***"Duduk di sini, Ra.""Makasih, Damar."Berbincang sebentar lalu menunggu Arka membereskan semua pakaian di kamar barunya, makan malam akhirnya dimulai. Duduk berempat di meja makan, tentu saja suasana sedikit canggung.Aludra duduk berdampingan dengan Damar, Dewa duduk di kursi utama, sedangkan Arka duduk persis di depan Aludra—membuat dia tak berhenti menenangkan hati dan pikirannya yang kalut karena setelah satu bulan lebih, ini kali pertama Aludra dan Arka duduk di meja makan yang sama."Makan, Ar. Jangan malu-malu," kata Dewa."Iya, Pa ... eh, Om," kata Arka—mengoreksi dengan segera ucapannya."Kenapa dikoreksi?" tanya Dewa. "Panggil Papa aja kali.""Enggak, Om aja," tolak Arka."Kenapa?" Dewa tersenyum. "Karena kamu udah pisah sama Alula, iya? Katanya mau memperpanjang silaturahmi, kok manggilnya Om lagi? Tetap panggil Papa aja, Ar. Lebih nyaman.""Tapi Pa-""Suruh manggil Papa aja susahnya minta ampun, udah kaya disuruh angkat batu sekarung aja," celetuk Damar gemas."Damar
***"Enakkan enggak?"Aludra yang saat ini berbaring di sofa, langsung mengangguk pelan ketika pertanyaan itu dilontarkan Arka yang duduk di sofa single untuk menjaganya—sementara Dewa ikut bersama Damar untuk membelikan nasi goreng pedas—makanan yang satu-satunya akan masuk ke perut Aludra tanpa keluar lagi, setelah dirinya muntah.Meskipun di usia kehamilan yang kedua, intensitas mual juga muntah Aludra tak sesering saat usia kandungannya baru satu bulan, tetap saja setiap kali muntah Aludra pasti akan merasa lemas setelahnya karena memang semua makanan yang ada di perutnya akan keluar semua dalam satu kali muntah.Dan obatnys hanya satu. Nasi goreng pedas level lima yang selalu dibeli Damar di tempat langganannya."Lumayan," jawab Aludra pelan. "Kamu kalau enggak nyaman nungguin aku di sini, bisa ke kamar, Mas.""Kapan saya bilang enggak nyaman?" tanya Arka.Sudah mengganti baju juga celana sebelum Damar dan Dewa pergi, Arka kini memakai celana training juga kaos putih yang menceta
***"Tadi mereka juga udah mulai ngobrol dan aku lihat respon Arka udah baik ke Aludra. Semoga seterusnya kaya gitu.""Aamiin, Mas. Semoga Arka nanti berubah pikiran terus mau nikahin Aludra, ya? Biar keluarga mereka utuh nanti.""Iya, Sayang. Kalau mereka balikan, rencana aku sama Pak Dirga kan enggak sia-sia."Aurora yang kini berdiri di balkon rumah, mengukir senyum bahagia setelah mendapat kabar dari Dewa jika pertemuan pertama Aludra dan Arka berjalan dengan lancar."Iya, Mas. Kalau nanti Aludra sama Arka sampai nikah, kita harus berterima kasih ke Pak Dirga sama Bu Amanda yang udah mau kasih kesempatan kedua bahkan usulin rencana deketin Arka sama Aludra lagi.""Iya Sayang, tentu. Ya udah kalau gitu aku tutup teleponnya ya, takut Aludra sama Arka curiga.""Jangan terlalu malam pulangnya, Mas," kata Aurora memperingatkan. "Kamu bawa ibu hamil.""Iya, Sayang. Aku tutup ya.""Iya, Mas."Aurora memutuskan sambungan telepon lalu memandangi area komplek perumahan sambil bersandar pada
***"Dua suap lagi?"Aludra menggeleng ketika Damar menyodorkan sesendok nasi goreng padanya karena memang kali ini dia benar-benar sudah tak sanggup menghabiskan nasi goreng yang dibeli sahabatnya itu."Enggak mau, kenyang," ucap Aludra."Kok kenyang? Biasanya juga habis," ucap Damar. Dia kemudian mengangkat sendok yang dia pegang lalu meliuk-liukannya seperti pesawat. "Kapal terbang mau masuk, buka mulutnya, aaaaa."Bukannya membuka mulut, Aludra justru terkekeh menerima perlakuan Damar yang selalu menganggapnya seperti anak kecil."Damar apaan sih?" tanya Aludra."Buka guanya," kata Damar."Kenyang," ucap Aludra."Enggak ada kenyang, ayo buka Rara. Bayi kamu butuh makan," ucap Damar—masih berusaha membujuk hingga ucapan Arka yang sejak tadi duduk kembali di sofa single, membuat Damar menurunkan sendoknya."Aludra bilang, dia kenyang. Enggak usah dipaksa."Damar mendelik. Tanpa menoleh pada Arka, dia bertanya pada Aludra. "Ra, kamu denger ada yang ngomong enggak?" tanyanya. "Aku kay
***"Ya ampun ini anaknya manis-manis banget, namanya siapa Bu Rora?""Ini yang sulung Alula, yang bungsu Aludra.""Manis-manis ya, mana mukanya sama lagi.""Iya tapi yang ini cantik banget. Namanya siapa?""Aludla, Tante."Alula mengeratkan pegangan tangannya pada setir ketika bayangan masa kecil dia dan Aludra kembali melintas tanpa permisi di pikirannya.Pergi dari rumah lalu mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi, sampai saat ini Alula tak tahu ke mana dia akan pergi untuk menenangkan pikiran juga hatinya yang sakit.Dewa dan Aurora pilih kasih. Begitulah penilaian Alula pada kedua orang tuanya sekarang, setelah tahu jika mereka ternyata diam-diam membangun rencana untuk menyatukan Aludra dan Arka.Alula benci Aludra. Dia sayang pada adiknya, tapi yang selalu dia dapatkan justru rasa sakit karena semua orang nyatanya lebih menyayangi Aludra daripada dirinya."Rara, kenapa sih selalu dia?" lirih Alula ketika lagi, dia menambah kecepatan laju mobilnya. Tak di jalan raya, Alula m
***'Makasih udah mau elus perut aku dan nyapa anak-anak.''Lain kali kalau mau elus lagi, bilang aja. Kamu bisa lakuinnya tanpa lihat aku biar enggak emosi.''Cari ibu tiri yang baik ya, kasian anak-anak aku kalau punya ibu tiri galak.''Mas, aku pulang.'"Ah, Aludra!"Arka yang sejak tadi berbaring di kasur, seketika langsung beringsut setelah isi kepalanya dipenuhi suara Aludra bahkan kilasan-kilasan kejadian yang terjadi beberapa menit yang lalu.Aludra dan Damar pulang, Arka memang memutuskan untuk segera tidur karena besok dia harus mulai bekerja. Namun, nyatanya dia tak bisa tidur.Hampir dua puluh menit, kedua matanya enggan terpejam karena otaknya yang terus sibuk dengan Aludra."Kenapa aku harus mikirin dia terus sih?" tanya Arka pada dirinya sendiri. Menepuk-nepuk kepala, dia mencoba untuk menyadarkan diri agar tak terus memikirkan Aludra. "Sadar, Ar. Enggak usah mikirin Aludra lagi. Dia udah ada Damar."Arka terdiam dan sialnya bayangan Aludra justru melintas di pikirannya
***"Itu angkat dulu yang cewek, kasian darahnya banyak!"Malam ini jalanan tiba-tiba saja ramai. Warga di sekitar jalanan tersebut seketika langsung berkumpul untuk memberikan pertolongan setelah beberapa menit lalu sebuah mobil mengalami kecelakaan karena bertabrakan dengan mobil lainnya.Tak tanggung, sedan hitam yang ditumpangi sepasang perempuan dan laki-laki itu bahkan sampai ringsek parah setelah menabrak bagian depan truk pengangkut pasir.Desas-desus yang terdengar, warga di sekitar sana banyak yang berkata jika mobil sedan tersebut memang sudah oleng sebelum berpapasan dengan truk."Cowoknya udah enggak ada." Seorang pria yang menghampiri temannya memasang wajah sesal setelah dia memastikan keadaan pasien di kursi kemudi yang ternyata sudah tak bernyawa."Meninggal?""Iya.""Ceweknya?""Masih ada, itu lagi dikeluarin.""Ya udah kalau ambulannya datang, suruh bawa yang cewek dulu.""Siap."Pucuk dicinta ulam pun tiba. Setelah korban kecelakaan perempuan berhasil dikeluarkan d
***"Enakkan enggak?"Aludra mengangguk. Mengerjapkan matanya beberapa kali, dia memijat keningnya yang masih terasa sedikit pusing.Makan sate terlalu banyak, Aludra tiba-tiba saja merasa sakit kepala. Beruntung, masih ada Damar di rumahnya yang sigap membawa dia ke kamar untuk beristirahat."Lumayan," jawab Aludra. "Habis ini kayanya aku mau tidur. Perasaanku enggak enak.""Enggak enak gimana?" tanya Damar."Daritadi aku kepikiran Kak Lula terus.""Dih." Damar mencibir. "Ngapain mikirin dia? Dia aja enggak pernah mikirin kamu. Selama sebulan ini Alula bahkan cuekin kamu, kan?""Iya, tapi aku ngerasa enggak enak aja, Damar. Aku ngerasa ada yang enggak beres sama Kak Lula dan kamu tahu sendiri kan ikatan saudara kembar itu kuat?" tanya Aludra.Dia tak bohong. Sejak kejadian di jalan tadi—ketima mobil yang dia dan Damar tumpangi hampir saja bertabrakan, perasaannya tiba-tiba saja tak enak dan satu nama yang terlintas di pikiran Aludra adalah Alula.Tak tahu kenapa, dia terus memikirkan