa, Mas?""Tunggu." Membuka pintu mobil, Arka mengitarinya lalu membukakan pintu untuk Aludra. "Kamu bilang Damar akan memperlakukan Arsya seperti ratu, begitupun aku. Kali ini kamu bukan cadangan. Kamu ratu sesungguhnya di h
***"Kenapa malah ngelamun?"Aurora menoleh ketika Dewa berjalan menghampirinya yang kini tengah sibuk mengemasi semua pakaian ke dalam koper.Seminggu tinggal di Swiss untuk menjaga Alula, hari ini Aurora dan Dewa memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Banyak yang harus diurus—termasuk perusahaan, membuat Dewa tak bisa berlama-lama di luar negeri, meskipun itu untuk menjaga putrinya.Bukan tak mau, tapi Dewa pun harus bertanggung jawab dengan pekerjaannya. Dia tak bisa terlalu lama meninggalkan perusahaan tanpa pemimpin karena itu terlalu beresiko dan Aurora?Sebagai istri yang baik, dia harus tetap mendampingi suaminya."Aku enggak enak hati," kata Aurora. "Enggak tahu kenapa, lihat wajah Alula itu kaya beda. Bercahaya banget dia, Mas."Dewa tersenyum tipis. Berusaha menenangkan sang istri, dia mengusap lembut bahu Aurora. "Itu artinya Lula akan segera sadar," ucapnya.Aurora menoleh lalu memandang Dewa. "Ini Swiss, Mas. Kamu bilang negara ini punya fasilitas terbaik di di bidang ke
***"Gimana, Sya? Udah normal belum?"Menemui Arsya tepat pukul setengah tiga sore, Aludra langsung melakukan pemeriksaan dan tentunya step pertama yang diperiksa Arsya—sebagai obgyn baru untuk Aludra adalah; tekanan darah.Lebih baik dari hasil pemeriksaan dua minggu lalu, tekanan darah Aludra sudah terbilang cukup normal."Seratus sepuluh per delapan puluh, normal," kata Arsya sambil melepaskan alat yang barusan dia pakai memeriksa tekanan darah Aludra."Syukurlah," kata Arka."Seriusan normal?" tanya Aludra yang cukup speecles, pasalnya dokter lama dia berkata Aludra sedikit susah menaikkan tekanan darahnya."Iya normal, Ra," jawab Arsya. "Ada keluhan lain selain morning sickness sama kram enggak?""Enggak sih," jawab Aludra. "Udah beberapa hari ini mualku juga udah mereda.""Bagus dong," kata Arsya. Dia yang duduk di depan Aludra dan Arka lantas memandang Arka sambil menahan senyum. "Mual kamu udah diborong sama Arka waktu itu.""Maksudnya?"Arsya terkekeh. "Seminggu lalu di Dufan
***"Damar mana ya, lama banget."Sekali lagi, Arsya melirik arloji di pergelangan tangan kirinya yang sudah menunjukkan pukul enam sore.Menunggu dengan gelisah, hampir setengah jam Arsya menunggu kedatangan Damar sambil duduk di sebuah bangku panjang di koridor rumah sakit.Backstreet. Arsya yang semula mengajak Damar untuk menyembunyikan hubungan mereka sementara waktu dari Alfian, pada akhirnya harus pasrah juga ketika Papanya itu memergoki dia ketika sedang menelepon Damar—tentunya dengan nada bicara yang berbeda dari biasa—layaknya pasangan kekasih pada umumnya.Bukan orang tua yang kuno, Alfian langsuny bisa menebak jika putri bungsunya itu menjalin hubungan dengan Damar dan tentu saja setelah kejadian itu—hari ini, Damar diundang makan malam oleh Alfian.Arsya sebenarnya sempat menolak permintaan Alfian yang menyuruh Damar datang. Namun, ancaman sang papa yang tak akan memberikan restu tentunya membuat Arsya mau tak mau akhirnya meminta Damar untuk datang ke rumahnya malam ini
***"Nasi gorengnya agak pedas ya, Mas.""Nanti sakit perut.""Enggak kok, kalau nasi goreng itu enggak sakit perut.""Ya udah, nanti aku telepon lagi.""Iya, Mas."Duduk di kursi yang berada di pinggir kolam renang, Aludra menutup sambungan teleponnya dengan Arka yang sekarang sedang berada di luar.Usai maghrib—setelah beberapa hari tak menginginkan sesuatu, Aludra kembali meminta Arka membelikannya makanan. Bukan makanan aneh, yang dia minta hanyalah nasi goreng yang biasa dibelikan Damar.Tentunya harus pedas agar persis dengan yang diberikan Damar."Mas Arka, makin sayang deh," gumam Aludra pelan.Memegang ponselnya, dia sedikit tersentak ketika benda pipih itu kembali bergetar. Memandang layar, di sana nama sang papa terpampang."Halo, Pa," sama Aludra setelah menjawab panggilan dari Dewa. "Oh ya, Papa udah sampe mana? Kok bisa telepon?""Transit dulu, Ra," kata Dewa. "Kamu lagi apa?""Duduk di pinggir kolam, Pa.""Awas jatuh!" seru Dewa dengan segera—membuat Aludra terkekeh kar
***"Sampai juga akhirnya."Pukul tujuh malam—setelah sempat terjebak macet, Damar dan Arsya akhirnya sampai di kediaman Alfian. Pintu gerbang terbuka lebar, ferarry merah yang dikendarai Damar bisa langsung masuk dan kini berhenti persis di samping Fortuner hitam dengan plat yang terbilang cukuk unik.B 1997 AXL"Itu mobil siapa?" tanya Damar sambil mengarahkan dagunya ke arah fortuner hitam tersebut."Tiga huruf belakangnya, kamu pasti tahul," kata Arsya. "AXL alias Alexander. Itu mobil uncle Adam.""Oh iya ya."Melepas seat belt, Arsya memandang Damar lalu menepuk bahu kekasihnya itu. "Kamu siap, kan?" tanyanya."Siap, Sya. Doain ya.""Pasti."Saling melempar tatapan untuk beberapa detik, Damar dan Arsya akhirnya turun dari mobil. Melangkah bersama, keduanya masuk ke dalam rumah tanpa harus mengetuk pintu karena memang sepertinya pintu utama sengaja dibuka lebar-lebar—menyambut kedatangan Damar."Selamat malam," sapa Damar ketika di ruang tamu dia mendapati dua orang pria berwajah
***"Halo Sayangku, apa kabar?"Mendapat panggilan sayang dari pria asing yang jelas tak pernah dia kenal bahkan temui sebelumnya, tentu saja berhasil membuat Aludra takut sampai harus berdiri rapat dengan Mbak Tita."Kamu siapa?" tanya Aludra untuk yang kedua kalinya, setelah beberapa menit lalu dia mengajukan pertanyaan serupa. Namun, belum dijawab oleh pria tersebut."Aku siapa?" Pria itu tersenyum lagi. Beranjak dari sofa yang dia duduki, dia berjalan mendekati Aludra lau berdiri di depannya dengan jarak yang cukup dekat."Kamu pura-pura lupa, Lu? Aku pria yang pernah kamu sayang dan aku adalah pria yang pernah menghabiskan malam panas sama kamu."Aludra mengerutkan keningnya lagi. "Siapa?" tanyanya. "Aku enggak kenal kamu.""Aku tahu kamu marah, tapi jangan pura-pura gak kenal juga dong," ucap pria tersebut. Lancang, dia mengulurkan tangan—berniat untuk mencolek dagu Aludra.Namun, Mbak Tita sigap menepis tangan pria tersebut hingga menjauh dari wajah Aludra."Jangan asal sentuh