‘Target ke toilet. Lakukan sesuai rencana. Ingat, aku tidak ingin mendengar kata gagal!’
‘Baik, Nona!’ Mia menatap kepergian Claire yang terlihat sempoyongan. Senyum licik menghiasi wajah wanita itu. Tidak sabar ingin melihat kehancuran sahabatnya sendiri. Sahabat yang membuat Mia iri dengan segala hal yang Claire miliki. Kecantikan, kecerdasan, kekayaan, popularitas, keberuntungan dan masih banyak hal lainnya. Hal yang tidak dimiliki oleh Mia. Tidak heran kalau Mia memendam rasa iri dan benci yang teramat sangat pada Claire sejak lama meski dirinya dapat menutupinya dengan baik hingga Claire yang memiliki sifat naif tidak menyadari kebencian yang Mia pendam selama ini. Tidak sadar kalau sikap baik yang Mia tunjukkan selama ini hanyalah sekedar kepura-puraan. Tidak sadar kalau wanita yang Claire anggap sebagai sahabat selama ini nyatanya hanyalah musuh di dalam selimut. Musuh yang menunggu waktu kejatuhan Claire dan malam inilah saatnya Mia melihat kejatuhan saingannya! Sifat naif Claire memudahkan Mia untuk menjalankan rencananya malam ini, tentu saja dengan bantuan orang lain, seperti pria bayaran yang baru saja dihubunginya dan juga bartender yang sengaja memasukkan obat perangsang ke dalam minuman Claire saat gadis itu berada di bar bersamanya. Sejujurnya Mia merasa sedikit cemas dengan tindakannya karena jika obat perangsang dicampur dengan alkohol bisa membahayakan orang yang meminumnya, setidaknya itulah yang dirinya baca di internet, tapi setelah mencari informasi ke beberapa sumber, akhirnya Mia tetap nekat menjalankan rencananya karena menurut informasi yang dirinya dapatkan, alkohol dan obat perangsang memang berbahaya jika dikonsumsi secara bersamaan dalam jangka waktu yang lama, berarti jika hanya sekali harusnya tidak masalah kan? Maka dari itu Mia tetap melanjutkan rencananya! Sejak awal, Mia meminta bartender agar memberikan Claire minuman dengan kadar alkohol paling tinggi, setelah terlihat mabuk, barulah sang bartender memasukkan obat perangsang ke dalam minuman non alkohol yang terakhir kali Claire konsumsi. Dan inilah hasilnya, rencana Mia berjalan lancar! Mulus! Jika Mia hanya menatap kepergian Claire dengan senyum licik tanpa berniat beranjak sedikitpun, lain halnya dengan Levin yang mengikuti Claire dalam jarak aman. Rasa penasarannya yang terusik membuat Levin enggan mengalihkan pandangan dari gadis itu dan malah mengikutinya bagaikan seorang penguntit! Levin tidak tau bagaimana caranya hingga gadis itu berhasil menarik perhatian Levin sejak pertama kali matanya menatap kehadiran Claire di area dance floor. Melihat langkah kaki gadis di depannya yang mulai sempoyongan, Levin yakin kalau gadis itu mulai mabuk. Dan lebih yakin lagi saat gadis itu hampir jatuh terjerembab karena langkahnya yang tidak stabil menguatkan dugaan Levin, namun sebelum dirinya sempat menolong, seorang pria asing yang tidak dikenalnya melangkah maju dan menangkap tubuh mungil sang gadis. Seringai tipis yang muncul di wajah sang pria membuat hati Levin terusik. Entah kenapa hati kecilnya terasa tidak nyaman dan diliputi kecurigaan. Melihat dari gerak geriknya, seolah pria itu sudah menunggu gadis yang diikutinya dan langsung mengambil kesempatan saat gadis itu hampir terjatuh. Apakah itu hanya kecurigaannya saja? Atau firasat akan hal buruk yang mungkin terjadi? ‘Apapun itu aku harus mencari tau jawabannya!’ tekad Levin dan meneruskan langkah, mengikuti sang gadis dan pria asing tersebut. Suasana yang ramai memudahkan Levin untuk menjalankan niatnya hingga pria itu tidak curiga sama sekali. Ternyata sang pria melangkah menjauhi bar membuat suasana di sekitar lebih tenang, tidak sebising saat berada di dalam bar. Kenyataan itu membuat Levin sadar kalau dirinya harus lebih berhati-hati agar tidak ketahuan. Dering ponsel membuat langkah kaki pria asing itu terhenti dan kalimat yang didengar oleh Levin membuat kecurigaannya berubah menjadi keyakinan. Seketika itu juga hati Levin diliputi rasa geram. Entah kenapa. “Saya sudah bersama dengan gadis ini. Sepertinya dosis obat yang anda berikan terlalu banyak, tidak heran kalau gadis ini hanya bisa pasrah dalam pelukan saya sambil terus meliukkan tubuhnya dengan gelisah karena tidak sabar ingin segera dipuaskan. Tapi hal ini juga memudahkan saya untuk menjalankan rencana selanjutnya.” Levin tidak tau apa jawaban dari lawan bicara sang pria karena kalimat selanjutnya membuat Levin semakin muak. Jawaban yang membuat Levin ingin segera meninju pria brengsek itu. Hal yang aneh sebenarnya karena bisa dibilang dirinya tidak memiliki urusan atau hubungan apapun dengan gadis yang sedang dijebak itu, tapi kenapa dirinya merasa emosi? Mungkinkah karena rasa kemanusiaan? Bisa saja kan? Apalagi meski brengsek, tapi Levin tidak pernah menjebak wanita manapun hanya untuk memuaskan gairahnya! Tidak seperti pria yang diikutinya ini! “Anda tenang saja, malam ini saya akan mengirimkan video tentang aktivitas panas kami berdua agar keinginan anda untuk menghancurkan gadis ini bisa tercapai, Nona Mia,” ucap sang pria sambil tergelak membuat Levin kian geram. “Rasanya saya juga harus berterima kasih pada anda karena telah memberikan gadis secantik, seseksi dan semulus ini untuk saya nikmati secara cuma-cuma alias gratis,” tambah sang pria dengan raut mesum. Jika mengikuti emosi, ingin rasanya Levin keluar dari tempat persembunyiannya dan menghajar pria itu habis-habisan. Levin memang bukan pria baik, dirinya sudah sering tidur dengan banyak wanita, tapi mereka melakukannya secara sadar dan atas keinginan masing-masing. Levin tidak pernah memperkosa wanita manapun! “Siap, Nona. Saya akan menjalankan perintah anda dengan senang hati! Anda hanya tinggal menunggu hasil akhirnya malam ini. Saya akan langsung mengirimkan videonya kepada anda setelah junior saya terpuaskan!” kekeh pria itu. Kekehan yang membuat Levin muak hingga ingin menghajar pria itu sampai babak belur!Setelah itu pembicaraan berakhir. Di waktu yang terbilang cukup sempit, Levin memutar otak, memikirkan cara untuk menyelamatkan gadis itu dari jebakan seseorang yang bernama Mia, jika telinganya tidak salah dengar. Pria itu terus melangkah yang ternyata menuju ke area hotel. Wajar, pria itu pasti ingin melakukan aksinya di salah satu kamar, apalagi dia perlu merekam aktivitas yang dilakukannya untuk dilaporkan kepada orang yang menyuruhnya! Kesempatan itu datang tidak lama kemudian karena pria tersebut masuk ke dalam lift hotel, hendak menuju kamar. Kesempatan bagus. Lift diperuntukkan bagi setiap tamu hotel kan? Jadi Levin bisa masuk tanpa dicurigai! Lantai 18. Itulah tujuan sang pria. Levin menekan lantai yang lebih tinggi, berpura-pura hendak ke rooftop garden yang berada di lantai paling atas. Levin mengikuti dengan jantung berdebar. Berharap rencananya tidak gagal atau dirinya yang babak belur! Apalagi tindakannya ini terbilang nekat dan tanpa rencana yang matang, hanya
Levin menghempaskan tubuh mungil Claire ke atas ranjang sambil menghela nafas lelah. Tidak menduga kalau malam ini dirinya akan mengeluarkan tenaga ekstra. Setelah nafasnya kembali normal, Levin segera meraih ponselnya dan menghubungi seseorang. Tidak peduli meski malam telah larut. Ada hal mendesak yang harus dilakukan. Tidak bisa menunggu hingga besok pagi atau berita tentang apa yang dirinya lakukan barusan akan lebih dulu tersebar luas! “Tolong bantu aku untuk menghapus rekaman CCTV di area lift dan lorong lantai 18 yang ada di hotel X,” perintah Levin saat teleponnya tersambung, tanpa mengucapkan kata ‘halo’. Sekarang bukan waktunya untuk basa-basi. “Masalah apalagi yang anda lakukan hingga harus menghapus rekaman CCTV, Tuan?” “Aku akan menjelaskannya besok. Sekarang lebih baik kamu menyelesaikannya sebelum tersebar luas. Aku tidak ingin diceramahi oleh Daddy.” “Baiklah,” pasrah sang asisten saat mendengar perintah Levin. Tidak mungkin menolak karena itu memang bagian
Keesokan paginya… Claire terbangun karena silau matahari yang membuat tidur nyenyaknya terganggu. Kepalanya terasa pusing dan berat. Tubuhnya seolah remuk redam. Claire melenguh sambil menggeliat pelan, belum menyadari akan apa yang telah terjadi semalam. “Aduhh!” Claire meringis saat menyadari kalau tubuhnya terasa remuk dan bagian sensitifnya di bawah sana terasa nyeri. Rasa nyeri yang belum pernah dirasakannya, bahkan meski hanya bergerak sedikitpun, rasa nyeri itu langsung menyerbu area kewanitaannya. Claire memaksa kedua matanya untuk terbuka meski masih terasa berat dan melihat sekeliling kamar yang tampak asing di matanya. Bukan kamar tidurnya. Rasa panik seketika menyerbu hatinya hingga satu ingatan muncul di benaknya. Baru ingat kalau semalam, sebelum bersenang-senang di bar, dirinya memang sengaja membuka satu kamar karena enggan pulang ke rumahnya yang selalu sepi bagaikan kuburan. Rasa sepi yang membuat Claire memutuskan untuk bersenang-senang di bar yang menyatu de
“Sudah bangun?” tanya Levin sambil mengulas senyum tipis, mengabaikan raut kekagetan yang pasti tercetak jelas di wajah Claire. Pertanyaan Levin membuat Claire tersadar. Gadis itu berdeham, berusaha bersikap santai meskipun rasa gugup, panik, takut sedang menguasai hatinya. “Hmm… apa yang terjadi padaku semalam?” “Kamu sungguh tidak ingat?” Claire menggeleng dan menjawab lirih, “Aku hanya ingat sedang minum di area bar dengan Mia, namun tiba-tiba saja tubuhku terasa aneh ditambah lagi kepalaku pusing karena terlalu banyak mengkonsumsi alkohol,” jawab Claire, mengungkapkan apa yang diingatnya meski samar. “Mia? Siapa dia?” ulang Levin dengan nada sambil lalu, seolah tidak peduli meski rasa penasaran menggerogoti hatinya, ternyata telinganya memang tidak salah dengar. Pria yang ingin mengambil keuntungan dari Claire memang orang suruhan Mia. “Ya, Mia, dia sahabatku.” Jawaban Claire membuat Levin memahami satu hal. Mia, sahabat yang bermuka dua. Di depan Claire, wanita itu
“Alasan!” sinis Claire sambil menatap tajam ke arah Levin. Pria itu mengangkat bahu, terlihat santai. Meski sebenarnya rasa bersalah menguasai hatinya, tapi Levin berusaha menutupinya. Lagipula ini semua sudah terlanjur terjadi dan waktu pun tidak bisa diulang kembali, jadi ya sudah. Mau bagaimana lagi ya kan? Lagipula saat memutuskan untuk ‘membantu’ Claire meredakan hasratnya, Levin tidak tau kalau gadis itu masih perawan. Siapa yang menyangka kalau ternyata Levin lah yang melepas segel gadis itu untuk yang pertama kalinya? Dan ketika Levin menyadari kenyataan itu, semua sudah terlambat karena dirinya tidak mungkin lagi berhenti. Apa yang sudah dimulai harus dituntaskan bukan? Bisa saja itu adalah salah satu cara Tuhan untuk membalas niat baik Levin yang membantu Claire agar tidak jatuh ke dalam jebakan Mia kan? Yaitu dengan memberikan Levin gadis perawan? Mungkin karena Tuhan tidak ingin berhutang padanya, makanya kebaikan Levin langsung dibalas malam itu juga! Dan Levin tid
Claire terdiam. Otaknya bertanya-tanya, namun Claire menepis pertanyaan apapun yang ada dibenaknya. Tidak ingin memaksa otaknya yang menyedihkan untuk berpikir. “Apapun itu jangan pernah menyapaku karena aku tidak mengenalmu. Sekarang lebih baik kamu keluar dan tinggalkan aku sendiri!” usir Claire lagi. Levin terpaku sejenak, dirinya ingin membantah tapi mengurungkan niatnya. Melihat ekspresi wajah Claire, Levin pikir lebih baik diam untuk saat ini. Gadis, ralat, semalam Levin telah merenggut kegadisan Claire dan menjadikannya sebagai wanita seutuhnya jadi rasanya kurang tepat jika masih memanggil Claire dengan sebutan gadis. Wanita, itu kata yang lebih tepat. Ya, wanita itu pasti sedang kacau pikirannya jadi lebih baik jangan membantah atau mengusiknya. Biarkan Claire tenang dulu, toh cepat atau lambat mereka berdua akan kembali bertemu! Levin segera berpakaian, pria itu meraih kenop pintu dan berkata lirih, “I’ll be back, Claire.” Sepeninggalan Levin, Claire menangis dalam d
“Anda baru pulang, Tuan?” sapa Johan, pria berusia akhir 30an yang ditugaskan untuk menyelesaikan setiap masalah yang Levin timbulkan. Awalnya tugas Johan adalah untuk mengawasi Levin agar tidak berkelakuan liar, tapi percuma karena Levin lebih sering menyelinap dan sulit dinasehati hingga Johan menyerah. Akhirnya daddy Keenan menugaskan Johan untuk menyelesaikan setiap masalah yang ditimbulkan oleh putranya agar tidak terekspos ke pihak luar. Seperti semalam contohnya, saat Levin meminta bantuan Johan untuk menghapus rekaman CCTV. Levin tau pasti kalau daddy Keenan tidak ingin citra keluarga dan perusahaannya hancur hanya karena ulahnya. “Begitulah. Bagaimana dengan tugas yang semalam aku berikan? Sudah beres kan?” “Sudah, Tuan. Sekarang tolong beri saya penjelasan, kenapa anda harus memukuli seseorang dengan begitu ganas? Ada masalah apa antara anda dengan pria itu?” Levin menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Pertanyaan Johan terdengar seperti sedang menyelidikinya. Jujur,
Johan menghembuskan nafas berat. Dugaannya tepat. Tuan mudanya lagi-lagi meniduri wanita yang berbeda, kali ini lebih parah sampai tidak pulang ke rumah! Padahal biasanya selalu pulang meski baru tiba di rumah hampir menjelang pagi. Tapi kali ini malah baru pulang siang hari. Kacau! Johan tidak tau kalau yang Levin dapatkan semalam adalah gadis perawan yang membuatnya enggan berhenti. Karena biasanya jika dengan wanita bayaran, Levin hanya bermain sekali. Yang penting juniornya sudah ‘ganti oli’, beda dengan semalam. Semalam bukan hanya sekedar ‘ganti oli’, tapi mencari surga dunia. Semalam adalah kesempatan langka bagi Levin, dan tentu saja bagi juniornya, untuk merasakan kenikmatan seks yang sesungguhnya. “Bukankah anda bilang wanita itu mabuk? Anda bilang ingin menyelamatkannya dari pria yang berniat jahat, tapi anda sendiri melakukan hal itu padanya. Bukankah itu berarti anda sama jahatnya dengan pria yang anda hajar sampai babak belur?” “Tentu saja berbeda, aku memang mela
Keesokan harinya…Telapak tangan Claire saling bertaut. Hal yang selalu dilakukannya saat rasa gelisah melanda hatinya. Ini adalah hari pengakuan, wajar jika jantungnya berdebar kencang.Saking gelisahnya, suara ketukan pelan pun terdengar bagaikan bom di telinga Claire hingga wanita itu terlonjak kaget. “Nona, tuan besar sedang menunggu anda di ruang makan agar bisa makan malam bersama,” panggil Susan lembut. Oke, inilah saatnya. Tidak ada lagi kata mundur. Setiap weekend, daddy Alex memang lebih sering berada di rumah, kecuali jika ada urusan di luar kota atau luar negeri. Sedangkan hari-hari biasa dari Senin sampai Jumat, Claire malah tidak tau daddy Alex pulang ke rumah jam berapa saking sibuknya, maka dari itu Claire memilih weekend untuk mengaku dosa. Saat dimana daddy Alex bisa bersantai di rumah. “Oke. Sebentar lagi aku turun ke ruang makan.”Susan berlalu pergi, meninggalkan Claire yang sibuk menyiapkan hati. Wanita itu menghembuskan nafas panjang
Claire menelan saliva dengan gugup saat mendengar ucapan sang dokter. Tidak heran kalau suaranya sedikit terbata saat menjawab,“Ba… baik, Dok.”“Untuk point terakhir biasanya cukup sulit dilakukan karena suami anda belum terbiasa saat harus ‘puasa’ dadakan, ditambah lagi umumnya gairah ibu hamil bisa melonjak naik karena pengaruh hormon,” lanjut Rena, tidak memahami rasa canggung yang Claire rasakan. Atau bukan tidak paham tapi tidak peduli? Entahlah, yang pasti Claire hanya diam mendengar ucapan dokter yang membuat wajahnya memerah. Meski itu adalah hal yang wajar mengingat dokter kandungannya tidak mengetahui tentang kondisi Claire yang sebenarnya dengan pria yang menanam benih dirahimnya.“Baik, Dok.”Claire keluar dari ruangan, bergegas menebus resep yang ditulis dan pulang ke rumah.Usai makan malam, Claire merebahkan tubuhnya di atas ranjang, sibuk memandangi foto bayinya, yang baru terlihat seperti seukuran kacang, tapi dirinya tetap merasa takjub de
Claire mendorong piringnya menjauh, meski hanya lima suapan, tapi setidaknya sudah ada makanan yang masuk ke dalam perutnya. Itu lebih baik daripada kosong sama sekali. Wanita itu menoleh ke arah Susan yang sedang berjalan ke arahnya sambil membawa sekotak sandwich, bekal yang selalu Claire bawa ke kantor karena perutnya selalu meronta kelaparan meski belum waktunya jam makan siang akibat si kecil. “Thank you, Susan,” ucap Claire dan bergegas ke kantor sebelum terlambat.Sore hari di RS Permata Bunda…Claire meremas kedua tangannya dengan gelisah. Sekarang dirinya sedang menunggu antrian untuk menemui dokter kandungan. Heran, waktu sudah sore, tapi kenapa antriannya masih cukup panjang? Apakah dokter yang ditemuinya ini memang bagus?Sejujurnya, Claire tidak tau menau tentang dokter kandungan sama sekali. Dirinya hanya mencari rumah sakit yang cukup jauh dari kantor maupun rumahnya agar kemungkinan untuk bertemu dengan orang yang dikenalnya semakin menipis. Namun ha
Claire menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Setelah mandi dan makan malam, kini Claire sedang berbaring di ranjang empuknya. Meski dirinya sudah dalam posisi siap beristirahat, namun matanya enggan terlelap. Pembicaraannya dengan Levin tadi masih terngiang jelas di benak Claire. Oh, Tuhan! Bagaimana bisa Claire mengiyakan ajakan Levin untuk berteman? Kenapa bibirnya malah mengucapkan hal yang bertolak belakang dengan otaknya? ‘Apakah aku benar-benar mengiyakan permintaannya? Tentu saja iya, jika tidak, lalu siapa tadi yang berbicara?’ gerutu Claire merutuki hatinya yang mudah goyah. Seharusnya Claire menolak permintaan Levin untuk berteman.Seharusnya Claire mengambil langkah seribu saat Levin mendekatinya.Seharusnya Claire mengusir Levin saat melihat pria itu muncul di ruang tamu rumahnya, tanpa memberi kesempatan untuk mengatakan apapun. Dan masih banyak kata ‘seharusnya’ yang berkecamuk di dalam benak Claire hingga membuatnya sulit tidur mesk
Keterdiaman Claire membuat Levin gugup. Pria itu tidak menyadari kalau Claire sama gugupnya dengan Levin, hanya saja Claire dapat menutupi perasaannya dengan baik. Levin menatap Claire dalam-dalam, memutuskan untuk terus maju. Dirinya bukanlah pria pengecut, jadi meski rasa gugup menguasai hatinya, tapi Levin harus tetap mengatakan apa yang dirinya rasakan. Saat Levin memutuskan datang ke rumah Claire, dirinya sudah bertekad untuk mengakui isi hatinya dan ingin mengatakan apa yang hatinya inginkan, dan inilah saatnya. Inilah kesempatan bagi Levin untuk mengutarakannya. “Aku harus mengakui satu hal, yaitu tentang alasan kenapa aku terus mengejarmu meski kamu telah menolak kehadiranku berulang kali. Alasan kenapa aku mengabaikan permintaanmu agar kita bersikap tidak saling mengenal.”“Kenapa?” “Karena aku menyukaimu.”Claire mengerjap, lidahnya terasa kelu. Bibirnya seolah terkunci rapat. Pengakuan Levin memang singkat, tapi sanggup memporak porandakan hati
Claire melajukan mobilnya menuju rumah, satu-satunya tempat yang bisa membuatnya merasa aman dan nyaman karena di rumah besarnya hanya ada Susan dan Claire bisa mengunci diri di kamar selepas makan malam hingga tidak ada yang curiga meski terdapat perubahan pada dirinya. Ya, tidak bisa dipungkiri akhir-akhir ini Claire baru menyadari kalau rasa mual yang sempat dirasakannya adalah karena pengaruh kehamilan, bukan sekedar masuk angin. Morning sickness itulah istilahnya meski harus Claire akui kalau rasa mualnya tidak hanya datang di pagi hari karena di saat-saat tertentu, rasa mual itu bisa saja datang. Terserah keinginan bayi kecilnya saja. Ditambah lagi indera penciumannya semakin sensitive membuatnya langsung mual jika mencium aroma yang terlalu menyengat, entah seperti ikan, gorengan, parfum, makanan tertentu atau hal lainnya. Namun betapa kagetnya Claire saat setibanya di rumah, dirinya malah menemukan Levin sudah duduk di ruang tamu rumahnya. Menunggu kepula
Claire menatap hasil testpack di tangannya dengan nanar. Dari 4 testpack yang dirinya beli dan gunakan, semuanya menampilkan hasil akhir yang sama. Garis dua. Positif. Claire hamil! Damn! Bagaimana bisa seperti ini? Padahal Claire yakin kalau dirinya langsung meminum pil pencegah kehamilan setelah berhubungan seks dengan Levin! Claire yakin kalau dirinya bergegas membeli pil pencegah kehamilan kurang dari 24 jam setelah mereka melakukan hal itu. Bukankah katanya pil itu efektif asalkan dikonsumsi tidak lebih dari 24 jam setelah berhubungan seks? Tapi kenapa Claire masih bisa hamil? Apa dirinya hanya termakan iklan belaka?Apakah hasil testpacknya salah? Tapi apa mungkin testpacknya salah berjamaah? Jika hanya satu atau dua testpack yang salah, mungkin masih masuk akal, tapi masalahnya semua testpack merujuk pada hasil yang sama. Sial! Sial! Sial! Dan mereka hanya melakukannya sekali. Hanya sekali! Ya Tuhan, kenapa benih Levin begitu subur hingga sulit dicegah dan disingkirk
Levin menatap ponselnya saat tidak mendengar suara apapun, mengira sambungan telepon terputus. Tapi ternyata tidak, ponselnya masih tersambung dengan nomor Claire, lalu kenapa wanita itu tidak merespon? “Claire?” Panggilan Levin membuat Claire tergagap, sadar kalau pikirannya sedang berkelana.“Memang, tapi bukan berarti kita bisa menjadi teman. Dan sepertinya ada baiknya kalau kita tidak perlu bertemu lagi. Lagipula aku sudah selesai sidang jadi sepertinya tidak perlu datang ke kampus lagi. Sudahlah, aku ingin istirahat, jadi aku akan langsung menutup teleponnya. Setelah ini jangan telepon aku lagi, okay?” cerocos Claire dan langsung memutuskan panggilan membuat Levin memaki pelan. Heran, kenapa Claire begitu sulit ditaklukkan? Bukankah sebelumnya wanita itu sudah bersikap jinak? Tapi kenapa sekarang jadi galak lagi? Kemana sikap hangat yang wanita itu tunjukkan saat mereka berbincang di café waktu itu? Kenapa wanita yang disukainya bertingkah seperti bunglon yan
“Sekarang sudah akhir bulan, tapi kenapa aku belum datang bulan? Apakah karena stress pekerjaan? Padahal biasanya selalu teratur,” gumam Claire heran. Hingga satu pemikiran terlintas di benaknya. Claire menggeleng keras, berusaha mengenyahkan pikiran laknat itu dari pikirannya, tapi sulit. “Aku tidak mungkin hamil kan? Setelah berhubungan seks dengan Levin dulu, aku langsung minum pil pencegah kehamilan dan kami hanya melakukannya sekali,” lirih Claire dengan rasa cemas yang merasuk ke hatinya.Claire lupa kalau yang sebenarnya terjadi adalah Levin melakukan hal terkutuk itu berulang kali tanpa dirinya sadari karena berada di bawah pengaruh obat. Dan berulang kali pula Levin sibuk menabur benih ke dalam rahimnya.Rasa cemas di hati Claire kian meningkat saat dirinya menyadari hal lain yang tidak kalah penting. Rasa mual yang akhir-akhir ini dirinya rasakan. Rasa mual yang Claire pikir hanya sekedar masuk angin belaka tapi nyatanya sudah seminggu lebih enggan pergi