***"Kalau pusing jangan maksain."Baru masuk ke dalam mobil, ucapan itu langsung dilontarkan Arka pada Aludra yang kini duduk di sampingnya sambil memijat kening yang memang masih terasa pusing.Kehamilan kembar sangat beresiko mengalami anemia alias tekanan darah rendah dan semua itu tengah terjadi pada Aludra.Sudah diatasi dengan vitamin, tekanan darah Aludra masih stuck di angka delapan puluh per tujuh puluh. Padahal minimal, tekanan darah normal seharusnya seratus sepuluh per tujuh puluh."Cuman dikit," kata Aludra. "Ayo buruan, kasian Mama sama Papa aku nungguin.""Iya."Pingsan di kamar mandi, Arka segera memanggil dokter untuk memeriksa Aludra dan penyebabnya hanya satu yaitu; tekanan darah yang rendah. Sadar beberapa menit setelah diperiksa, Aludra langsung pergi mandi karena dia tetap bersikukuh untuk menemui Alula di bandara sebelum kakaknya itu terbang menuju Swiss.Kondisi Alula sampai detik ini bisa dibilang belum membaik dan meskipub dibawa ke Swiss—negara dengan fasil
***"Enggak usah banyak pikiran, kasihan dua bayi di perut kamu nanti ikutan stress. Gak bagus."Sejak pulang dari Bandara Aludra terlihat murung, bahkan terus melamun. Arka akhirnya memberikan teguran tersebut karena memang apa yang dia katakan benar adanya.Ketika pikiran seorang ibu hamil tak baik-baik saja, maka janin yang dikandungnya akan mengalami hal serupa, itulah alasannya mood seorang ibu hamil harus dijaga sebaik mungkin agar tetap dalam keadaan baik.Namun, tentunya Aludra pun serba salah. Bukan tak sayang, bukan tak khawatir pada kedua bayinya, tapi Aludra memang tak bisa bersikap biasa saja setelah melihat keadaan Alula yang sangat jauh dari kata baik-baik saja.Ketakutan Aludra sekarang hanya satu; Alula pergi meninggalkannya. Demi apapun, Aludra tak akan sanggup jika sampai semua itu terjadi karena dia sangat menyayangi kakaknya."Gimana enggak banyak pikiran, Kakakku sekarang lagi enggak baik-baik aja," jawab Aludra. "Dia ada diantara hidup dan mati.""Separah itu?"
***"Makan."Aludra yang sedang duduk santai sambil menikmati angin malam, seketika langsung mengalihkan perhatiannya ke arah pintu ketika suara Arka terdengar dari sana."Apa?" tanya Aludra."Makan malam udah jadi, makan dulu," perintah Arka."Oh, duluan aja, Mas," pinta Aludra. Dari Arka, dia kembali memandang halaman rumahnya yang luas. Tak semata-mata menikmati angin malam, tujuan Aludra duduk di teras depan rumah adalah untuk menunggu Damar yang berjanji akan berkunjung. Sekalipun disibukkan dengan pekerjaan, nyatanya Damar tetap menyempatkan waktu untuk mengunjungi Aludra meskipun tak akan lama."Kenapa enggak makan sekarang?" tanya Arka. Meskipun memakai pakaian santai, sebuah arloji tetap melingkar di pergelangan tangan kirinya dan jarum pada arloji tersebut kini sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam.Lewat setengah jam dari waktu makan malam yang seharusnya pukul tujuh."Lagi nungguin seseorang dulu," kata Aludra."Damar?" tanya Arka.Aludra tersenyum. "Kok tahu?" t
***"Ya udah aku pulang dulu ya, Ra. Hati-hati di rumah. Kalau ada apa-apa, panggil Arka. Dia gak nyaut, dobrak pintunya."Aludra terkekeh. Selalu saja. Di balik ucapan serius, Damar pasti selalu menyelipkan guyonan receh yang selalu berhasil membuatnya tertawa."Iya, tapi aku enggak bisa dobrak kamar, Damar. Enggak kuat," kata Aludra."Nyuruh satpam dong, Ra.""Oh, oke deh," kata Aludra. "Sekarang kamu mau langsung ke mana? Pulang apa ke mana?""Rumah sakit dulu, Ra. Mau jenguk Papa," ucap Damar."Oh oke, hati-hati di jalan ya, Dam.""Siap."Tak bisa berlama-lama, setelah makan malam selesai lalu mengobrol sebentar, Damar terpaksa berpamitan pada Aludra karena dia harus segera menemui sang Papa yang dijaga mamanya di rumah sakit lalu setelah itu pulang untuk mengerjakan beberapa dokumen yang belum selesai dikerjakan di kantor.Sungguh, Damar merasa menjadi orang sibuk, sekarang.Meninggalkan rumah Aludra, Damar langsung melajukan mobilnya menuju rumah sakit Sentosa—tempat sang Papa d
"Aku gaje, ya?"Terjebak momen yang tiba-tiba saja canggung, yang dilakukan Damar juga Arsya kini adalah saling melempar tatapan satu sama lain."E-enggak sih, cum-"Ucapan Arsya terhenti ketika sebuah ketukan di kaca mobil terdengar dari belakang Damar dan di detik itu pula, kedua mata Arsya membulat sempurna melihat seorang pria yang kini membungkuk sambil mengetuk kaca mobil Damar."Siapa tuh?" tanya Damar pada Arsya."P-Papa aku," jawab Arsya yang langsung membuat jantung Damar rasanya langsung turun ke lambung."Papa kamu?" tanya Damar.Arsya mengangguk. "I-iya, Dam. Buka dulu kacanya," kata Arsya."Oke," jawab Damar. Tangannya tiba-tiba saja bergetar, Damar membuka kaca mobil itu perlahan lalu memberanikan diri untuk menyapa. "Malam, Om.""Kamu ... Ngapain kamu parkir di depan rum ... lho, Arsya?" tanya Alfian ketika mendapati Arsya duduk di samping Damar."Papa.""Kamu ngapain?" tanya Alfian. Dari Arsya, dia kembali memandang Damar. "Ini siapa? Terus kalian lagi apa berduaan di
***"Ih enggak bisa tidur."Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah dua pagi, Aludra tak kunjung menutup matanya karena rasa kantuk yang tak datang juga.Sebenarnya saat Damar pulang, Aludra langsung pergi tidur. Namun, karena rasa ingin ke kamar mandi, pukul setengah satu dini hari Aludra terbangun dan sampai detik ini dia tak bisa tidur.Padahal, sudah berbagai cara dia lakukan mulai dari berguling di kasur, membaca buku, hingga menghitung gambar kambing di layar, tapi semuanya gagal. Aludra tetap tak mengantuk."Pizza," gumam Aludra pelan. Posisinya terlentang di atas kasur, dia mengukir senyum tipis membayangkan betama enaknya makan pizza dini hari.Beringsut, Aludra langsung mengubah posisinya menjadi duduk lalu mengambil ponsel di meja nakas—berniat untuk menghubungi Damar.Namun, semua itu urung dia lakukan ketika teringat lagi jika belakangan ini Damar sedang hectic dengan pekerjaan kantor. Jika sekarang Aludra meminta Damar untuk membelikan pizza, istirahat Damar pasti aka
***"Kancingin."Aludra yang baru saja menghampiri Arka lantas menaikkan sebelah alis ketika ucapan singkat tersebut dilontarkan Arka yang baru saja mengeluarkan sedan putih milik Dewa dari garasi.Tak mau memakai Range Rover milik Arka, Aludra memang sengaja meminta Arka memakai mobil sedan putih yang sudah cukup lama tak keluar dari garasi, dan tentu saja semua itu membuat Arka harus lebih lama memanaskan mesin."Apanya yang dikancingin?" tanya Aludra."Menurut kamu?""Otak kamu?" sarkas Aludra yang membuat Arka mendesah, sebelum pada akhirnya dia yang semula bersandar pada pintu mobil langsung berjalan mendekat lalu tanpa ragu mengancingkan cardigan rajut yang dipakai Aludra."Tipis banget, enggak punya jaket yang lebih tebel gitu?" tanya Arka."Aku lagi pengen pake ini," ucap Aludra."Tapi itu enggak akan buat kamu hangat.""Ya biarin," jawab Aludra. "Aku yang kedinginan, kenapa kamu yang repot.""Kamu kok nyebelin?" tanya Arka."Kamu yang duluan nyebelin," jawab Aludra. "Udah deh
***"Aludra belum bangun?"Datang ke dapur untuk sarapan, pertanyaan tersebut langsung dilontarkan Arka ketika di ruang makan dia tak mendapati Aludra. Padahal jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi.Sejak kejadian di restoran pizza, Aludra masih mengabaikan Arka—bahkan dini hari tadi ketika sampai di rumah, dia langsung turun tanpa mengucapkan sepatah atau dua patah kata pun.Aludra benar-benar marah karena semua sikap Arka, tapi Arka pun tak tahu harus berbuat apa karena sampai detik ini—untuk menyatakan cinta dan mengajak Aludra kembali berkomitmen, hati Arka belum benar-benar mantap.Entah seminggu atau dua minggu lagi, Arka masih perlu meyakinkan hatinya jika kejadian seperti kemarin tak aka terulang dan rumah tangganya dengan Aludra akan baik-baik saja.Namun, Arka pun takut Aludra akan benar-benar menyerah dan berpaling pada Damar.Arsya. Dia mencintai Damar. Haruskah Arka meminta bantuan Arsya untuk mengikat Damar agar tak bersama Aludra? Aish, sial! Arka tak biasa be