Share

Mencari

Penulis: Hitam_Putih
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-01 23:48:01

Daniel masih berdiri di tempat yang sama sejak Mama Sinta pergi meninggalkannya. Matanya kosong menatap dinding, pikirannya terombang-ambing oleh rasa bersalah, kemarahan, dan kebingungan. Ia mencoba mengingat dengan detail kejadian semalam, berharap ada petunjuk sekecil apa pun yang bisa membantunya menemukan gadis itu. Ia tahu, waktu tidak berpihak padanya—semakin lama ia menunda, semakin sulit menemukan jejak sang gadis.

Tiba-tiba, satu potongan memori menampar kesadarannya.

“Tunggu dulu…” gumamnya lirih. “Bukannya semalam dia pakai seragam office girl, ya?” ucapnya lagi, yang baru teringat hal seperti itu.

Daniel mengerutkan kening. Ia teringat dengan jelas—meski dalam kabut alkohol—bahwa gadis itu mengenakan seragam office girl putih dengan rok hitam ketat, . Ia juga ingat bahwa gadis itu membawa tas jinjing sederhana dan mengenakan sepatu pantofel hitam yang sedikit kusam di ujungnya. Semua detail itu kini kembali perlahan, dan membangkitkan dorongan untuk bertindak.

Tanpa pikir panjang, Daniel meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Dengan tangan yang masih gemetar karena marah dan gugup, ia menekan tombol panggil ke kontak yang sudah sangat dikenalnya: Damian.

Panggilan hanya berdering dua kali sebelum suara malas sahabat sekaligus sepupunya itu terdengar.

“Halo?” suara Damian terdengar setengah mengantuk, jelas ia belum sepenuhnya bangun. “Daniel? Sorry banget, bro! Gue bilang ke nyokap lo kalau lo ada di kamar. Nggak nyangka dia bakal ke sana langsung.” ucapnya yang mengira kalau Daniel akan memarahinya saat ia memberitahu ibunya kalau dia berada di dalam kamar itu.

Daniel mendengus keras, nadanya penuh emosi.

“Anjir lo, Dam! Udah tahu gue nggak mau ketemu nyokap, kenapa lo malah kasih tahu dia gue di kamar ini?!” suara Daniel meninggi, napasnya cepat, tangannya mengepal erat.

Damian terdengar bingung di ujung sana. “Lah, lo kenapa emosi gitu sih? Emang lo kenapa di kamar itu? Gue pikir lo cuma nginep biasa, makanya gue kasih tahu nyokap lo!” ucapnya yang bingung mengapa sahabatnya itu semarah itu.

“Nginep biasa kepala lo! Lo yang nyuruh cewek ke sini, kan? Wanita bayaran itu—lo yang atur semuanya, kan?!” bentak Daniel, suaranya tajam seperti pisau.

Namun, respons Damian justru membuat Daniel membeku.

“Wanita bayaran? Lah, Daniel… Gue nggak jadi kirim cewek itu ke lo. Setelah lo nolak, gue pakai dia buat diri gue sendiri. Lo pikir gue bakal buang-buang jasa kayak gitu? Bayaran dia nggak murah, bro,” jawab Damian dengan nada jujur dan agak kesal karena jadi sasaran kemarahan Daniel.

Daniel terdiam sejenak. Tubuhnya mematung, detak jantungnya seolah berhenti. Suara Damian barusan menghantamnya seperti palu godam. Perlahan, ia mengangkat ponselnya kembali ke telinga.

“Dam… Jadi, lo nggak kirim cewek ke kamar ini tadi malam?” tanyanya lirih, suara yang tadi keras kini berubah jadi nyaris seperti bisikan.

“Nggak lah, gila. Gue kira lo tidur sendirian. Lo tidur sama cewek?” tanya Damian dengan nada terkejut. Terdengar suara ranjang bergeser—Damian sepertinya langsung duduk saking kagetnya.

Daniel menutup wajahnya dengan satu tangan, frustrasi setengah mati.

“Gue… gue bangun pagi ini, dan ada cewek di tempat tidur gue. Gue nggak tahu siapa dia, Dam. Gue bener-bener nggak ingat. Tapi sekarang… sekarang nyokap gue tahu semuanya. Dia lihat sprei ada noda darah… dan—dan…” suara Daniel tercekat.

Damian membulatkan mata di seberang telepon. “Lo… jangan bilang itu cewek masih perawan.” tanyanya yang kaget dengan apa yang dikatakan oleh Daniel.

Daniel hanya mengangguk meskipun tahu Damian tidak bisa melihatnya. Tangannya mengepal, dadanya sesak oleh rasa bersalah yang mulai menggerogoti lebih dalam.

“Gue udah buat kesalahan, Dam,” lirihnya. “Dan sekarang nyokap gue nyuruh gue cari dia, tanggung jawab… bahkan nikahin dia. Tapi gue nggak tahu apa-apa soal dia! Gue nggak tahu namanya, nggak tahu dia dari mana, nggak tahu kerja di mana…” ucapnya lagi.

"Tapi, tunggu dulu. Gue ingat kalau dia pakai seragam office girl!" Ucap Daniel lagi.

“Lo yakin dia pakai seragam office girl?” tanya Damian, kini mulai berpikir lebih serius.

“Yakin. Putih atas, rok hitam bawah, sepatu kantor, tas jinjing kecil. Sama kayak petugas kebersihan yang ada di hotel bokap Lo ini,” jawab Daniel cepat, matanya menerawang, mencoba memutar ulang memori-memori kabur dari malam itu.

Damian menghela napas panjang. “Oke, kita bisa cari dari situ. Gue bakal tanya manager di hotel ini, dan meminta mereka mencari tahu siapa cewek yang lo ajak tidur!" Ucapnya pada akhirnya.

Daniel menggigit bibirnya, kepalanya tertunduk. “Kalau dia hamil… kalau dia… bahkan nggak tahu siapa gue… gue…” suaranya patah-patah.

Damian terdiam sejenak, lalu suaranya terdengar lebih serius. “Santai, Dan. Gue bantu lo cari dia. Tapi kalau ternyata dia bener-bener hamil, dan lo yang pertama buat dia kayak gitu… ya, bro, lo harus tanggung jawab. Lo nggak bisa kabur dari ini.” ucapnya mengingatkan sahabatnya itu.

Daniel mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia benar-benar merasa takut. Bukan takut akan hukuman, tapi takut atas luka yang mungkin telah ia beri pada seseorang yang bahkan belum sempat ia kenal.

Dan di pagi yang sunyi itu, dua sahabat itu tahu bahwa hidup mereka tak akan sama lagi.

.

.

Bersambung....

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Satu Malam Bersama Tuan Muda   Awal Dari Masalah Dinda

    Angin malam berhembus kencang, menggoyangkan dedaunan yang saling bergesekan — menciptakan suara lirih yang mampu membuat siapa pun merinding dalam kesunyian.Di tengah dinginnya malam, Dinda duduk termenung di sudut kamar kecilnya. Tatapannya tertuju pada layar ponsel, melihat notifikasi transfer yang baru saja terkirim ke rekening ibunya. Gaji bulan ini, hanya tinggal untuk makan dan membayar kontrakan. Sebagian besar sudah ia kirim untuk ibu dan adik-adik tercinta di kampung.Di usianya yang baru 23 tahun, Dinda telah memikul beban besar. Ayahnya pergi untuk selamanya dua tahun lalu, menyerah pada penyakit jantung yang merenggut nyawa sang kepala keluarga. Sejak saat itu, Dinda tak punya pilihan. Ia harus berdiri tegak, menjadi tulang punggung keluarga kecil mereka.Jauh dari rumah, tinggal di kota besar, berjuang dengan hanya bermodalkan ijazah SMA dan tekad yang tak pernah goyah — Dinda tahu, ia tak boleh lelah. Karena di belakang sana, ada ibu dan dua adik yang menunggu uluran t

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-25
  • Satu Malam Bersama Tuan Muda   Takdir Kelam Dibalik kamar mewah

    Daniel berjalan dengan langkah yang tidak stabil, tubuhnya sedikit limbung akibat alkohol yang telah membanjiri sistem sarafnya sejak beberapa jam terakhir. Dengan mata yang mulai mengabur dan kepala yang terasa berat, ia menatap lift di depannya sambil mengerutkan kening, berusaha fokus untuk menekan tombol lantai paling atas—lantai di mana kamar favoritnya berada. Hotel tempat mereka biasa berkumpul ini bukan sembarang tempat; hotel mewah itu milik pamannya, yang tak lain adalah ayah Damian, sahabat sekaligus partner mabuknya malam ini.Beberapa detik kemudian, pintu lift terbuka dengan suara khas logam yang bergesekan. Daniel masuk dan bersandar di dinding lift, menunggu sampai lantai yang dituju tercapai. Ketika pintu terbuka, ia langsung berjalan keluar dengan langkah gontai menuju salah satu kamar eksklusif di sudut koridor. Ia merogoh saku dan mengeluarkan kartu akses, lalu menempelkannya ke pemindai di sisi pintu. Bunyi bip terdengar, menandakan pintu telah terbuka, dan ia pun

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-26
  • Satu Malam Bersama Tuan Muda   Bagun dalam duka

    Pagi perlahan merambat masuk ke sela-sela tirai yang sedikit terbuka, membawa serta sinar mentari yang hangat. Cahaya itu menembus masuk ke dalam kamar Royal Suite yang mewah, menyapu sisa-sisa kegelapan malam yang baru saja berlalu. Langit di luar sana sudah berubah warna, dari kelam menjadi biru muda yang cerah. Namun, keindahan pagi itu tak mampu menembus keheningan pekat yang masih menyelimuti kamar tersebut. Di atas ranjang besar dengan sprei putih yang kini berantakan, dua tubuh terbaring dalam keheningan. Seorang pria yang tampak masih terlelap dalam tidur pulasnya, sementara di bawahnya, seorang perempuan terbaring kaku dengan mata yang perlahan mulai terbuka, menyadari kenyataan pahit yang baru saja menimpanya. Dinda membelalakkan matanya. Seketika tubuhnya menegang, napasnya tercekat. Kesadaran kembali menyergapnya dengan kejam, membangunkannya dari mimpi buruk yang ternyata bukan mimpi sama sekali. Pria itu masih di atas dirinya—masih menindihnya, bahkan tubuh mereka masi

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-27
  • Satu Malam Bersama Tuan Muda   Jejak di seprai putih

    Daniel kini sudah mengenakan kembali pakaiannya. Kemeja putih yang sedikit kusut itu ia kenakan tergesa-gesa, sementara celananya tampak tidak terlalu rapi—ia bahkan belum sempat mengancingkan seluruh kancing bajunya dengan benar. Rambutnya masih berantakan, wajahnya kusut dan penuh kecemasan. Ia berdiri di hadapan sang ibu, seperti anak kecil yang tertangkap basah mencuri kue di dapur. Sedingin dan setegas apapun Daniel di hadapan orang lain, di hadapan ibunya, ia selalu luluh. Ada rasa takut, hormat, dan segan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.Mama Sinta berdiri di depannya dengan kedua tangan bertolak pinggang, sorot matanya tajam seperti mata elang yang mengincar mangsa. Raut wajahnya bukan hanya marah—tetapi kecewa, sangat kecewa."Jelaskan apa yang terjadi!" suaranya terdengar tegas, dingin, dan menekan, membuat Daniel menunduk dengan gelisah.“Aku… aku nggak ingat, Ma,” gumam Daniel pelan, suaranya nyaris tak terdengar, namun cukup jelas untuk membuat Mama Sinta meng

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-29

Bab terbaru

  • Satu Malam Bersama Tuan Muda   Mencari

    Daniel masih berdiri di tempat yang sama sejak Mama Sinta pergi meninggalkannya. Matanya kosong menatap dinding, pikirannya terombang-ambing oleh rasa bersalah, kemarahan, dan kebingungan. Ia mencoba mengingat dengan detail kejadian semalam, berharap ada petunjuk sekecil apa pun yang bisa membantunya menemukan gadis itu. Ia tahu, waktu tidak berpihak padanya—semakin lama ia menunda, semakin sulit menemukan jejak sang gadis.Tiba-tiba, satu potongan memori menampar kesadarannya.“Tunggu dulu…” gumamnya lirih. “Bukannya semalam dia pakai seragam office girl, ya?” ucapnya lagi, yang baru teringat hal seperti itu.Daniel mengerutkan kening. Ia teringat dengan jelas—meski dalam kabut alkohol—bahwa gadis itu mengenakan seragam office girl putih dengan rok hitam ketat, . Ia juga ingat bahwa gadis itu membawa tas jinjing sederhana dan mengenakan sepatu pantofel hitam yang sedikit kusam di ujungnya. Semua detail itu kini kembali perlahan, dan membangkitkan dorongan untuk bertindak.Tanpa pikir

  • Satu Malam Bersama Tuan Muda   Jejak di seprai putih

    Daniel kini sudah mengenakan kembali pakaiannya. Kemeja putih yang sedikit kusut itu ia kenakan tergesa-gesa, sementara celananya tampak tidak terlalu rapi—ia bahkan belum sempat mengancingkan seluruh kancing bajunya dengan benar. Rambutnya masih berantakan, wajahnya kusut dan penuh kecemasan. Ia berdiri di hadapan sang ibu, seperti anak kecil yang tertangkap basah mencuri kue di dapur. Sedingin dan setegas apapun Daniel di hadapan orang lain, di hadapan ibunya, ia selalu luluh. Ada rasa takut, hormat, dan segan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.Mama Sinta berdiri di depannya dengan kedua tangan bertolak pinggang, sorot matanya tajam seperti mata elang yang mengincar mangsa. Raut wajahnya bukan hanya marah—tetapi kecewa, sangat kecewa."Jelaskan apa yang terjadi!" suaranya terdengar tegas, dingin, dan menekan, membuat Daniel menunduk dengan gelisah.“Aku… aku nggak ingat, Ma,” gumam Daniel pelan, suaranya nyaris tak terdengar, namun cukup jelas untuk membuat Mama Sinta meng

  • Satu Malam Bersama Tuan Muda   Bagun dalam duka

    Pagi perlahan merambat masuk ke sela-sela tirai yang sedikit terbuka, membawa serta sinar mentari yang hangat. Cahaya itu menembus masuk ke dalam kamar Royal Suite yang mewah, menyapu sisa-sisa kegelapan malam yang baru saja berlalu. Langit di luar sana sudah berubah warna, dari kelam menjadi biru muda yang cerah. Namun, keindahan pagi itu tak mampu menembus keheningan pekat yang masih menyelimuti kamar tersebut. Di atas ranjang besar dengan sprei putih yang kini berantakan, dua tubuh terbaring dalam keheningan. Seorang pria yang tampak masih terlelap dalam tidur pulasnya, sementara di bawahnya, seorang perempuan terbaring kaku dengan mata yang perlahan mulai terbuka, menyadari kenyataan pahit yang baru saja menimpanya. Dinda membelalakkan matanya. Seketika tubuhnya menegang, napasnya tercekat. Kesadaran kembali menyergapnya dengan kejam, membangunkannya dari mimpi buruk yang ternyata bukan mimpi sama sekali. Pria itu masih di atas dirinya—masih menindihnya, bahkan tubuh mereka masi

  • Satu Malam Bersama Tuan Muda   Takdir Kelam Dibalik kamar mewah

    Daniel berjalan dengan langkah yang tidak stabil, tubuhnya sedikit limbung akibat alkohol yang telah membanjiri sistem sarafnya sejak beberapa jam terakhir. Dengan mata yang mulai mengabur dan kepala yang terasa berat, ia menatap lift di depannya sambil mengerutkan kening, berusaha fokus untuk menekan tombol lantai paling atas—lantai di mana kamar favoritnya berada. Hotel tempat mereka biasa berkumpul ini bukan sembarang tempat; hotel mewah itu milik pamannya, yang tak lain adalah ayah Damian, sahabat sekaligus partner mabuknya malam ini.Beberapa detik kemudian, pintu lift terbuka dengan suara khas logam yang bergesekan. Daniel masuk dan bersandar di dinding lift, menunggu sampai lantai yang dituju tercapai. Ketika pintu terbuka, ia langsung berjalan keluar dengan langkah gontai menuju salah satu kamar eksklusif di sudut koridor. Ia merogoh saku dan mengeluarkan kartu akses, lalu menempelkannya ke pemindai di sisi pintu. Bunyi bip terdengar, menandakan pintu telah terbuka, dan ia pun

  • Satu Malam Bersama Tuan Muda   Awal Dari Masalah Dinda

    Angin malam berhembus kencang, menggoyangkan dedaunan yang saling bergesekan — menciptakan suara lirih yang mampu membuat siapa pun merinding dalam kesunyian.Di tengah dinginnya malam, Dinda duduk termenung di sudut kamar kecilnya. Tatapannya tertuju pada layar ponsel, melihat notifikasi transfer yang baru saja terkirim ke rekening ibunya. Gaji bulan ini, hanya tinggal untuk makan dan membayar kontrakan. Sebagian besar sudah ia kirim untuk ibu dan adik-adik tercinta di kampung.Di usianya yang baru 23 tahun, Dinda telah memikul beban besar. Ayahnya pergi untuk selamanya dua tahun lalu, menyerah pada penyakit jantung yang merenggut nyawa sang kepala keluarga. Sejak saat itu, Dinda tak punya pilihan. Ia harus berdiri tegak, menjadi tulang punggung keluarga kecil mereka.Jauh dari rumah, tinggal di kota besar, berjuang dengan hanya bermodalkan ijazah SMA dan tekad yang tak pernah goyah — Dinda tahu, ia tak boleh lelah. Karena di belakang sana, ada ibu dan dua adik yang menunggu uluran t

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status