Share

Satu Tahun Untuk Selamanya
Satu Tahun Untuk Selamanya
Author: Pena Anonim

chapter 1

Baru saja, Alby keluar dari kantornya dan bergegas pulang ke sebuah apartemen, tempat ia tinggal. Tiba-tiba saja, ia mendapatkan telpon dari Papanya, Hartana.

Handphonenya terus berdering, tetapi Alby tidak mengangkat telpon itu sama sekali. Ia sengaja tidak menerima telponnya dan memilih untuk membiarkan berdering berkali-kali, karena saat ini ia sedang malas berbicara dengan siapapun.

Hartana pun terus menelponnya, sampai akhirnya Alby pun menyerah dan terpaksa menerima telpon itu.

"Iya, Pa. Kenapa? Alby lagi dijalan, baru pulang dari kantor"

"Pulang ke rumah ya by, sekarang! Mama mau bicara sama kamu" ucap Hartana.

"Gak di telpon aja, Pa. Bicaranya? Alby capek banget hari ini" tolaknya.

"Gak bisa! pulang ke rumah sekarang. Papa, dan Mama tunggu kamu disini!" tegas Hartana.

"Oke, Alby kesana sekarang juga. Ya sudah Alby matikan telponnya ya, Pa"

Dengan muka malas sambil menghela nafas, Alby pun mematikan telponnya. Ia memutar setir mobilnya dan berbalik arah menuju rumah orang tuanya.

Sesampainya dirumah, Alby pun langsung pergi ke kamar mamanya, Amara. "Ma" panggil Alby lalu memeluknya.

Amara pun tersenyum lemas, memeluk Alby. Ia merasa lega, akhirnya Alby datang menemuinya.

"Mama mau ngomong apa sama Alby?" tanyanya dengan lembut, langsung pada intinya.

Alby memang tidak suka basa basi dengan siapapun, jika menurutnya itu hal yang penting dan harus segera dibicarakan.

Amara menelan ludahnya secara perlahan, ia terlihat ragu untuk mengatakan apa yang selama ini ia inginkan dari anak semata wayangnya.

"Apa boleh mama minta sesuatu dari kamu, By?" tanyanya.

"Apapun itu, katakan saja, Ma. Kalau Alby bisa, Alby akan kabulkan itu" ucapnya mengangguk dan tersenyum.

Amara merasa bahagia mendengarnya, tetapi ia masih sedikit takut, takut jika Alby akan menolak permintaanya. "Mama... ingin lihat kamu menikah, Mama ingin menghadiri acara pernikahan kamu, By" ucapnya perlahan.

Spontan Alby tidak bisa menahan tawanya, "Mama ini, ada-ada aja, memangnya siapa yang mau nikah? lagipula, kalau Alby nikah, Mama pasti ada di samping Papa kok lihat Alby gandeng istri sah Alby" ucapnya dengan santai.

"Memangnya kamu tidak ingin menikah secepatnya?" tanya Amara dengan wajah serius.

"Ma, nikah itu bukan perlombaan, siapa yang cepat menikah, dia yang menang. Bukan, Ma. Menikah itu perlu kesiapan, kematangan, dan yang terpenting pasangan yang sejalan" jawab Alby.

"Tapi Mama serius, Mama ingin melihat kamu segera menikah" ucap Amara, membuat Alby terdiam mendengarnya.

"Ini keinginan yang Mama ingin dari aku?" tanyanya, masih syok dengan ucapan mamanya itu.

Amara pun menganggukkan kepalanya. "Mama baru saja pulang dari rumah sakit, Dokter bilang. Mama hanya bisa bertahan sekitar satu tahun lagi"

Satu sudut bibirnya terangkat, Alby tidak percaya dengan ucapan Dokter itu. "Ma, Umur itu bukan dokter yang tentukan. Mama percaya begitu saja dengan ucapannya? lalu Mama menekan aku supaya segera menikah karena ucapan itu? enggak, Ma. Alby gak mau, kali ini Alby gak bisa turutin kemauan Mama" tolaknya.

Amara terdiam merasa kecewa, tetapi ia pun tidak bisa memaksanya. Ucapan Alby memang ada benarnya. Tetapi, tiba-tiba saja Hartana masuk dengan wajah terlihat datar.

"Bukan hanya Mama mu yang menginginkan kamu menikah secepatnya, Papa pun sama. Papa ingin segera menggendong cucu dari kamu. Kamu ini anak satu-satunya kita. Jadi hanya kamulah harapan kita, By" ucap Hartana berjalan menghampiri Alby dan Amara.

"Papa ingin memastikan kalau kamu ini bisa menghasilkan keturunan untuk penerus usaha kita nanti" Lanjutnya.

Alby semakin tertekan dengan permintaan keduanya. Berkali-kali Alby menelan ludahnya sendiri, ia tidak bisa menjawab sepatah katapun ucapan dari Mama dan Papanya.

"Sementara, Papa akan kembali ke perusahaan menggantikan dirimu. Sampai kamu membawa calon istrimu kesini, dan kita bicarakan tanggal pernikahan kalian"

ucap Hartana dengan serius menatap Alby.

Kedua matanya terbelalak lebar, ia tidak terima dengan ancaman Papanya itu. "Papa ini apa-apaan, dulu Papa paska aku untuk meneruskan perusahaan ini, karena Papa sendiri sudah tidak sanggup menjalankannya, dan Papa ingin menikmati masa tua Papa bersama Mama. Tetapi kenapa sekarang bicara seperti ini, hanya karena aku belum menikah! baru saja Mama juga bilang, kalau umur mama tidak lama lagi, memangnya Papa tidak ingin menemani Mama?" Alby merasa heran dengan keduanya, ia pun sangat jengkel, tetapi ia tidak berani marah.

"Ya, Papa sangat ingin sekali menemani Mama, tetapi ini juga keinginan Mama. Kalau tidak begini, kamu tidak akan segera menikah, dan tidak bisa membuktikan kalau kamu bisa memberikan keturunan untuk penerus usaha kita!" tegasnya.

"Oh, Papa pikir aku ini mandul, gitu? Oke, oke Pa. Aku turutin semua permintaan Papa, dan Mama, supaya kalian percaya kalau aku ini laki-laki sehat!" Jawab Alby menahan kesal, lalu ia memilih untuk keluar saja dari rumah orang tuanya itu.

Sekeras-kerasnya Alby, ia tidak pernah berani membentak kedua orang tuanya, ataupun memarahinya. Jika ia sudah merasa kesal, ia hanya bisa memilih pergi untuk menghindari keduanya dan kembali ketika emosinya sudah mereda.

Alby menginjak gas mobilnya sangat kencang, ia benar-benar emosi saat ini. Ia pun menyesal sudah mengatakan akan menuruti permintaannya Mama dan Papanya, karena sampai saat ini Alby belum bisa membuka hatinya untuk wanita.

Alby masih menyimpan rasa sakit hatinya pada wanita yang menjadi kekasih pertamanya. Padahal, ia sudah benar-benar mencintai wanita itu dengan tulus, tetapi Alby malah dikecewakan dan di manfaatkan.

"Argh!" lirihnya kesal saat masih mengendarai mobilnya.

Belum juga sampai di apartemennya, Alby langsung menelpon kedua sahabat dekatnya, Eric dan Aldo. Alby meminta mereka untuk menemaninya minum kopi di cafe biasa mereka berkumpul.

Tak lama, Alby pun sampai lebih dulu di cafe tersebut. Ia menunggu kedua temannya sendirian, ada juga beberapa wanita yang terus memperhatikannya dari tempat duduk mereka masing-masing. Tetapi, Alby tampak cuek dan tidak mempedulikan mereka.

Sampai akhirnya, Aldo pun sampai. "Heh, tumben amet lo ngajak kumpul" ucapnya membuat Alby sedikit terkejut dengan kedatangannya.

"Astaga, bisa gak sih dateng kaya orang normal"

Aldo malah menertawakannya lalu duduk di kursi sebelah kiri Alby.

Selang beberapa menit kemudian, akhirnya Eric pun datang. Ia langsung duduk dan bertanya, "Tumben banget lo ngajak kesini? gak ada kerjaan?"

"Nah kan, gue kira perasaan gue aja dia kaya gini" sambung Aldo.

Semenjak Alby diminta untuk meneruskan perusahaan Papanya, Alby jarang sekali mengajak kumpul ataupun ikut kumpul dengan mereka berdua. Setiap hari, selalu disibukkan dengan pekerjaan yang tidak ada selesainya.

"Gue lagi kesel makanya ajak kalian kesini" jawab Alby meneguk kopinya.

"Oh... jadi lo ngajak kita kesini mau ngajak ribut?" ucap Eric.

"Gak lah, ngapain ribut. Orang mau ngajak ngopi, mumet banget nih kepala gue"

Lagi-lagi Aldo menertawakannya. "Kayaknya cuma lo, kepala mumet perginya ngopi"

"Daripada lo, mabok mulu tiap malem kerjanya" ucap Eric membela Alby.

"Mampus lo, gue ada yang belain kan"

"Gue kan cuma bilang gitu aja, ko jadi gue yang ditindas si. Jahat banget kalian" ucap Aldo dengan suara yang lemas dan wajah yang sedih, berharap kedua temannya tidak menindasnya.

Mereka bertiga memang sudah berteman cukup lama, bahkan mereka merasa, kalau mereka itu adalah keluarga, bukan hanya teman.

Setelah beberapa menit mereka mengobrol, dan Alby tidak menceritakan apa masalah yang membuatnya berbeda dari biasanya. Eric pun merasa penasaran, hingga akhirnya ia meminta Alby untuk menceritakan masalahnya.

"Cerita lah, siapa tau kita bisa bantu"

Tak lama, beberapa menit setelah diam, akhirnya Alby pun menceritakan apa masalah yang membuat dirinya banyak pikiran. "Gue lagi pusing sama kerjaan, dan lagi-lagi, nyokap gue minta, gue untuk segera menikah. Bahkan gue diberhentikan sementara dari kantor, sampai gue bawa calonnya kedepan mereka" jelasnya.

"Ya tinggal nikah, apa beratnya, By. Cewek itu banyak loh, disini aja banyak, tuh, tuh" ucap Eric menunjuk satu-satu wanita yang berada di cafe.

"Dikira kucing apa, asal kawin aja" protes Alby.

Aldo kembali tertawa, "Ya udah, sini gue bantu. Mau gak kalo gue bantu?" tawar Aldo dengan wajah serius.

"Apaan?" tanya Alby.

"Gue punya temen di bar, dia kalo ngumpul kerjaannya ngedumel aja. Katanya dia pengen cepet nikah biar dia keluar dari rumahnya yang kaya penjara" jawab Aldo.

"Jangan-jangan, gue gak setuju. Cewek di bar itu pasti cewek gak bener" ucap Eric tidak menyetujui tawaran Aldo.

"Ya kalau selain itu, gue gak punya. Kan kalian tau sendiri gue mainnya dimana, bukan di pengajian yang isinya ukhti-ukhti" ucap Aldo dengan polos. "Lagian kan bisa aja nikahnya nikah kontrak, biar kalian sama-sama untung. Dia bisa bebas ngapain aja diluar sana, dan lo, bisa kembali terusin perusahaan bokap, dan bisa melebarkan sayap lo di usaha lainnya pakai modal yang ada di perusahaan itu" celetuknya membuat Alby terdiam memikirkan ucapan Aldo.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status