Levin menghempaskan tubuh mungil Claire ke atas ranjang sambil menghela nafas lelah. Tidak menduga kalau malam ini dirinya akan mengeluarkan tenaga ekstra.
Setelah nafasnya kembali normal, Levin segera meraih ponselnya dan menghubungi seseorang. Tidak peduli meski malam telah larut. Ada hal mendesak yang harus dilakukan. Tidak bisa menunggu hingga besok pagi atau berita tentang apa yang dirinya lakukan barusan akan lebih dulu tersebar luas! “Tolong bantu aku untuk menghapus rekaman CCTV di area lift dan lorong lantai 18 yang ada di hotel X,” perintah Levin saat teleponnya tersambung, tanpa mengucapkan kata ‘halo’. Sekarang bukan waktunya untuk basa-basi. “Masalah apalagi yang anda lakukan hingga harus menghapus rekaman CCTV, Tuan?” “Aku akan menjelaskannya besok. Sekarang lebih baik kamu menyelesaikannya sebelum tersebar luas. Aku tidak ingin diceramahi oleh Daddy.” “Baiklah,” pasrah sang asisten saat mendengar perintah Levin. Tidak mungkin menolak karena itu memang bagian dari tugasnya. Ibarat kata, Levin adalah trouble maker dan pria yang baru dihubungi Levin adalah trouble cleaner! Sambungan telepon terputus membuat Levin memusatkan perhatiannya pada Claire. ‘Fiuh! Aku tidak menyangka akan ikut campur seperti ini. Padahal aku tidak mengenalnya!’ desah Levin, heran sendiri dengan kelakuannya. Claire memang terlihat familiar, tapi bukan berarti Levin sungguh mengenalnya kan? Apalagi hingga detik ini dirinya masih belum mengingat siapa Claire sebenarnya. Padahal biasanya Levin tidak pernah kepo pada urusan orang lain, tapi kali ini entah kenapa rasanya magnet itu begitu kuat membuat Levin bertindak sebaliknya. Magnet yang membuat Levin tidak bisa mengabaikan Claire. Levin menatap Claire yang masih bergerak gelisah dalam tidurnya sambil mengerang pelan. Erangan yang membuat jantung Levin berdebar. “Hei, are you okay?” Tidak ada jawaban membuat Levin gemas. Pria itu mengguncang tubuh Claire perlahan, berharap bisa mendapat jawaban atau setidaknya mendapatkan perhatian gadis itu. Levin tidak mungkin meninggalkan Claire begitu saja kan? Bagaimana jika terjadi sesuatu? Oh no, sejak kapan dirinya jadi pria baik hati dan perhatian begini? Lagi, pertanyaan itu muncul di otaknya, tapi Levin juga tidak bisa menjawabnya. Claire membuka mata dan menatap sayu pada Levin. “Kenapa disini panas sekali?” rintih Claire parau. Levin mengerutkan kening. Sudah gilakah gadis ini? Apakah alkohol membuatnya mati rasa? Padahal udara di dalam kamar sangat dingin karena AC sudah menyala semaksimal mungkin, tapi masih dibilang panas? Apa Claire adalah beruang kutub yang harus hidup di kutub utara dan dikelilingi es? “Ruangan sedingin ini kamu bilang panas? Are you crazy?” tanya Levin, masih tidak habis pikir dengan ucapan Claire. Claire mencoba bangun dan meraih tubuh Levin, memaksa pria itu agar merapat padanya. Levin yang tidak siap dengan tindakan Claire limbung seketika hingga badan kekarnya menindih tubuh mungil gadis itu. Keterkejutan Levin bertambah saat Claire menyatukan bibir dan melumatnya dengan ganas membuat gelenyar aneh muncul di tubuh Levin dan berkumpul di pusat tubuhnya yang mulai menegang. Tegang karena ciuman dadakan yang dilakukan oleh Claire. “What are you doing?!” sentak Levin kaget dengan tindakan Claire yang tak terduga. Tatapan mata sayu dan tidak fokus yang muncul pada wajah Claire membuat Levin menyadari satu hal. Gadis itu tidak sadar akan apa yang dilakukannya. Ingatan Levin terlempar pada percakapan pria asing tadi di telepon. ‘Sepertinya dosis obat yang anda berikan terlalu banyak, tidak heran kalau gadis ini hanya bisa pasrah dalam pelukan saya sambil terus meliukkan tubuhnya dengan gelisah karena tidak sabar ingin segera dipuaskan.’ Itulah ucapan pria tadi dan sekarang Levin benar-benar memahami maksudnya. Saat itu juga Levin teringat kalau gadis di hadapannya sudah terkontaminasi dengan obat perangsang, bukan hanya sekedar mabuk. Kenyataan itu membuat Levin tidak habis pikir, bagaimana bisa ada orang yang tega menjebak seorang gadis? Memikirkan hal ini membuat Levin penasaran akan sosok wanita yang bernama Mia! Wanita yang tega membayar orang lain untuk menghancurkan Claire. Jika video Claire dengan pria tadi tersebar, pasti gadis ini harus menanggung malu seumur hidup! Dan melihat betapa gelisah dan liarnya Claire, Levin yakin kalau obat perangsang akan membuat wanita itu terlihat semakin ganas saat sedang beraksi di atas ranjang! Hal yang pasti merugikan Claire karena itu membuatnya terlihat seperti wanita binal yang haus akan sentuhan pria. Jika video itu tersebar, Claire pasti akan dihujat dan dinilai buruk. Publik tidak akan tau kalau sikap liar Claire terjadi karena jebakan Mia! Tidak heran kalau Claire selalu bergerak gelisah bagaikan cacing kepanasan! Tidak heran kalau Claire mengatakan ruangan ini panas karena itu memang salah satu efek dari obat perangsang! Tidak heran kalau Claire langsung melumat bibirnya dengan penuh gairah! Tidak heran kalau Claire tidak sabar ingin menerkamnya sejak tadi! Apa yang harus Levin lakukan sekarang? Meninggalkan Claire? Atau ‘membantu’ gadis itu untuk meredakan hasratnya? Tapi Levin tidak mungkin melakukan hal itu dengan gadis yang tidak sadar akan kelakuannya sendiri kan? Bukankah kalau begitu Levin tidak ada bedanya dengan pria brengsek tadi? Oh, ini pertama kalinya Levin merasakan dilema sekuat ini di hatinya hanya karena seorang gadis!Keesokan paginya… Claire terbangun karena silau matahari yang membuat tidur nyenyaknya terganggu. Kepalanya terasa pusing dan berat. Tubuhnya seolah remuk redam. Claire melenguh sambil menggeliat pelan, belum menyadari akan apa yang telah terjadi semalam. “Aduhh!” Claire meringis saat menyadari kalau tubuhnya terasa remuk dan bagian sensitifnya di bawah sana terasa nyeri. Rasa nyeri yang belum pernah dirasakannya, bahkan meski hanya bergerak sedikitpun, rasa nyeri itu langsung menyerbu area kewanitaannya. Claire memaksa kedua matanya untuk terbuka meski masih terasa berat dan melihat sekeliling kamar yang tampak asing di matanya. Bukan kamar tidurnya. Rasa panik seketika menyerbu hatinya hingga satu ingatan muncul di benaknya. Baru ingat kalau semalam, sebelum bersenang-senang di bar, dirinya memang sengaja membuka satu kamar karena enggan pulang ke rumahnya yang selalu sepi bagaikan kuburan. Rasa sepi yang membuat Claire memutuskan untuk bersenang-senang di bar yang menyatu de
“Sudah bangun?” tanya Levin sambil mengulas senyum tipis, mengabaikan raut kekagetan yang pasti tercetak jelas di wajah Claire. Pertanyaan Levin membuat Claire tersadar. Gadis itu berdeham, berusaha bersikap santai meskipun rasa gugup, panik, takut sedang menguasai hatinya. “Hmm… apa yang terjadi padaku semalam?” “Kamu sungguh tidak ingat?” Claire menggeleng dan menjawab lirih, “Aku hanya ingat sedang minum di area bar dengan Mia, namun tiba-tiba saja tubuhku terasa aneh ditambah lagi kepalaku pusing karena terlalu banyak mengkonsumsi alkohol,” jawab Claire, mengungkapkan apa yang diingatnya meski samar. “Mia? Siapa dia?” ulang Levin dengan nada sambil lalu, seolah tidak peduli meski rasa penasaran menggerogoti hatinya, ternyata telinganya memang tidak salah dengar. Pria yang ingin mengambil keuntungan dari Claire memang orang suruhan Mia. “Ya, Mia, dia sahabatku.” Jawaban Claire membuat Levin memahami satu hal. Mia, sahabat yang bermuka dua. Di depan Claire, wanita itu
“Alasan!” sinis Claire sambil menatap tajam ke arah Levin. Pria itu mengangkat bahu, terlihat santai. Meski sebenarnya rasa bersalah menguasai hatinya, tapi Levin berusaha menutupinya. Lagipula ini semua sudah terlanjur terjadi dan waktu pun tidak bisa diulang kembali, jadi ya sudah. Mau bagaimana lagi ya kan? Lagipula saat memutuskan untuk ‘membantu’ Claire meredakan hasratnya, Levin tidak tau kalau gadis itu masih perawan. Siapa yang menyangka kalau ternyata Levin lah yang melepas segel gadis itu untuk yang pertama kalinya? Dan ketika Levin menyadari kenyataan itu, semua sudah terlambat karena dirinya tidak mungkin lagi berhenti. Apa yang sudah dimulai harus dituntaskan bukan? Bisa saja itu adalah salah satu cara Tuhan untuk membalas niat baik Levin yang membantu Claire agar tidak jatuh ke dalam jebakan Mia kan? Yaitu dengan memberikan Levin gadis perawan? Mungkin karena Tuhan tidak ingin berhutang padanya, makanya kebaikan Levin langsung dibalas malam itu juga! Dan Levin tid
Claire terdiam. Otaknya bertanya-tanya, namun Claire menepis pertanyaan apapun yang ada dibenaknya. Tidak ingin memaksa otaknya yang menyedihkan untuk berpikir. “Apapun itu jangan pernah menyapaku karena aku tidak mengenalmu. Sekarang lebih baik kamu keluar dan tinggalkan aku sendiri!” usir Claire lagi. Levin terpaku sejenak, dirinya ingin membantah tapi mengurungkan niatnya. Melihat ekspresi wajah Claire, Levin pikir lebih baik diam untuk saat ini. Gadis, ralat, semalam Levin telah merenggut kegadisan Claire dan menjadikannya sebagai wanita seutuhnya jadi rasanya kurang tepat jika masih memanggil Claire dengan sebutan gadis. Wanita, itu kata yang lebih tepat. Ya, wanita itu pasti sedang kacau pikirannya jadi lebih baik jangan membantah atau mengusiknya. Biarkan Claire tenang dulu, toh cepat atau lambat mereka berdua akan kembali bertemu! Levin segera berpakaian, pria itu meraih kenop pintu dan berkata lirih, “I’ll be back, Claire.” Sepeninggalan Levin, Claire menangis dalam d
“Anda baru pulang, Tuan?” sapa Johan, pria berusia akhir 30an yang ditugaskan untuk menyelesaikan setiap masalah yang Levin timbulkan. Awalnya tugas Johan adalah untuk mengawasi Levin agar tidak berkelakuan liar, tapi percuma karena Levin lebih sering menyelinap dan sulit dinasehati hingga Johan menyerah. Akhirnya daddy Keenan menugaskan Johan untuk menyelesaikan setiap masalah yang ditimbulkan oleh putranya agar tidak terekspos ke pihak luar. Seperti semalam contohnya, saat Levin meminta bantuan Johan untuk menghapus rekaman CCTV. Levin tau pasti kalau daddy Keenan tidak ingin citra keluarga dan perusahaannya hancur hanya karena ulahnya. “Begitulah. Bagaimana dengan tugas yang semalam aku berikan? Sudah beres kan?” “Sudah, Tuan. Sekarang tolong beri saya penjelasan, kenapa anda harus memukuli seseorang dengan begitu ganas? Ada masalah apa antara anda dengan pria itu?” Levin menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Pertanyaan Johan terdengar seperti sedang menyelidikinya. Jujur,
Johan menghembuskan nafas berat. Dugaannya tepat. Tuan mudanya lagi-lagi meniduri wanita yang berbeda, kali ini lebih parah sampai tidak pulang ke rumah! Padahal biasanya selalu pulang meski baru tiba di rumah hampir menjelang pagi. Tapi kali ini malah baru pulang siang hari. Kacau! Johan tidak tau kalau yang Levin dapatkan semalam adalah gadis perawan yang membuatnya enggan berhenti. Karena biasanya jika dengan wanita bayaran, Levin hanya bermain sekali. Yang penting juniornya sudah ‘ganti oli’, beda dengan semalam. Semalam bukan hanya sekedar ‘ganti oli’, tapi mencari surga dunia. Semalam adalah kesempatan langka bagi Levin, dan tentu saja bagi juniornya, untuk merasakan kenikmatan seks yang sesungguhnya. “Bukankah anda bilang wanita itu mabuk? Anda bilang ingin menyelamatkannya dari pria yang berniat jahat, tapi anda sendiri melakukan hal itu padanya. Bukankah itu berarti anda sama jahatnya dengan pria yang anda hajar sampai babak belur?” “Tentu saja berbeda, aku memang mela
Keesokan harinya… Claire memarkir mobilnya di halaman kampus, tetap beraktivitas seperti biasa seolah tidak terjadi apapun saat weekend kemarin. Tidak boleh ada satu orang pun yang tau tentang apa yang terjadi padanya. Termasuk Nick, sahabatnya. Claire keluar dari mobil dan berjalan santai menuju kantin. “Claire!” panggil Mia dengan suara senyaring toa masjid. “Kenapa, Mi?” “Sabtu kemarin kamu kemana sih? Katanya mau ke toilet, tapi kenapa tidak kembali ke bar lagi?” selidik Mia penasaran. Ya, kemarin dirinya berencana ke rumah Claire untuk bertanya tapi mengurungkan niatnya, takut Claire curiga. Mia harus bersikap cerdik, jadi lebih baik menunggu hingga hari senin saat mereka bertemu di kampus meski rasa penasaran mendera hatinya. Tidak sabar ingin tau apa yang terjadi hingga Claire bisa lepas dari jebakannya. Bagaimana mungkin Claire yang sudah mabuk dan dibawah pengaruh obat perangsang bisa lolos dari jebakannya kan? Mia juga penasaran apakah Claire tau kalau dirinya yang
Nick mendesah frustasi saat Claire menyumpal mulutnya dengan cokelat, oleh-oleh yang baru saja ditolaknya. Claire bahkan tidak memberi Nick waktu untuk protes dan langsung mengomel dengan nada seperti orangtua yang sedang memarahi putranya. “Rasanya sama kan? Jadi tolong hargai pemberian gadis ini!” omel Claire membuat Nick memberengut kesal karena diomeli oleh Claire hingga membuatnya tidak bisa berkutik. Bagi Nick, ada dua orang wanita yang tidak bisa dibantah atau di lawannya, yaitu sang mommy dan Claire. Claire menoleh kepada sang gadis sambil tersenyum manis. “Jangan khawatir, aku pastikan Nick akan menghabiskan oleh-oleh darimu. Dia suka cokelat kok, apalagi Merlion chocolate adalah cokelat kesukaannya,” beritahu Claire. Setelah itu Claire menoleh dan menatap tajam Nick. Memberi perintah tanpa kata membuat pria itu hanya bisa mendesah pasrah. Tanpa perlu diucapkan pun, Nick tau apa yang Claire ‘perintahkan’ meski hanya melalui tatapan mata. Mereka sudah bersahabat lama, j
Lagi, daddy Alex mendesah berat. Melihat kekecewaan yang terpancar dari wajah sang daddy membuat rasa bersalah yang menyerbu hati Claire kian meningkat. Selama ini Claire bertekad untuk tidak mengecewakan orangtuanya, tapi lihatlah kini apa yang dirinya lakukan terhadap daddy Alex? Claire bukan hanya mengecewakan daddy Alex, tapi juga membuatnya malu dengan hamil di luar nikah, tanpa tau siapa ayah dari bayi yang dikandungnya, setidaknya itulah yang Claire akui pada daddy Alex. “Apa kamu tidak berniat mengugurkan bayi itu?”“Tentu saja tidak, Dad! Bayi ini tidak berdosa, jadi aku tidak akan pernah membunuhnya. Apalagi meski bayi ini hadir karena kecerobohanku, tapi dia tetap darah dagingku, Dad!” sergah Claire, cukup kaget dengan pertanyaan daddy Alex.Tak urung hal itu membuat hati Claire bergetar takut. Takut daddy Alex memaksanya untuk melakukan aborsi, hal yang tidak mungkin Claire lakukan. Cukup sekali dirinya melakukan kesalahan, Claire tidak ingin melak
Keesokan harinya…Telapak tangan Claire saling bertaut. Hal yang selalu dilakukannya saat rasa gelisah melanda hatinya. Ini adalah hari pengakuan, wajar jika jantungnya berdebar kencang.Saking gelisahnya, suara ketukan pelan pun terdengar bagaikan bom di telinga Claire hingga wanita itu terlonjak kaget. “Nona, tuan besar sedang menunggu anda di ruang makan agar bisa makan malam bersama,” panggil Susan lembut. Oke, inilah saatnya. Tidak ada lagi kata mundur. Setiap weekend, daddy Alex memang lebih sering berada di rumah, kecuali jika ada urusan di luar kota atau luar negeri. Sedangkan hari-hari biasa dari Senin sampai Jumat, Claire malah tidak tau daddy Alex pulang ke rumah jam berapa saking sibuknya, maka dari itu Claire memilih weekend untuk mengaku dosa. Saat dimana daddy Alex bisa bersantai di rumah. “Oke. Sebentar lagi aku turun ke ruang makan.”Susan berlalu pergi, meninggalkan Claire yang sibuk menyiapkan hati. Wanita itu menghembuskan nafas panjang
Claire menelan saliva dengan gugup saat mendengar ucapan sang dokter. Tidak heran kalau suaranya sedikit terbata saat menjawab,“Ba… baik, Dok.”“Untuk point terakhir biasanya cukup sulit dilakukan karena suami anda belum terbiasa saat harus ‘puasa’ dadakan, ditambah lagi umumnya gairah ibu hamil bisa melonjak naik karena pengaruh hormon,” lanjut Rena, tidak memahami rasa canggung yang Claire rasakan. Atau bukan tidak paham tapi tidak peduli? Entahlah, yang pasti Claire hanya diam mendengar ucapan dokter yang membuat wajahnya memerah. Meski itu adalah hal yang wajar mengingat dokter kandungannya tidak mengetahui tentang kondisi Claire yang sebenarnya dengan pria yang menanam benih dirahimnya.“Baik, Dok.”Claire keluar dari ruangan, bergegas menebus resep yang ditulis dan pulang ke rumah.Usai makan malam, Claire merebahkan tubuhnya di atas ranjang, sibuk memandangi foto bayinya, yang baru terlihat seperti seukuran kacang, tapi dirinya tetap merasa takjub de
Claire mendorong piringnya menjauh, meski hanya lima suapan, tapi setidaknya sudah ada makanan yang masuk ke dalam perutnya. Itu lebih baik daripada kosong sama sekali. Wanita itu menoleh ke arah Susan yang sedang berjalan ke arahnya sambil membawa sekotak sandwich, bekal yang selalu Claire bawa ke kantor karena perutnya selalu meronta kelaparan meski belum waktunya jam makan siang akibat si kecil. “Thank you, Susan,” ucap Claire dan bergegas ke kantor sebelum terlambat.Sore hari di RS Permata Bunda…Claire meremas kedua tangannya dengan gelisah. Sekarang dirinya sedang menunggu antrian untuk menemui dokter kandungan. Heran, waktu sudah sore, tapi kenapa antriannya masih cukup panjang? Apakah dokter yang ditemuinya ini memang bagus?Sejujurnya, Claire tidak tau menau tentang dokter kandungan sama sekali. Dirinya hanya mencari rumah sakit yang cukup jauh dari kantor maupun rumahnya agar kemungkinan untuk bertemu dengan orang yang dikenalnya semakin menipis. Namun ha
Claire menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Setelah mandi dan makan malam, kini Claire sedang berbaring di ranjang empuknya. Meski dirinya sudah dalam posisi siap beristirahat, namun matanya enggan terlelap. Pembicaraannya dengan Levin tadi masih terngiang jelas di benak Claire. Oh, Tuhan! Bagaimana bisa Claire mengiyakan ajakan Levin untuk berteman? Kenapa bibirnya malah mengucapkan hal yang bertolak belakang dengan otaknya? ‘Apakah aku benar-benar mengiyakan permintaannya? Tentu saja iya, jika tidak, lalu siapa tadi yang berbicara?’ gerutu Claire merutuki hatinya yang mudah goyah. Seharusnya Claire menolak permintaan Levin untuk berteman.Seharusnya Claire mengambil langkah seribu saat Levin mendekatinya.Seharusnya Claire mengusir Levin saat melihat pria itu muncul di ruang tamu rumahnya, tanpa memberi kesempatan untuk mengatakan apapun. Dan masih banyak kata ‘seharusnya’ yang berkecamuk di dalam benak Claire hingga membuatnya sulit tidur mesk
Keterdiaman Claire membuat Levin gugup. Pria itu tidak menyadari kalau Claire sama gugupnya dengan Levin, hanya saja Claire dapat menutupi perasaannya dengan baik. Levin menatap Claire dalam-dalam, memutuskan untuk terus maju. Dirinya bukanlah pria pengecut, jadi meski rasa gugup menguasai hatinya, tapi Levin harus tetap mengatakan apa yang dirinya rasakan. Saat Levin memutuskan datang ke rumah Claire, dirinya sudah bertekad untuk mengakui isi hatinya dan ingin mengatakan apa yang hatinya inginkan, dan inilah saatnya. Inilah kesempatan bagi Levin untuk mengutarakannya. “Aku harus mengakui satu hal, yaitu tentang alasan kenapa aku terus mengejarmu meski kamu telah menolak kehadiranku berulang kali. Alasan kenapa aku mengabaikan permintaanmu agar kita bersikap tidak saling mengenal.”“Kenapa?” “Karena aku menyukaimu.”Claire mengerjap, lidahnya terasa kelu. Bibirnya seolah terkunci rapat. Pengakuan Levin memang singkat, tapi sanggup memporak porandakan hati
Claire melajukan mobilnya menuju rumah, satu-satunya tempat yang bisa membuatnya merasa aman dan nyaman karena di rumah besarnya hanya ada Susan dan Claire bisa mengunci diri di kamar selepas makan malam hingga tidak ada yang curiga meski terdapat perubahan pada dirinya. Ya, tidak bisa dipungkiri akhir-akhir ini Claire baru menyadari kalau rasa mual yang sempat dirasakannya adalah karena pengaruh kehamilan, bukan sekedar masuk angin. Morning sickness itulah istilahnya meski harus Claire akui kalau rasa mualnya tidak hanya datang di pagi hari karena di saat-saat tertentu, rasa mual itu bisa saja datang. Terserah keinginan bayi kecilnya saja. Ditambah lagi indera penciumannya semakin sensitive membuatnya langsung mual jika mencium aroma yang terlalu menyengat, entah seperti ikan, gorengan, parfum, makanan tertentu atau hal lainnya. Namun betapa kagetnya Claire saat setibanya di rumah, dirinya malah menemukan Levin sudah duduk di ruang tamu rumahnya. Menunggu kepula
Claire menatap hasil testpack di tangannya dengan nanar. Dari 4 testpack yang dirinya beli dan gunakan, semuanya menampilkan hasil akhir yang sama. Garis dua. Positif. Claire hamil! Damn! Bagaimana bisa seperti ini? Padahal Claire yakin kalau dirinya langsung meminum pil pencegah kehamilan setelah berhubungan seks dengan Levin! Claire yakin kalau dirinya bergegas membeli pil pencegah kehamilan kurang dari 24 jam setelah mereka melakukan hal itu. Bukankah katanya pil itu efektif asalkan dikonsumsi tidak lebih dari 24 jam setelah berhubungan seks? Tapi kenapa Claire masih bisa hamil? Apa dirinya hanya termakan iklan belaka?Apakah hasil testpacknya salah? Tapi apa mungkin testpacknya salah berjamaah? Jika hanya satu atau dua testpack yang salah, mungkin masih masuk akal, tapi masalahnya semua testpack merujuk pada hasil yang sama. Sial! Sial! Sial! Dan mereka hanya melakukannya sekali. Hanya sekali! Ya Tuhan, kenapa benih Levin begitu subur hingga sulit dicegah dan disingkirk
Levin menatap ponselnya saat tidak mendengar suara apapun, mengira sambungan telepon terputus. Tapi ternyata tidak, ponselnya masih tersambung dengan nomor Claire, lalu kenapa wanita itu tidak merespon? “Claire?” Panggilan Levin membuat Claire tergagap, sadar kalau pikirannya sedang berkelana.“Memang, tapi bukan berarti kita bisa menjadi teman. Dan sepertinya ada baiknya kalau kita tidak perlu bertemu lagi. Lagipula aku sudah selesai sidang jadi sepertinya tidak perlu datang ke kampus lagi. Sudahlah, aku ingin istirahat, jadi aku akan langsung menutup teleponnya. Setelah ini jangan telepon aku lagi, okay?” cerocos Claire dan langsung memutuskan panggilan membuat Levin memaki pelan. Heran, kenapa Claire begitu sulit ditaklukkan? Bukankah sebelumnya wanita itu sudah bersikap jinak? Tapi kenapa sekarang jadi galak lagi? Kemana sikap hangat yang wanita itu tunjukkan saat mereka berbincang di café waktu itu? Kenapa wanita yang disukainya bertingkah seperti bunglon yan