Pagi ini Kana sudah berada di lapangan sekolah. Ia berdiri dengan tegak di tengah lapangan. Rambutnya yang semula panjang sepinggang itu sudah berubah menjadi pendek sebahu. Ia menganggap potong rambut itu bisa menjadi satu-satunya cara untuk buang sial. Tapi ... mengapa Kana masih berada di tengah lapangan saat ini? Keningnya sudah penuh dengan keringat. Ia menyeka keningnya itu dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanan nya masih berusaha bertahan pada posisi hormat.
Kana menarik nafasnya yang sudah mulai terasa sukar. Terserang terik matahari seakan membuat jantungnya memompa begitu cepat. Kana menyesal dalam hati tentang dirinya yang memaksa pergi pukul 10 malam hanya untuk memotong rambutnya. Kana berhasil menemukan salon yang masih buka, tapi berjarak sangat jauh dari rumahnya. Alhasil ia kelelahan dan bangun terlalu siang."Kana, posisi tanganmu!" tegur guru pengawas berjanggut 10 cm yang ada di pinggir lapangan.Kana kembali membenarkan posisi hormatnya walaupun sangat malas. Ia menghela napasnya dengan lemas. Matanya menyapu ke arah koridor yang sepi. Lalu dari arah ruang guru keluar seorang cowok yang sangat tak asing di matanya. Guru pengawas yang sedari tadi tak mengalihkan tatapannya dari Kana itu pun menoleh saat melihat seorang siswa yang berkelana di koridor saat jam pelajaran sudah di mulai."Gilang! Mengapa kamu ada di luar kelas?" tanya guru pengawas tersebut.Gilang tersenyum tipis ke arah guru tersebut. "Maaf Pak Agus, tadi saya dipanggil Bu Endang."Guru pengawas berwajah galak di hiasi janggut 10 cm bernama Agus itu menganggukkan kepalanya. Lalu ia memerintahkan Gilang untuk segera masuk ke kelas. Cowok itu menatap sekilas ke arah Kana yang berada di tengah lapangan. Ia yang saat itu memang sedang memperhatikannya pun segera mengalihkan tatapan ke tiang bendera di hadapannya. Beberapa menit kemudian, ia kembali mengedarkan pandangannya ke segala arah mencari sosok Gilang. Tapi sepertinya cowok itu sudah kembali ke kelasnya.'Lo ga boleh lupa sama tekad lo Kana! Lo harus bahagia walau tanpa cinta!' batin Kana dengan sangat yakin.~~~Saat jam istirahat, Kana yang baru selesai menjalani hukumannya itu menghambur ke kantin. Untuk pertama kalinya ia berdiri di tengah lapangan selama 3 jam. Rasanya seperti ingin mati di tempat, tapi sayangnya tak bisa. Kana menyapukan pandangannya ke seluruh meja di kantin. Ia berusaha mencari sosok Mirna, Ilham dan Fahri yang sudah terlebih dahulu ke kantin. Ia menemukan sosok Mirna yang sedang berbincang dengan Fahri, tapi nampaknya Mirna tak melihatnya. Ia pun bergegas menghampiri sahabatnya tersebut. Namun dirinya seperti tersambar seekor elang yang sangat cepat.Kini Kana berada di samping kamar mandi cowok yang cukup jauh dengan kantin. Lututnya terasa sudah tak sanggup menopang tubuhnya lagi. Ia menatap cowok yang menariknya dengan paksa tersebut."Ada perlu apa ya, Kak?" tanya Kana.Gilang menggaruk tengkuknya. "Gue mau jelasin sedikit tentang maksud martabak itu.""Anggaplah martabak itu sebagai sogokan dari gue," lanjut Gilang sambil menarik kedua sudut bibirnya."Untuk apa?" tanya Kana dengan wajah yang sebisa mungkin di buat datar."Gue mau lo jadi pacar gue selama gue masih sekolah disini. Lo tau kan reputasi Mirna di sekolah ini cukup baik, dia ga pernah terima hal buruk selama sekolah disini," jelas Gilang.Kana mengangguk setuju. "Terus?"Gilang menghela nafasnya. "Gue ga mungkin biarin cewek gue di gangguin sama fans gue. Jadi ...."Kana berdeham pelan, seolah mengisyaratkan Gilang untuk melanjutkan kalimatnya."Jadi gue mau seisi sekolah ini tahunya gue pacaran sama lo. Tapi kalau di luar sekolah, lo bisa bersikap seolah ga kenal sama gue," ujar Gilang dengan senyum manisnya.'Ganteng doang, ga waras!' batin Kana."Jadi, lo mau gue yang diganggu sama semua fans lo yang kayak setan itu?" tanya Kana.Gilang mengangguk samar dengan senyum kecilnya. Lalu ia meletakan kedua tangannya di bahu Kana. "Gue tau lo cewek kuat, Na. Gue memang ga kenal sama lo, tapi menurut semua cerita buruk tentang lo ... lo itu kuat bisa bertahan di sekolah ini."Kana tersenyum getir. "Setres lo!"Kana segera pergi dari dari hadapan Gilang. Nafsu makannya sudah sangat berantakan. Ia pun memutuskan untuk pergi ke kelas saja. Makan tak makan pun sama sekali tak ada yang berubah. Nasib nya tetap saja dipenuhi hal tragis, terutama kisah cintanya.Seusai bertemu dengan Gilang, tekad Kana menjadi sangat kuat untuk hidup tanpa cinta. Walau kata orang-orang hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga, tapi ia memang tak mengingingkan bunga. Ia bisa saja menanam banyak kaktus di tamannya agar siapapun yang masuk akan merasakan sakit.Sesampainya di dalam kelas, Kana langsung menuju ke kursinya. Ia merebahkan kepalanya di atas meja yang sama sekali tak empuk tersebut. Ia memejamkan kedua matanya, berharap ia bisa tidur sebentar saja sampai bel masuk berbunyi. Lalu ia pun terlelap dalam tidurnya.~~~"KANAAAA!!!"
"KANAAAA!!!!!!"Kana mengerjapkan kedua matanya saat mendengar suara melengking yang begitu mengganggu tidurnya. Ia menggeliat pelan dengan mata yang masih terasa sulit terbuka. Kana merasakan bahu kirinya seperti di tepuk oleh seseorang. Ia menoleh ke sebelahnya yang ternyata adalah sosok Mirna. Kana tersenyum lebar sambil mengusap cairan kental yang ada di sudut bibirnya."Na! Bangun!" ujar Mirna sambil mengguncang bahu Kana.Kana menganggukan kepalanya dengan lemah. "Sudah bangun ....""KANA! KELUAR KAMU!" teriak Bu Endang yang sudah berada di depan kelas dengan penggaris kayu jumbo.Kana mendelikan matanya saat menyadari suara Bu Endang. Kana segera bangkit dari kursinya dan berjalan keluar dari kelas. Semua mata memandangnya dengan penuh ejekan. Kana sudah terbiasa di pandang seperti itu. Jadi ia tak akan memperdulikan pandangan tersebut.Kana berdiri di luar kelas dengan mata yang masih terasa berat. Ia menyentuh ujung rambutnya yang sudah berubah jadi pendek. Ia tersenyum kecil saat menyadari bahwa memotong rambut sama sekali tak mengurangi kesialannya.Kana menolehkan kepalanya ke arah depan kelas sebelah. Ia melihat Edo dan Gilang yang sedang tertawa. Lalu Edo tak sengaja melihat Kana yang sedang menatap ke arahnya. Ia langsung mengalihkan pandangannya. Walau samar, ia dapat mendengar Edo yang setengah berbisik pada Gilang."Lihat kan? Gue kan sudah bilang dia selalu sial," ujar Edo setengah berbisik.Kana menundukan kepalanya dengan lemah. Ia kembali melirik ke arah dua orang itu yang sudah mulai menjauh dari depan kelasnya. Beberapa orang terlihat berlalu lalang di depan Kana yang sedang menunduk."Potong rambut buat buang sial, eh sialnya malah double kill," ujar seorang cewek yang lewat di depannya.'Sialan!' batin Kana."Bu, pinjam Kana buat bantu saya ambil alat praktikum."Kana reflek mengangkat kepalanya saat mendengar suara tersebut. Ia melihat Gilang yang entah sejak kapan sudah berada di depan pintu kelasnya. Ia menatap Gilang dengan bingung."Bawa aja. Ga perlu di kembalikan," ujar Bu Endang.Gilang pun segera menarik lengan Kana menjauh dari depan kelas. Lalu mereka menyusuri koridor dan berhenti di depan laboratorium. Kana menghentakan tangannya agar lepas dari genggaman cowok tersebut."Ada perlu apa lagi sih, Kak?" tanya Kana.Gilang menghela nafasnya. "Jadi gimana? Lo setuju?"Kana menggelengkan kepalanya. "Gue ga sebodoh itu, Kak!""Gue bayar 500.000 rupiah perminggu," tawar Gilang.Kana menggelengkan kepalanya. Walaupun Gilang akan membayarnya satu juta perhari, ia tidak akan menerimanya. Cowok itu terdiam, masih sama sekali tak bisa membuka mulutnya. Ia sibuk memikirkan kelanjutan dari negosiasinya."Satu juta rupiah perminggu?" tawar Gilang lagi.Kana menggelengkan kepalanya lagi.Gilang tersenyum tipis. "Martabak keju setiap hari?"Kana menarik sebelah lengan Gilang dan mengayunkannya. "Deal."Bersambung...Hari Senin menjadi hari pertama sejak Kana menyetujui negosiasinya dengan Gilang. Ia harus siap menerima apapun yang akan terjadi padanya hari ini. Ia duduk di pinggir lapangan saat suasana sekolah masih sangat sepi. Ia tidak ingin dihukum pada hari pertamanya menjadi pacar tameng Gilang. Ia mengakui bahwa cowok itu memang sangat populer. Kepopuleran Gilang bukan hanya di SMA Permata Putri yang menjadi tempatnya bersekolah saat ini. Tapi menjamah sampai ke luar kota Jakarta. Mungkin itu terjadi karena Gilang seorang kapten tim basket yang pernah menjadi Juara Nasional. Kana menoleh ke arah parkiran yang terletak di luar gerbang. Ia melihat Mirna dan Gilang yang baru saja tiba. Mirna nampak sangat bahagia, begitu juga dengan Gilang. Kana menarik kedua sudut bibirnya dengan paksa. "Apa Mirna sudah tau hal ini ya?" gumam Kana. Betul juga. Apa Mirna sudah mengetahuinya? Sahabatnya adalah pacar sungguhan Gilang. Bagaimana jika ternyata cowok itu belum
Kana berlari tergopoh-gopoh menuju gerbang sekolah yang berjarak sekitar 1 KM lagi. Ia merasa sedang mengikuti lomba lari jarak pendek. Namun ia berlomba dengan jarum detik yang terus berjalan enggan berhenti sejenak. Ia mempercepat langkahnya saat jarum detik sudah berada di angka 10. Beberapa detik lagi waktu akan menunjukan pukul 7 pagi. Ia sama sekali tak berniat untuk berdiri di tengah lapangan lagi. Bertepatan dengan jarum detik di angka 12, Kana berhasil tiba di gerbang tersebut. Nampak sosok Pak Agus sedang menggeleng-gelengkan kepala sambil menatapnya. Ia melihat Ilham dan Fahri yang sedang menyapu lapangan. Kana pun bergegas menghampiri kedua temannya tersebut. "Lo kenapa nyapu lapangan pagi-pagi gini?" tanya Kana. Ilham mengedikan dagu nya ke arah Pak Agus yang sedang duduk mengamati mereka. "Suami lo lagi PMS. Kita cuma ke toilet di bilang mau bolos." Kana bergidik saat mendengar kata suami. "Suami lo kali!" "Gue masi
Kana mengenakan seragam olahraganya secepat kilat. Ia bahkan tak sempat mandi, hanya membersihkan wajahnya saja. Itu semua karena sebuah pesan singkat yang muncul saat dirinya masih terlelap. Kana mendengar suara klakson motor yang berada di depan rumahnya. Kana menghambur keluar dari rumahnya dengan penampilan yang masih acak-acakan. Kana melihat Gilang yang duduk di atas motornya sambil tertawa. "Lo mau jadi gembel?" tanya Gilang. Kana terkekeh lalu kembali masuk ke dalam rumahnya. Ia berjalan mengambil sepatu yang ada di belakang pintu. Lalu segera mengenakannya dengan asal. Kana segera naik ke atas motor Honda Sonic orange milik Gilang. Walau agak kesulitan, Kana akhirnya dapat duduk di atas motor tersebut. "Lo ga pakai helm?" tanya Gilang. Kana mengerjapkan kedua matanya. "Lo ga bawa helm lagi?" Gilang menggelengkan kepalanya. "Gue cuma mau ngajak lo berangkat bareng. Masalah helm tanggung sendiri." Kana me
Kana berjalan terlebih dahulu menuju kantin meninggalkan teman-temannya. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Ia berjalan ke sudut kantin sambil menundukan kepalanya. Saat tiba di kursi, ia segera duduk tanpa menoleh kemana pun. Lalu ada sebuah tangan yang merangkul bahunya. Kana reflek menoleh saat melihat ada sebuah tangan di bahunya. Ia memejamkan matanya dengan frustasi saat melihat sosok Gilang dengan cengiran menyebalkannya. Kana segera melepaskan dirinya dari rangkulan cowok itu. Tapi sepertinya semua orang yang ada di kantin sudah terlanjur melihatnya. Semua mata pun menatap Kana dengan tatapan super tak suka. "Genit banget sih jadi cewek!" celetuk seoeang gadis yang duduk di meja sebelahnya. "Ga dapat Kak Edo langsung deketin temannya," sahut teman yang satunya. Kana menghela nafasnya, lalu ia menenggelamkan wajahnya di antara kedua tangan. Ia merasakan sebuah tangan berada di puncak kepalanya. Kana mendelik, segera mengangkat kep
Kana tiba di rumahnya saat matahari sudah hampir terbenam. Hari masih belum berganti, ia sudah terasa sangat lelah. Kana membuka pintu kamarnya lalu merebahkan tubuhnya di kasur. Ia tersenyum tipis sambil mengepalkan kedua tangannya. Seolah ia terus nemberikan semangat pada dirinya sendiri. Tanpa terasa kedua mata nya mulai terpejam. Kana mulai terbawa ke alam bawah sadarnya. Namun baru sebentar tertidur, pintu kamarnya di ketuk oleh seseorang. "Na?" Kana dapat mendengar suara ibu nya yang memanggilnya. Kana pun dengan malas membuka kedua matanya lagi. Lalu ia mulai beranjak dari kasurnya menuju pintu yang sebenarnya tak terkunci. Kana membuka pintu itu, lalu ibunya segera memeluknya dengan erat. Kana yang melihat ibunya seperti itu pun sangat kaget. "Ada apa, Bu?" tanya Kana. "Ibu hamil, Na," ujar ibu nya. Setelah mengatakan itu, ibunya menangis tersedu-sedu di dalam pelukan Kana. Akhirnya Kana pun menarik ibunya masuk ke
'Pulang sekolah gue ke rumah lo.' Kana mengusap wajahnya dengan kasar. Ia baru saja bangun tidur, lalu mendapati pesan seperti itu dari Gilang. Padahal ia sudah bersikeras melarang Gilang datang ke rumahnya. Kana melihat jam yang ada di sudut tengah atas ponselnya. Waktu sudah menunjukan pukul 15.30. Sekolah mulai bubar pada jam 15.15. Itu artinya Gilang akan datang 5 menit lagi karena jarak tempuhnya 20 menit. Kana segera bangun dari kasurnya dan menghambur ke kamar mandi. Ia punya waktu 5 menit untuk mengubah penampilannya. Ia tak ingin Gilang melihat penampilannya yang seperti gembel lagi. Kana keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang sudah baru. Wajahnya juga sudah di poles sebisanya. Kana melirik jam di dinding kamarnya, masih kurang 1 menit lagi sampai Gilang datang ke rumahnya. Kana segera keluar dari kamarnya dan duduk di ruang tamu. Tak lama kemudian, bel rumahnya berbunyi. Kana segera menarik nafas dan menghembuskannya. Kemudian ia mengatur senyu
Hari minggu ini Kana sudah bersiap di depan rumahnya. Matahari masih malu-malu, tapi Kana sudah di paksa berdiri di depan rumahnya. Ia sudah menunggu selama lebih dari 1 jam, tapi yang di tunggu entah ada dimana. Kana mengecek ponselnya kembali, tapi sama sekali tak ada notifikasi selain kartu yang masa tenggang. Kana menghela nafasnya, ia kembali memasukan ponselnya ke sakunya. Tak lama, Kana bisa melihat Gilang bersama motor Honda Sonicnya berjalan dengan kecepatan di bawah rata-rata. Gilang tak menghiraukan mobil di belakangnya yang terus membunyikan klakson. "Serius Ibu mendukung gue sama cowok yang otaknya geser gitu?" gumam Kana sambil menggelengkan kepalanya. Setelah tiba di depan rumah Kana, Gilang langsung melepas helm full facenya. Ia mengangkat sebelah tangannya untuk melihat jam. Waktu sudah menunjukan pukul setengah 7 pagi. "Cepat naik. Mirna udah sampai kayaknya nih," ujar Gilang. Kana mengernyitkan dahinya. "
Kana menarik lengan Gilang saat suasana mulai terasa sengit. Orang-orang yang ada di sekitar mereka pun mulai menatap dengan antusias. Gilang menoleh sekilas ke arah Kana yang menatapnya dengan mata melotot."Kenapa? Biar dia percaya kalau kita pacaran." bisik Gilang dengan sorot tajamnya.Kana menghembuskan nafasnya pelan. "Lo salah tempat, Lang.""Masa sih?" tanya Gilang.Kana menginjak kaki Gilang cukup kencang. "Coba lo liat ke sekitar."Faiz terus memperhatikan Kana dan Gilang yang saling berbisik. Faiz menoleh ke arah kerumunan yang mulai tertarik dengan mereka. Lalu Faiz melemparkan senyuman dengan tangan yang seolah mengusir mereka semua. Perlahan orang-orang itu pun bubar. Sedangkan Faiz memilih untuk pergi terlebih dahulu meninggalkan kedua orang yang masih sibuk berdebat."Gue mau pulang." ujar Kana.Gilang menganggukan kepalanya. "Gue juga. Kartu parkir nya sama lo kan?"