***"Kita sampai, Ra."Damar menggeliat ketika mobil yang dia dikendarai akhirnya sampai di halaman luas rumah Dewa. Menempuh perjalanan tiga jam karena berhenti beberapa kali di jalan, mereka tiba di Jakarta pukul dua siang.Merentangkan kedua tangannya, Damar melepas pegal yang mendera kedua tangannya setelah menyetir cukup lama sementara wajah memarnya tentu saja berdenyut.Menyembulkan kepala lalu menoleh ke belakang, Damar menghela napas karena mobil Dewa belum sampai setelah tadi—tepat setelah keluar dari pintu tol mereka berpisah karena Aurora dan Dewa pergi untuk membeli sesuatu."Ra, kita udah sam-"Damar menghentikan ucapannya ketika melihat Aludra terlelap sambil bersandar pada sandaran mobil yang sedikit direndahkan. Mengukir senyum tipis, tak tahu kenapa Damar rasanya terharu melihat kedua tangan Aludra bermuara di perut.Sekerasa itu usaha Aludra untuk menjaga kedua bayinya meskipun kini dia dihadapkan kenyataan tak menyenangkan karena Arka tak mau menikahinya setelah ap
***"Ra, makan malam dulu yuk."Berdiri di depan kamar Aludra, Aurora mengetuk lebih dulu pintu kamar sang putri. Namun, karena beberapa menit menunggu Aludra tak kunjung merespon, pada akhirnya Aurora memutuskan untuk masuk ke kamar."Ra," panggil Aurora ketika di dalam kamar dia tak mendapati Aludra. "Kamu di mana? Makan yuk.""Rara di kamar mandi!" sahut Aludr dari dalam kamar mandi—membuat Aurora bergegas menghampiri pintu lalu membukanya tanpa permisi dan di dalam sana, Aludra tengah berjongkok di depan closet.Sebenarnya Aludra bisa memuntahkan isi perutnya di wastafel yang tersedia. Namun, karena kakinya yang tiba-tiba lemas juga kepalanya yang pusing membuat Aludra memutuskan untuk berjongkok di depan closet sejak sepuluh menit lalu."Ra, kamu kenapa?" tanya Aurora khawatir. Menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga, dia menghampiri sang putri yang terlihat mengkhawatirkan."Mual," jawab Aludra. "Daritadi perut Rara enggak en ... hoek!"Ucapan Aludra terhenti ketika perut
***"Yakin mau kamu yang bawa?"Sekali lagi, pertanyaan itu dilontarkan Aurora ketika Aludra menawarkan diri untuk membawakan makanan ke kamar Alula setelab tadi sang kakak ngambek dan pergi begitu saja."Iya, Ma," ucap Aludra. "Kenapa emangnya? Mamam kok kaya takut gitu? Ini Aludra mau nemuin Kak Rara lho, bukan siapa-siapa.""Lula lagi enggak baik sama kamu, Ra. Mama takut dia apa-apain kamu.""Enggak akan, Ma. Kak Lula paling marah lewat ucapan aja, enggak akan lebih," ucap Aludra menenangkan. Namun, nyatanya Aurora sama sekali tak bisa tenang.Dia benar-benar takut Alula melakukan sesuatu yang macam-macam pada Aludra—mengingat betapa kerasnya si putri sulung."Kenapa? Ada apa?"Dewa yang tadi sempat ke depan menemui tamu, kini kembali menghampiri Aludra dan Aurora yang masih berdiri di dekat meja makan."Ini tadi kan Alula minta dibawain makanan ke kamar. Rencananya mau aku yang bawa aja sambil bujuk, tapi katanya Rara pengen bawa. Dia mau ngobrol sama Kakaknya," ungkap Aurora yan
***"Aludra ... Ra ... Aludra ... Rara."Amanda yang kini duduk di samping kasur hanya bisa menghela napas pelan ketika untuk yang kesekian kalinya Arka mengigau nama Aludra dalam tidurnya.Tiga hari semenjak Aludra pamit, Arka demam dan sejak tadi sore pria itu bahkan tak bangun sama sekali dari tidurnya setelah Bi Minah menemukan dia jatuh ke dalam kolam renang lalu pingsan.Berbaring dengan wajah memar yang masih kentara, suhu badan Arka terbilang sangat panas."Ar, kamu ini," gumam Amanda pelan.Mengambil lipatan handuk di kening Arka, Amanda kembali memasukkan handuk putih kecil tersebut ke dalam baskom berisi air hangat lalu memerasnya lagi sebelum ditempelkan kembali di kening sang putra agar suhu panasnya segera menurun."Cepet sembuh, Nak. Mama udah cukup hancur karena kamu yang enggak mau memaafkan Aludra. Tolong jangan buat Mama semakin hancur, Sayang."Amanda mengedarkan pandangannya lalu memandang jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Sudah cukup larut b
***"Ah, ya ampun."Malam ini—menyandarkan tubuhnya di kursi balkon di pinggir kolam renang, Arka yang baru saja sembuh dari sakit, memutuskan untuk menikmati angin malam yang berhembus cukup kencang.Ucapan Dirga tak salah, tepat setelah mendengar suara Aludra beberapa malam lalu, kondisi Arka membaik bahkan malam itu juga suhu panasnya langsung turun dan sekarang—dua hari berlalu setelah malam itu, Arka kembali pulih, meskipun belum sepenuhnya."Teh manisnya, Den."Arka menoleh ketika Bi Minah meletakkan secangkir teh manis. "Makasih, Bi," ucap Arka disertai senyuman manis. Tak hanya fisik, kondisi hati Arka pun perlahan mulai membaik—bahkan kerasnya hati Arka juga sepertinya mulai melunak."Sama-sama, Den. Cepet pulih lagi ya. Bibi enggak mau lihat Den Arka sakit," ucap Bi Minah."Iya, Bi," kata Arka."Bibi pamit.""Iya."Bi Minah pergi, Arka mengambil teh manis tersebut lalu meneguknya. Mengambil ponsel dari saku celana yang dia pakai, Arka iseng membuka aplikasi instagram hingga
***"Hari ini, setelah melewati rangkaian proses sidang sebagaimana mestinya dan tetap tak menemukan jalan keluar, pihak pengadilan agama kota Bandung memutuskan saudara Arkananta Syahzad Mahendra dengan Alula Shaqueena Pratama, resmi bercerai."Hakim ketua mengetukkan palu tiga kali tanda keputusannya sah dan tak bisa diganggu gugat.Hari ini—tepat sebulan semenjak sidang pertama dilaksanakan, Arka dan Alula akhirnya resmi bercerai. Melewati proses mediasi dan yang lainnya, Arka tetap mantap menggugat cerai Alula bahkan dia pun sudah menjatuhkan talak satu untuk perempuan itu.Semuanya berakhir. Alula menyandang status barunya yaitu seorang janda begitupun Arka yang juga harus menerima dengan legowo status dudanya.Impian Arka yang ingin menikah sekali seumur hidup pupus karena pernikahannya dengan Alula gagal dan untuk ke depannya, entah akan menikah lagi atau tidak, Arka tak tahu karena jujur saja sampai detik ini Aludra masih mengisi penuh hatinya."Terima kasih untuk semuanya, Pa
***"Udah masuk semuanya, Pa?"Pak Maman yang baru saja menuruni tangga setelah memasukkan barang bawaan Arka, lantas mengguk ketika pertanyaan itu dilontarkan Arka.Tak bisa membantah, sore ini Arka harus segera pergi ke Jakarta untuk mulai bekerja di perusahaan Dewa besok pagi.Senang atau sedih? Arka tak tahu karena saat ini dia bahkan tak mengerti dengan perasaannya sendir dan sepertinya Arka akan mencoba menjalani semuanya dan membiarkan apa yang terjadi padanya mengalir bagaikan air."Udah, Den.""Oke makasih," jawab Arka. Dia kemudian kembali masuk untuk menghampiri anggota keluarganya yang berkumpul di ruang tengah. Tak hanya ada Amanda dan Dirga, di sana ada Ananta juga Aksa yang ikut melepaskan kepergian Arka ke Jakarta karena entah beberapa bulan dia di sana, semua belum bisa ditentukan—mengingat Dewa sangat selektif mencari karyawan terlebih untuk jabatan penting seperti manajer keuangan."Berangkat dulu," izin Arka pada semua orang yang ada di sana."Sekarang?" tanya Ama
***"Kamu, kok ke sini?"Pertanyaan itu jelas dilontarkan Aludra pada pria yang kini bersandar di ambang pintu sambil memandangnya dengan senyuman yang tipis."Kenapa, kaget ya? Kangen?""Bu-bukan gitu, cuman tau darimana aku sama Papa di sini?" tanya Aludra penasaran.Tak langsung menjawab, pria tersebut justru melangkahkan kakinya masuk dan menghempaskan tubuhnya begitu saja di sofa—bahkan tanpa ragu dia melepaskan jaket bombernya dan menyampirkan jaket bomber tersebut di pinggir sofa."Capek.""Damar," panggil Aludra. "Aku tanya kok enggak dijawab?"Damar. Tentu saja pria yang baru saja datang itu adalah Damar. Aludra kaget? Tentu saja. Seminggu yang lalu Damar pergi ke Surabaya untuk mengurus pekerjaan di sana dan malam ini dia tiba-tiba saja datang ke apartemen tanpa memberi kabar sebelumnya."Pertanyaan yang mana, Ra?""Kamu kenapa ke sini? Tau aku di sini dari siapa? Terus mau pulang kok enggak ngabarin aku?" cecar Aludra sambil mendudukkan dirinya di sofa, hingga tak lama pang