***"Ya ampun ini anaknya manis-manis banget, namanya siapa Bu Rora?""Ini yang sulung Alula, yang bungsu Aludra.""Manis-manis ya, mana mukanya sama lagi.""Iya tapi yang ini cantik banget. Namanya siapa?""Aludla, Tante."Alula mengeratkan pegangan tangannya pada setir ketika bayangan masa kecil dia dan Aludra kembali melintas tanpa permisi di pikirannya.Pergi dari rumah lalu mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi, sampai saat ini Alula tak tahu ke mana dia akan pergi untuk menenangkan pikiran juga hatinya yang sakit.Dewa dan Aurora pilih kasih. Begitulah penilaian Alula pada kedua orang tuanya sekarang, setelah tahu jika mereka ternyata diam-diam membangun rencana untuk menyatukan Aludra dan Arka.Alula benci Aludra. Dia sayang pada adiknya, tapi yang selalu dia dapatkan justru rasa sakit karena semua orang nyatanya lebih menyayangi Aludra daripada dirinya."Rara, kenapa sih selalu dia?" lirih Alula ketika lagi, dia menambah kecepatan laju mobilnya. Tak di jalan raya, Alula m
***'Makasih udah mau elus perut aku dan nyapa anak-anak.''Lain kali kalau mau elus lagi, bilang aja. Kamu bisa lakuinnya tanpa lihat aku biar enggak emosi.''Cari ibu tiri yang baik ya, kasian anak-anak aku kalau punya ibu tiri galak.''Mas, aku pulang.'"Ah, Aludra!"Arka yang sejak tadi berbaring di kasur, seketika langsung beringsut setelah isi kepalanya dipenuhi suara Aludra bahkan kilasan-kilasan kejadian yang terjadi beberapa menit yang lalu.Aludra dan Damar pulang, Arka memang memutuskan untuk segera tidur karena besok dia harus mulai bekerja. Namun, nyatanya dia tak bisa tidur.Hampir dua puluh menit, kedua matanya enggan terpejam karena otaknya yang terus sibuk dengan Aludra."Kenapa aku harus mikirin dia terus sih?" tanya Arka pada dirinya sendiri. Menepuk-nepuk kepala, dia mencoba untuk menyadarkan diri agar tak terus memikirkan Aludra. "Sadar, Ar. Enggak usah mikirin Aludra lagi. Dia udah ada Damar."Arka terdiam dan sialnya bayangan Aludra justru melintas di pikirannya
***"Itu angkat dulu yang cewek, kasian darahnya banyak!"Malam ini jalanan tiba-tiba saja ramai. Warga di sekitar jalanan tersebut seketika langsung berkumpul untuk memberikan pertolongan setelah beberapa menit lalu sebuah mobil mengalami kecelakaan karena bertabrakan dengan mobil lainnya.Tak tanggung, sedan hitam yang ditumpangi sepasang perempuan dan laki-laki itu bahkan sampai ringsek parah setelah menabrak bagian depan truk pengangkut pasir.Desas-desus yang terdengar, warga di sekitar sana banyak yang berkata jika mobil sedan tersebut memang sudah oleng sebelum berpapasan dengan truk."Cowoknya udah enggak ada." Seorang pria yang menghampiri temannya memasang wajah sesal setelah dia memastikan keadaan pasien di kursi kemudi yang ternyata sudah tak bernyawa."Meninggal?""Iya.""Ceweknya?""Masih ada, itu lagi dikeluarin.""Ya udah kalau ambulannya datang, suruh bawa yang cewek dulu.""Siap."Pucuk dicinta ulam pun tiba. Setelah korban kecelakaan perempuan berhasil dikeluarkan d
***"Enakkan enggak?"Aludra mengangguk. Mengerjapkan matanya beberapa kali, dia memijat keningnya yang masih terasa sedikit pusing.Makan sate terlalu banyak, Aludra tiba-tiba saja merasa sakit kepala. Beruntung, masih ada Damar di rumahnya yang sigap membawa dia ke kamar untuk beristirahat."Lumayan," jawab Aludra. "Habis ini kayanya aku mau tidur. Perasaanku enggak enak.""Enggak enak gimana?" tanya Damar."Daritadi aku kepikiran Kak Lula terus.""Dih." Damar mencibir. "Ngapain mikirin dia? Dia aja enggak pernah mikirin kamu. Selama sebulan ini Alula bahkan cuekin kamu, kan?""Iya, tapi aku ngerasa enggak enak aja, Damar. Aku ngerasa ada yang enggak beres sama Kak Lula dan kamu tahu sendiri kan ikatan saudara kembar itu kuat?" tanya Aludra.Dia tak bohong. Sejak kejadian di jalan tadi—ketima mobil yang dia dan Damar tumpangi hampir saja bertabrakan, perasaannya tiba-tiba saja tak enak dan satu nama yang terlintas di pikiran Aludra adalah Alula.Tak tahu kenapa, dia terus memikirkan
***"Ya ampun udah pagi."Baru bisa tidur pukul sebelas malam, pagi ini Arka bangun pukul setengah tujuh pagi. Membuka matanya lebih lebar, dia mengerjap beberapa kali lalu menguap pelan dan berlanjut pada kegiatan selanjutnya yaitu menggeliat—meluruskan otot-ototnya yang terasa kaku."Ah, Jakarta," gumam Arka. "Jam berapa sih ini?"Masih dengan posisinya yang berbaring, Arka melirik ke arah kiri—pada jam dinding berukuran besar di sana lalu bergumam. "Ah, setengah tujuh," ucapnya. Kembali memandang langit-langit, di detik berikutnya Arka beringsut bahkan langsung berdiri di kasur."Astagfirullah, jam tujuh!" seru Arka sambil meloncat dari kasur untuk segera mandi, karena seperti yang Dewa bilang semalam, jam kerja di perusahaan Dewa dimulai pukul tujuh pagi dan itu berarti dia punya waktu setengah jam sebelum pukul tujuh pagi."Gak boleh telat, come on, Ar! Malu sama Papa Dewa kalau di hari pertama kerja, kamu udah telat!"Sepanjang kegiatan mandinya, Arka terus mengoceh sementara ta
***"Kenapa enggak diangkat sih, Damar?!"Lagi, Aludra kembali merengek ketika panggilan keduanya tak kunjung dijawab oleh Damar. Padahal, saat ini dia sangat membutuhkan sahabatnya itu untuk mengantar dia ke rumah sakit.Tahu dari Arka tentang kecelakaan Alula, Aludra langsung menghubungi Dewa dan nyatanya benar. Sebuah kabar buruk dia dapatkan dari sang Papa yang membenarkan kecelakaan Alula.Sungguh, Aludra merasa jadi orang bodoh karena dia tak tahu apa yang terjadi pada Kakaknya sendiri semalam.Pagi hari terbangun dan tak mendapati satu pun anggota keluarganya di rumah, Aludra percaya begitu saja ketika para pelayan rumah yang diminta merahasiakan semuanya mengatakan kalau Dewa dan Alula sudah pergi ke kantor, sementara Aurora pergi berbelanja.Ah, Aludra bodoh. Seharusnya dia lebih peka dengan apa yang terjadi."Kenapa?"Aludra yang sejak tadi hanya fokus menelepon Damar menoleh saat pertanyaan itu dilontarkan Arka. Panik dan ingin segera menemui Alula, dia memang melupakan keb
***"Nyetirnya bisa cepetan dikit enggak, Mas? Kok pelan banget daritadi?"Arka yang sejak tadi fokus mengemudi seketika menoleh lalu mendelik pada Aludra ketika protesan itu dilayangkan untuk yang kedua kalinya.Bukan tak mau atau tak bisa mengemudi dengan kecepatan tinggi, Arka memilih untuk melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang karena dia takut.Rutin menanyakan kondisi kehamilan Aludra melalui Aurora, Arka nyatanya cukup tahu bagaimana rentannya kandungan Aludra. Stress atau kelelahan saja dia bisa mudah mengalami pendarahan.Jadi, daripada mengambil resiko—ban mobilnya melalui lubang jalan yang mungkin tak akan terlihat ketika mengemudi kencang, Arka memilih untuk mengemudi dengan kecapatan empat puluh kilometer perjam.Pelan asal selamat. Prinsip itulah yang diterapkan Arka sekarang ketika membawa Aludra."Mas kamu dengar aku enggak? Kencengin kecepatannya ih!""Nyetir sendiri," celetuk Arka. "Aku biasa nyetir dengan kecepatan segini. Kalau enggak suka, turun.""Ya udah aku
***"Iya Damar, enggak apa-apa. Cepet sembuh ya buat Om Gilang.""Iya, Ra. Maaf banget ya, Ra. Bilang ke Om Dewa maaf karena aku belum bisa jenguk Lula.""Iya Damar."Setelahnya Aludra memutuskan sambungan telepon dengan Damar. Masih di rumah sakit, siang ini Aludra duduk di bangku panjang depan ruang ICU.Tak sendiri, Aludra sejak tadi ditemani Arka yang setia duduk di sampingnya. Tak banyak mengobrol, mereka menghabiskan waktu beberapa jam dengan kegiatan masing-masing.Aludra tak bisa terlalu lama di dalam, kini hanya ada Aurora yang menjaga Alula di ruang ICU, karena Dewa kini sudah mulai sibuk mengurus semua keperluan Alula untuk berangkat ke Swiss besok.Salah jika Alula bilang Dewa dan Aurora pilih kasih, karena kenyataannya mereka selalu sama rata memperlakukan kedua putrinya termasuk sekarang. Sehari dinyatakan koma, Dewa langsung mencari solusi terbaik untuk putrinya dengan cara; mengirim Alula ke Swiss.Bukan tanpa alasan, Dewa mengirim Alula ke Swiss karena negara itu adal