***"Hari ini, setelah melewati rangkaian proses sidang sebagaimana mestinya dan tetap tak menemukan jalan keluar, pihak pengadilan agama kota Bandung memutuskan saudara Arkananta Syahzad Mahendra dengan Alula Shaqueena Pratama, resmi bercerai."Hakim ketua mengetukkan palu tiga kali tanda keputusannya sah dan tak bisa diganggu gugat.Hari ini—tepat sebulan semenjak sidang pertama dilaksanakan, Arka dan Alula akhirnya resmi bercerai. Melewati proses mediasi dan yang lainnya, Arka tetap mantap menggugat cerai Alula bahkan dia pun sudah menjatuhkan talak satu untuk perempuan itu.Semuanya berakhir. Alula menyandang status barunya yaitu seorang janda begitupun Arka yang juga harus menerima dengan legowo status dudanya.Impian Arka yang ingin menikah sekali seumur hidup pupus karena pernikahannya dengan Alula gagal dan untuk ke depannya, entah akan menikah lagi atau tidak, Arka tak tahu karena jujur saja sampai detik ini Aludra masih mengisi penuh hatinya."Terima kasih untuk semuanya, Pa
***"Udah masuk semuanya, Pa?"Pak Maman yang baru saja menuruni tangga setelah memasukkan barang bawaan Arka, lantas mengguk ketika pertanyaan itu dilontarkan Arka.Tak bisa membantah, sore ini Arka harus segera pergi ke Jakarta untuk mulai bekerja di perusahaan Dewa besok pagi.Senang atau sedih? Arka tak tahu karena saat ini dia bahkan tak mengerti dengan perasaannya sendir dan sepertinya Arka akan mencoba menjalani semuanya dan membiarkan apa yang terjadi padanya mengalir bagaikan air."Udah, Den.""Oke makasih," jawab Arka. Dia kemudian kembali masuk untuk menghampiri anggota keluarganya yang berkumpul di ruang tengah. Tak hanya ada Amanda dan Dirga, di sana ada Ananta juga Aksa yang ikut melepaskan kepergian Arka ke Jakarta karena entah beberapa bulan dia di sana, semua belum bisa ditentukan—mengingat Dewa sangat selektif mencari karyawan terlebih untuk jabatan penting seperti manajer keuangan."Berangkat dulu," izin Arka pada semua orang yang ada di sana."Sekarang?" tanya Ama
***"Kamu, kok ke sini?"Pertanyaan itu jelas dilontarkan Aludra pada pria yang kini bersandar di ambang pintu sambil memandangnya dengan senyuman yang tipis."Kenapa, kaget ya? Kangen?""Bu-bukan gitu, cuman tau darimana aku sama Papa di sini?" tanya Aludra penasaran.Tak langsung menjawab, pria tersebut justru melangkahkan kakinya masuk dan menghempaskan tubuhnya begitu saja di sofa—bahkan tanpa ragu dia melepaskan jaket bombernya dan menyampirkan jaket bomber tersebut di pinggir sofa."Capek.""Damar," panggil Aludra. "Aku tanya kok enggak dijawab?"Damar. Tentu saja pria yang baru saja datang itu adalah Damar. Aludra kaget? Tentu saja. Seminggu yang lalu Damar pergi ke Surabaya untuk mengurus pekerjaan di sana dan malam ini dia tiba-tiba saja datang ke apartemen tanpa memberi kabar sebelumnya."Pertanyaan yang mana, Ra?""Kamu kenapa ke sini? Tau aku di sini dari siapa? Terus mau pulang kok enggak ngabarin aku?" cecar Aludra sambil mendudukkan dirinya di sofa, hingga tak lama pang
***"Duduk di sini, Ra.""Makasih, Damar."Berbincang sebentar lalu menunggu Arka membereskan semua pakaian di kamar barunya, makan malam akhirnya dimulai. Duduk berempat di meja makan, tentu saja suasana sedikit canggung.Aludra duduk berdampingan dengan Damar, Dewa duduk di kursi utama, sedangkan Arka duduk persis di depan Aludra—membuat dia tak berhenti menenangkan hati dan pikirannya yang kalut karena setelah satu bulan lebih, ini kali pertama Aludra dan Arka duduk di meja makan yang sama."Makan, Ar. Jangan malu-malu," kata Dewa."Iya, Pa ... eh, Om," kata Arka—mengoreksi dengan segera ucapannya."Kenapa dikoreksi?" tanya Dewa. "Panggil Papa aja kali.""Enggak, Om aja," tolak Arka."Kenapa?" Dewa tersenyum. "Karena kamu udah pisah sama Alula, iya? Katanya mau memperpanjang silaturahmi, kok manggilnya Om lagi? Tetap panggil Papa aja, Ar. Lebih nyaman.""Tapi Pa-""Suruh manggil Papa aja susahnya minta ampun, udah kaya disuruh angkat batu sekarung aja," celetuk Damar gemas."Damar
***"Enakkan enggak?"Aludra yang saat ini berbaring di sofa, langsung mengangguk pelan ketika pertanyaan itu dilontarkan Arka yang duduk di sofa single untuk menjaganya—sementara Dewa ikut bersama Damar untuk membelikan nasi goreng pedas—makanan yang satu-satunya akan masuk ke perut Aludra tanpa keluar lagi, setelah dirinya muntah.Meskipun di usia kehamilan yang kedua, intensitas mual juga muntah Aludra tak sesering saat usia kandungannya baru satu bulan, tetap saja setiap kali muntah Aludra pasti akan merasa lemas setelahnya karena memang semua makanan yang ada di perutnya akan keluar semua dalam satu kali muntah.Dan obatnys hanya satu. Nasi goreng pedas level lima yang selalu dibeli Damar di tempat langganannya."Lumayan," jawab Aludra pelan. "Kamu kalau enggak nyaman nungguin aku di sini, bisa ke kamar, Mas.""Kapan saya bilang enggak nyaman?" tanya Arka.Sudah mengganti baju juga celana sebelum Damar dan Dewa pergi, Arka kini memakai celana training juga kaos putih yang menceta
***"Tadi mereka juga udah mulai ngobrol dan aku lihat respon Arka udah baik ke Aludra. Semoga seterusnya kaya gitu.""Aamiin, Mas. Semoga Arka nanti berubah pikiran terus mau nikahin Aludra, ya? Biar keluarga mereka utuh nanti.""Iya, Sayang. Kalau mereka balikan, rencana aku sama Pak Dirga kan enggak sia-sia."Aurora yang kini berdiri di balkon rumah, mengukir senyum bahagia setelah mendapat kabar dari Dewa jika pertemuan pertama Aludra dan Arka berjalan dengan lancar."Iya, Mas. Kalau nanti Aludra sama Arka sampai nikah, kita harus berterima kasih ke Pak Dirga sama Bu Amanda yang udah mau kasih kesempatan kedua bahkan usulin rencana deketin Arka sama Aludra lagi.""Iya Sayang, tentu. Ya udah kalau gitu aku tutup teleponnya ya, takut Aludra sama Arka curiga.""Jangan terlalu malam pulangnya, Mas," kata Aurora memperingatkan. "Kamu bawa ibu hamil.""Iya, Sayang. Aku tutup ya.""Iya, Mas."Aurora memutuskan sambungan telepon lalu memandangi area komplek perumahan sambil bersandar pada
***"Dua suap lagi?"Aludra menggeleng ketika Damar menyodorkan sesendok nasi goreng padanya karena memang kali ini dia benar-benar sudah tak sanggup menghabiskan nasi goreng yang dibeli sahabatnya itu."Enggak mau, kenyang," ucap Aludra."Kok kenyang? Biasanya juga habis," ucap Damar. Dia kemudian mengangkat sendok yang dia pegang lalu meliuk-liukannya seperti pesawat. "Kapal terbang mau masuk, buka mulutnya, aaaaa."Bukannya membuka mulut, Aludra justru terkekeh menerima perlakuan Damar yang selalu menganggapnya seperti anak kecil."Damar apaan sih?" tanya Aludra."Buka guanya," kata Damar."Kenyang," ucap Aludra."Enggak ada kenyang, ayo buka Rara. Bayi kamu butuh makan," ucap Damar—masih berusaha membujuk hingga ucapan Arka yang sejak tadi duduk kembali di sofa single, membuat Damar menurunkan sendoknya."Aludra bilang, dia kenyang. Enggak usah dipaksa."Damar mendelik. Tanpa menoleh pada Arka, dia bertanya pada Aludra. "Ra, kamu denger ada yang ngomong enggak?" tanyanya. "Aku kay
***"Ya ampun ini anaknya manis-manis banget, namanya siapa Bu Rora?""Ini yang sulung Alula, yang bungsu Aludra.""Manis-manis ya, mana mukanya sama lagi.""Iya tapi yang ini cantik banget. Namanya siapa?""Aludla, Tante."Alula mengeratkan pegangan tangannya pada setir ketika bayangan masa kecil dia dan Aludra kembali melintas tanpa permisi di pikirannya.Pergi dari rumah lalu mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi, sampai saat ini Alula tak tahu ke mana dia akan pergi untuk menenangkan pikiran juga hatinya yang sakit.Dewa dan Aurora pilih kasih. Begitulah penilaian Alula pada kedua orang tuanya sekarang, setelah tahu jika mereka ternyata diam-diam membangun rencana untuk menyatukan Aludra dan Arka.Alula benci Aludra. Dia sayang pada adiknya, tapi yang selalu dia dapatkan justru rasa sakit karena semua orang nyatanya lebih menyayangi Aludra daripada dirinya."Rara, kenapa sih selalu dia?" lirih Alula ketika lagi, dia menambah kecepatan laju mobilnya. Tak di jalan raya, Alula m