***"Maaf ya, Mas. Buat kamu nunggu lama."Arka yang sedang membersihkan jok mobilnya mengukir senyum. Memandang Aludra yang sudah berdiri di depannya, dia mengulurkan tangan lalu mengusap pucuk kepala perempuan itu dengan lembut."Enggak apa-apa, masih siang juga kok ini," kata Arka."Arsyanya ada?""Ada dong, kan kita udah buat janji.""Oh iya."Hari ini, Aludra dan Arka melakukan check up seperti biasa. Usia kandungan menginjak tiga puluh minggu, Aludra dan Arka memutuskan untuk mengecek jenis kelamin bayi yang ada di perut Aludra karena setelah ini semua perlengkapan bayi akan segera disiapkan.Dan tentu saja untuk warna, mereka ingin menyesuaikan dengan jenis kelamin jabang bayi di perut Aludra."Mama kamu mana?" tanya Arka."Di dalam, seperti biasa. Lagi masak, nanggung katanya.""Oh oke, kita berangkat langsung aja ya.""Iya, Mas."Seperti biasa, Arka membukakan pintu lalu membantu Aludra untuk duduk. Setelah memastikan posisi duduk Aludra nyaman, dia baru mengitari mobilnya la
***"Ngelamun terus daritadi, masih enggak terima?"Arka sedikit tersentak dari lamunan, ketika pertanyaan tersebut dilontarkan Aludra yang memang sejak tadi terus memperhatikannya menyetir tanpa bersuara.Sudah bisa menerima jenis kelamin kedua anaknya yang ternyata sama, Arka tetap saja merasa takut dan waswas jika nanti saat lahir kedua putranya ternyata memiliki wajah serupa.Memang belum tentu kedua putranya akan melakukan hal gila seperti yang pernah dilakukan Aludra dan Alula. Namun, tetap saja Arka merasa sangat ketakutan akan hal itu—bahkan dia takut jika nanti kedua putranya memiliki wajah serupa, mereka akan melakukan hal yang lebih gila dari apa yang pernah dilakukan ibu mereka."Enggak terima apa?" tanya Arka sambil menoleh—berusaha bersikap setenang mungkin."Sama jenis kelamin anak kita yang ternyata sama," kata Aludra. "Kamu kan pengennya mereka sepasang.""Aku terima, kok. Lagipula aku kan udah bilang, mau sepasang, dua laki-laki atau perempuan, yang penting nanti mer
***"Di sini, Non?""Iya, Pak. Disitu aja. Jangan dirapatin ya posisinya direnggangin aja."Mendapat hadiah box bayi, Aludra langsung meminta pegawai rumah untuk beres-beres. Setelah banyak pertimbangan, pada akhirnya kamar Alula dikosongkan dan diganti untuk menjadi kamar bayi nantinya karena memang hanya kamar Alula yang letaknya dekat dengan kamar Aludra.Sebagai pengganti, kamar Alula dipindahkan ke samping kamar Dewa dan Aurora agar lebih aman nantinya."Siap, Non."Kembali dibenarkan, posisi dua box bayi berwarna putih dengan kelambu biru itu akhirnya diletakkan berdampingan dengan jarak yang renggang."Begini, Non?""Sip, Pak!" Aludra mengangkat dua jempolnya tanda setuju dengan penataan dua box bayi tersebut. "Udah cantik, makasih Pak.""Sama-sama, Non. Kami permisi ya.""Okay.""Minum."Aludra menoleh ketika sebuah gelas tersodor dari samping kanannya dan tentu saja yang memegang gelas tersebut adalah Arka."Makasih, Mas. Damar mana?""Ada apa sahabatku yang cantik? Kangen ya
***"Mana ya, kok belum datang juga?""Enggak tau. Kecebur di rawa-rawa dulu kali."Arka yang sejak tadi duduk menemani Aludra di pinggir kolam menjawab dengan malas-malasan pertanyaan yang dilontarkan Aludra padanya.Hari ini—sesuai rencana, Arka datang ke rumah Aludra untuk mengajak perempuan itu ke mall—mencari perlengkapan bayi yang harus mulai disiapkan untuk si kembar.Namun, rencana tersebut tiba-tiba saja batal ketika ternyata Dewa sudah menyiapkan semuanya.Punya koneksi dengan beberapa pengusaha, Dewa sengaja memesan semua perlengkapan bayi dari salah satu teman dekatnya yang kebetulan punya usaha perlengkapan bayi yang cukup ternama.Selain kualitas sudah terjamin, Dewa bilang dia akan lebih tenang karena Aludra tak harus keluar rumah. Dan siang ini dia sengaja meminta langsung manajer di perusahaan temannya itu untuk membawa katalog berisi perlengkapan bayi mulai dari baju, dan pernak-pernik lainnya untuk dipilih langsung oleh Aludra dan Arka.Sebenarnya Arka cukup merasa
***Arka berbohong.Janjinya, dia akan selalu on ketika Aludra menghubungi dan membutuhkannya, tapi ternyata bohong. Setelah pulang begitu saja siang tadi, sampai sekarang Arka tak bisa dihubungi.Bahkan nomornya pun tak aktif. Beberapa kali Aludra menelepon, tetap saja tak aktif."Mas Arka ih, nyebelin," rengek Aludra sambil mengeratkan pegangannya pada ponsel. "Enggak biasanya juga ambekkan gini, kenapa sih dia?""Ra."Aludra menoleh ketika suara berat seorang pria terdengar dari luar kamar. Bukan suara Arka, suara tersebut adalah suara Dewa."Masuk aja, Pa. Enggak dikunci kok.""Oke."Dalam hitungan detik, pintu kamar Aludra terbuka dan Dewa yang masih memakai pakaian kantornya berdirk dengan wajah yang lelah.Mendapatkan kabar dari Aurora tentang Arka yang tiba-tiba saja pulang tanpa sebab, dan Aludra tak bercerita, pulang kantor Dewa langsung menghampiri putrinya untuk bertanya."Papa baru pulang?" tanya Aludra."Iya," kata Dewa. "Kamu lagi apa?""Lagi telepon Mas Arka," kata Alu
***"Pokoknya besok kembali ke Jakarta."Arka yang duduk bersandar pada sofa menghela napas mendengar perintah yang diberikan Dirga padanya sore ini.Niat hati ingin menenangkan pikiran yang tiba-tiba saja kacau dengan pulang ke Bandung, yang didapatkan Arka justru omelan dari kedua orang tuanya.Sampai di Bandung pukul setengah lima sore, terhitung sudah setengah jam lebih dia mendapat nasehat dari Dirga maupun Amanda yang tentu saja marah dengan tindakan yang dia ambil.Kekanak-kanakkan. Begitulah pendapat Dirga dan Amanda atas apa yang dilakukan Arka. Seharusnya di usia kehamilan Aludra yang sudah tua, Arka selalu ada di dekat perempuan itu.Bukan malah pergi ke Bandung tanpa pamitan hanya karena tiba-tiba saja merasa rendah diri dan tak pantas."Besok weekend, Pa," kata Arka. "Arka mau di sini dulu sampai minggu. Nanti minggu sore, Arka ke Jakarta.""Besok," kata Amanda. "Kalau enggak mau, kamu jangan tidur di rumah Mama. Sana tidur di hotel.""Arka bisa pulang ke Dago," kata Arka
"Mas, kamu ngapain?"Tak langsung menjawab pertanyaan yang diucapkan untuknya, Arka justru terus melangkah dengan pelan tanpa mengalihkan perhatiannya pada perempuan yang kini duduk di ranjang rumah sakit.Tak memakai dress, Aludra sudah memakai baju pasien yang disediakan pihak rumah sakit dan tentunya sebuah infus kini menempel di punggung tangan Aludra yang putih."Ar, kamu ngapain?"Tak hanya Aludra, Aurora yang duduk di samping kanan Aludra pun ikut menanyalan hal sama ketika Arka semakin mendekat dan berdiri di unjung ranjang.Merasa bersalah? Tentu saja. Arka merasa sangat merasa bersalah karena tak ada di samping Aludra ketika perempuan itu dibawa ke rumah sakit. Padahal, dia sudah berjanji menjadi ayah siaga."Ra, aku minta maaf," kata Arka yang akhirnya buka suara."Buat apa?" tanya Aludra."Ra, Papa udah baya-"Dewa yang baru saja kembali ke ruangan rawat menghentikan ucapannya—bersamaan dengan alisnya yang langsung bertaut."Arka," panggil Dewa. "Kamu ngapain?"Arka menole
***"Udah siap kan, yuk."Aludra yang duduk di kursi roda, mengambil napas panjang ketika perlahan Arka mendorong kursi roda yang dia duduki menuju ruangan operasi.Tak hanya Arka, ada Dewa dan Aurora juga yang ikut mengantar sang putri lalu di belakang, Damar berjalan bersama Arsya yang sudah menyelesaiman shift kerjanya."Janji ya, Mas. Jangan kabur," pinta Aludra ketika semakin lama, jarak ruang operasi semakin dekat."Sesuai janji, aku akan ada di samping kamu sampai dua baby boy kita lahir," kata Arka."Awas aja kalau kabur.""Enggak, Ra."Dua menit berlalu, Aludra dan yang lainnya sampai di depan ruang operasi dan tentu saja di sana, dia sudah disambut para petugas medis yang siap bertugas—termasuk dokter Hima, dokter kandungan yang akan melakukan operasi bersama dokter lain yang bertugas memberikan anestesi."Siap Mbak Aludra?" tanya dokter Hima ramah."Siap, dok."Sebelum Aludra masuk ke ruang operasi, tentu yang dilakukan Aurora kini adalah menghampiri sang putri. Mengecup ke