***"Mau apa kamu?"Arsya yang baru saja membuka kotak makan lantas berhenti lalu menatap Alfian yang kini sedang menikmati secangkir teh sebelum sarapan."Mau masukkin roti ke kotak makan," jawab Arsya santai."Sarapan di rumah," pinta Alfian. "Jangan kerja dengan perut kosong. Sarapan dulu.""Kan ini juga mau sarapan," kata Arsya."Terus itu ngapain masukkin roti ke kotak maka?""Buat Damar."Bukan Arsya, jawaban tersebut dilontarkan Alana yang datang sambil membawa dua gelas susu putih untuk Arsya dan Anindira."Buat Damar?" Alfian menaikkan sebelah alisnya. "Ngapain?""Apanya yang ngapain?""Itu kamu ngapain bawain sarapan buat Damar?" tanya Alfian.Dua buah roti sandwich isi selai coklat dan stroberi masuk ke kotak, Arsya mengambil paper bag kecil lali memasukkan kotak makan tersebut ke dalam sana—lengkap dengan susu kotak rasa coklat."Arsya," panggil Alfian. "Papa tanya, kenapa enggak jawab?"Arsya menarik kursi lalu duduk, memandang sang Papa, dia mengukir senyum tipis. "Sebag
***Setengah jam setelah memastikan Arka benar-benar berangkat ke kantor, Aludra akhirnya keluar dari kamar.Tak lagi memakai piyama satin, Aludra sudah terlihat cukup segar memakai dress seperti biasa karena tentunya sebelum keluar, dia memutuskan untuk membersihkan badannya lebih dulu."Eh Non Rara baru turun," sapa Mbak Tita yang kebetulan sedang membersihkan ruanh tengah."Pagi, Mbak.""Pagi Non," sapa Mbak Tita. "Kenapa baru turun, Non? Biasanya suka sarapan sama Mas Arka?""Males Mbak.""Kok malas?""Malas aja," jawab Aludra. Dari ruang tengah, dia melangkahkan kakinya menuju ruang makan dan tentu saja perhatiannya langsung tertuju pada nampan di atas meja.Roti sandwich juga segelas susu dari Arka masih ada. Tak dibuang, Arka menyimpan sandwich dan susu itu di atas meja makan.Aludra menghela napas lalu berjalan mendekat. Menarik kursi, dia duduk di depan meja lalu memandangi lagi sarapan yang dibuat Arka tersebut."Mbak," panggil Aludra."Ya, Non?" Sigap, Mbak Tita datang meng
***"Hati-hati pokoknya, Ra. Kalau perlu, minta Pak Hendra antarin kamu sampai ke ruangannya Papa.""Aku bukan anak kecil, Damar.""Tapi kamu ceroboh, Aludra.""Ish, aku matiin dulu ya.""Hati-hati.""Iya, bawel banget sih kamu."Pukul sepuluh pagi, Aludra bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit Sentosa—menjenguk Gilang yang sampai saat ini masih dirawat.Menenteng kotak makan susun, sesuai rencana—setelah dari rumah sakit, Aludra akan langsung menuju kantor sang papa—mengantarkan makan sianh untuk Arka."Silakan masuk, Non.""Makasih, Pak."Menggunakan sedan putih yang semalam baru saja dipakai, Aludra duduk manis di kursi belakang, sementara Pak Hendra—sang supir, sudah siap di kursi kemudi."Berangkat sekarang, Non?""Iya dong, Pak. Masa besok?" tanya Aludra sambil terkekeh. "Oh ya, sebelum ke rumah sakit, mampir ke toko buah dulu ya, Pak.""Siap."Setelah itu Pak Hendra mulai melajukan mobil. Tak terlalu cepat, Pak Hendra sengaja mengemudikan sedan putih tersebut dengan kecepatan
***"Makasih udah mau jenguk Om ya, Ra.""Sama-sama, Om. Kaya sama siapa aja."Hampir setengah jam, berada di ruangan rawat Gilang, Aludra akhirnya berpamitan karena memang waktu sudah menunjukkan pukul sebelas siang dan itu berarti dia harus segera ke kantor untuk mengantar makan siang."Bilangin ke Papa kamu, maaf belum bisa jenguk Lula.""Iya enggak apa-apa, Om. Doain aja semoga Kak Lula cepet sembuh," ucap Aludra."Jangan dulu," celetuk Damar yang kini duduk di ujung ranjang."Jangan dulu apa?" tanya Aludra."Jangan dulu sembuh," ucap Damar. "Alula ngerepotin kalau sembuh. Kamu sama Arka bersatu dulu, baru Alula sembuh."Aludra mendelik. "Kamu jahat ih!""Mau Papa lempar pake botol, kamu?" tanya Gilang. "Kalau ngomong suka sembarangan.""Kan emang kenyataannya gitu, Pa. Papa enggak tau sih, seberapa nyebelinnya Alula," ucap Damar."Lempar aja, Ra. Heran, punya anak kaya gitu banget," ujar Gilang."Jangan dilempar juga, Om. Rara sayang Damar," ucap Aludra. "Kalau Damar dilempar, na
***"Aish, sial! Kenapa harus macet segala?!"Sekali lagi, Arka memukul setir bahkan sengaja membunyikan klakson dengan kencang setelah hampir sepuluh menit mobilnya tak bisa bergerak karena macet.Jika bisa terbang, rasanya Arka ingin terbang saja sekarang agar bisa cepat sampai di rumah sakit untuk memastikan orang yang terserempet mobil itu Aludra atau bukan.Semoga bukan Aludra. Tiga kata yang seolah menjadi mantra itu terus digumamkan Arka di dalam hatinya.Sungguh, jika orang itu Aludra dan terjadi sesuatu padanya, Arka tak akan memaafkan dirinya sendiri."Arka bego, seharusnya kamu tadi jemput dia dulu."Penyesalan selalu datang terakhir. Begitulah yang dirasakan Arka sekarang. Demi apapun, dia ingin berlari saja sekarang."Maju, ayo maju!"Lima belas menit, range rover Arka akhirnya bisa kembali melaju. Mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, Arka akhirnya sampai di rumah sakit.Memarkirkan mobilnya asal di parkiran depan rumah sakit, Arka berlari menuju lobi lalu tentu
***"Duduk, Mas.""Iya."Usai kejadian menegangkan, mengharukan, juga mungkin terbilang cukup lucu, Aludra dan Arka tak langsung pergi dari rumah sakit.Ditawarkan oleh Arsya untuk makan siang di ruangannya, Arka dan Aludra justru memilih taman rumah sakit yang berada di bagian belakang untuk menjadi tempat keduanya menyantap makan siang."Ingus," celetuk Aludra ketika dia dan Arka duduk berhadapan."Hah?"Aludra tersenyum lalu membuka tas selempangnya. Mengeluarkan beberapa lembar tisu, dia mengelap bagian bawah hidung Arka yang basah. Bukan ingus sebenarnya—lebih mengarah ke keringat, karena memang berlari di rumah sakit lalu menangisi jenazah yang ternyata bukan Aludra cukup membuat Arka lelah."Kamu keringetan," ucap Aludra. Mengganti tisu, kini tangannya dengan sangat telaten mengelap keringat yang bercampur air mata di pipi Arka.Tak cukup sampai di situ, Aludra juga merapikan rambut Arka yang berantakan bahkan kini kedua tangannya beralih pada dasi Arka yang ikut tak rapi.Dan
***"Steak kematangan medium sama jus stroberi dua ya, Mbak?""Sip.""Oke, ditunggu pesanannya ya.""Siap."Pelayan restoran pergi, Arsya mengukir senyum manisnya lalu kembali mengalihkan perhatian pada Damar yang ternyata sedang memperhatikannya.Menghibur Damar, Arsya memang sengaja mengajak pria itu untuk makan di salah satu restoran yang tak jauh dari rumah sakit.Tania—sang mama sudah kembali menjaga sang papa, Damar mengiakan ajakan Arsya karena kebetulan perutnya memang sedang lapar."Kenapa lihatin aku? Ada yang aneh ya?" tanya Arsya yang membuat Damar mengerjap."Hah? Gimana?" tanya Damar. Dia yang semula duduk bersandar pada kursi sambil memeluk tangan di dada, segera mengubah posisi duduknya menjadi tegap."Kamu lihatin aku, kenapa? Apa ada yang aneh sama penampil-""Kamu cantik," ucap Damar—memotong ucapan Arsya dan tentu saja langsung membuat kedua pipi putri bungsu Alifan manuel itu memerah karena malu."Kamu bisa aja," kata Arsya malu-malu."Keluarga Alexander emang bib
***"Selesai juga akhirnya."Mematikan laptop, Arka membereskan semua berkas di meja lalu memasukkannya ke laci. Kembali ke kantor sekitar pukul dua siang, Arka memang kembali melanjutkan pekerjaannya karena tentu saja dia tak enak pada karyawan lain jika bolos di hari pertama."Aludra lagi apa ya," gumam Arka pelan. Semua berkas selesai dibereskan, Arka beranjak dari kursi yang sejak tadi dia duduki.Tak ada pekerjaan tambahan, Arka bisa pulang tepat pukul empat dan sekarang tujuannya adalah menjemput Aludra.Tak pulang, dari rumah sakit Aludra sengaja ikut ke kantor bersama Arka. Katanya, dia ingin melepas rindu dan tentu saja karena ruangan kerja Arka berukuran tak terlalu besar, Aludra tak bisa menunggu di sana.Alhasil, sejak dua jam lalu Aludra berada di ruangan Dewa di lantai enam. Semua orang kantor tahu siapa Aludra, tentu saja dia bisa bebas keluar masuk ruangan sang Papa bahkan tidur di sana pun tak akan ada yang berani melarangnya."Ra," panggil Arka ketika kini dia berdi