***"Bismillah."Aludra berdiri di depan cermin. Memandangi penampilannya malam ini yang memakai gamis putih lengkap dengan kerudung yang menutupi rambu, dia mengukir senyum—kagum sendiri dengan penampilannya yang sedikit berbeda dari biasa."Cantik juga aku kalau pake hijab," gumam Aludra pada dirinya sendiri, hingga tak lama bunyi pintu dibuka membuatnya menoleh dan di sana—di ambang pintu, Aurora berdiri. "Mama.""Udah siap-siapnya?" tanya Aurora. "Kalau udah, turun yuk. Udah pada datang tuh.""Mas Arka?""Udah juga," kata Aurora. "Arka bahkan udah mau mulai ngaji sama yang lainnya.""Oh oke, Ma."Tak mengundang relasi bisnis ataupun orang-orang terhormat, pengajian malam ini mengundang anak-anak yatim dari sebuah panti asuhan besar di kota Jakarta.Tak hanya anak-anak, pengurus panti asuhan juga remaja yang masih tinggal di panti pun ikut datang. Terhitung, ada sekitar seratus orang yang datang dalam pengajian malam ini—termasuk Damar yang datang membawa Arsya."Mama tuntun ya.""
***"Makasih ya udah datang."Berdiri bersama Arka juga keluarganya, Aludra memberikan satu-persatu amplop berisi sejumlah uang pada anak-anak yatim setelah acara pengajian selesai."Lancar sampai persalinan ya, Kak.""Makasih."Semuanya berbaris. Terlalu banyak anak yatim, Aludra mundur lalu duduk kembali di kursi karena tak kuat dengan rasa pegal yang mendera kedua kakinya dan kini tugas memberikan amplop digantikan oleh Aurora, sementara memberikan bingkisan diganti Damar karena Arka yang langsung menghampiri Aludra."Pegel ya?" tanya Arka yang langsung refleks berjongkok di depan Aludra."Iya," jawab Aludra. Tak seceria tadi, Aludra menjadi sedikit lebih murung setelah mendengar ucapan Aksa karena jujur, ucapan sang kakak ipar memang membuat Aludra merasa rindu pada Alula."Aku pijitin ya," kata Arka."Enggak usah, Mas.""Kok enggak usah?" tanya Arka. Tak banyak bicara, dia langsung memijat kaki Aludra yang bengkak. "Aku pijitin, enggak boleh protes.""Mas.""Aku minta maaf," kata
***"Rara ayo bangun, udah pagi. Siap-siap."Sekali lagi, Aurora yang duduk di pinggir kasur berusaha membangunkan Aludra yang kini masih tertidur dengan posisi miring—membelakanginya.Jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh dan tentu saja suasana di belakang rumah bisa dibilang cukup ramai oleh keluarga terdekat yang hadir di acara pagi ini.Tingkeban. Begitulah acara pagi ini disebut. Sebuah tradisi tujuh bulanan adat sunda yang ingin digelar Aludra di masa kehamilannya yang pertama ini. Setelah semalam acara pengajian selesai, maka pagi ini acara berlanjut ke acara siraman, di mana nanti Aludra akan duduk untuk dimandikkan oleh tujuh orang pihak keluarga—sesuai usia kandungan Aludra."Masih ngantuk, Ma," kata Aludra dengan suara yang parau, sementara kedua matanya masih tertutup rapat.Semakin bertambah usia kehamilan Aludra, maka semakin bertambah pula keluhan yang dia rasakan. Mulai dari kaki pegal, kegerahan—sekalipun ac menyala hingga susah tidur, semua itu sering dirasakan
***"Thank you."Dewa tersenyum ramah pada petugas bandara yang dia temui ketika dirinya baru saja selesai mengambil koper hitam berisi barang bawaan. Tak berdua, kali ini dia sampai di Bandara Zürich—Swiss sendiri tanpa Aurora.Mendapat telepon berisi permintaan untuk datang dari sang Mama, Dewa langsung memesan tiket penerbangan menuju Swiss dan malam harinya dia berangkat ke negara tempat sang putri sulung dirawat.Menempuh perjalanan hampir tujuh belas jam lebih, pukul dua belas siang dia tiba dan tentunya dari Bandara, Dewa harus berangkat menuju rumah yang ditempati kedua orang tuanya sebelum berangkat menuju rumah sakit."Kak Dewa, akhirnya datang juga."Dewa tersenyum ketika Alicia—sang adik, menyambutnya di depan pintu. Berpelukan untuk beberapa detik, Dewa langsung masuk lali beristirahat untuk sejenak."Gimana keadaan Lula?" tanya Dewa pada Alicia. "Dia baik-baik aja, kan?""Tetap sama kaya bulan-bulan yang lalu," kata Alicia. "Enggak ada kemajuan, kondisinya stuck."Dewa m
***"Maaf ya, Mas. Buat kamu nunggu lama."Arka yang sedang membersihkan jok mobilnya mengukir senyum. Memandang Aludra yang sudah berdiri di depannya, dia mengulurkan tangan lalu mengusap pucuk kepala perempuan itu dengan lembut."Enggak apa-apa, masih siang juga kok ini," kata Arka."Arsyanya ada?""Ada dong, kan kita udah buat janji.""Oh iya."Hari ini, Aludra dan Arka melakukan check up seperti biasa. Usia kandungan menginjak tiga puluh minggu, Aludra dan Arka memutuskan untuk mengecek jenis kelamin bayi yang ada di perut Aludra karena setelah ini semua perlengkapan bayi akan segera disiapkan.Dan tentu saja untuk warna, mereka ingin menyesuaikan dengan jenis kelamin jabang bayi di perut Aludra."Mama kamu mana?" tanya Arka."Di dalam, seperti biasa. Lagi masak, nanggung katanya.""Oh oke, kita berangkat langsung aja ya.""Iya, Mas."Seperti biasa, Arka membukakan pintu lalu membantu Aludra untuk duduk. Setelah memastikan posisi duduk Aludra nyaman, dia baru mengitari mobilnya la
***"Ngelamun terus daritadi, masih enggak terima?"Arka sedikit tersentak dari lamunan, ketika pertanyaan tersebut dilontarkan Aludra yang memang sejak tadi terus memperhatikannya menyetir tanpa bersuara.Sudah bisa menerima jenis kelamin kedua anaknya yang ternyata sama, Arka tetap saja merasa takut dan waswas jika nanti saat lahir kedua putranya ternyata memiliki wajah serupa.Memang belum tentu kedua putranya akan melakukan hal gila seperti yang pernah dilakukan Aludra dan Alula. Namun, tetap saja Arka merasa sangat ketakutan akan hal itu—bahkan dia takut jika nanti kedua putranya memiliki wajah serupa, mereka akan melakukan hal yang lebih gila dari apa yang pernah dilakukan ibu mereka."Enggak terima apa?" tanya Arka sambil menoleh—berusaha bersikap setenang mungkin."Sama jenis kelamin anak kita yang ternyata sama," kata Aludra. "Kamu kan pengennya mereka sepasang.""Aku terima, kok. Lagipula aku kan udah bilang, mau sepasang, dua laki-laki atau perempuan, yang penting nanti mer
***"Di sini, Non?""Iya, Pak. Disitu aja. Jangan dirapatin ya posisinya direnggangin aja."Mendapat hadiah box bayi, Aludra langsung meminta pegawai rumah untuk beres-beres. Setelah banyak pertimbangan, pada akhirnya kamar Alula dikosongkan dan diganti untuk menjadi kamar bayi nantinya karena memang hanya kamar Alula yang letaknya dekat dengan kamar Aludra.Sebagai pengganti, kamar Alula dipindahkan ke samping kamar Dewa dan Aurora agar lebih aman nantinya."Siap, Non."Kembali dibenarkan, posisi dua box bayi berwarna putih dengan kelambu biru itu akhirnya diletakkan berdampingan dengan jarak yang renggang."Begini, Non?""Sip, Pak!" Aludra mengangkat dua jempolnya tanda setuju dengan penataan dua box bayi tersebut. "Udah cantik, makasih Pak.""Sama-sama, Non. Kami permisi ya.""Okay.""Minum."Aludra menoleh ketika sebuah gelas tersodor dari samping kanannya dan tentu saja yang memegang gelas tersebut adalah Arka."Makasih, Mas. Damar mana?""Ada apa sahabatku yang cantik? Kangen ya
***"Mana ya, kok belum datang juga?""Enggak tau. Kecebur di rawa-rawa dulu kali."Arka yang sejak tadi duduk menemani Aludra di pinggir kolam menjawab dengan malas-malasan pertanyaan yang dilontarkan Aludra padanya.Hari ini—sesuai rencana, Arka datang ke rumah Aludra untuk mengajak perempuan itu ke mall—mencari perlengkapan bayi yang harus mulai disiapkan untuk si kembar.Namun, rencana tersebut tiba-tiba saja batal ketika ternyata Dewa sudah menyiapkan semuanya.Punya koneksi dengan beberapa pengusaha, Dewa sengaja memesan semua perlengkapan bayi dari salah satu teman dekatnya yang kebetulan punya usaha perlengkapan bayi yang cukup ternama.Selain kualitas sudah terjamin, Dewa bilang dia akan lebih tenang karena Aludra tak harus keluar rumah. Dan siang ini dia sengaja meminta langsung manajer di perusahaan temannya itu untuk membawa katalog berisi perlengkapan bayi mulai dari baju, dan pernak-pernik lainnya untuk dipilih langsung oleh Aludra dan Arka.Sebenarnya Arka cukup merasa