***"Papa cepetan, Pa!"Dewa yang sejak tadi fokus mengemudi, menoleh sekilas ke belakang ketika ucapan itu dilontarkan oleh Aludra untuk yang kesekian kalinya.Mendapat kabar buruk tentang Arka, tentu saja baik Dewa, Aurora, maupun Aludra langsung bergegas menuju apartemen untuk memastikan keadaan pria itu karena menurut kabar yang didapatkan Tita dari tetangga apartemen Arka, Kejadian bermula dari kedatangan seseorang yang tiba-tiba saja menikam Arka dengan pisau."Sabar ya, Ra. Ini Papa udah cepat kok bawa mobilnya," kata Dewa—berusaha setenang mungkin agar tak membuat konsentrasinya dalam mengemudi, buyar."Mas Arka, Ma. Rara takut dia kenapa-kenap ... aw!" Aludra meringis sambil memegangi perutnya yang tiba-tiba saja terasa sakit."Kenapa? Perut kamu kenapa?""Kram," ungkap Aludra."Ya udah tenangin dulu," pinta Aurora yang langsung menyandarkan Aludra pada jok mobil lalu meminta putrinya untuk menenangkan pikiran. "Jangan panik, Ra. Arka enggak kenapa-kenapa.""Tadi Mbak Tita b
***Marvel berhasil ditangkap.Kabar bagus itu didapatkan Dewa juga Aludra pagi ini setelah pihak kepolisian yang menangani kasus Marvel menghubungi nomor Dewa.Tak ditangkap di rumahnya, polisi menangkap Marvel di salah satu apartemen mewah kota Jakarta yang dia tempati dan tentunya yang membuat terkejut, ternyata Marvel tinggal di gedung yang sama dengan Arka."Papa mau ke kantor polisi dulu buat mastiin," kata Dewa yang langsung beranjak dari kursi setelah menghabiskan sarapannya."Ikut."Mengerutkan kening, Dewa menatap Aludra ketika sebuah kata dilontarkan sang putri."Ikut apa?" tanya Dewa."Ikut ke kantor polisi," kata Aludra. "Rara mau pastiin kalau polisi tangkap orang yang benar.""Pasti benar, Ra. Kan ada fotonya waktu itu," ucap Dewa."Kali aja salah, Pa," kata Aludra."Ra." Aurora yang duduk di samping Aludra, langsung memberikan sebuah tatapan pada sang putri. "Kehamilan kamu masih tiga bulan lho, dijaga dulu, jangan banyak gerak.""Rara mau pastiin doang, Ma," kata Alud
***"Gimana, bagus enggak kebayanya?"Keluar dari ruang ganti, Arsya tersenyum sambil memutar tubuhnya agar kebaya berwarna coklat muda yang dia pakai saat ini bisa dilihat dengan jelas oleh Damar yang duduk di kursi."Kamu kok cantik?" tanya Damar. Tak berkedip, dia jelas terpesona dengan penampilan Arsya sekarang.Meskipun wajahnya cenderung bule, tapi nyatanya dia terlibat begitu cocok memakai kebaya juga kain kebat yang sengaja disesuaikan dengan warna kebaya."Serius?" tanya Arsya."Seriuslah, masa becanda?" tanya Damar.Lima bulan menjalin hubungan, Arsya dan Damar akhirnya memantapkan hati untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius—setelah sebelumnya mendapatkan restu dari kedua keluarga.Tak langsung menikah, Damar dan Arsya memutuskan untuk menggelar acara lamaran untuk meresmikan hubungan mereka sebelum nanti melangkah ke tahap selanjutnya—pernikahan.Tentunya, meskipun hanya sekadar lamaran, pesta akan digelar di sebuah hotel berbintang kota Jakarta karena bagaimanapun ju
***"Ra, udah? Yuk berangkat.""Enggak ah!""Lho kok eng ... Ra? Kok masih dasteran?"Melihat Aurora masuk ke kamarnya—lengkap dengan dress brukat berwarna krem, Aludra hanya bisa merengut—mengagumi tubuh sang mama yang terlihat begitu ramping.Jauh berbeda dengannya yang semakin lama semakin membengkak karena usia kehamilan yang semakin bertambah. Terhitung, minggu ini adalah minggu ke dua puluh delapan usia kehamilan Aludra dan tentu saja ukuran perut bahkan badannya sudah tak seramping dulu.Melakukan pemeriksaan seperti biasa, minggu kemarin. Berat badan Aludra yang semula—sebelum hamil hanya mencapai lima puluh kilogram, sekarang sudah berada di angka tujuh puluh lima.Dan tentu saja semua itu membuat Aludra terkadang berasa insecure dengan ukuran tubuhnya, apalagi jika sudah bersanding dengan Arka. Seperti angka satu dan nol, begitulah Aludra membandingkan tubuhnya dengan sang calon suami sekaligus calon ayah dari kedua bayi di perutnya."Mama aja sama Papa terus Mas Arka yang p
***"Untung belum telat."Sampai pukul tujuh lebih lima belas menit di rumah Damar, Arka menghembuskan napas lega melihat beberapa mobil masih terparkir di halaman depan—tanda bahwa dia dan Aludra yang memang berangkat terakhir, belum terlambat."Belum pada berangkat ya, Mas?" tanya Aludra."Belum kayanya," kata Arka. Dia kemudian melirik Aludra. "Mau turun apa tunggu di sini.""Males gerak, aku tunggu di sini aja," ucap Aludra sambil mengelus perutnya yang kini dibalut dress brukat bermodel sama dengan Aurora.Bedanya jelas pada ukuran. Jika Aurora yang masih tetap langsing sampai sekarang memakai size M untuk dress yang dia pakai, maka jauh berbeda dengan Aludra yang harus legowo memakai size triple XL untuk baju yang dia pakai, karena memang ukuran double XL saja sudah tak cukup—mengingat ukuran perut Aludra yang sedikit lebih besar dari kehamilan biasa."Ya udah aku turun sebentar buat pastiin ya," kata Arka."Jangan lama-lama, Mas.""Siap, Sayang."Membuka pintu, Arka melangkahka
***"Hati-hati."Memegangi kursi, dengan sangat hati-hati Arka mempersilakan Aludra untuk duduk di kursi tamu yang sudah tersedia.Menempuh perjalanan selama dua puluh menit, rombongan keluarga besar Damar sampai di hotel tempat acara lamaran digelar dan tentunya kedatangan keluarga Damar disambut hangat oleh seluruh keluarga besar Alexander—termasuk Aksa yang sengaja datang dari Bandung.Sekeluarga, seperti biasa Aksa datang bersama Ananta juga ketiga anaknya karena memang setelah dari acara lamaran, lusa nanti Aksa akan datang pula ke acara yang akan digelar Aludra di kediaman Dewa."Makasih, Mas," kata Aludra setelah dirinya duduk dengan nyaman."Sama-sama, Sayang," kata Arka yang langsung duduk di samping Aludra.Acara dimulai, lamaran dibuka dengan sambutan dari kedua belah pihak keluarga dan sebagai perwakilan dari keluarga Damar, Dewa naik ke atas panggung kecil yang tersedia untuk menyampaikan maksud kedatangan Damar dan keluarganya malam ini.Berlanjut, sambutan kembali diber
***"Oke, udah cantik."Mengukir senyum, Aludra memandangi meja makan yang sudah tertata rapi—diisi berbagai masakan yang dibuat sendiri di apartemen.Siang ini, Aludra memang sedang berada di apartemen Arka untuk membantu pria itu memasak makan siang untuk kedua orang tuanya yang akan datang dari Bandung untuk menghadiri acara syukuran tujuh bulanan nanti malam di rumah Aludra.Tak banyak memang yang bisa dilakukan Aludra. Namun, setidaknya dia bisa membantu dengan memberikan semangat untuk Arka yang nampak lihai dengan spatula di tangannya."Mas," panggil Aludra pada Arka yang sedang merapikan kembali meja kompor lalu membersihkannya agar kembali seperti semula."Ya?""Ini udah makanannya?""Udah, Ra. Kenapa emangnya?" tanya Arka. Menghentikan kegiatannya, dia membalikkan badan lalu bersandar—memandang Aludra."Kurang banyak kayanya deh, masa cuman empat menu?" tanya Aludra.Ayam goreng, soto, tahu juga tempe lalu sambal goreng dan kerupuk sebagai pelengkap untuk menu makan siang ha
***"Bismillah."Aludra berdiri di depan cermin. Memandangi penampilannya malam ini yang memakai gamis putih lengkap dengan kerudung yang menutupi rambu, dia mengukir senyum—kagum sendiri dengan penampilannya yang sedikit berbeda dari biasa."Cantik juga aku kalau pake hijab," gumam Aludra pada dirinya sendiri, hingga tak lama bunyi pintu dibuka membuatnya menoleh dan di sana—di ambang pintu, Aurora berdiri. "Mama.""Udah siap-siapnya?" tanya Aurora. "Kalau udah, turun yuk. Udah pada datang tuh.""Mas Arka?""Udah juga," kata Aurora. "Arka bahkan udah mau mulai ngaji sama yang lainnya.""Oh oke, Ma."Tak mengundang relasi bisnis ataupun orang-orang terhormat, pengajian malam ini mengundang anak-anak yatim dari sebuah panti asuhan besar di kota Jakarta.Tak hanya anak-anak, pengurus panti asuhan juga remaja yang masih tinggal di panti pun ikut datang. Terhitung, ada sekitar seratus orang yang datang dalam pengajian malam ini—termasuk Damar yang datang membawa Arsya."Mama tuntun ya.""