***"Gimana, bagus enggak kebayanya?"Keluar dari ruang ganti, Arsya tersenyum sambil memutar tubuhnya agar kebaya berwarna coklat muda yang dia pakai saat ini bisa dilihat dengan jelas oleh Damar yang duduk di kursi."Kamu kok cantik?" tanya Damar. Tak berkedip, dia jelas terpesona dengan penampilan Arsya sekarang.Meskipun wajahnya cenderung bule, tapi nyatanya dia terlibat begitu cocok memakai kebaya juga kain kebat yang sengaja disesuaikan dengan warna kebaya."Serius?" tanya Arsya."Seriuslah, masa becanda?" tanya Damar.Lima bulan menjalin hubungan, Arsya dan Damar akhirnya memantapkan hati untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius—setelah sebelumnya mendapatkan restu dari kedua keluarga.Tak langsung menikah, Damar dan Arsya memutuskan untuk menggelar acara lamaran untuk meresmikan hubungan mereka sebelum nanti melangkah ke tahap selanjutnya—pernikahan.Tentunya, meskipun hanya sekadar lamaran, pesta akan digelar di sebuah hotel berbintang kota Jakarta karena bagaimanapun ju
***"Ra, udah? Yuk berangkat.""Enggak ah!""Lho kok eng ... Ra? Kok masih dasteran?"Melihat Aurora masuk ke kamarnya—lengkap dengan dress brukat berwarna krem, Aludra hanya bisa merengut—mengagumi tubuh sang mama yang terlihat begitu ramping.Jauh berbeda dengannya yang semakin lama semakin membengkak karena usia kehamilan yang semakin bertambah. Terhitung, minggu ini adalah minggu ke dua puluh delapan usia kehamilan Aludra dan tentu saja ukuran perut bahkan badannya sudah tak seramping dulu.Melakukan pemeriksaan seperti biasa, minggu kemarin. Berat badan Aludra yang semula—sebelum hamil hanya mencapai lima puluh kilogram, sekarang sudah berada di angka tujuh puluh lima.Dan tentu saja semua itu membuat Aludra terkadang berasa insecure dengan ukuran tubuhnya, apalagi jika sudah bersanding dengan Arka. Seperti angka satu dan nol, begitulah Aludra membandingkan tubuhnya dengan sang calon suami sekaligus calon ayah dari kedua bayi di perutnya."Mama aja sama Papa terus Mas Arka yang p
***"Untung belum telat."Sampai pukul tujuh lebih lima belas menit di rumah Damar, Arka menghembuskan napas lega melihat beberapa mobil masih terparkir di halaman depan—tanda bahwa dia dan Aludra yang memang berangkat terakhir, belum terlambat."Belum pada berangkat ya, Mas?" tanya Aludra."Belum kayanya," kata Arka. Dia kemudian melirik Aludra. "Mau turun apa tunggu di sini.""Males gerak, aku tunggu di sini aja," ucap Aludra sambil mengelus perutnya yang kini dibalut dress brukat bermodel sama dengan Aurora.Bedanya jelas pada ukuran. Jika Aurora yang masih tetap langsing sampai sekarang memakai size M untuk dress yang dia pakai, maka jauh berbeda dengan Aludra yang harus legowo memakai size triple XL untuk baju yang dia pakai, karena memang ukuran double XL saja sudah tak cukup—mengingat ukuran perut Aludra yang sedikit lebih besar dari kehamilan biasa."Ya udah aku turun sebentar buat pastiin ya," kata Arka."Jangan lama-lama, Mas.""Siap, Sayang."Membuka pintu, Arka melangkahka
***"Hati-hati."Memegangi kursi, dengan sangat hati-hati Arka mempersilakan Aludra untuk duduk di kursi tamu yang sudah tersedia.Menempuh perjalanan selama dua puluh menit, rombongan keluarga besar Damar sampai di hotel tempat acara lamaran digelar dan tentunya kedatangan keluarga Damar disambut hangat oleh seluruh keluarga besar Alexander—termasuk Aksa yang sengaja datang dari Bandung.Sekeluarga, seperti biasa Aksa datang bersama Ananta juga ketiga anaknya karena memang setelah dari acara lamaran, lusa nanti Aksa akan datang pula ke acara yang akan digelar Aludra di kediaman Dewa."Makasih, Mas," kata Aludra setelah dirinya duduk dengan nyaman."Sama-sama, Sayang," kata Arka yang langsung duduk di samping Aludra.Acara dimulai, lamaran dibuka dengan sambutan dari kedua belah pihak keluarga dan sebagai perwakilan dari keluarga Damar, Dewa naik ke atas panggung kecil yang tersedia untuk menyampaikan maksud kedatangan Damar dan keluarganya malam ini.Berlanjut, sambutan kembali diber
***"Oke, udah cantik."Mengukir senyum, Aludra memandangi meja makan yang sudah tertata rapi—diisi berbagai masakan yang dibuat sendiri di apartemen.Siang ini, Aludra memang sedang berada di apartemen Arka untuk membantu pria itu memasak makan siang untuk kedua orang tuanya yang akan datang dari Bandung untuk menghadiri acara syukuran tujuh bulanan nanti malam di rumah Aludra.Tak banyak memang yang bisa dilakukan Aludra. Namun, setidaknya dia bisa membantu dengan memberikan semangat untuk Arka yang nampak lihai dengan spatula di tangannya."Mas," panggil Aludra pada Arka yang sedang merapikan kembali meja kompor lalu membersihkannya agar kembali seperti semula."Ya?""Ini udah makanannya?""Udah, Ra. Kenapa emangnya?" tanya Arka. Menghentikan kegiatannya, dia membalikkan badan lalu bersandar—memandang Aludra."Kurang banyak kayanya deh, masa cuman empat menu?" tanya Aludra.Ayam goreng, soto, tahu juga tempe lalu sambal goreng dan kerupuk sebagai pelengkap untuk menu makan siang ha
***"Bismillah."Aludra berdiri di depan cermin. Memandangi penampilannya malam ini yang memakai gamis putih lengkap dengan kerudung yang menutupi rambu, dia mengukir senyum—kagum sendiri dengan penampilannya yang sedikit berbeda dari biasa."Cantik juga aku kalau pake hijab," gumam Aludra pada dirinya sendiri, hingga tak lama bunyi pintu dibuka membuatnya menoleh dan di sana—di ambang pintu, Aurora berdiri. "Mama.""Udah siap-siapnya?" tanya Aurora. "Kalau udah, turun yuk. Udah pada datang tuh.""Mas Arka?""Udah juga," kata Aurora. "Arka bahkan udah mau mulai ngaji sama yang lainnya.""Oh oke, Ma."Tak mengundang relasi bisnis ataupun orang-orang terhormat, pengajian malam ini mengundang anak-anak yatim dari sebuah panti asuhan besar di kota Jakarta.Tak hanya anak-anak, pengurus panti asuhan juga remaja yang masih tinggal di panti pun ikut datang. Terhitung, ada sekitar seratus orang yang datang dalam pengajian malam ini—termasuk Damar yang datang membawa Arsya."Mama tuntun ya.""
***"Makasih ya udah datang."Berdiri bersama Arka juga keluarganya, Aludra memberikan satu-persatu amplop berisi sejumlah uang pada anak-anak yatim setelah acara pengajian selesai."Lancar sampai persalinan ya, Kak.""Makasih."Semuanya berbaris. Terlalu banyak anak yatim, Aludra mundur lalu duduk kembali di kursi karena tak kuat dengan rasa pegal yang mendera kedua kakinya dan kini tugas memberikan amplop digantikan oleh Aurora, sementara memberikan bingkisan diganti Damar karena Arka yang langsung menghampiri Aludra."Pegel ya?" tanya Arka yang langsung refleks berjongkok di depan Aludra."Iya," jawab Aludra. Tak seceria tadi, Aludra menjadi sedikit lebih murung setelah mendengar ucapan Aksa karena jujur, ucapan sang kakak ipar memang membuat Aludra merasa rindu pada Alula."Aku pijitin ya," kata Arka."Enggak usah, Mas.""Kok enggak usah?" tanya Arka. Tak banyak bicara, dia langsung memijat kaki Aludra yang bengkak. "Aku pijitin, enggak boleh protes.""Mas.""Aku minta maaf," kata
***"Rara ayo bangun, udah pagi. Siap-siap."Sekali lagi, Aurora yang duduk di pinggir kasur berusaha membangunkan Aludra yang kini masih tertidur dengan posisi miring—membelakanginya.Jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh dan tentu saja suasana di belakang rumah bisa dibilang cukup ramai oleh keluarga terdekat yang hadir di acara pagi ini.Tingkeban. Begitulah acara pagi ini disebut. Sebuah tradisi tujuh bulanan adat sunda yang ingin digelar Aludra di masa kehamilannya yang pertama ini. Setelah semalam acara pengajian selesai, maka pagi ini acara berlanjut ke acara siraman, di mana nanti Aludra akan duduk untuk dimandikkan oleh tujuh orang pihak keluarga—sesuai usia kandungan Aludra."Masih ngantuk, Ma," kata Aludra dengan suara yang parau, sementara kedua matanya masih tertutup rapat.Semakin bertambah usia kehamilan Aludra, maka semakin bertambah pula keluhan yang dia rasakan. Mulai dari kaki pegal, kegerahan—sekalipun ac menyala hingga susah tidur, semua itu sering dirasakan