***"Ya ampun udah pagi."Baru bisa tidur pukul sebelas malam, pagi ini Arka bangun pukul setengah tujuh pagi. Membuka matanya lebih lebar, dia mengerjap beberapa kali lalu menguap pelan dan berlanjut pada kegiatan selanjutnya yaitu menggeliat—meluruskan otot-ototnya yang terasa kaku."Ah, Jakarta," gumam Arka. "Jam berapa sih ini?"Masih dengan posisinya yang berbaring, Arka melirik ke arah kiri—pada jam dinding berukuran besar di sana lalu bergumam. "Ah, setengah tujuh," ucapnya. Kembali memandang langit-langit, di detik berikutnya Arka beringsut bahkan langsung berdiri di kasur."Astagfirullah, jam tujuh!" seru Arka sambil meloncat dari kasur untuk segera mandi, karena seperti yang Dewa bilang semalam, jam kerja di perusahaan Dewa dimulai pukul tujuh pagi dan itu berarti dia punya waktu setengah jam sebelum pukul tujuh pagi."Gak boleh telat, come on, Ar! Malu sama Papa Dewa kalau di hari pertama kerja, kamu udah telat!"Sepanjang kegiatan mandinya, Arka terus mengoceh sementara ta
***"Kenapa enggak diangkat sih, Damar?!"Lagi, Aludra kembali merengek ketika panggilan keduanya tak kunjung dijawab oleh Damar. Padahal, saat ini dia sangat membutuhkan sahabatnya itu untuk mengantar dia ke rumah sakit.Tahu dari Arka tentang kecelakaan Alula, Aludra langsung menghubungi Dewa dan nyatanya benar. Sebuah kabar buruk dia dapatkan dari sang Papa yang membenarkan kecelakaan Alula.Sungguh, Aludra merasa jadi orang bodoh karena dia tak tahu apa yang terjadi pada Kakaknya sendiri semalam.Pagi hari terbangun dan tak mendapati satu pun anggota keluarganya di rumah, Aludra percaya begitu saja ketika para pelayan rumah yang diminta merahasiakan semuanya mengatakan kalau Dewa dan Alula sudah pergi ke kantor, sementara Aurora pergi berbelanja.Ah, Aludra bodoh. Seharusnya dia lebih peka dengan apa yang terjadi."Kenapa?"Aludra yang sejak tadi hanya fokus menelepon Damar menoleh saat pertanyaan itu dilontarkan Arka. Panik dan ingin segera menemui Alula, dia memang melupakan keb
***"Nyetirnya bisa cepetan dikit enggak, Mas? Kok pelan banget daritadi?"Arka yang sejak tadi fokus mengemudi seketika menoleh lalu mendelik pada Aludra ketika protesan itu dilayangkan untuk yang kedua kalinya.Bukan tak mau atau tak bisa mengemudi dengan kecepatan tinggi, Arka memilih untuk melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang karena dia takut.Rutin menanyakan kondisi kehamilan Aludra melalui Aurora, Arka nyatanya cukup tahu bagaimana rentannya kandungan Aludra. Stress atau kelelahan saja dia bisa mudah mengalami pendarahan.Jadi, daripada mengambil resiko—ban mobilnya melalui lubang jalan yang mungkin tak akan terlihat ketika mengemudi kencang, Arka memilih untuk mengemudi dengan kecapatan empat puluh kilometer perjam.Pelan asal selamat. Prinsip itulah yang diterapkan Arka sekarang ketika membawa Aludra."Mas kamu dengar aku enggak? Kencengin kecepatannya ih!""Nyetir sendiri," celetuk Arka. "Aku biasa nyetir dengan kecepatan segini. Kalau enggak suka, turun.""Ya udah aku
***"Iya Damar, enggak apa-apa. Cepet sembuh ya buat Om Gilang.""Iya, Ra. Maaf banget ya, Ra. Bilang ke Om Dewa maaf karena aku belum bisa jenguk Lula.""Iya Damar."Setelahnya Aludra memutuskan sambungan telepon dengan Damar. Masih di rumah sakit, siang ini Aludra duduk di bangku panjang depan ruang ICU.Tak sendiri, Aludra sejak tadi ditemani Arka yang setia duduk di sampingnya. Tak banyak mengobrol, mereka menghabiskan waktu beberapa jam dengan kegiatan masing-masing.Aludra tak bisa terlalu lama di dalam, kini hanya ada Aurora yang menjaga Alula di ruang ICU, karena Dewa kini sudah mulai sibuk mengurus semua keperluan Alula untuk berangkat ke Swiss besok.Salah jika Alula bilang Dewa dan Aurora pilih kasih, karena kenyataannya mereka selalu sama rata memperlakukan kedua putrinya termasuk sekarang. Sehari dinyatakan koma, Dewa langsung mencari solusi terbaik untuk putrinya dengan cara; mengirim Alula ke Swiss.Bukan tanpa alasan, Dewa mengirim Alula ke Swiss karena negara itu adal
***"Jadi kamu mau makan apa?""Enggak tau."Lagi, Arka kembali menghembuskan napas kasar ketika jawaban yang sama dilontarkan lagi oleh Aludra. Selain enggak tau, Aludra menjawab terserah ketika Arka menanyakan menu makan siang untuknya."Ada jawaban lain enggak?" tanya Arka."Maksud kamu?""Daritadi aku tanya mau makan apa, kamu jawabnya enggak tau sama terserah. Aku belum pernah dengar makanan namanya itu.""Kan itu emang bukan nama makanan.""Makanya," ucap Arka. Dia kemudian menoleh pada Aludra sekilas. "Kita udah ngelilingin Jakarta selatan selama setengah jam dan kamu masih bingung. Pulang aja deh kalau gitu.""Enggak mau," tolak Aludra. "Aku belum mau pulang. Aku mau cari makanan dulu.""Ya udah kamu mau makan apa?""Enggak tau.""Ish." Arka mengacak-acak rambutnya frustasi, sementara Aludra hanya memandang pria itu dengan kening yang berkerut."Kamu enggak sesabar Damar," ucap Aludra. "Aku sering kaya gini juga sama Damar, tapi dia enggak pernah marah. Dia selalu baik.""Aku
***"Ra, kamu baik-baik aja?"Sempat menunggu di ruang tengah, pada akhirnya Arka memberanikan diri untuk masuk ke kamar Aludra lalu berdiri di depan kamar mandi.Memakan seporsi rujak sendirian dengan sambal yang banyak, Aludra sakit perut. Jelas, perut Aludra sensitif pedas, tapi karena bawaan hamil, dia memakan pedas tak kira-kira.Alhasil, sekarang—sudah hampir sepuluh menit di kamar mandi, Aludra tak kunjung keluar dan semua itu nyatanya cukup membuat Arka panik sekaligus khawatir.Masih bersikap cuek, Arka tak memungkiri jika hatinya yang mengeras kini perlahan luluh. Tak lagi merasa sakit hati, Arka kini sedang memulihkan perasaannya agar nanti bisa membuka hati lagi untuk Aludra karena jujur, perasaan cinta itu masih ada.Namun, tentunya—karena masih dalam tahap belajar, Arka tak ingin dulu memberikan harapan pada Aludra agar perempuan itu tak terlalu berharap banyak padanya karena Arka pun terkadang merasa ragu.Jika dibilang trauma,ya. Arka cukup trauma untuk menjalin hubung
"Bye, Ar. Love you.""Ish."Perempuan berambut panjang itu terkekeh sendiri ketika mendapatkan respon tak terduga dari pria yang baru saja dia telepon. Memanfaatkan waktu istirahat, dia memang sengaja menelepon sahabatnya untuk memastikan makan siang hari ini yang sudah mereka rencanakan jadi."Susah banget ya emang goda Arka.""Ekhem."Perempuan itu tersentak ketika deheman pelan terdengar dari sampingnya. Atmosfer berubah dalam sekejap, wajah santainya berubah tegang ketika pria yang datang dan kini duduk di sampingnya adalah pria yang baru saja dia temui setengah jam lalu."Damar.""Hai, ganggu gak?" tanya Damar.Arsya tersenyum. Malu-malu, dia menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. Ya, perempuan berjas putih dengan badge nama juga gelar yang menggantung di lehernya itu adalah Arsyakayla Naditya Alexander—salah satu dokter spesialis kandungan yang baru bekerja di rumah sakit selama satu bulan."Enggak, kenapa?" tanya Arsya gugup. Sikapnya yang biasa ceplas-ceplos berubah
***"Hai, Mrs. Ngaret. Kurang telat nih datangnya. Coba sejam lagi atau mungkin lima jam lagi. Sekalian datangnya nanti malam pas restorannya udah tutup."Baru sampai di restoran jepang yang dijanjikan bersama Arka, Arsya langsung mendapat omelan pedas dari sahabatnya itu.Sedih? Tentu saja tidak. Alih-alih merasa bersalah karena sudah molor setengah jam dari waktu yang ditentukan, Arsya justru tersenyum dengan wajah tanpa dosa."Halo, Ar. Maaf ya, telat. Macet," ucap Arsya yang disambut decakkan dari Arka. "Alasan," celetuk Arka. "Janjinya jam satu, setengah dua baru datang. Kamu tau enggak sih, Sya? Nunggu itu bosen.""Ya maaf, Ar. Aku kan enggak sengaja," ucap Arsya. "Tadi keasikan ngobrol sih jadi lupa waktu.""Ngobrol sama siapa?" tanya Arka sambil menaikkan sebelah alisnya—menatap Arsya dengan intens dan yang dilakukan Arsya masih sama.Tersenyum bahagia seolah baru saja mendapat jackpot. Ya, tentu saja. Bisa mengobrol bahkan diminta nomor telepon oleh crush adalah jackpot yang