***"Kenapa malah ngelamun?"Aurora menoleh ketika Dewa berjalan menghampirinya yang kini tengah sibuk mengemasi semua pakaian ke dalam koper.Seminggu tinggal di Swiss untuk menjaga Alula, hari ini Aurora dan Dewa memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Banyak yang harus diurus—termasuk perusahaan, membuat Dewa tak bisa berlama-lama di luar negeri, meskipun itu untuk menjaga putrinya.Bukan tak mau, tapi Dewa pun harus bertanggung jawab dengan pekerjaannya. Dia tak bisa terlalu lama meninggalkan perusahaan tanpa pemimpin karena itu terlalu beresiko dan Aurora?Sebagai istri yang baik, dia harus tetap mendampingi suaminya."Aku enggak enak hati," kata Aurora. "Enggak tahu kenapa, lihat wajah Alula itu kaya beda. Bercahaya banget dia, Mas."Dewa tersenyum tipis. Berusaha menenangkan sang istri, dia mengusap lembut bahu Aurora. "Itu artinya Lula akan segera sadar," ucapnya.Aurora menoleh lalu memandang Dewa. "Ini Swiss, Mas. Kamu bilang negara ini punya fasilitas terbaik di di bidang ke
***"Gimana, Sya? Udah normal belum?"Menemui Arsya tepat pukul setengah tiga sore, Aludra langsung melakukan pemeriksaan dan tentunya step pertama yang diperiksa Arsya—sebagai obgyn baru untuk Aludra adalah; tekanan darah.Lebih baik dari hasil pemeriksaan dua minggu lalu, tekanan darah Aludra sudah terbilang cukup normal."Seratus sepuluh per delapan puluh, normal," kata Arsya sambil melepaskan alat yang barusan dia pakai memeriksa tekanan darah Aludra."Syukurlah," kata Arka."Seriusan normal?" tanya Aludra yang cukup speecles, pasalnya dokter lama dia berkata Aludra sedikit susah menaikkan tekanan darahnya."Iya normal, Ra," jawab Arsya. "Ada keluhan lain selain morning sickness sama kram enggak?""Enggak sih," jawab Aludra. "Udah beberapa hari ini mualku juga udah mereda.""Bagus dong," kata Arsya. Dia yang duduk di depan Aludra dan Arka lantas memandang Arka sambil menahan senyum. "Mual kamu udah diborong sama Arka waktu itu.""Maksudnya?"Arsya terkekeh. "Seminggu lalu di Dufan
***"Damar mana ya, lama banget."Sekali lagi, Arsya melirik arloji di pergelangan tangan kirinya yang sudah menunjukkan pukul enam sore.Menunggu dengan gelisah, hampir setengah jam Arsya menunggu kedatangan Damar sambil duduk di sebuah bangku panjang di koridor rumah sakit.Backstreet. Arsya yang semula mengajak Damar untuk menyembunyikan hubungan mereka sementara waktu dari Alfian, pada akhirnya harus pasrah juga ketika Papanya itu memergoki dia ketika sedang menelepon Damar—tentunya dengan nada bicara yang berbeda dari biasa—layaknya pasangan kekasih pada umumnya.Bukan orang tua yang kuno, Alfian langsuny bisa menebak jika putri bungsunya itu menjalin hubungan dengan Damar dan tentu saja setelah kejadian itu—hari ini, Damar diundang makan malam oleh Alfian.Arsya sebenarnya sempat menolak permintaan Alfian yang menyuruh Damar datang. Namun, ancaman sang papa yang tak akan memberikan restu tentunya membuat Arsya mau tak mau akhirnya meminta Damar untuk datang ke rumahnya malam ini
***"Nasi gorengnya agak pedas ya, Mas.""Nanti sakit perut.""Enggak kok, kalau nasi goreng itu enggak sakit perut.""Ya udah, nanti aku telepon lagi.""Iya, Mas."Duduk di kursi yang berada di pinggir kolam renang, Aludra menutup sambungan teleponnya dengan Arka yang sekarang sedang berada di luar.Usai maghrib—setelah beberapa hari tak menginginkan sesuatu, Aludra kembali meminta Arka membelikannya makanan. Bukan makanan aneh, yang dia minta hanyalah nasi goreng yang biasa dibelikan Damar.Tentunya harus pedas agar persis dengan yang diberikan Damar."Mas Arka, makin sayang deh," gumam Aludra pelan.Memegang ponselnya, dia sedikit tersentak ketika benda pipih itu kembali bergetar. Memandang layar, di sana nama sang papa terpampang."Halo, Pa," sama Aludra setelah menjawab panggilan dari Dewa. "Oh ya, Papa udah sampe mana? Kok bisa telepon?""Transit dulu, Ra," kata Dewa. "Kamu lagi apa?""Duduk di pinggir kolam, Pa.""Awas jatuh!" seru Dewa dengan segera—membuat Aludra terkekeh kar
***"Sampai juga akhirnya."Pukul tujuh malam—setelah sempat terjebak macet, Damar dan Arsya akhirnya sampai di kediaman Alfian. Pintu gerbang terbuka lebar, ferarry merah yang dikendarai Damar bisa langsung masuk dan kini berhenti persis di samping Fortuner hitam dengan plat yang terbilang cukuk unik.B 1997 AXL"Itu mobil siapa?" tanya Damar sambil mengarahkan dagunya ke arah fortuner hitam tersebut."Tiga huruf belakangnya, kamu pasti tahul," kata Arsya. "AXL alias Alexander. Itu mobil uncle Adam.""Oh iya ya."Melepas seat belt, Arsya memandang Damar lalu menepuk bahu kekasihnya itu. "Kamu siap, kan?" tanyanya."Siap, Sya. Doain ya.""Pasti."Saling melempar tatapan untuk beberapa detik, Damar dan Arsya akhirnya turun dari mobil. Melangkah bersama, keduanya masuk ke dalam rumah tanpa harus mengetuk pintu karena memang sepertinya pintu utama sengaja dibuka lebar-lebar—menyambut kedatangan Damar."Selamat malam," sapa Damar ketika di ruang tamu dia mendapati dua orang pria berwajah
***"Halo Sayangku, apa kabar?"Mendapat panggilan sayang dari pria asing yang jelas tak pernah dia kenal bahkan temui sebelumnya, tentu saja berhasil membuat Aludra takut sampai harus berdiri rapat dengan Mbak Tita."Kamu siapa?" tanya Aludra untuk yang kedua kalinya, setelah beberapa menit lalu dia mengajukan pertanyaan serupa. Namun, belum dijawab oleh pria tersebut."Aku siapa?" Pria itu tersenyum lagi. Beranjak dari sofa yang dia duduki, dia berjalan mendekati Aludra lau berdiri di depannya dengan jarak yang cukup dekat."Kamu pura-pura lupa, Lu? Aku pria yang pernah kamu sayang dan aku adalah pria yang pernah menghabiskan malam panas sama kamu."Aludra mengerutkan keningnya lagi. "Siapa?" tanyanya. "Aku enggak kenal kamu.""Aku tahu kamu marah, tapi jangan pura-pura gak kenal juga dong," ucap pria tersebut. Lancang, dia mengulurkan tangan—berniat untuk mencolek dagu Aludra.Namun, Mbak Tita sigap menepis tangan pria tersebut hingga menjauh dari wajah Aludra."Jangan asal sentuh
***Come back to me, please."Mama!"Teriakan itu terdengar nyaring minggu pagi ini.Aludra yang berniat untuk berjemur pagi hari di depan rumah tiba-tiba saja dikejutkan dengan kedatangan sebuah karangan bunga berukuran cukup besar dengan tulisan; permintaan kembali.Dari siapa? Tentu saja dari Marvel yang tetap bersikukuh mengira Aludra adalah Alula.Seminggu berlalu sejak kedatangan Marvel malam itu, sudah dua jenis bunga yang datang ke rumah Dewa dengan tulisan yang sama.Pertama, buket bunga mawar—kesukaan Alula, dan sekarang karangan bunga dengan tulisan yang serupa."Kenapa Rara? Pagi-pagi kok udah teri ... ih apa itu?!" tanya Aurora yang tak kalah kaget dengan Aludra."Karangan bunga untuk Mbak Alula," ucap sang pengantar paket yang baru saja selesai menurunkan karangan bunga tersebut."Udah dibayar?" tanya Aludra."Sudah, Mbak. Tugas saya hanya mengantar," kata sang kurir."Bawa lagi," perintah Aurora tanpa basa-basi. "Bapak salah orang.""Benar kok ini alamatnya, Bu," kata k
***"Papa cepetan, Pa!"Dewa yang sejak tadi fokus mengemudi, menoleh sekilas ke belakang ketika ucapan itu dilontarkan oleh Aludra untuk yang kesekian kalinya.Mendapat kabar buruk tentang Arka, tentu saja baik Dewa, Aurora, maupun Aludra langsung bergegas menuju apartemen untuk memastikan keadaan pria itu karena menurut kabar yang didapatkan Tita dari tetangga apartemen Arka, Kejadian bermula dari kedatangan seseorang yang tiba-tiba saja menikam Arka dengan pisau."Sabar ya, Ra. Ini Papa udah cepat kok bawa mobilnya," kata Dewa—berusaha setenang mungkin agar tak membuat konsentrasinya dalam mengemudi, buyar."Mas Arka, Ma. Rara takut dia kenapa-kenap ... aw!" Aludra meringis sambil memegangi perutnya yang tiba-tiba saja terasa sakit."Kenapa? Perut kamu kenapa?""Kram," ungkap Aludra."Ya udah tenangin dulu," pinta Aurora yang langsung menyandarkan Aludra pada jok mobil lalu meminta putrinya untuk menenangkan pikiran. "Jangan panik, Ra. Arka enggak kenapa-kenapa.""Tadi Mbak Tita b
*** "Semangat, Sayang. Jangan tegang ya." Menunggu sekitar satu jam setelah sampai di rumah sakit, Aludra akhirnya siap masuk ruang operasi untuk melahirkan putri kecilnya. Tak didampingi Aurora, yang datang ke rumah sakit hanya Dewa karena memang sang istri tak bisa pergi setelah kedua cucunya sigap menghadang agar sang Oma tak bisa ke mana-mana. Namun, tentu saja Aurora berjanji akan datang setelah Regan maupun Raiden berhasil dia tidurkan. Untuk Amanda dan Dirga, kedua orang tua Arka juga sedang dalam perjalanan setelah ditelepon oleh sang putra setengah jam lalu. "Doain ya, Pa." "Pasti, Ra," kata Dewa. Seumur hidup Aludra, ini adalah kali ketiga dia masuk ruang operasi. Pertama saat melahirkan Regan dan Raiden, kedua ketika mendapatkan donor dari Alula dan ketiga, sekarang—ketika dia akan melahirkan putri ketiganya. Sensasinya masih sama. Ruang operasi di setiap rumah sakit masih terasa dingin dan mungkin sedikit menyeramkan. "Kita mulai sekarang ya, Bu." "Iya, dokter."
***"Aku takut."Aludra yang sejak tadi duduk bersandar sambil mengelus perutnya seketika menoleh ketika Arka yang sejak tadi fokus mengemudi tiba-tiba saja berucap demikian."Takut apa?" tanya Aludra.Arka menoleh sekilas. "Takut kamu lahiran di jalan," ucapnya. "Usia kehamilan kamu tuh udah tiga puluh tujuh minggu, Ra. Duh ngeri kan kalau lahiran di jalan.""Ck, lebay," celetuk Aludra. "Dokter Ellina kan bilang kalau HPL aku dua minggu lagi, Mas. Santai aja kali.""Kan bisa maju.""Ya jangan maju," kata Aludra. Dia kemudian mengusap lagi perutnya yang buncit. "Jangan lahir dulu ya, Sayang. Mama mau nengok aunty dulu.""Iya Mama," ucap Arka.Hari ini, Aludra memang mengajak Arka ke Karawang untuk mengunjungi makam Alula. Tak membawa anak-anak, seperti biasa Aludra menitipkan Regan dan Raiden bersama Aurora juga Dewa yang sudah berkunjung lebih dulu kemarin ke makam Alula.Kemarin, terhitung delapan belas bulan sudah Alula pergi menghadap Sang Pencipta dan Aludra masih merasa semuany
***"Mas Arka buruan ih! Kok lama!"Sekali lagi Aludra yang sejak tadi menunggu di sofa dekat tangga berteriak memanggil Arka yang tak kunjung turun. Padahal, sudah hampir sepuluh menit dia menunggu suaminya turun."Iya sayang, iya. Sebentar," sahut Arka. Memakai pakaian santai, pria itu turun dengan sedikit tergesa-gesa di tangga. "Enggak sabaran banget kamu tuh ya.""Bawaan bayi," celetuk Aludra sambil mengusap perutnya yang buncit. Minggu ini terhitung tiga puluh minggu sudah usia kandungan Aludra."Ck, alasan aja.""Emang kenyataannya gitu.""Regan sama Raiden mana?""Ke mall sama Papa dan Mama.""Beneran jadi anak Oma sama Opa ya mereka tuh," kata Arka."Ya begitulah."Sejak hamil, itensitas Aludra mengasuh anak-anak memang berkurang karena Raiden dan Regan lebih sering dipegang oleh Aurora.Selain sudah tak asi lagi, Aludra juga tak boleh kelelahan selama hamil, sementara Regan dan Raiden yang sudah genap berusia dua tahun semakin lama semakin aktif."Ya udah kita berangkat seka
***"Ini kamu seriusan mau lahiran enggak sih?"Melihat sang istri yang nampak begitu tenang menghadapi proses kontraksi, pertanyaan tersebut akhirnya dilontarkan Damar yang sejak tadi setia duduk di samping Arsya.Kehamilannya sudah mencapai tiga puluh delapan minggu, sore tadi Arsya mengalami sedikit pendarahan. Segera dibawa menuju rumah sakit, dokte kandungan lain yang selama ini menangani Arsya mengatakan jika perempuan itu sudah mengalami bukaan.Ketika datang, Arsya baru mengalami bukaan dua dan sekarang setelah tiga jam berlalu—tepatnya pukul delapan, bukaan tersebut baru sampai ke angka lima.Masih ada lima lagi angka yang harus dilewati Arsya sebelum bukaan lengkap dan bayi yang selama ini dia kandung bisa lahir ke dunia."Emang kenapa?" Arsya yang sejak tadi sibuk mengatur napas sambil menikmati gelombang cinta yang cukup luar biasa, lantas mendongak dan menatap suaminya itu. "Tenang banget," celetuk Damar. "Di film-film tuh yang aku lihat, cewek mau lahiran itu biasanya n
***"Ini seriusan enggak nyadar apa gimana?"Aludra dan Arka mengernyit tak paham sambil memandang Arsya setelah pertanyaan tersebut dilontarkan perempuan tersebut."Maksudnya?" tanya Aludra."Enggak sadar apa?" tanya Arka."Nih." Arsya menunjukkan testpack yang beberapa menit lalu dipakai Aludra. Bukan testpack biasa, testpack yang dipakai adalah testpack digital yang bisa langsung menunjukkan usia kehamilan seorang ibu karena memang saat ini Aludra sedang mengandung."Ten weeks pregnant," gumam Aludra-mengeja tulisan pada testpack lalu Arka yang ikut membaca, spontan menerjemahkan."Hamil sepuluh minggu," ucap Arka.Untuk beberapa detik, sepasang suami istri tersebut bisa dibilang nge-bug, karena setelah membaca testpack baik Aludra maupun Arka saling diam."Kok pada diem sih?" tanya Arsya."Jadi maksudnya aku hamil?" tanya Aludra."Yes, Ra. Kamu hamil," kata Arsya. "Udah sepuluh minggu malah kehamilan kamu tuh.""Kok bisa?" tanya Arka. "Aludra kan baru telat datang bulan dua bulan
***"Mas mandinya udah belum, aku udah siapin sarapan tuh. Katanya mau meeting sama Papa?"Masuk ke kamar, pertanyaan tersebut dilontarkan Aludra pada Arka ketika suaminya itu tak terlihat di dalam kamar."Mas!""Di wc, Ra!" teriak Arka—membuat Aludra seketika terkekeh karenanya."Oh lagi nabung, oke. Aku tunggu," kata Aludra. Melangkah masuk, dia duduk di pinggir kasur lalu merentangkan tubuhnya di sana.Tak lama berselang, Aludra menoleh ketika pintu kamar mandi terbuka—menampakkan Arka yang sudah rapi dengan pakaian kantornya seperti biasa.Hampir setahun setelah kepindahannya ke Jakarta secara resmi, Arka tak lagi memegang jabatan manajer di perusahaan Dewa karena sang mertua memercayakan posisi CEO pada menantunya itu.Dan tentu saja jabatan yang dipegang Arka sekarang membuat pekerjaannya lebih sibuk dari biasa."Sakit perut aku tuh," kata Arka sambil melangkahkan kakinya mendekati Aludra yang langsung beringsut ketika Arka duduk di sampingnya."Mas. Kok kamu bau?" tanya Aludra—
***"Diem terus daritadi. Bisu ya?"Anindira menoleh ke arah Alister ketika pertanyaan tersebut dilontarkan pria itu padanya tepat setelah mereka selesai berbelanja di salah satu super market besar di kota Bandung."Enggak penting," ketus Anindira. Mendorong troli berisi belanjaan, dia berjalan menuju bagasi mobil Alister yang terparkir di bagian depan. Tanpa meminta bantuan, Anindira dengan mudah membuka bagasi lalu memasukkan beberapa kresek ke sana.Sementara Alister justru tersenyum sambil bersandar pada bagian samping mobil dengan kedua tangan yang berada di dada."Samson banget kamu tuh ya," celetuk Alister. "Penampilan anggun, tapi tenaga kaya kuli pasar.""Pulang," kata Anindira yang langsung berjalan ke sisi kiri mobil lalu masuk dan duduk di samping kursi kemudi.Sebenarnya Anindira ingin duduk di kursi belakang. Namun, sial. Semua itu tak bisa dia lakukan karena jok belakang dipenuhi beberapa pasang pakaian juga sepatu Alister yang katanya akan dipakai syuting besok pagi d
***"Akhirnya selesai juga.""Capek ya?"Damar yang baru saja menghempaskan tubuhnya ke kasur seketika menoleh—memandang Arsya yang sudah santai dengan celana joger juga sweater rajut.Rangkaian acara pernikahan—mulai dari akad hingga resepsi yang digelar hari ini akhirnya selesai, keluarga Damar dan Arsya memang menginap di salah satu vila mewah di Bandung agar privasi mereka terjaga.Rencananya besok, Damar dan Arsya pulang dari Bandung menuju bandara Soekarno hatta untuk langsung pergi berbulan madu menuju Maldives selama seminggu."Banget," kata Damar. "Gempor rasanya kaki aku berdiri berjam-jam nyalamin tamu."Arsya tersenyum lalu duduk di samping Damar. Tanpa aba-aba, dia langsung meraih lengan suaminya itu untuk memberikan sebuah pijatan."Kamu ngapain?" tanya Damar speecles. Menikahi Arsya memang rasanya seperti mimpi bagi dirinya.Selain umur Arsya yang tiga tahun lebih tua dari Damar, selama masa pacaran keduanya pun tak jarang terlibat cekcok karena perbedaan pendapat yang
***"Kok tegang ya, Ar?"Arka yang duduk tak jauh dari Damar mengukir senyuman tipis ketika ungkapan itu kembali terlontar dari mulut sahabat istrinya tersebut.Menempuh perjalanan dua jam, rombongan keluarga mempelai pria sampai di lokasi pernikahan. Tak mau membuang-buang waktu, akad nikah akan segera dilaksanakan sebelum hari menjelang siang."Bismillah," kata Arka mengingatkan."Udah, tapi tetap aja tegang," kata Damar."Tarik napas, hembuskan napas terakhir," celetuk Arka asal."Oh ok ... eh apa barusan? Hembuskan napas terakhir? Mati dong, Ar.""Bercanda.""Lagi tegang malah dibercandain.""Ya udah sih, rileks aja.""Mempelai perempuan memasuki area akad nikah."Arka dan Damar menghentikan obrolan mereka setelah suara sang pembawa acara terdengar dari pengeras suara—disusul suara gamelan yang mengiring kedatangan Arsya bersama Aludra juga Anindira.Memakai adat sunda, perempuan berwajah blasteran itu nampak cantik dengan siger juga kebaya putih yang dia pakai.Manglingi. Begitu