Share

Jejak di seprai putih

Penulis: Hitam_Putih
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-29 18:41:19

Daniel kini sudah mengenakan kembali pakaiannya. Kemeja putih yang sedikit kusut itu ia kenakan tergesa-gesa, sementara celananya tampak tidak terlalu rapi—ia bahkan belum sempat mengancingkan seluruh kancing bajunya dengan benar. Rambutnya masih berantakan, wajahnya kusut dan penuh kecemasan. Ia berdiri di hadapan sang ibu, seperti anak kecil yang tertangkap basah mencuri kue di dapur. Sedingin dan setegas apapun Daniel di hadapan orang lain, di hadapan ibunya, ia selalu luluh. Ada rasa takut, hormat, dan segan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Mama Sinta berdiri di depannya dengan kedua tangan bertolak pinggang, sorot matanya tajam seperti mata elang yang mengincar mangsa. Raut wajahnya bukan hanya marah—tetapi kecewa, sangat kecewa.

"Jelaskan apa yang terjadi!" suaranya terdengar tegas, dingin, dan menekan, membuat Daniel menunduk dengan gelisah.

“Aku… aku nggak ingat, Ma,” gumam Daniel pelan, suaranya nyaris tak terdengar, namun cukup jelas untuk membuat Mama Sinta menghela napas panjang, berat, dan penuh rasa putus asa.

Ia memutar bola matanya, lalu tanpa berkata-kata, Mama Sinta pun mengambil benda yang berada di atas kasur . Dengan satu gerakan cepat, ia melemparkan benda itu ke arah Daniel. Daniel menangkapnya secara refleks dan memandangi benda itu dengan bingung—sebuah celana dalam wanita berwarna merah berenda. Ia menatapnya dengan mata menyipit, mencoba mengingat. Wajahnya menunjukkan kebingungan yang mendalam.

“Sudah ingat?” tanya Mama Sinta, kali ini dengan nada yang lebih menekan.

Daniel menatap kalung itu lama, hingga akhirnya ia menegakkan tubuhnya dan menatap ibunya dengan pandangan yang mulai berubah.

“Aku ingat… Aku ingat kalau perempuan itu wanita bayaran—suruhan Damian. Dia yang mengatur semuanya. Damian yang mengirim perempuan itu ke kamar ini,” ucapnya, nada suaranya mulai meninggi, kesal, seperti mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia adalah korban dari sebuah permainan kotor.

Namun ucapan itu hanya membuat Mama Sinta menatapnya dengan lebih tajam, lalu menghela napas untuk kesekian kalinya.

“Wanita bayaran mana yang masih perawan, Daniel?” tanyanya lirih, tapi mengandung kemarahan yang tertahan. “Kamu nggak lihat darah di sprei tadi malam? Kamu pikir itu apa?” ucapnya yang tidak habis pikir dengan pemikiran anaknya itu.

Daniel terdiam. Napasnya memburu, dan pandangannya sedikit gemetar. Pikirannya kembali ke malam sebelumnya. Dalam ingatannya yang samar, ia memang merasa ada sesuatu yang berbeda, ada resistensi ketika ia mencoba menaklukan tubuh gadis itu. Tapi saat itu, otaknya sudah tumpul karena alkohol, dan hasrat yang membakar tubuhnya telah menumpulkan akal sehatnya. Ia mengabaikan tanda-tanda itu—dan sekarang, semuanya kembali menghantui.

Ia menelan ludah, lalu duduk di ujung ranjang, memegangi kepala dengan kedua tangan. Hatinya mulai digerogoti rasa bersalah yang belum sepenuhnya ia akui.

“Mama nggak mau tahu,” ucap Mama Sinta akhirnya, memecah keheningan dengan nada yang kini terdengar lebih emosional. “Kamu harus bertanggung jawab atas apa yang sudah kamu lakukan pada gadis itu.”

“Bertanggung jawab?” tanya Daniel, matanya membelalak, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

“Iya!” tegas Mama Sinta. “Kamu pikir dia cuma main-main? Kamu pikir dia nggak punya masa depan? Gimana kalau ternyata dia hamil setelah malam itu, hah? Gimana kalau anak kamu sekarang sudah mulai tumbuh di dalam tubuh gadis yang kamu bahkan nggak tahu namanya?” ucapnya lagi.

Daniel yang mendengar itu pun menegakkan tubuhnya, mencoba melawan.

“Kenapa harus tanggung jawab, Ma? Aku bisa kasih dia uang. Suruh dia gugurin kandungannya, dan pergi dari hidup aku. Selesai, kan?” ucap Daniel dengan santai

Pernyataan itu menjadi puncak kemarahan Mama Sinta. Tanpa pikir panjang, ia meraih kemoceng yang tergeletak di dekat kakinya dan memukulkan gagangnya ke kepala Daniel. Bukan karena ingin menyakitinya, tetapi karena terlalu marah dan kecewa mendengar bagaimana anaknya meremehkan kehidupan seseorang.

“Enteng banget kamu ngomong kayak gitu, Daniel! Kamu kira semua bisa diselesaikan dengan uang? Anak kamu itu manusia, bukan angka di rekening!” ucap mama sinta yang marah dengan apa yang di katakan oleh anak laki-lakinya itu.

Daniel mengusap kepalanya yang dipukul, tapi ia tahu ia layak mendapatkannya.

“Mama nggak akan maafin kamu, Daniel, kalau kamu nggak cari gadis itu dan bertanggung jawab. Nikahi dia, atau Mama nggak akan pernah anggap kamu anak lagi,” tegas Mama Sinta. Suaranya mulai bergetar, menandakan bahwa hatinya ikut hancur melihat apa yang telah terjadi.

Daniel mendesah, wajahnya kalut, pikirannya berantakan.

“Tapi… cari di mana, Ma? Aku bahkan nggak tahu siapa dia, nggak tahu namanya… nggak tahu dari mana asalnya…” ucap Daniel yang bingung harus mencari keberadaan gadis yang ia tiduri itu.

Mama Sinta memalingkan wajah, matanya menatap jauh ke luar jendela. “Kalau kamu bisa menemukan dia untuk tidur dengannya, maka kamu juga bisa menemukan dia untuk bertanggung jawab.” ucapnya pada anak laki-lakinya itu.

Setelah berkata seperti itu, mama Sinta pun pergi meninggalkan kamar mewah itu. Meninggalkan Daniel yang masih berdiri di tempatnya tadi. Ia masih bingung harus mencari gadis itu dari mana.

Pagi ini Daniel sudah dua kali di tinggalkan oleh wanita, yang pertama gadis yang ia tiduri dan yang kedua ibunya sendiri.

.

.

Bersambung...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Satu Malam Bersama Tuan Muda   Mencari

    Daniel masih berdiri di tempat yang sama sejak Mama Sinta pergi meninggalkannya. Matanya kosong menatap dinding, pikirannya terombang-ambing oleh rasa bersalah, kemarahan, dan kebingungan. Ia mencoba mengingat dengan detail kejadian semalam, berharap ada petunjuk sekecil apa pun yang bisa membantunya menemukan gadis itu. Ia tahu, waktu tidak berpihak padanya—semakin lama ia menunda, semakin sulit menemukan jejak sang gadis.Tiba-tiba, satu potongan memori menampar kesadarannya.“Tunggu dulu…” gumamnya lirih. “Bukannya semalam dia pakai seragam office girl, ya?” ucapnya lagi, yang baru teringat hal seperti itu.Daniel mengerutkan kening. Ia teringat dengan jelas—meski dalam kabut alkohol—bahwa gadis itu mengenakan seragam office girl putih dengan rok hitam ketat, . Ia juga ingat bahwa gadis itu membawa tas jinjing sederhana dan mengenakan sepatu pantofel hitam yang sedikit kusam di ujungnya. Semua detail itu kini kembali perlahan, dan membangkitkan dorongan untuk bertindak.Tanpa pikir

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-01
  • Satu Malam Bersama Tuan Muda   Awal Dari Masalah Dinda

    Angin malam berhembus kencang, menggoyangkan dedaunan yang saling bergesekan — menciptakan suara lirih yang mampu membuat siapa pun merinding dalam kesunyian.Di tengah dinginnya malam, Dinda duduk termenung di sudut kamar kecilnya. Tatapannya tertuju pada layar ponsel, melihat notifikasi transfer yang baru saja terkirim ke rekening ibunya. Gaji bulan ini, hanya tinggal untuk makan dan membayar kontrakan. Sebagian besar sudah ia kirim untuk ibu dan adik-adik tercinta di kampung.Di usianya yang baru 23 tahun, Dinda telah memikul beban besar. Ayahnya pergi untuk selamanya dua tahun lalu, menyerah pada penyakit jantung yang merenggut nyawa sang kepala keluarga. Sejak saat itu, Dinda tak punya pilihan. Ia harus berdiri tegak, menjadi tulang punggung keluarga kecil mereka.Jauh dari rumah, tinggal di kota besar, berjuang dengan hanya bermodalkan ijazah SMA dan tekad yang tak pernah goyah — Dinda tahu, ia tak boleh lelah. Karena di belakang sana, ada ibu dan dua adik yang menunggu uluran t

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-25
  • Satu Malam Bersama Tuan Muda   Takdir Kelam Dibalik kamar mewah

    Daniel berjalan dengan langkah yang tidak stabil, tubuhnya sedikit limbung akibat alkohol yang telah membanjiri sistem sarafnya sejak beberapa jam terakhir. Dengan mata yang mulai mengabur dan kepala yang terasa berat, ia menatap lift di depannya sambil mengerutkan kening, berusaha fokus untuk menekan tombol lantai paling atas—lantai di mana kamar favoritnya berada. Hotel tempat mereka biasa berkumpul ini bukan sembarang tempat; hotel mewah itu milik pamannya, yang tak lain adalah ayah Damian, sahabat sekaligus partner mabuknya malam ini.Beberapa detik kemudian, pintu lift terbuka dengan suara khas logam yang bergesekan. Daniel masuk dan bersandar di dinding lift, menunggu sampai lantai yang dituju tercapai. Ketika pintu terbuka, ia langsung berjalan keluar dengan langkah gontai menuju salah satu kamar eksklusif di sudut koridor. Ia merogoh saku dan mengeluarkan kartu akses, lalu menempelkannya ke pemindai di sisi pintu. Bunyi bip terdengar, menandakan pintu telah terbuka, dan ia pun

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-26
  • Satu Malam Bersama Tuan Muda   Bagun dalam duka

    Pagi perlahan merambat masuk ke sela-sela tirai yang sedikit terbuka, membawa serta sinar mentari yang hangat. Cahaya itu menembus masuk ke dalam kamar Royal Suite yang mewah, menyapu sisa-sisa kegelapan malam yang baru saja berlalu. Langit di luar sana sudah berubah warna, dari kelam menjadi biru muda yang cerah. Namun, keindahan pagi itu tak mampu menembus keheningan pekat yang masih menyelimuti kamar tersebut. Di atas ranjang besar dengan sprei putih yang kini berantakan, dua tubuh terbaring dalam keheningan. Seorang pria yang tampak masih terlelap dalam tidur pulasnya, sementara di bawahnya, seorang perempuan terbaring kaku dengan mata yang perlahan mulai terbuka, menyadari kenyataan pahit yang baru saja menimpanya. Dinda membelalakkan matanya. Seketika tubuhnya menegang, napasnya tercekat. Kesadaran kembali menyergapnya dengan kejam, membangunkannya dari mimpi buruk yang ternyata bukan mimpi sama sekali. Pria itu masih di atas dirinya—masih menindihnya, bahkan tubuh mereka masi

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-27

Bab terbaru

  • Satu Malam Bersama Tuan Muda   Mencari

    Daniel masih berdiri di tempat yang sama sejak Mama Sinta pergi meninggalkannya. Matanya kosong menatap dinding, pikirannya terombang-ambing oleh rasa bersalah, kemarahan, dan kebingungan. Ia mencoba mengingat dengan detail kejadian semalam, berharap ada petunjuk sekecil apa pun yang bisa membantunya menemukan gadis itu. Ia tahu, waktu tidak berpihak padanya—semakin lama ia menunda, semakin sulit menemukan jejak sang gadis.Tiba-tiba, satu potongan memori menampar kesadarannya.“Tunggu dulu…” gumamnya lirih. “Bukannya semalam dia pakai seragam office girl, ya?” ucapnya lagi, yang baru teringat hal seperti itu.Daniel mengerutkan kening. Ia teringat dengan jelas—meski dalam kabut alkohol—bahwa gadis itu mengenakan seragam office girl putih dengan rok hitam ketat, . Ia juga ingat bahwa gadis itu membawa tas jinjing sederhana dan mengenakan sepatu pantofel hitam yang sedikit kusam di ujungnya. Semua detail itu kini kembali perlahan, dan membangkitkan dorongan untuk bertindak.Tanpa pikir

  • Satu Malam Bersama Tuan Muda   Jejak di seprai putih

    Daniel kini sudah mengenakan kembali pakaiannya. Kemeja putih yang sedikit kusut itu ia kenakan tergesa-gesa, sementara celananya tampak tidak terlalu rapi—ia bahkan belum sempat mengancingkan seluruh kancing bajunya dengan benar. Rambutnya masih berantakan, wajahnya kusut dan penuh kecemasan. Ia berdiri di hadapan sang ibu, seperti anak kecil yang tertangkap basah mencuri kue di dapur. Sedingin dan setegas apapun Daniel di hadapan orang lain, di hadapan ibunya, ia selalu luluh. Ada rasa takut, hormat, dan segan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.Mama Sinta berdiri di depannya dengan kedua tangan bertolak pinggang, sorot matanya tajam seperti mata elang yang mengincar mangsa. Raut wajahnya bukan hanya marah—tetapi kecewa, sangat kecewa."Jelaskan apa yang terjadi!" suaranya terdengar tegas, dingin, dan menekan, membuat Daniel menunduk dengan gelisah.“Aku… aku nggak ingat, Ma,” gumam Daniel pelan, suaranya nyaris tak terdengar, namun cukup jelas untuk membuat Mama Sinta meng

  • Satu Malam Bersama Tuan Muda   Bagun dalam duka

    Pagi perlahan merambat masuk ke sela-sela tirai yang sedikit terbuka, membawa serta sinar mentari yang hangat. Cahaya itu menembus masuk ke dalam kamar Royal Suite yang mewah, menyapu sisa-sisa kegelapan malam yang baru saja berlalu. Langit di luar sana sudah berubah warna, dari kelam menjadi biru muda yang cerah. Namun, keindahan pagi itu tak mampu menembus keheningan pekat yang masih menyelimuti kamar tersebut. Di atas ranjang besar dengan sprei putih yang kini berantakan, dua tubuh terbaring dalam keheningan. Seorang pria yang tampak masih terlelap dalam tidur pulasnya, sementara di bawahnya, seorang perempuan terbaring kaku dengan mata yang perlahan mulai terbuka, menyadari kenyataan pahit yang baru saja menimpanya. Dinda membelalakkan matanya. Seketika tubuhnya menegang, napasnya tercekat. Kesadaran kembali menyergapnya dengan kejam, membangunkannya dari mimpi buruk yang ternyata bukan mimpi sama sekali. Pria itu masih di atas dirinya—masih menindihnya, bahkan tubuh mereka masi

  • Satu Malam Bersama Tuan Muda   Takdir Kelam Dibalik kamar mewah

    Daniel berjalan dengan langkah yang tidak stabil, tubuhnya sedikit limbung akibat alkohol yang telah membanjiri sistem sarafnya sejak beberapa jam terakhir. Dengan mata yang mulai mengabur dan kepala yang terasa berat, ia menatap lift di depannya sambil mengerutkan kening, berusaha fokus untuk menekan tombol lantai paling atas—lantai di mana kamar favoritnya berada. Hotel tempat mereka biasa berkumpul ini bukan sembarang tempat; hotel mewah itu milik pamannya, yang tak lain adalah ayah Damian, sahabat sekaligus partner mabuknya malam ini.Beberapa detik kemudian, pintu lift terbuka dengan suara khas logam yang bergesekan. Daniel masuk dan bersandar di dinding lift, menunggu sampai lantai yang dituju tercapai. Ketika pintu terbuka, ia langsung berjalan keluar dengan langkah gontai menuju salah satu kamar eksklusif di sudut koridor. Ia merogoh saku dan mengeluarkan kartu akses, lalu menempelkannya ke pemindai di sisi pintu. Bunyi bip terdengar, menandakan pintu telah terbuka, dan ia pun

  • Satu Malam Bersama Tuan Muda   Awal Dari Masalah Dinda

    Angin malam berhembus kencang, menggoyangkan dedaunan yang saling bergesekan — menciptakan suara lirih yang mampu membuat siapa pun merinding dalam kesunyian.Di tengah dinginnya malam, Dinda duduk termenung di sudut kamar kecilnya. Tatapannya tertuju pada layar ponsel, melihat notifikasi transfer yang baru saja terkirim ke rekening ibunya. Gaji bulan ini, hanya tinggal untuk makan dan membayar kontrakan. Sebagian besar sudah ia kirim untuk ibu dan adik-adik tercinta di kampung.Di usianya yang baru 23 tahun, Dinda telah memikul beban besar. Ayahnya pergi untuk selamanya dua tahun lalu, menyerah pada penyakit jantung yang merenggut nyawa sang kepala keluarga. Sejak saat itu, Dinda tak punya pilihan. Ia harus berdiri tegak, menjadi tulang punggung keluarga kecil mereka.Jauh dari rumah, tinggal di kota besar, berjuang dengan hanya bermodalkan ijazah SMA dan tekad yang tak pernah goyah — Dinda tahu, ia tak boleh lelah. Karena di belakang sana, ada ibu dan dua adik yang menunggu uluran t

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status