Share

Bagun dalam duka

Author: Hitam_Putih
last update Huling Na-update: 2025-03-27 15:54:23

Pagi perlahan merambat masuk ke sela-sela tirai yang sedikit terbuka, membawa serta sinar mentari yang hangat. Cahaya itu menembus masuk ke dalam kamar Royal Suite yang mewah, menyapu sisa-sisa kegelapan malam yang baru saja berlalu. Langit di luar sana sudah berubah warna, dari kelam menjadi biru muda yang cerah. Namun, keindahan pagi itu tak mampu menembus keheningan pekat yang masih menyelimuti kamar tersebut.

Di atas ranjang besar dengan sprei putih yang kini berantakan, dua tubuh terbaring dalam keheningan. Seorang pria yang tampak masih terlelap dalam tidur pulasnya, sementara di bawahnya, seorang perempuan terbaring kaku dengan mata yang perlahan mulai terbuka, menyadari kenyataan pahit yang baru saja menimpanya.

Dinda membelalakkan matanya. Seketika tubuhnya menegang, napasnya tercekat. Kesadaran kembali menyergapnya dengan kejam, membangunkannya dari mimpi buruk yang ternyata bukan mimpi sama sekali. Pria itu masih di atas dirinya—masih menindihnya, bahkan tubuh mereka masih menyatu, seolah malam kelam itu belum benar-benar berakhir.

Rasa takut, muak, dan jijik bergantian melanda dirinya. Ia ingin berteriak, ingin menangis, namun tidak ada suara yang keluar dari bibirnya. Tubuhnya gemetar, tapi ia menolak untuk menjadi lemah. Dengan segala sisa tenaga yang ia miliki, Dinda mencoba menggulingkan tubuh pria itu ke samping. Usahanya berhasil, tubuh berat itu terhempas ke sisi ranjang tanpa ada reaksi. Entah karena terlalu mabuk atau memang terlalu lelah, pria itu tidak bergerak sedikit pun.

Saat tubuh mereka terlepas, Dinda merasakan perih yang menyayat di bagian tubuhnya yang paling rapuh. Rasa sakit itu seolah mengukuhkan kembali kenyataan kejam yang terjadi padanya—kenyataan bahwa dirinya telah dilukai, telah diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi.

Dengan langkah limbung dan tubuh yang masih gemetar, Dinda bangkit dari ranjang. Matanya menyapu seluruh ruangan, mencoba mencari-cari pakaiannya yang berserakan di lantai. Satu per satu ia kenakan kembali dengan tangan yang gemetar dan pikiran yang kacau. Ia merasa begitu kotor, begitu hina, seakan setiap hela napasnya membawa beban yang tak kasat mata, tapi begitu berat.

Tanpa sadar, ia mengenakan bajunya tanpa mengenakan celana dalam yang entah terselip di mana. Namun itu bukan lagi hal penting. Yang ia pikirkan hanya satu: keluar dari tempat ini. Menjauh sejauh-jauhnya dari pria itu, dari kamar itu, dari mimpi buruk yang telah menghancurkan sebagian besar dirinya.

Langkahnya goyah saat ia membuka pintu kamar dan melangkah keluar. Udara pagi yang seharusnya menyegarkan, terasa seperti angin tajam yang menyayat kulitnya. Dinda berjalan cepat melewati lorong hotel yang sepi, berusaha menahan air mata yang terus menggenang. Ia tidak tahu harus ke mana, tapi ia tahu ia tidak bisa tinggal di sana sedetik pun lebih lama.

Di balik langkahnya yang terburu, ada luka yang belum berdarah namun sudah menancap dalam. Ada kepingan harga diri yang tercerai berai. Dan meski ia tidak mengatakan apa-apa, dunia di sekitarnya perlahan akan tahu bahwa hari itu, Dinda kehilangan sesuatu yang tak bisa dikembalikan.

***

Sementara itu, di dalam kamar hotel mewah yang sunyi, Daniel masih terlelap dalam tidurnya. Nafasnya teratur, dadanya naik turun perlahan, seolah dunia di sekelilingnya tidak ada artinya. Ia tertidur begitu pulas, seakan seluruh energi dalam tubuhnya telah terkuras habis semalam. Ia tidak menyadari bahwa pagi telah lama menyapa, dan lebih dari itu—ia tidak sadar bahwa perempuan yang bersamanya semalam telah menghilang tanpa jejak.

Tak ada suara yang membangunkannya, tidak sinar matahari yang menembus tirai, tidak pula aroma samar parfum wanita yang masih tersisa di bantal. Daniel tertidur dalam ketidaktahuan yang penuh misteri, tidak menyadari bahwa sesuatu yang sangat besar telah terjadi. Dan mungkin, sesuatu yang akan mengubah segalanya.

Jika bukan karena suara lantang yang tiba-tiba menggema, mungkin Daniel akan tetap terbaring di sana hingga siang menjelang.

“Daniel!” seru seorang wanita paruh baya dari ambang pintu, suaranya menggelegar, nyaring dan penuh nada tak percaya.

Wanita itu adalah Mama Sinta, seorang ibu yang selama ini mengenal putranya sebagai pribadi kuat, tangguh, dan meskipun keras kepala—tetap berpegang pada nilai-nilai yang ia tanamkan sejak kecil. Namun saat melangkah masuk ke kamar itu, langkahnya terhenti, matanya membelalak, dan napasnya tercekat.

Apa yang dilihatnya jauh dari bayangannya sebagai seorang ibu.

Putra semata wayangnya itu tengah berbaring tanpa mengenakan sehelai kain pun di tubuhnya. Kulit pucatnya tersinari oleh cahaya matahari yang menyusup dari balik tirai, kontras dengan kondisi kamar yang berantakan. Sprei kusut, bantal-bantal jatuh berserakan ke lantai, dan pakaian—baik pria maupun wanita—tercecer di berbagai sudut ruangan. Aroma tubuh dan alkohol masih samar tercium di udara, menyisakan jejak-jejak dari malam yang penuh dosa.

Mama Sinta berdiri terpaku. Hatinya bergemuruh, pikirannya berlomba-lomba menyusun logika atas pemandangan mengerikan di hadapannya. Apa yang sebenarnya terjadi di kamar ini? Apa yang sudah dilakukan anaknya?

Mulutnya sempat terbuka, namun tak satu kata pun keluar. Dadanya sesak. Ia mencoba menahan segala kemungkinan buruk, tetapi pikirannya tak bisa dicegah untuk menimbang dua hal yang segera terlintas.

Pertama, bahwa putranya mungkin menjadi korban. Bahwa mungkin saja ia dilecehkan oleh seseorang, entah bagaimana caranya. Tapi itu rasanya mustahil. Ia tahu persis kekuatan Daniel. Anaknya itu bukan tipe yang mudah dijatuhkan, apalagi oleh seorang wanita. Secara logika, itu tak masuk akal.

Lalu kemungkinan kedua—dan ini yang membuat hati seorang ibu seperti disayat—bahwa anaknya telah melakukan kesalahan fatal. Bahwa Daniel mungkin telah memaksakan kehendaknya kepada wanita yang kini sudah menghilang, entah pergi dalam diam, atau melarikan diri karena trauma. Dan entah mengapa, firasat terdalamnya justru condong pada kemungkinan kedua. Naluri seorang ibu, meski berat, tak pernah bisa bohong.

Mama Sinta menarik napas panjang, lalu mengatupkan rahangnya dengan tegas. Ia melangkah maju, menatap putranya dengan campuran amarah dan kekecewaan yang membuncah.

"Danielo Septian Mahendra," gumamnya lagi, kali ini lebih pelan, namun sarat tekanan.

Masih belum ada respons dari pemuda itu. Tidurnya begitu nyenyak, seolah tak terjadi apa-apa.

Dan ketika amarahnya tak lagi bisa ditahan, ia bergerak cepat menuju pojok ruangan, mengambil alat pel yang kebetulan tergeletak di dekat lemari. Tanpa pikir panjang, ia menggenggam gagang pel itu dan menghampiri ranjang dengan langkah besar.

Dengan satu hentakan penuh emosi, ia mengayunkan gagang pel ke arah kaki putranya. “Buk!”

“Aww!” Daniel terlonjak, bangun dalam keadaan panik dan kesakitan, langsung memegangi betisnya yang baru saja dipukul. Matanya melebar saat melihat sosok yang berdiri di dekatnya.

“M-Mama?!” gumamnya, antara kaget, bingung, dan malu, lalu buru-buru menarik selimut menutupi tubuhnya.

Sementara itu, Mama Sinta berdiri dengan ekspresi penuh kekecewaan dan luka yang dalam di matanya, menatap anaknya yang dulu ia banggakan, kini terbangun dalam keadaan yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya.

.

.

Bersambung...

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Kaugnay na kabanata

  • Satu Malam Bersama Tuan Muda   Jejak di seprai putih

    Daniel kini sudah mengenakan kembali pakaiannya. Kemeja putih yang sedikit kusut itu ia kenakan tergesa-gesa, sementara celananya tampak tidak terlalu rapi—ia bahkan belum sempat mengancingkan seluruh kancing bajunya dengan benar. Rambutnya masih berantakan, wajahnya kusut dan penuh kecemasan. Ia berdiri di hadapan sang ibu, seperti anak kecil yang tertangkap basah mencuri kue di dapur. Sedingin dan setegas apapun Daniel di hadapan orang lain, di hadapan ibunya, ia selalu luluh. Ada rasa takut, hormat, dan segan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.Mama Sinta berdiri di depannya dengan kedua tangan bertolak pinggang, sorot matanya tajam seperti mata elang yang mengincar mangsa. Raut wajahnya bukan hanya marah—tetapi kecewa, sangat kecewa."Jelaskan apa yang terjadi!" suaranya terdengar tegas, dingin, dan menekan, membuat Daniel menunduk dengan gelisah.“Aku… aku nggak ingat, Ma,” gumam Daniel pelan, suaranya nyaris tak terdengar, namun cukup jelas untuk membuat Mama Sinta meng

    Huling Na-update : 2025-03-29
  • Satu Malam Bersama Tuan Muda   Mencari

    Daniel masih berdiri di tempat yang sama sejak Mama Sinta pergi meninggalkannya. Matanya kosong menatap dinding, pikirannya terombang-ambing oleh rasa bersalah, kemarahan, dan kebingungan. Ia mencoba mengingat dengan detail kejadian semalam, berharap ada petunjuk sekecil apa pun yang bisa membantunya menemukan gadis itu. Ia tahu, waktu tidak berpihak padanya—semakin lama ia menunda, semakin sulit menemukan jejak sang gadis.Tiba-tiba, satu potongan memori menampar kesadarannya.“Tunggu dulu…” gumamnya lirih. “Bukannya semalam dia pakai seragam office girl, ya?” ucapnya lagi, yang baru teringat hal seperti itu.Daniel mengerutkan kening. Ia teringat dengan jelas—meski dalam kabut alkohol—bahwa gadis itu mengenakan seragam office girl putih dengan rok hitam ketat, . Ia juga ingat bahwa gadis itu membawa tas jinjing sederhana dan mengenakan sepatu pantofel hitam yang sedikit kusam di ujungnya. Semua detail itu kini kembali perlahan, dan membangkitkan dorongan untuk bertindak.Tanpa pikir

    Huling Na-update : 2025-04-01
  • Satu Malam Bersama Tuan Muda   Awal Dari Masalah Dinda

    Angin malam berhembus kencang, menggoyangkan dedaunan yang saling bergesekan — menciptakan suara lirih yang mampu membuat siapa pun merinding dalam kesunyian.Di tengah dinginnya malam, Dinda duduk termenung di sudut kamar kecilnya. Tatapannya tertuju pada layar ponsel, melihat notifikasi transfer yang baru saja terkirim ke rekening ibunya. Gaji bulan ini, hanya tinggal untuk makan dan membayar kontrakan. Sebagian besar sudah ia kirim untuk ibu dan adik-adik tercinta di kampung.Di usianya yang baru 23 tahun, Dinda telah memikul beban besar. Ayahnya pergi untuk selamanya dua tahun lalu, menyerah pada penyakit jantung yang merenggut nyawa sang kepala keluarga. Sejak saat itu, Dinda tak punya pilihan. Ia harus berdiri tegak, menjadi tulang punggung keluarga kecil mereka.Jauh dari rumah, tinggal di kota besar, berjuang dengan hanya bermodalkan ijazah SMA dan tekad yang tak pernah goyah — Dinda tahu, ia tak boleh lelah. Karena di belakang sana, ada ibu dan dua adik yang menunggu uluran t

    Huling Na-update : 2025-03-25
  • Satu Malam Bersama Tuan Muda   Takdir Kelam Dibalik kamar mewah

    Daniel berjalan dengan langkah yang tidak stabil, tubuhnya sedikit limbung akibat alkohol yang telah membanjiri sistem sarafnya sejak beberapa jam terakhir. Dengan mata yang mulai mengabur dan kepala yang terasa berat, ia menatap lift di depannya sambil mengerutkan kening, berusaha fokus untuk menekan tombol lantai paling atas—lantai di mana kamar favoritnya berada. Hotel tempat mereka biasa berkumpul ini bukan sembarang tempat; hotel mewah itu milik pamannya, yang tak lain adalah ayah Damian, sahabat sekaligus partner mabuknya malam ini.Beberapa detik kemudian, pintu lift terbuka dengan suara khas logam yang bergesekan. Daniel masuk dan bersandar di dinding lift, menunggu sampai lantai yang dituju tercapai. Ketika pintu terbuka, ia langsung berjalan keluar dengan langkah gontai menuju salah satu kamar eksklusif di sudut koridor. Ia merogoh saku dan mengeluarkan kartu akses, lalu menempelkannya ke pemindai di sisi pintu. Bunyi bip terdengar, menandakan pintu telah terbuka, dan ia pun

    Huling Na-update : 2025-03-26

Pinakabagong kabanata

  • Satu Malam Bersama Tuan Muda   Mencari

    Daniel masih berdiri di tempat yang sama sejak Mama Sinta pergi meninggalkannya. Matanya kosong menatap dinding, pikirannya terombang-ambing oleh rasa bersalah, kemarahan, dan kebingungan. Ia mencoba mengingat dengan detail kejadian semalam, berharap ada petunjuk sekecil apa pun yang bisa membantunya menemukan gadis itu. Ia tahu, waktu tidak berpihak padanya—semakin lama ia menunda, semakin sulit menemukan jejak sang gadis.Tiba-tiba, satu potongan memori menampar kesadarannya.“Tunggu dulu…” gumamnya lirih. “Bukannya semalam dia pakai seragam office girl, ya?” ucapnya lagi, yang baru teringat hal seperti itu.Daniel mengerutkan kening. Ia teringat dengan jelas—meski dalam kabut alkohol—bahwa gadis itu mengenakan seragam office girl putih dengan rok hitam ketat, . Ia juga ingat bahwa gadis itu membawa tas jinjing sederhana dan mengenakan sepatu pantofel hitam yang sedikit kusam di ujungnya. Semua detail itu kini kembali perlahan, dan membangkitkan dorongan untuk bertindak.Tanpa pikir

  • Satu Malam Bersama Tuan Muda   Jejak di seprai putih

    Daniel kini sudah mengenakan kembali pakaiannya. Kemeja putih yang sedikit kusut itu ia kenakan tergesa-gesa, sementara celananya tampak tidak terlalu rapi—ia bahkan belum sempat mengancingkan seluruh kancing bajunya dengan benar. Rambutnya masih berantakan, wajahnya kusut dan penuh kecemasan. Ia berdiri di hadapan sang ibu, seperti anak kecil yang tertangkap basah mencuri kue di dapur. Sedingin dan setegas apapun Daniel di hadapan orang lain, di hadapan ibunya, ia selalu luluh. Ada rasa takut, hormat, dan segan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.Mama Sinta berdiri di depannya dengan kedua tangan bertolak pinggang, sorot matanya tajam seperti mata elang yang mengincar mangsa. Raut wajahnya bukan hanya marah—tetapi kecewa, sangat kecewa."Jelaskan apa yang terjadi!" suaranya terdengar tegas, dingin, dan menekan, membuat Daniel menunduk dengan gelisah.“Aku… aku nggak ingat, Ma,” gumam Daniel pelan, suaranya nyaris tak terdengar, namun cukup jelas untuk membuat Mama Sinta meng

  • Satu Malam Bersama Tuan Muda   Bagun dalam duka

    Pagi perlahan merambat masuk ke sela-sela tirai yang sedikit terbuka, membawa serta sinar mentari yang hangat. Cahaya itu menembus masuk ke dalam kamar Royal Suite yang mewah, menyapu sisa-sisa kegelapan malam yang baru saja berlalu. Langit di luar sana sudah berubah warna, dari kelam menjadi biru muda yang cerah. Namun, keindahan pagi itu tak mampu menembus keheningan pekat yang masih menyelimuti kamar tersebut. Di atas ranjang besar dengan sprei putih yang kini berantakan, dua tubuh terbaring dalam keheningan. Seorang pria yang tampak masih terlelap dalam tidur pulasnya, sementara di bawahnya, seorang perempuan terbaring kaku dengan mata yang perlahan mulai terbuka, menyadari kenyataan pahit yang baru saja menimpanya. Dinda membelalakkan matanya. Seketika tubuhnya menegang, napasnya tercekat. Kesadaran kembali menyergapnya dengan kejam, membangunkannya dari mimpi buruk yang ternyata bukan mimpi sama sekali. Pria itu masih di atas dirinya—masih menindihnya, bahkan tubuh mereka masi

  • Satu Malam Bersama Tuan Muda   Takdir Kelam Dibalik kamar mewah

    Daniel berjalan dengan langkah yang tidak stabil, tubuhnya sedikit limbung akibat alkohol yang telah membanjiri sistem sarafnya sejak beberapa jam terakhir. Dengan mata yang mulai mengabur dan kepala yang terasa berat, ia menatap lift di depannya sambil mengerutkan kening, berusaha fokus untuk menekan tombol lantai paling atas—lantai di mana kamar favoritnya berada. Hotel tempat mereka biasa berkumpul ini bukan sembarang tempat; hotel mewah itu milik pamannya, yang tak lain adalah ayah Damian, sahabat sekaligus partner mabuknya malam ini.Beberapa detik kemudian, pintu lift terbuka dengan suara khas logam yang bergesekan. Daniel masuk dan bersandar di dinding lift, menunggu sampai lantai yang dituju tercapai. Ketika pintu terbuka, ia langsung berjalan keluar dengan langkah gontai menuju salah satu kamar eksklusif di sudut koridor. Ia merogoh saku dan mengeluarkan kartu akses, lalu menempelkannya ke pemindai di sisi pintu. Bunyi bip terdengar, menandakan pintu telah terbuka, dan ia pun

  • Satu Malam Bersama Tuan Muda   Awal Dari Masalah Dinda

    Angin malam berhembus kencang, menggoyangkan dedaunan yang saling bergesekan — menciptakan suara lirih yang mampu membuat siapa pun merinding dalam kesunyian.Di tengah dinginnya malam, Dinda duduk termenung di sudut kamar kecilnya. Tatapannya tertuju pada layar ponsel, melihat notifikasi transfer yang baru saja terkirim ke rekening ibunya. Gaji bulan ini, hanya tinggal untuk makan dan membayar kontrakan. Sebagian besar sudah ia kirim untuk ibu dan adik-adik tercinta di kampung.Di usianya yang baru 23 tahun, Dinda telah memikul beban besar. Ayahnya pergi untuk selamanya dua tahun lalu, menyerah pada penyakit jantung yang merenggut nyawa sang kepala keluarga. Sejak saat itu, Dinda tak punya pilihan. Ia harus berdiri tegak, menjadi tulang punggung keluarga kecil mereka.Jauh dari rumah, tinggal di kota besar, berjuang dengan hanya bermodalkan ijazah SMA dan tekad yang tak pernah goyah — Dinda tahu, ia tak boleh lelah. Karena di belakang sana, ada ibu dan dua adik yang menunggu uluran t

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status