***"Rara ayo bangun, udah pagi. Siap-siap."Sekali lagi, Aurora yang duduk di pinggir kasur berusaha membangunkan Aludra yang kini masih tertidur dengan posisi miring—membelakanginya.Jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh dan tentu saja suasana di belakang rumah bisa dibilang cukup ramai oleh keluarga terdekat yang hadir di acara pagi ini.Tingkeban. Begitulah acara pagi ini disebut. Sebuah tradisi tujuh bulanan adat sunda yang ingin digelar Aludra di masa kehamilannya yang pertama ini. Setelah semalam acara pengajian selesai, maka pagi ini acara berlanjut ke acara siraman, di mana nanti Aludra akan duduk untuk dimandikkan oleh tujuh orang pihak keluarga—sesuai usia kandungan Aludra."Masih ngantuk, Ma," kata Aludra dengan suara yang parau, sementara kedua matanya masih tertutup rapat.Semakin bertambah usia kehamilan Aludra, maka semakin bertambah pula keluhan yang dia rasakan. Mulai dari kaki pegal, kegerahan—sekalipun ac menyala hingga susah tidur, semua itu sering dirasakan
***"Thank you."Dewa tersenyum ramah pada petugas bandara yang dia temui ketika dirinya baru saja selesai mengambil koper hitam berisi barang bawaan. Tak berdua, kali ini dia sampai di Bandara Zürich—Swiss sendiri tanpa Aurora.Mendapat telepon berisi permintaan untuk datang dari sang Mama, Dewa langsung memesan tiket penerbangan menuju Swiss dan malam harinya dia berangkat ke negara tempat sang putri sulung dirawat.Menempuh perjalanan hampir tujuh belas jam lebih, pukul dua belas siang dia tiba dan tentunya dari Bandara, Dewa harus berangkat menuju rumah yang ditempati kedua orang tuanya sebelum berangkat menuju rumah sakit."Kak Dewa, akhirnya datang juga."Dewa tersenyum ketika Alicia—sang adik, menyambutnya di depan pintu. Berpelukan untuk beberapa detik, Dewa langsung masuk lali beristirahat untuk sejenak."Gimana keadaan Lula?" tanya Dewa pada Alicia. "Dia baik-baik aja, kan?""Tetap sama kaya bulan-bulan yang lalu," kata Alicia. "Enggak ada kemajuan, kondisinya stuck."Dewa m
***"Maaf ya, Mas. Buat kamu nunggu lama."Arka yang sedang membersihkan jok mobilnya mengukir senyum. Memandang Aludra yang sudah berdiri di depannya, dia mengulurkan tangan lalu mengusap pucuk kepala perempuan itu dengan lembut."Enggak apa-apa, masih siang juga kok ini," kata Arka."Arsyanya ada?""Ada dong, kan kita udah buat janji.""Oh iya."Hari ini, Aludra dan Arka melakukan check up seperti biasa. Usia kandungan menginjak tiga puluh minggu, Aludra dan Arka memutuskan untuk mengecek jenis kelamin bayi yang ada di perut Aludra karena setelah ini semua perlengkapan bayi akan segera disiapkan.Dan tentu saja untuk warna, mereka ingin menyesuaikan dengan jenis kelamin jabang bayi di perut Aludra."Mama kamu mana?" tanya Arka."Di dalam, seperti biasa. Lagi masak, nanggung katanya.""Oh oke, kita berangkat langsung aja ya.""Iya, Mas."Seperti biasa, Arka membukakan pintu lalu membantu Aludra untuk duduk. Setelah memastikan posisi duduk Aludra nyaman, dia baru mengitari mobilnya la
***"Ngelamun terus daritadi, masih enggak terima?"Arka sedikit tersentak dari lamunan, ketika pertanyaan tersebut dilontarkan Aludra yang memang sejak tadi terus memperhatikannya menyetir tanpa bersuara.Sudah bisa menerima jenis kelamin kedua anaknya yang ternyata sama, Arka tetap saja merasa takut dan waswas jika nanti saat lahir kedua putranya ternyata memiliki wajah serupa.Memang belum tentu kedua putranya akan melakukan hal gila seperti yang pernah dilakukan Aludra dan Alula. Namun, tetap saja Arka merasa sangat ketakutan akan hal itu—bahkan dia takut jika nanti kedua putranya memiliki wajah serupa, mereka akan melakukan hal yang lebih gila dari apa yang pernah dilakukan ibu mereka."Enggak terima apa?" tanya Arka sambil menoleh—berusaha bersikap setenang mungkin."Sama jenis kelamin anak kita yang ternyata sama," kata Aludra. "Kamu kan pengennya mereka sepasang.""Aku terima, kok. Lagipula aku kan udah bilang, mau sepasang, dua laki-laki atau perempuan, yang penting nanti mer
***"Di sini, Non?""Iya, Pak. Disitu aja. Jangan dirapatin ya posisinya direnggangin aja."Mendapat hadiah box bayi, Aludra langsung meminta pegawai rumah untuk beres-beres. Setelah banyak pertimbangan, pada akhirnya kamar Alula dikosongkan dan diganti untuk menjadi kamar bayi nantinya karena memang hanya kamar Alula yang letaknya dekat dengan kamar Aludra.Sebagai pengganti, kamar Alula dipindahkan ke samping kamar Dewa dan Aurora agar lebih aman nantinya."Siap, Non."Kembali dibenarkan, posisi dua box bayi berwarna putih dengan kelambu biru itu akhirnya diletakkan berdampingan dengan jarak yang renggang."Begini, Non?""Sip, Pak!" Aludra mengangkat dua jempolnya tanda setuju dengan penataan dua box bayi tersebut. "Udah cantik, makasih Pak.""Sama-sama, Non. Kami permisi ya.""Okay.""Minum."Aludra menoleh ketika sebuah gelas tersodor dari samping kanannya dan tentu saja yang memegang gelas tersebut adalah Arka."Makasih, Mas. Damar mana?""Ada apa sahabatku yang cantik? Kangen ya
***"Mana ya, kok belum datang juga?""Enggak tau. Kecebur di rawa-rawa dulu kali."Arka yang sejak tadi duduk menemani Aludra di pinggir kolam menjawab dengan malas-malasan pertanyaan yang dilontarkan Aludra padanya.Hari ini—sesuai rencana, Arka datang ke rumah Aludra untuk mengajak perempuan itu ke mall—mencari perlengkapan bayi yang harus mulai disiapkan untuk si kembar.Namun, rencana tersebut tiba-tiba saja batal ketika ternyata Dewa sudah menyiapkan semuanya.Punya koneksi dengan beberapa pengusaha, Dewa sengaja memesan semua perlengkapan bayi dari salah satu teman dekatnya yang kebetulan punya usaha perlengkapan bayi yang cukup ternama.Selain kualitas sudah terjamin, Dewa bilang dia akan lebih tenang karena Aludra tak harus keluar rumah. Dan siang ini dia sengaja meminta langsung manajer di perusahaan temannya itu untuk membawa katalog berisi perlengkapan bayi mulai dari baju, dan pernak-pernik lainnya untuk dipilih langsung oleh Aludra dan Arka.Sebenarnya Arka cukup merasa
***Arka berbohong.Janjinya, dia akan selalu on ketika Aludra menghubungi dan membutuhkannya, tapi ternyata bohong. Setelah pulang begitu saja siang tadi, sampai sekarang Arka tak bisa dihubungi.Bahkan nomornya pun tak aktif. Beberapa kali Aludra menelepon, tetap saja tak aktif."Mas Arka ih, nyebelin," rengek Aludra sambil mengeratkan pegangannya pada ponsel. "Enggak biasanya juga ambekkan gini, kenapa sih dia?""Ra."Aludra menoleh ketika suara berat seorang pria terdengar dari luar kamar. Bukan suara Arka, suara tersebut adalah suara Dewa."Masuk aja, Pa. Enggak dikunci kok.""Oke."Dalam hitungan detik, pintu kamar Aludra terbuka dan Dewa yang masih memakai pakaian kantornya berdirk dengan wajah yang lelah.Mendapatkan kabar dari Aurora tentang Arka yang tiba-tiba saja pulang tanpa sebab, dan Aludra tak bercerita, pulang kantor Dewa langsung menghampiri putrinya untuk bertanya."Papa baru pulang?" tanya Aludra."Iya," kata Dewa. "Kamu lagi apa?""Lagi telepon Mas Arka," kata Alu
***"Pokoknya besok kembali ke Jakarta."Arka yang duduk bersandar pada sofa menghela napas mendengar perintah yang diberikan Dirga padanya sore ini.Niat hati ingin menenangkan pikiran yang tiba-tiba saja kacau dengan pulang ke Bandung, yang didapatkan Arka justru omelan dari kedua orang tuanya.Sampai di Bandung pukul setengah lima sore, terhitung sudah setengah jam lebih dia mendapat nasehat dari Dirga maupun Amanda yang tentu saja marah dengan tindakan yang dia ambil.Kekanak-kanakkan. Begitulah pendapat Dirga dan Amanda atas apa yang dilakukan Arka. Seharusnya di usia kehamilan Aludra yang sudah tua, Arka selalu ada di dekat perempuan itu.Bukan malah pergi ke Bandung tanpa pamitan hanya karena tiba-tiba saja merasa rendah diri dan tak pantas."Besok weekend, Pa," kata Arka. "Arka mau di sini dulu sampai minggu. Nanti minggu sore, Arka ke Jakarta.""Besok," kata Amanda. "Kalau enggak mau, kamu jangan tidur di rumah Mama. Sana tidur di hotel.""Arka bisa pulang ke Dago," kata Arka