***"Calon pacar aku."Aludra menghela napas pelan ketika ucapan Arka tadi kembali terngiang-ngiang di pikirannya.Ternyata secepat itu Arka sudah punya calon pacar dan itu berarti kesempatan Aludra untuk mempebaiki semuanya mungkin semakin lama semakin pupus."De, Papa kalian udah punya calon ibu tiri, seneng enggak?" tanya Aludra. Duduk sendiri di balkon kamar sambil menikmati angin malam, Aludra mengelus perutnya yang dibalut piyama satin berwarna merah mudah. "Kira-kira calon ibu tiri kalian cantik sama baik enggak ya? Cantik deh kayanya. Papa kalian enggak akan salah pilih perempuan.""Ish, Rara. Enggak boleh sedih.""Kamu sedih kenapa?"Aludra tersentak. Menoleh, dia mendapati Damar berdiri di ambang pintu yang menghubungkan kamarnya dan balkon."Damar.""Malam, Mil," sapa Damar."Mil?" Aludra menaikkan sebelah alisnya, sementara Damar berjalan mendekat lalu duduk di samping Aludra."Bumil," jawab Damar. "Biar singkat, aku panggil Mil aja."Aludra tersenyum. "Ada-ada aja emang k
***"Turun Damar, turun."Tiba-tiba malas berjalan, Aludra kini menempel di punggung Damar yang melangkah dengan hati-hati menuruni tangga.Belum terlalu sesak, posisi digendong di belakang memang masih cukup aman untuk Aludra."Bayi dugong," celetuk Damar sambil terkekeh. "Mana makin hari makin berat.""Ikhlas, Damar. Nolongin ibu hamil pahalanya gede," jawab Aludra."Iya deh iya."Sampai di lantai satu, Damar melirik ke kiri dan ke kanan untuk mencari keberadaan Dewa yang katanya menunggu."Om Dewa di mana, Ra?""Di ruang tengah kayanya," kata Aludra."Oke deh," jawab Damar. Melanjutkan langkahnya, Damar berjalan menuju ruang tengah dan ternyata benar. Dewa sudah duduk santai sambil berpangku kaki di sofa single.Tak sendiri, Dewa duduk bersama seorang pria berkaos putih yang berada di samping kirinya dan tentu saja kehadiran pria tersebut cukup membuat Aludra tiba-tiba saja meminta turun dari gendongan Damar."Diem," bisik Damar yang langsung membuat Aludra diam. "Kita panasin Arka
***"Ra."Berdiri di depan pintu kamar Aludra, Arka mengulurkan tangannya lalu mengetuk pintu dengan pelan. Tak bisa menolak permintaan Dewa, pagi ini—sekitar pukul enam, Arka datang ke rumah Aludra untuk mengantarnya ke Bandara.Dewa bilang Alula akan dibawa ke bandara memakai ambulance rumah sakit dan sejak tadi subuh—setelah semalam Dewa tidur di rumah, dia kembali ke rumah sakit untuk mempersiapkan semuanya."Enggak nyaut," gumam Arka. Tak mau mengganggu pelayan di rumah Aludra yang tengah disibukkan dengan pekerjaan rumah, Arka memang berinisiatif untuk membangunkan Aludra. "Masih tidur apa lagi mandi ya?"Terdiam sejenak untuk berpikir, tangan Arka akhirnya perlahan turun untuk meraih handle. Memutarnya pelan, Arka bisa membuka pintu kamar Aludra.Tak langsung masuk, dia hanya menyembulkan kepalanya lalu perlahan kedua matanya mengedar—mencari keberadaan Aludra. Namun, sejauh mata menjelajah, perempuan berambut coklat itu tak bisa Arka temukan, bahkan kasurnya pun sudah kosong d
***"Kalau pusing jangan maksain."Baru masuk ke dalam mobil, ucapan itu langsung dilontarkan Arka pada Aludra yang kini duduk di sampingnya sambil memijat kening yang memang masih terasa pusing.Kehamilan kembar sangat beresiko mengalami anemia alias tekanan darah rendah dan semua itu tengah terjadi pada Aludra.Sudah diatasi dengan vitamin, tekanan darah Aludra masih stuck di angka delapan puluh per tujuh puluh. Padahal minimal, tekanan darah normal seharusnya seratus sepuluh per tujuh puluh."Cuman dikit," kata Aludra. "Ayo buruan, kasian Mama sama Papa aku nungguin.""Iya."Pingsan di kamar mandi, Arka segera memanggil dokter untuk memeriksa Aludra dan penyebabnya hanya satu yaitu; tekanan darah yang rendah. Sadar beberapa menit setelah diperiksa, Aludra langsung pergi mandi karena dia tetap bersikukuh untuk menemui Alula di bandara sebelum kakaknya itu terbang menuju Swiss.Kondisi Alula sampai detik ini bisa dibilang belum membaik dan meskipub dibawa ke Swiss—negara dengan fasil
***"Enggak usah banyak pikiran, kasihan dua bayi di perut kamu nanti ikutan stress. Gak bagus."Sejak pulang dari Bandara Aludra terlihat murung, bahkan terus melamun. Arka akhirnya memberikan teguran tersebut karena memang apa yang dia katakan benar adanya.Ketika pikiran seorang ibu hamil tak baik-baik saja, maka janin yang dikandungnya akan mengalami hal serupa, itulah alasannya mood seorang ibu hamil harus dijaga sebaik mungkin agar tetap dalam keadaan baik.Namun, tentunya Aludra pun serba salah. Bukan tak sayang, bukan tak khawatir pada kedua bayinya, tapi Aludra memang tak bisa bersikap biasa saja setelah melihat keadaan Alula yang sangat jauh dari kata baik-baik saja.Ketakutan Aludra sekarang hanya satu; Alula pergi meninggalkannya. Demi apapun, Aludra tak akan sanggup jika sampai semua itu terjadi karena dia sangat menyayangi kakaknya."Gimana enggak banyak pikiran, Kakakku sekarang lagi enggak baik-baik aja," jawab Aludra. "Dia ada diantara hidup dan mati.""Separah itu?"
***"Makan."Aludra yang sedang duduk santai sambil menikmati angin malam, seketika langsung mengalihkan perhatiannya ke arah pintu ketika suara Arka terdengar dari sana."Apa?" tanya Aludra."Makan malam udah jadi, makan dulu," perintah Arka."Oh, duluan aja, Mas," pinta Aludra. Dari Arka, dia kembali memandang halaman rumahnya yang luas. Tak semata-mata menikmati angin malam, tujuan Aludra duduk di teras depan rumah adalah untuk menunggu Damar yang berjanji akan berkunjung. Sekalipun disibukkan dengan pekerjaan, nyatanya Damar tetap menyempatkan waktu untuk mengunjungi Aludra meskipun tak akan lama."Kenapa enggak makan sekarang?" tanya Arka. Meskipun memakai pakaian santai, sebuah arloji tetap melingkar di pergelangan tangan kirinya dan jarum pada arloji tersebut kini sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam.Lewat setengah jam dari waktu makan malam yang seharusnya pukul tujuh."Lagi nungguin seseorang dulu," kata Aludra."Damar?" tanya Arka.Aludra tersenyum. "Kok tahu?" t
***"Ya udah aku pulang dulu ya, Ra. Hati-hati di rumah. Kalau ada apa-apa, panggil Arka. Dia gak nyaut, dobrak pintunya."Aludra terkekeh. Selalu saja. Di balik ucapan serius, Damar pasti selalu menyelipkan guyonan receh yang selalu berhasil membuatnya tertawa."Iya, tapi aku enggak bisa dobrak kamar, Damar. Enggak kuat," kata Aludra."Nyuruh satpam dong, Ra.""Oh, oke deh," kata Aludra. "Sekarang kamu mau langsung ke mana? Pulang apa ke mana?""Rumah sakit dulu, Ra. Mau jenguk Papa," ucap Damar."Oh oke, hati-hati di jalan ya, Dam.""Siap."Tak bisa berlama-lama, setelah makan malam selesai lalu mengobrol sebentar, Damar terpaksa berpamitan pada Aludra karena dia harus segera menemui sang Papa yang dijaga mamanya di rumah sakit lalu setelah itu pulang untuk mengerjakan beberapa dokumen yang belum selesai dikerjakan di kantor.Sungguh, Damar merasa menjadi orang sibuk, sekarang.Meninggalkan rumah Aludra, Damar langsung melajukan mobilnya menuju rumah sakit Sentosa—tempat sang Papa d
"Aku gaje, ya?"Terjebak momen yang tiba-tiba saja canggung, yang dilakukan Damar juga Arsya kini adalah saling melempar tatapan satu sama lain."E-enggak sih, cum-"Ucapan Arsya terhenti ketika sebuah ketukan di kaca mobil terdengar dari belakang Damar dan di detik itu pula, kedua mata Arsya membulat sempurna melihat seorang pria yang kini membungkuk sambil mengetuk kaca mobil Damar."Siapa tuh?" tanya Damar pada Arsya."P-Papa aku," jawab Arsya yang langsung membuat jantung Damar rasanya langsung turun ke lambung."Papa kamu?" tanya Damar.Arsya mengangguk. "I-iya, Dam. Buka dulu kacanya," kata Arsya."Oke," jawab Damar. Tangannya tiba-tiba saja bergetar, Damar membuka kaca mobil itu perlahan lalu memberanikan diri untuk menyapa. "Malam, Om.""Kamu ... Ngapain kamu parkir di depan rum ... lho, Arsya?" tanya Alfian ketika mendapati Arsya duduk di samping Damar."Papa.""Kamu ngapain?" tanya Alfian. Dari Arsya, dia kembali memandang Damar. "Ini siapa? Terus kalian lagi apa berduaan di