"Bye, Ar. Love you.""Ish."Perempuan berambut panjang itu terkekeh sendiri ketika mendapatkan respon tak terduga dari pria yang baru saja dia telepon. Memanfaatkan waktu istirahat, dia memang sengaja menelepon sahabatnya untuk memastikan makan siang hari ini yang sudah mereka rencanakan jadi."Susah banget ya emang goda Arka.""Ekhem."Perempuan itu tersentak ketika deheman pelan terdengar dari sampingnya. Atmosfer berubah dalam sekejap, wajah santainya berubah tegang ketika pria yang datang dan kini duduk di sampingnya adalah pria yang baru saja dia temui setengah jam lalu."Damar.""Hai, ganggu gak?" tanya Damar.Arsya tersenyum. Malu-malu, dia menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. Ya, perempuan berjas putih dengan badge nama juga gelar yang menggantung di lehernya itu adalah Arsyakayla Naditya Alexander—salah satu dokter spesialis kandungan yang baru bekerja di rumah sakit selama satu bulan."Enggak, kenapa?" tanya Arsya gugup. Sikapnya yang biasa ceplas-ceplos berubah
***"Hai, Mrs. Ngaret. Kurang telat nih datangnya. Coba sejam lagi atau mungkin lima jam lagi. Sekalian datangnya nanti malam pas restorannya udah tutup."Baru sampai di restoran jepang yang dijanjikan bersama Arka, Arsya langsung mendapat omelan pedas dari sahabatnya itu.Sedih? Tentu saja tidak. Alih-alih merasa bersalah karena sudah molor setengah jam dari waktu yang ditentukan, Arsya justru tersenyum dengan wajah tanpa dosa."Halo, Ar. Maaf ya, telat. Macet," ucap Arsya yang disambut decakkan dari Arka. "Alasan," celetuk Arka. "Janjinya jam satu, setengah dua baru datang. Kamu tau enggak sih, Sya? Nunggu itu bosen.""Ya maaf, Ar. Aku kan enggak sengaja," ucap Arsya. "Tadi keasikan ngobrol sih jadi lupa waktu.""Ngobrol sama siapa?" tanya Arka sambil menaikkan sebelah alisnya—menatap Arsya dengan intens dan yang dilakukan Arsya masih sama.Tersenyum bahagia seolah baru saja mendapat jackpot. Ya, tentu saja. Bisa mengobrol bahkan diminta nomor telepon oleh crush adalah jackpot yang
***"Calon pacar aku."Aludra menghela napas pelan ketika ucapan Arka tadi kembali terngiang-ngiang di pikirannya.Ternyata secepat itu Arka sudah punya calon pacar dan itu berarti kesempatan Aludra untuk mempebaiki semuanya mungkin semakin lama semakin pupus."De, Papa kalian udah punya calon ibu tiri, seneng enggak?" tanya Aludra. Duduk sendiri di balkon kamar sambil menikmati angin malam, Aludra mengelus perutnya yang dibalut piyama satin berwarna merah mudah. "Kira-kira calon ibu tiri kalian cantik sama baik enggak ya? Cantik deh kayanya. Papa kalian enggak akan salah pilih perempuan.""Ish, Rara. Enggak boleh sedih.""Kamu sedih kenapa?"Aludra tersentak. Menoleh, dia mendapati Damar berdiri di ambang pintu yang menghubungkan kamarnya dan balkon."Damar.""Malam, Mil," sapa Damar."Mil?" Aludra menaikkan sebelah alisnya, sementara Damar berjalan mendekat lalu duduk di samping Aludra."Bumil," jawab Damar. "Biar singkat, aku panggil Mil aja."Aludra tersenyum. "Ada-ada aja emang k
***"Turun Damar, turun."Tiba-tiba malas berjalan, Aludra kini menempel di punggung Damar yang melangkah dengan hati-hati menuruni tangga.Belum terlalu sesak, posisi digendong di belakang memang masih cukup aman untuk Aludra."Bayi dugong," celetuk Damar sambil terkekeh. "Mana makin hari makin berat.""Ikhlas, Damar. Nolongin ibu hamil pahalanya gede," jawab Aludra."Iya deh iya."Sampai di lantai satu, Damar melirik ke kiri dan ke kanan untuk mencari keberadaan Dewa yang katanya menunggu."Om Dewa di mana, Ra?""Di ruang tengah kayanya," kata Aludra."Oke deh," jawab Damar. Melanjutkan langkahnya, Damar berjalan menuju ruang tengah dan ternyata benar. Dewa sudah duduk santai sambil berpangku kaki di sofa single.Tak sendiri, Dewa duduk bersama seorang pria berkaos putih yang berada di samping kirinya dan tentu saja kehadiran pria tersebut cukup membuat Aludra tiba-tiba saja meminta turun dari gendongan Damar."Diem," bisik Damar yang langsung membuat Aludra diam. "Kita panasin Arka
***"Ra."Berdiri di depan pintu kamar Aludra, Arka mengulurkan tangannya lalu mengetuk pintu dengan pelan. Tak bisa menolak permintaan Dewa, pagi ini—sekitar pukul enam, Arka datang ke rumah Aludra untuk mengantarnya ke Bandara.Dewa bilang Alula akan dibawa ke bandara memakai ambulance rumah sakit dan sejak tadi subuh—setelah semalam Dewa tidur di rumah, dia kembali ke rumah sakit untuk mempersiapkan semuanya."Enggak nyaut," gumam Arka. Tak mau mengganggu pelayan di rumah Aludra yang tengah disibukkan dengan pekerjaan rumah, Arka memang berinisiatif untuk membangunkan Aludra. "Masih tidur apa lagi mandi ya?"Terdiam sejenak untuk berpikir, tangan Arka akhirnya perlahan turun untuk meraih handle. Memutarnya pelan, Arka bisa membuka pintu kamar Aludra.Tak langsung masuk, dia hanya menyembulkan kepalanya lalu perlahan kedua matanya mengedar—mencari keberadaan Aludra. Namun, sejauh mata menjelajah, perempuan berambut coklat itu tak bisa Arka temukan, bahkan kasurnya pun sudah kosong d
***"Kalau pusing jangan maksain."Baru masuk ke dalam mobil, ucapan itu langsung dilontarkan Arka pada Aludra yang kini duduk di sampingnya sambil memijat kening yang memang masih terasa pusing.Kehamilan kembar sangat beresiko mengalami anemia alias tekanan darah rendah dan semua itu tengah terjadi pada Aludra.Sudah diatasi dengan vitamin, tekanan darah Aludra masih stuck di angka delapan puluh per tujuh puluh. Padahal minimal, tekanan darah normal seharusnya seratus sepuluh per tujuh puluh."Cuman dikit," kata Aludra. "Ayo buruan, kasian Mama sama Papa aku nungguin.""Iya."Pingsan di kamar mandi, Arka segera memanggil dokter untuk memeriksa Aludra dan penyebabnya hanya satu yaitu; tekanan darah yang rendah. Sadar beberapa menit setelah diperiksa, Aludra langsung pergi mandi karena dia tetap bersikukuh untuk menemui Alula di bandara sebelum kakaknya itu terbang menuju Swiss.Kondisi Alula sampai detik ini bisa dibilang belum membaik dan meskipub dibawa ke Swiss—negara dengan fasil
***"Enggak usah banyak pikiran, kasihan dua bayi di perut kamu nanti ikutan stress. Gak bagus."Sejak pulang dari Bandara Aludra terlihat murung, bahkan terus melamun. Arka akhirnya memberikan teguran tersebut karena memang apa yang dia katakan benar adanya.Ketika pikiran seorang ibu hamil tak baik-baik saja, maka janin yang dikandungnya akan mengalami hal serupa, itulah alasannya mood seorang ibu hamil harus dijaga sebaik mungkin agar tetap dalam keadaan baik.Namun, tentunya Aludra pun serba salah. Bukan tak sayang, bukan tak khawatir pada kedua bayinya, tapi Aludra memang tak bisa bersikap biasa saja setelah melihat keadaan Alula yang sangat jauh dari kata baik-baik saja.Ketakutan Aludra sekarang hanya satu; Alula pergi meninggalkannya. Demi apapun, Aludra tak akan sanggup jika sampai semua itu terjadi karena dia sangat menyayangi kakaknya."Gimana enggak banyak pikiran, Kakakku sekarang lagi enggak baik-baik aja," jawab Aludra. "Dia ada diantara hidup dan mati.""Separah itu?"
***"Makan."Aludra yang sedang duduk santai sambil menikmati angin malam, seketika langsung mengalihkan perhatiannya ke arah pintu ketika suara Arka terdengar dari sana."Apa?" tanya Aludra."Makan malam udah jadi, makan dulu," perintah Arka."Oh, duluan aja, Mas," pinta Aludra. Dari Arka, dia kembali memandang halaman rumahnya yang luas. Tak semata-mata menikmati angin malam, tujuan Aludra duduk di teras depan rumah adalah untuk menunggu Damar yang berjanji akan berkunjung. Sekalipun disibukkan dengan pekerjaan, nyatanya Damar tetap menyempatkan waktu untuk mengunjungi Aludra meskipun tak akan lama."Kenapa enggak makan sekarang?" tanya Arka. Meskipun memakai pakaian santai, sebuah arloji tetap melingkar di pergelangan tangan kirinya dan jarum pada arloji tersebut kini sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam.Lewat setengah jam dari waktu makan malam yang seharusnya pukul tujuh."Lagi nungguin seseorang dulu," kata Aludra."Damar?" tanya Arka.Aludra tersenyum. "Kok tahu?" t